Anda di halaman 1dari 13

A.

Kekuasaan Orang Tua

Tidak ada definisi baik di dalam KUHPerdata (BW), UU No. 1 Tahun 1974,
Hukum Adat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), maupun di dalam ketentuan-
ketentuan perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia, tentang apa yang
diartikan dengan Kekuasaan Orang Tua.

Menurut Subekti, seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia
dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya (onderlijke mach)
selama kedua orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak dari
pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau
pada waktu perkawinan kedua orang tuanya dihapuskan. Dari hal tersebut diatas
terlihat bahwa lahirnya kekuasaan orang tua itu adalah Karena telah dilakukan
perkawinan kedua orang tua terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan
memelihara anaknya. Pemeliharaan meliputi pemberian nafkah, pakaian dan
perumahan.

Wirjono Prodjodikoro, untuk kekuasaan orang tua ini memakai istilah


penguasaan anak. Seorang anak yang belum dewasa, berada dalam penguasaan
orang tua dan tidak dapat melakukan perbuatan hokum dalam masyarakat.
Penguasaan orang tua ini mengandung kewajiban orang tua untuk memlihara dan
mendidik si anak.

Berbeda dengan KUHPerdata, dalam UU Perkawinan tidak ada Bab tersendiri


untuk masalah ini, tetapi ketentuan yang terkait dengan hal ini dapat dilihat dalam
Bab X UU Perkawinan, yang berjudul Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan
Anak, yang mencangkup pasal 45 sampai dengan pasal 49.Di samping itu
ketentuan dalam pasal 41 UU perkawinan, yang memuat aturan mengenai akibat
putusnya tentang kekuasaan orang tua. Untuk kekuasaan orang tua ini Undang-
Undang prkawinan memakai istilah pemeliharaan anak dan penguasaan anak
sebagaimana tercantum dalam pasal 41.

Hokum islam memakai istilah hadhonah juga dengan tujuan untuk mengasuh
dan memelihara anak dibawah umur.
Kompelikasi Hukum Islam untuk kekuasaan orang tua ini memakai istilah
pemeliharaan anak atau hadhonah yaitu kegiatan mengasuh, memelihara dan
mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Tentang hodhonah ini
didalam KHI diatur dalam pasal 105, 106, 156. Undang-undang No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan anak, memakai istilah kuasa asuh dan dapat dibaca dalam
pasal 1 angka 11,26,30,31 dan 32. Undang-undang No.7 tahun 1989 yang telah
diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, memakai istilah penguasaan
anak sebagai tercantum di dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1).

Didalam Hukum Adat mengenai kekuasaan orang tua ini erat kaitannya dengan
corak kekeluargaan dan perkawinan yang ada di Indonesia yaitu kebapakan,
keibuan dan keibubapakan.

Dari ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata, kelima padal dalam UU


perkawinan, Komisi Hukum Islam dan unadang-undang Perlindungan anak, tidak
diberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua.
Jika diamati, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan orang tua ini terkait dengan
aspek-aspek yang berhubungan dengan pembagian peran ataupun tugas antara
suami istri dalam keluarga seperti yang dimaksud dalam pasal 31 ayat 3 UU
Perkawinan, serta Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak sebagaimana
yang tercantum di dalam pasal 45 s.d pasal 49 UU Perkawinan.

B. Menurut KUH Perdata (BW)

Kekuasaan orang tua terhadap diri pribadi anak diatur dalam pasal 298 sampai
dengan pasal 306

Pasal 298 dan 301 KUHPerdata mengatur sebagai berikut:


Setiap anak berapapun juga umurnya, wajib menghormati dan
menghargai orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-
anak mereka yang masih dibawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua
atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk
memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka. Kewajiban itu masih
tetap ada dan untuk keperluan pendidikan dan pemeliharaan anak mereka
yang belum dewasa diharuskan tiap minggu, tiap bulan atau tiap tiga bulan
sekali menyampaikan uang tunjangan nafkah kepada wali atau dewan
perwalian sejumlah yang ditetapkan oleh pengadilan.

Karena itu apabila kelakuan si anak di luar batas, maka orang tua dan
dewan perwalian dapat mengajuka permohonan kepada pengadilan agar si
anak diletakkan di bawah lembaga negara atau swasta yang bergerak dalam
pendidikan anak nakal. Syaratnya adalah sebagai berikut:

- Segala biaya penampungan dipikul oleh pemegang kekuasaan orang tua;


- Anak yang berumur dibawah empat belas tahun hanya boleh ditampung
paling lama enam bulan;
- Anak yang berumur diatas empat belas tahun diperkenankan sampai
batas waktu satu tahun lamannya;
- Penampungan itu dilakukan benar-benar demi kepentingan anak itu
sendiri

Selanjutnya dalam pasal 299 KUHPerdata ditentukan:

Selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap


berada dalam kekuasaan mereka, sejauh mereka tidak dilepaskan atau dipecat
dari kekuasaan itu.

Pemecatan kekuasaan orang tua ini dapat dilakukan dengan salah satu dari 5
alasan yang berikut:

1. Menggunakan kekuasaan orang tua secara melampau batas kepamtasan atau


melalaukan sangat kewajiban memelihara dan mendidik anak;
2. Tingkah laku jelek
3. Dihukum pidana perihal suatu kejahatan yang dilakukan bersama-sama
dengan si anak;
4. Dihukum pidana perihal suatu suatu kejahatan yang termuat dalam titel-titel
13,14,15,18,19 dan 20 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
dilakukan terhadap si anak (kejahatan-kejahatan mengenai kedudukan
seorang dalam Hukum Perdata, tata susila, membiarkan orang yang
membutuhkan pertolongan, penculikan, pembuhunan dan penganiayaan);
5. Dihukum dengan hukuman penjara selama dua tahun atau lebih

Kekuasaan orang tua juga berlaku terhadap harta benda atau kekayaan
anak sebagaimana diatur antara lain dalam pasal 307,pasal 308, pasal 309 dan
pasa 311, yang pada intinya memberikan perlindungan terhadap harta benda
atau kekayaan yang menjadi hak anak yang berada dibawah umur. Hal ini
disebabkan Karena pada umumnya seorang anak yang masih dibawah umur
tidak capak untuk bertindak sendiri. Karena itu ia harus diwakili oleh orang
tuanya.

Pasal 307 ayat 1 KUHPerdata:

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam pasa 237 dan


ayat terakhir pasa 219e, setiap pemangku kekuasaan orang tua terhadap
seorang anak belum dewasa, harus mengurus harga kekayaan anak itu.

Pasal 308 ayat 1 KUHPerdata:

Barangsiapa Karena kekuasaan orang tua yang ada padanya, berwajib


mengurus harta kekayaan anak-anaknya, harus bertanggung jawab, bai
katas kemilikan harta kekayaan tadi, maupun atas segala hasil dari
barang-barang, yang mana ia diperbolehkan menikmatinya.

Pembatasan terhadap kekuasaan orang tua atas harta si anak diatur


dalam pasa 309 KUHPerdata, yang menentukan bahwa pemegang
kekuasaan orang tua tidak boleh memindahtangankan harta kekayaan si
anak, selain dengan memperhatikan pasa 393 yaitu dengan izin
pengadilan negeri.

Selanjutnya pasal 311 ayat 1 dan 2 KUHPerdata menentukan:


Setiap bapak atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua atau
menjadi wali, berhak menikmati hasil harta kekayaan anak-anaknya
yang belum dewasa.

C. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1947 Tentang Perkawinan, yaitu :

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya;

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus

Oleh karena itu, hal menafkahi anak merupakan suatu kewajiban yang akan
berlaku terus-menerus, meskipun adanya perceraian yang terjadi antara orang tua.
Kewajiban menafkahi menyangkut juga terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak, sampai anak dapat membiayai hidupnya sendiri atau kawin. Apabila perkawinan
putus karena perceraian, tanggung jawab terhadap biaya pemeliharaan anak dan
pendidikannya dibebankan kepada ayah, namun apabila ayah tidak dapat memenuhi
kewajibannya, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut serta dalam membiayai
pemeliharaan anak dan pendidikannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf
b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan


pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
Maka berdasarkan penjelasan di atas, dalam keadaan apapun, cerai atau
tidak cerai, saudara berkewajiban untuk menafkahi anak saudara, namun jika
saudara tidak mampu, ibu dari anak tersebut turut serta memikul kewajiban
dimaksud. Hanya saja permasalahannya saat ini, istri saudara pergi
meninggalkan saudara dengan membawa serta anak saudara. Oleh karena itu, hal
yang seharusnya pertama saudara lakukan adalah mencari keberadaan istri dan
anak saudara.

Kami sangat menyayangkan, bahwa dalam informasi yang saudara


berikan, saudara tidak menjelaskan apakah saudara sudah bercerai atau tidak,
dikarenakan hak asuh hanya dapat diberikan kepada salah satu dari orang tua
setelah mereka diceraikan oleh Pengadilan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yang menyebutkan:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi
keputusan

Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,


tidak diatur dengan tegas mengenai siapa yang berhak untuk mendapatkan hak
asuh anak, namun dalam penafsiran kami, apabila terjadi perselisihan mengenai
hak asuh, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
menyerahkan hal tersebut kepada Pengadilan untuk menentukan siapa yang
berhak untuk mengasuh anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 41
huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di atas.

Khusus bagi yang beragama Islam, diatur dengan jelas mengenai


bagaimana pemberian hak asuh apabila terjadi perceraian, sebagaimana
dituangkan dalam ketentuan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
menyebutkan:

Dalam hal terjadinya perceraian:


1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharannya

Hal ini hanya berlaku bagi mereka yang melakukan perkawinan secara
muslim, namun bukan menjadi jaminan bahwa anak yang belum berumur 12 tahun,
yang lahir dari perkawinan secara muslim, maka hak asuhnya jatuh kepada ibu
sebagaimana Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dikarenakan dalam
menentukan hak asuh anak baik perkawinan secara muslim ataupun perkawinan
secara non muslim, harus melihat kepentingan dari anak dan siapakah yang lebih
memberikan jaminan secara maksimal untuk tumbuh kembangnnya anak. Untuk itu
siapa yang lebih berhak dalam mendapat hak asuh anak baik bapak atau ibu maka
akan ditentukan kemudian melalui Putusan Pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal
41 Huruf (a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dari penjelasan di atas, maka saudara mempunyai kemungkinan untuk


mendapatkan hak asuh terhadap anak saudara, jika saudara dapat membuktikan
bahwa istri saudara bukanlah ibu yang baik bagi anak saudara, ataupun jika ternyata
istri saudara dianggap tidak cakap secara hukum, demikian juga sebaliknya, istri
saudara berhak untuk mendapatkan hak asuh atas anak saudara. Penentuan siapa
yang lebih berhak mendapatkan hak asuh antara saudara atau istri saudara akan
ditentukan kemudian melalui Putusan Pengadilan.
D. Menurut Hukum Islam/Kompilasi Hukum Islam

Mengenai hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 105 (a) ada yang disebut Hadhanah dan Wilayat Al-mal.

Hadhanah dalam ilmu fiqh adalah istilah bagi pemeliharaan anak diwaktu kecil
baik laki-laki maupun perempuan atau yang belum sempurna akalnya serta belum baliq
dan belum dapat berusaha sendiri. Kewajiban ini merupakan kewajiban orang tua baik
dikala suami isteri masih utuh ataupun bercerai. Masalah Hadhanah ini tidaklah semata-
mata berlaku untuk kedua orang tua saja, akan tetapi kerabat pun dapat ditugaskan
melakukan hal tersebut apabila kedua orang tua anak itu tidak mampu atau dianggap
tidak cakap.

Sedangkan Wilayat Al-mal yaitu memelihara kekayaan si anak dan


kepentingan-kepentingan si anak yang berhubungan dengan harta tersebut. Mengenai
pemeliharaan kekayaan si anak harus dilakukan oleh si bapak, kalau tidak ada diganti
oleh kakek dari pihak bapak. Tetapi si bapak berkuasa untuk menunjuk orang lain untuk
mengurus harta si anak dalam sebuah wasiat. Dalam hal ini sebaiknya ibu dari anak itu
yang ditunjuk. Apabila orang-orang tersebut tidak ada lagi, maka kekayaan si anak
harus diurus oleh negara.

Kekayaan Wilayat Al-mal ini berlangsung terus sampai anak itu dapat dikatakan
Rasyid, yaitu telah mampu mengurus sendiri kekayaannya dan biasanya anak dianggap
Rasyid apabila sudah baliq yaitu berumur kurang lebih lima belas tahun.

Kalau menurut Undang-undang Perkawinan Pasal 45 ayat (1) disebutkan


kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Ayat (2) menyebutkan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antar kedua orang tua putus.

Jadi secara rinci hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Memberikanper lindungan;

Memberikanpendidikan;

Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum bagi yang umurnya delapan belas tahun
kebawah dan belum pernah kawin;

Memberikan biaya pemeliharaan anak walaupun kekuasaan orang tua telah dicabut.

Menurut pasal ini berarti orang tua mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik
anak dengan sebaik-baiknya. Bila orang tua tidak melaksanakannya atau orang tua
berlaku buruk terhadap anak, maka orang tua dapat dicabut kekuasaannnya.

Apabila mereka dicabut kekuasaannya maka akan timbul perwalian terhadap anak
sesuai dengan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Perkawinan, yaitu

Ayat (1) anak yang belum mencapai umur delapan belas tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah kekuasaan wali.

Ayat (2), menyatakan perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.

Sedangkan mengenai pemeliharaan kekayaan si anak diatur dalam Pasal 48 Undang-


undang Perkawinan yang menyebutkan orang tua tidak diperbolehkan memindahkan
hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
anak itu menghendakinya.

Pasal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap barang tetap milik anak
dari perbuatan orang tua yang mungkin dapat merugikan anak tersebut.

Dengan sekelumit penjabaran mengenai kewajiban orang tua terhadap anak yang telah
kami coba jabarkan di atas, kami berharap para orang tua lebih serius dengan tanggung
jawab dalam menjalankan kewajibannya untuk menjaga dan mencintai anak dengan
penuh kasih sayang. Sehingga tercipta anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Jangan sampai orang tua menjadi durhaka kepada anaknya, dan juga sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Djoko Zulfa. 2009. Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan. Yogjakarta: Data Media.
Internet :

Suksmasoul. (2008, 27 Juni). KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK


. Diperoleh 22 November 2016, dari http://suksmasoul.blogspot.co.id/2008/06/kewajiban-
orang-tua-terhadap-anak.html
Berita Acara

Pada Hari Selasa, Tanggal Dua puluh dua bulan November Tahun Dua ribu enam belas, Kami
yang bertanda tangan dibawah ini :

1. Nama : Andi Wildan Ramdhani


NIM : RRB10014068

_________________
2. Nama : Dimas Setiawan
NIM : RRB10014258

__________________

3. Nama : Fajar Alfath


NIM : RRB10014044

__________________
4. Nama : Satrio Novianto
NIM : RRB10014228

__________________
5. Nama : Yovi Purnama
NIM : RRB10014114

__________________
Tanggung Jawab Anak Terhadap Orang Tua dan
Orang Tua Terhadap Anak
Hukum Kekeluargaan
Dosen Pembimbing : H. MUHAMMAD AMIN QODRI, SH, LL.M

Kelompok 4
1. Andi Wildan Ramdhani
2. Dimas Setiawan
3. Fajar AlFath
4. Satrio Novianto
5. Yovi Purnama

Fakultas Hukum

Universtias Jambi

2016-2017

Anda mungkin juga menyukai