Tidak ada definisi baik di dalam KUHPerdata (BW), UU No. 1 Tahun 1974,
Hukum Adat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), maupun di dalam ketentuan-
ketentuan perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia, tentang apa yang
diartikan dengan Kekuasaan Orang Tua.
Menurut Subekti, seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia
dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya (onderlijke mach)
selama kedua orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak dari
pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau
pada waktu perkawinan kedua orang tuanya dihapuskan. Dari hal tersebut diatas
terlihat bahwa lahirnya kekuasaan orang tua itu adalah Karena telah dilakukan
perkawinan kedua orang tua terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan
memelihara anaknya. Pemeliharaan meliputi pemberian nafkah, pakaian dan
perumahan.
Hokum islam memakai istilah hadhonah juga dengan tujuan untuk mengasuh
dan memelihara anak dibawah umur.
Kompelikasi Hukum Islam untuk kekuasaan orang tua ini memakai istilah
pemeliharaan anak atau hadhonah yaitu kegiatan mengasuh, memelihara dan
mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Tentang hodhonah ini
didalam KHI diatur dalam pasal 105, 106, 156. Undang-undang No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan anak, memakai istilah kuasa asuh dan dapat dibaca dalam
pasal 1 angka 11,26,30,31 dan 32. Undang-undang No.7 tahun 1989 yang telah
diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, memakai istilah penguasaan
anak sebagai tercantum di dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1).
Didalam Hukum Adat mengenai kekuasaan orang tua ini erat kaitannya dengan
corak kekeluargaan dan perkawinan yang ada di Indonesia yaitu kebapakan,
keibuan dan keibubapakan.
Kekuasaan orang tua terhadap diri pribadi anak diatur dalam pasal 298 sampai
dengan pasal 306
Karena itu apabila kelakuan si anak di luar batas, maka orang tua dan
dewan perwalian dapat mengajuka permohonan kepada pengadilan agar si
anak diletakkan di bawah lembaga negara atau swasta yang bergerak dalam
pendidikan anak nakal. Syaratnya adalah sebagai berikut:
Pemecatan kekuasaan orang tua ini dapat dilakukan dengan salah satu dari 5
alasan yang berikut:
Kekuasaan orang tua juga berlaku terhadap harta benda atau kekayaan
anak sebagaimana diatur antara lain dalam pasal 307,pasal 308, pasal 309 dan
pasa 311, yang pada intinya memberikan perlindungan terhadap harta benda
atau kekayaan yang menjadi hak anak yang berada dibawah umur. Hal ini
disebabkan Karena pada umumnya seorang anak yang masih dibawah umur
tidak capak untuk bertindak sendiri. Karena itu ia harus diwakili oleh orang
tuanya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1947 Tentang Perkawinan, yaitu :
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya;
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus
Oleh karena itu, hal menafkahi anak merupakan suatu kewajiban yang akan
berlaku terus-menerus, meskipun adanya perceraian yang terjadi antara orang tua.
Kewajiban menafkahi menyangkut juga terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak, sampai anak dapat membiayai hidupnya sendiri atau kawin. Apabila perkawinan
putus karena perceraian, tanggung jawab terhadap biaya pemeliharaan anak dan
pendidikannya dibebankan kepada ayah, namun apabila ayah tidak dapat memenuhi
kewajibannya, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut serta dalam membiayai
pemeliharaan anak dan pendidikannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf
b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi
keputusan
Hal ini hanya berlaku bagi mereka yang melakukan perkawinan secara
muslim, namun bukan menjadi jaminan bahwa anak yang belum berumur 12 tahun,
yang lahir dari perkawinan secara muslim, maka hak asuhnya jatuh kepada ibu
sebagaimana Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dikarenakan dalam
menentukan hak asuh anak baik perkawinan secara muslim ataupun perkawinan
secara non muslim, harus melihat kepentingan dari anak dan siapakah yang lebih
memberikan jaminan secara maksimal untuk tumbuh kembangnnya anak. Untuk itu
siapa yang lebih berhak dalam mendapat hak asuh anak baik bapak atau ibu maka
akan ditentukan kemudian melalui Putusan Pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal
41 Huruf (a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Mengenai hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 105 (a) ada yang disebut Hadhanah dan Wilayat Al-mal.
Hadhanah dalam ilmu fiqh adalah istilah bagi pemeliharaan anak diwaktu kecil
baik laki-laki maupun perempuan atau yang belum sempurna akalnya serta belum baliq
dan belum dapat berusaha sendiri. Kewajiban ini merupakan kewajiban orang tua baik
dikala suami isteri masih utuh ataupun bercerai. Masalah Hadhanah ini tidaklah semata-
mata berlaku untuk kedua orang tua saja, akan tetapi kerabat pun dapat ditugaskan
melakukan hal tersebut apabila kedua orang tua anak itu tidak mampu atau dianggap
tidak cakap.
Kekayaan Wilayat Al-mal ini berlangsung terus sampai anak itu dapat dikatakan
Rasyid, yaitu telah mampu mengurus sendiri kekayaannya dan biasanya anak dianggap
Rasyid apabila sudah baliq yaitu berumur kurang lebih lima belas tahun.
Jadi secara rinci hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Memberikanper lindungan;
Memberikanpendidikan;
Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum bagi yang umurnya delapan belas tahun
kebawah dan belum pernah kawin;
Memberikan biaya pemeliharaan anak walaupun kekuasaan orang tua telah dicabut.
Menurut pasal ini berarti orang tua mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik
anak dengan sebaik-baiknya. Bila orang tua tidak melaksanakannya atau orang tua
berlaku buruk terhadap anak, maka orang tua dapat dicabut kekuasaannnya.
Apabila mereka dicabut kekuasaannya maka akan timbul perwalian terhadap anak
sesuai dengan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Perkawinan, yaitu
Ayat (1) anak yang belum mencapai umur delapan belas tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah kekuasaan wali.
Ayat (2), menyatakan perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.
Pasal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap barang tetap milik anak
dari perbuatan orang tua yang mungkin dapat merugikan anak tersebut.
Dengan sekelumit penjabaran mengenai kewajiban orang tua terhadap anak yang telah
kami coba jabarkan di atas, kami berharap para orang tua lebih serius dengan tanggung
jawab dalam menjalankan kewajibannya untuk menjaga dan mencintai anak dengan
penuh kasih sayang. Sehingga tercipta anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Jangan sampai orang tua menjadi durhaka kepada anaknya, dan juga sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Djoko Zulfa. 2009. Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan. Yogjakarta: Data Media.
Internet :
Pada Hari Selasa, Tanggal Dua puluh dua bulan November Tahun Dua ribu enam belas, Kami
yang bertanda tangan dibawah ini :
_________________
2. Nama : Dimas Setiawan
NIM : RRB10014258
__________________
__________________
4. Nama : Satrio Novianto
NIM : RRB10014228
__________________
5. Nama : Yovi Purnama
NIM : RRB10014114
__________________
Tanggung Jawab Anak Terhadap Orang Tua dan
Orang Tua Terhadap Anak
Hukum Kekeluargaan
Dosen Pembimbing : H. MUHAMMAD AMIN QODRI, SH, LL.M
Kelompok 4
1. Andi Wildan Ramdhani
2. Dimas Setiawan
3. Fajar AlFath
4. Satrio Novianto
5. Yovi Purnama
Fakultas Hukum
Universtias Jambi
2016-2017