Kontrak yang berasal dari kata “contract” dalam bahasa Inggris, memiliki pengertian
sebagai suatu perjanjian tertulis di antara dua pihak atau lebih yang menciptakan hak dan
kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. Ciri utama kontrak ialah
suatu tulisan yang memuat perjanjian dari para pihak, lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat, serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya hak dan kewajiban. Oleh karena
ciri kontrak tersebut, maka kontrak dibedakan secara tegas dari pernyataan sepihak.
Kontrak itulah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan “perjanjian”. Namun kata
“perjanjian” tidak selalu sepadan dengan contract. Kepustakaan hukum dalam bahasa Inggris
menunjukkan bahwa istilah contract dalam ranah hukum nasional maupun internasional bersifat
perdata. Sementara dalam ranah hukum internasional publik, kata “perjanjian” dalam bahasa
Inggris sering disebut dengan treaty atau kadang covenant.
Sebagai perwujudan dari perjanjian, kontrak merupakan salah satu sumber perikatan
selain Hukum. Untuk meninjau hukum kontrak antara Civil Law dan Common Law, maka dapat
dibantu dengan skema stistem hukum kontrak keduanya.
Civil Law
Perjanjian
Common Law
Contract
Kedua skema tersebut dapat dijelaskan bahwa, perikatan merupakan hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan akibat hukum berupa pemenuhan hak dan
kewajiban (prestasi) pada masing-masing pihak, dalam bidang hukum harta kekayaan. Prestasi
dapat berupa menyerahkan suatu benda; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu. Berdasarkan
skema tersebut perikatan merupakan hasil dari perjanjian/ kontrak dan/ atau hukum, maka
perjanjian/ kontrak dan/ atau hukum merupakan sumber dari terjadinya perikatan. Namun tentu
terdapat perbedaan terhadap pola pemikiran terjadinya perikatan, mengingat sumber hukum Civil
Law dan Common Law memiliki penekanan yang berbeda dengan pola pembentukan yang juga
berbeda
Dari kedua skema tersebut, terlihat perbedaan antara perbuatan sesuai hukum dengan quasi
contract dan unsur lainnya adalah sama.
Civil Law
Prinsip “sesuai hukum” meliputi zaakwarneming (bld.) berdasarkan Pasal 1354 BW dan
quantum meruit berdasarkan Pasal 1359 BW. Zaakwarneming merupakan perikatan yang terjadi
berdasarkan hukum karena salah satu pihak mengikatkan diri secara sukarela mewakili urusan
orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang yang diwakilinya. Karena telah terjadi
perikatan, maka pihak yang melakukan kepengurusan tersebut wajib meneruskan dan
menyelesaikan urusan tersebut, hingga pihak yang diwakilinya dapat mengerjakan sendiri urusan
tersebut. Pengurusan terhadap kepentingan orang lain tidaklah melawan hukum, namun pelaku
perbuatan tersebut menjadi terikat untuk menyelesaikannya hingga yang bersangkutan dapat
menyelesaikannya sendiri.
Sementara quantum meruit merupakan pembayaran yang tidak diwajibkan, di mana suatu
pemenuhan kewajiban yang sebenarnya tidak ditetapkan sebagai kewajiban di dalam perikatan.
Pemenuhan kewajiban tersebut berhak untuk menuntut kembali prestasi yang telah dipenuhinya
dan pihak yang menerima wajib mengembalikannya.
Common Law
Melihat definisi dari quasi contract, maka sangat identik dengan quantum meruit dalam
Pasal 1359 BW namun tidak sama dengan zaakwarneming. Pandangan berdasarkan sumber
perikatan menghasilkan persamaan dan perbedaan yang telah dipaparkan terhadap perikatan
dalam Civil Law dan Common Law. Namun penulis merasa kecewa karena tidak dapat
menemukan literatur penjelasan berkaitan dengan kehadiran zaakwarneming dalam Civil Law
dan tidak dapat menemukan literatur mengenai ketiadaan ataupun ke-ada-an dari zaakwarneming
dalam Common Law.
Prinsip Freedom of Contract (Kebebasan Berkontrak)
Prinsip kebebasan berkontrak sebenarnya telah diakui dalam hukum Romawi, meskipun
prinsip ini baru naik ke permukaan wacana kontrak pada abad ke 19 yang menandai kebangkitan
liberalisme. Perkembangan dalam Common Law ternyata menanggapinya tidak seliberal dalam
sistem Civil Law.
Civil Law
Pasal 1320 BW yang berisikan syarat sahnya perjanjian menunjukkan bahwa ketentuan
tersebut sangat mendukung asas kebebasan berkontrak, karena orang dapat bebas/ tidak dipaksa
untuk sepakat atau tidak sepakat. Prinsip kebebasan berkontrak berdasarkan Pasal 1320 BW
mencakup:
Common Law
Konsensualisme berasal dari akar kata “konsensus” yang berarti sepakat. Apabila
dijabarkan secara lebih lanjut, konsensualisme memiliki pemahaman sebagai kesepakatan akan
suatu hal yang sama. Prinsip konsensualisme berarti bahwa perjanjian dan perikatan yang timbul
oleh karenanya telah dilahirkan sejak detik sepakat terjadi. Prinsip konsensualisme berangkat
dari moral manusia untuk senantiasa memegang janjinya.
Civil Law
Kesepakatan antar para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 BW, dianggap
tidak ada apabila terdapat tiga halangan yang ditentukan dalam Pasal 1321 BW, yakni:
1. Kekhilafan
Kekhilafan dapat terjadi mengenai barang (error in materia) dan terhadap orang (error in
persona) yang menjadi tujuan para phiak yang mengadakan perjanjian. Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 1322 BW.
2. Paksaan
Paksaan adalah perbuatan yang menimbulkan ketakutan pada orang yang berpikiran
sehat, bahwa dirinya terancam. Paksaan berupa paksaan fisik bukan paksaan psikis.
Pasal 1323-Pasal 1327 BW mengatur hal ini.
3. Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-
keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk
karenanya untuk memberikan persetujuan.
Perjanjian yang terbentuk karena ada tiga hal tersebut, bukan merupakan suatu perjanjian.
Common Law
1. Mistake (kekeliruan/kekhilafan);
a. Common mistake: kekhilafan yang sama dari kedua belah pihak
b. Mutual mistake: kekhilafan yang berlainan dari kedua belah pihak
c. Unilateral mistake: kekhilafan yang terjadi pada salah satu pihak saja
2. Dures (paksaan);
Paksaan haruslah memenuhi dua unsur:
a. Paksaan terhadap kemauan dari korban dan
b. Paksaan tersebut melawan hukum.
3. Misrepresentation (kebohongan, penipuan).
a. Innocent misrepresentation: suatu misrepresentation yang oleh pelakunya
dianggap sebagai perilaku yang benar;
b. Fraudulent misrepresentation: misrepresentation yang oleh pelakunya memang
diyakini sebagai perilaku yang tidak benar.
Dari penjelasan mengenai prinsip konsensualisme antara Sistem Civil Law dan Sistem
Common Law, terlihat persamaan unsur mengenai halangan terhadap kesepakatan perjanjian.
Namun terdapat persamaan mendasar yang juga mencerminkan perbedaan kedua sistem hukum
tersebut, yakni pola perumusan peraturan.
Pola perumusan peraturan dalam Civil Law cenderung bersifat umum dan abstrak,
dibutuhkan penafsiran tambahan dalam memecahkan suatu persoalan berkaitan dengan prinsip
konsensualisme. Sementara dalam Common Law, pola perumusan peraturan lebih bersifat
pragmatis dan konkrit. Faktor metode pendekatan deduktif dari Civil Law dan metode
pendekatan induktif dari Common Law memiliki pengaruh yang signifikan.
Dokrin tersebut berasal dari Hukum Romawi yang menyatakan bahwa perjanjian harus
ditaati. Namun istilah pacta sunt servanda sendiri berasal dari Paus Gregorius IX dalam rentang
tahun 1145-1241. Hukum Romawi membedakan antara contractus dan pactum. Contractus
adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk resmi dan dapat digugat, sedangkan pactum
merupakan perjanjian yang dapat digugat hanya berdasarkan asas bona-fides (itikad baik), itikad
buruk harus dibuktikan oleh penggugat. Paus Gregorius IX kemudian menetapkan bahwa
pactum yang tidak berbentuk resmi pun dapat digugat.
Civil Law
Suatu kontrak mengikat sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) karena dinyatakan
demikian oleh undang-undang. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 1338 BW.
Common Law
Sistem Common Law tidak menyebutkan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang,
melainkan:
Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan perspektif terhadap
pascta sunt servanda. Perbedaan tersebut berakar dari pemahaman sistem hukum masing-masing
karena dipengaruhi pola pemikiran hukum yang berbeda. Namun tujuan dari asas pacta sunt
servanda baik dalam Civil Law maupun Common Law adalah perjanjian haruslah ditaati.
Civil Law
Berdasarkan Pasal 1338 BW, perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya. Perjanjian adalah mengikat sebagai hukum terhadap para
pihak yang membuatnya sehingga para pihak terikat pada isi perjanjian.
Pasal 1339 BW, menyebutkan bahwa perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang secara tegas dinyatakan dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Akibat hukum tersebut adalah mengikat para pihak yang membuatnya untuk menaati:
1. Isi perjanjian;
2. Kepatutan;
3. Kebiasaan;
4. Undang-undang.
Common Law
Dalam Sistem Common Law, akibat hukum dari isi perjanjian pun mengikat para pihak
yang membuatnya untuk menaati ketentuan yang sama dalam Civil Law.
Perbedaan dari keduanya adalah mengenai kepatutan dan kebiasaan. Kepatutan dan
kebiasaan yang terdapat dalam kedua sistem hukum tersebut cenderung berbeda. Penafsiran
dalam Civil Law cenderung lebih luas dan hanya hal-hal tertentu saja yang diatur, disamping itu
kebebasan untuk berkontrak sangat dijunjung. Sementara dalam Common Law, kebiasaan dan
kepatutan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan sejak lama.
Prinsip atau doktin privity of contract merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam
hukum kontrak Civil Law dan Common Law. Prinsipnya ialah perjanjian merupakan hubungan
privat antara para pihak yang membuatnya, dan tidak ada pihak lain yang dapat memperoleh
hak-hak atau menimbulkan tanggung jawab di bawahnya. Hukum Romawi sudah mengenal
kebalikan dari prinsip ini, yaitu doktrin ius quaesitum tertio, yaitu lembaga yang mengakui pihak
yang berhak menuntut manfaat dari suatu kontrak meskipun bukan merupakan pihak yang
berkontrak.
Selain itu, Hukum Romawi juga mengenal lembaga yang disebut sequestrio yang tidak
terlalu lekat dengan prinsip privity of contract. Dalam lembaga tersebut, suatu benda yang
disengketakan kepemilikannya dititipkan pada pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut merupakan
pihak yang terikat untuk menyerahkan barang penitipan kepada pihak yang memenangkan
vindicatio. Rei vindicatio adalah tindakan hukum dengan mana penggugat menuntut dari tergugat
agar tergugat mengembalikan suatu benda yang merupakan milik dari penggugat.
Civil Law
Doktrin privity of contract diatur dalam Pasal 1315 BW dan Pasal 1340 BW yang
menyebutkan bahwa seseorang hanya dapat mengadakan perjanjian untuk dirinya sendiri dan
perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Namun terdapat pengecualian
terhadap kedua pasal tersebut yang terdapat dalam Pasal 1316 BW (Perjanjian Garansi) dan 1317
BW (derden beding) yang seirama dengan doktrin ius quaesitim tertio hukum Romawi.
Common Law
Prinsip privity of contract sangatlah ditekankan dalam Common Law. Keangkuhan Common
Law mengakibatkan doktrin ius quaesitum tertio tidak diakui. Penegasannya nampak dalam
pemahaman Common Law mengenai privity of contract, yakni suatu kontrak tidak dapat
melimpahkan hak atau kewajiban kepada pihak yang bukan pihak dalam kontrak. Dapat
dijabarkan bahwa:
1. Tiada seorang pun dapat memperoleh hak-hak dari suatu perjanjian di mana ia bukan
pihak dalam perjanjian itu;
2. Tiada seorang pun dapat dibebani tanggung jawab dalam suatu perjanjian di mana ia
bukan pihak dalam perjanjian itu.
Oleh :
Eza Amalia
P2B222020
Dosen Pengampu :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2022