Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

KEWARISAN

Dosen Pengampu

DISUSUN OLEH KELOMPOK 9:

ZAKI BAHIR RAHMAR (10900122027)

RENI AYU ASTUTI (10900122010)

WAHYUDDIN (10900122021)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022/2023

BAB I

KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim,

Alhamdulillah, Puji beserta syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan Makalah
ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad saw. Makalah ini berisikan tentang penjelasan ” KEWARISAN”.
Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan yang dapat membawa kita semakin dekat
kepada Allah SWT. Sehingga kita semakin rajin dalam mempelajari bahasa Arab.
Akhir kata , kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir dan kepada para pembaca Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita, Amin.

BAB II
A. kewarisan anak dalam kandungan
Kedudukan anak dalam kandungan sebagai ahli waris dalam hukum positif yang berlaku di
Indonesia tidak dijumpai aturan yang jelas. Dalam KHI pasal 174 ayat (1) yang berbicara tentang
siapa-siapa yang berhak sebagai ahli waris, anak dalam kandungan tidak dijelaskan. Sedangkan
dalam beberapa literatur fiqh konvensional kedudukan anak dalam kandungan mendapatkan porsi
pembahasan dalam ilmu mawarist.m

Menjadi problem ketika terjadi kasus hukum seorang ibu yang telah mengandung
seorang anak, namun sebelum dilahirkan seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan
beberapa hartanya, kemudian kerabat suami meminta penetapan ahli waris (PAW) di Pengadilan
Agama, maka hal ini memicu kekosongan hukum dari kacamata hukum kontemporer, dan
sangat memungkinkan terjadi pandangan lain terhadap status hak waris anak dalam kandungan
dengan belum adanya jurisprudensi.

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif, dengan pendekatan Conseptual Approach Pendekatan ini beranjak dari
pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Penyerahan harta
warisankepada anak yang masih dalam kandungan ada 2 macam yaitu :

1.diserahkan ke ibu kandung anak yang masih ada di dalam kandungan

2.diserahkan ke wali apabila tidak ada yang bisa diberikan amanat atau tanggung jawab
mengenai warisannya.

Pada KUHPerdata dan Hukum Islam terdapat persamaan dan perbedaan, persamaannya
adalah anak yang ada di dalam kandungan tersebut harus sudah dipastikan ada pada saat pewaris
meninggal dunia sehingga dapat dikatakan telah dikategorikan ada dan yang kedua adalah apabila
anak tersebut terlahir dan meninggal dunia maka dia dianggap tidak ada dan warisannya tidak
diberikan. Akibat hukum bagi ahli waris yang lain apabila ada ahli waris yang masih ada didalam
kandungan ada dua akibat yaitu:

1. harta waris yang harus dibagikan sesuai jumlah ahli waris yang adapun pembagiannya
seperti yang diatur dalam hukum islam akan tetapi tetap harus mengetahui jenis
kelamin dari anak yang masih didalam kandungan agar dapat menentukan
pembagiannya itu.
2. berkurangnya bagian ahli waris yang lain karena adanya bagian untuk anak yang masih
ada didalam kandungan itu.

sama halnya dengan akibat yang pertama anak yang ada di dalam kandungan itu harus
diketahui dahulu jenis kelaminnya, bila belum diketahui maka dapat dicontohkan anak yang di dalam
kandungan adalah laki-laki sedangkan pembagiannya menunggu anak tersebut lahir.

B. anak zina

Pada tahun 2012 yang lalu, lembar sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia diwarnai oleh
suasana ketegangan, atas putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, menyangkut hak waris
anak luar perkawinan. Berdasarkan Putusan MK Nomor 46/PUUVIII/2010, bahwa Pasal 43 ayat (1)
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,”
bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut
Mahkamah Konstitusi Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Dengan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak anak luar perkawinan termasuk hak
anak biologis dalam hukum perkawinan dan hukum kewarisan memiliki kedudukan dan hak yang
sama sebagaimana anak sah (hasil perkawinan yang sah).

Putusan MK tersebut menimbulkan pertentangan norma hukum dan konsep terutama dengan
norma agama dan konsep hak waris yang berlaku di Indonesia. Menurut norma agama, anak luar
perkawinan termasuk anak zina tidak berhak atas harta waris, sebab secara normatif anak tersebut
tidak memiliki nasab yang diakui secara de jure. Sementara menurut MK, anak luar perkawinan
termasuk anak zina mendapatkan hak waris karena dianggap memiliki nasab terhadap ayah
biologisnya.

C. anak li’an

Seorang suami dapat mengingkari sahnya anak, sedangka istriya menyangkalnya, maka suami
dapat meneguhkanpengingkaranya dengan li'an sebagai mana tertuang dalam pasal 101 Kompilasi
Hukum Islam.

Dalam Undang-Undang N0 1 Tahun 1974 pasal 44 ayat 1 tentang perkawinan tidak


dijelaskan tentang li'an, tetapi dijelaskan tentang penginkaran anak.Perkara li'an hanya dapat
diajukan di pengadilan agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360
haarisesudah putusnya perkawinan atau suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak.

Kemudia apabila pengadilanagama telah memutus perceraian yang disebabakan adanya li'an
maka semenjak itu nasab anak itu tidak lagi dinasabkankepada ayahnya melainkan kepada ibunya.
Dalam harta warisanj uga anak li'an tidak mendapatkan harta warisan dari ayahnya maupun keluarga
ayahnya.

Anak li'an hanya mendapatkan harta warisan dari ibu dan kerabat ibunya saja.
Terhadapayah biologisnya anak li'an tidak mendapatkan harta warisannya. Anak li'an bisa
memperoleh harta benda ayah biologisnya dengan cara wasiat wajibah bukan menjadi ahli warisnya

D. anak hilang

Harta waris bisa dibagi ketika salah satu ahli waris hilang (mafqud) dengan asumsi bahwa
pembagian warisan telah dapat dilaksanakan di kalangan yang sudah jelas haknya sambil menunggu
kepastian selanjutnya dalam kemungkinan bagian yang paling kecil di antara beberapa kemungkinan
(mafqud hidup atau mati).

Berdasarkan pendapat jumhur, hak ahli waris yang hilang (mafqud) disisihkan dulu untuk
sementara. Terkait hal ini, pembagian warisan kepada mafqud hukumnya mauquf (ditangguhkan)
sampai keberadaannya diketahui secara meyakinkan. Mengenai kepastian matinya ahli waris hilang
tersebut tidak akan berpengaruh dalam bentuk menutup atau mengurangi hak ahli waris yang telah
ada, karena haknya sudah pasti.

Kemungkinan yang terjadi adalah menimbulkan hak baru atau menambah bagian yang telah
diterimanya. Penyelesaian perkara pembagian harta warisan ketika salah satu ahli waris ada yang
hilang (mafqud) ini merupakan kompetensi absolut pengadilan di lingkungan Peradilan Agama dalam
perkara kewarisan Islam yang dijumpai dalam penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006. Kepada pemerintah dan DPR, hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur hak
waris bagi ahli waris yang hilang (mafqud) menurut hukum waris Islam, baik dalam Al-Qur’an, Al-
Hadist, maupun dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Terkait itu, penulis menyarankan untuk pemerintah dan DPR agar membuat suatu peraturan
yang relevan tentang mafqud khususnya dalam penyelesaian perkara kewarisannya. Sehingga hal ini
dapat juga dijadikan sebagai acuan hakim dalam memutuskan perkara untuk memberi perlindungan
hukum bagi si mafqud. Keadaan mafqud seperti ini memang perlu diperhatikan, karena
bagaimanapun juga mafqud tersebut harus dipenuhi haknya.

E. Anak tiri

anak bawaan dari perkawinan terdapat akan mendapatkan warisan dari Ibu tirinya atau bapak
tirinya? Jadi perlu dipahami bahwa warisan akan timbul baik secara Hukum Waris Perdata maupun
dalam Hukum Waris Islam ada dua hal yaitu:

1. pewaris (yang mempunyai harta) telah meninggal dunia


2. adanya hubungan darah dengan pewaris kecuali suami/isteri

Suami atau isteri tidak ada hubungan darah tetapi dapat mewarisi apabila salah satunya
meninggal terlebih dahulu. Penjelasan selanjutnya sebagai berikut: Pembagian waris menurut Pasal
174 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang termasuk sebagai ahli waris adalah anak, ayah, ibu,
janda/duda “Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah,
ibu, janda atau duda”. Pasal 830 BW atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
prinsip pewarisan adalah : Harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila
terjadinya suatu kematian (Pasal 830 BW) Adanya hubungan darah diantara pewaris dan ahli waris,
kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris.

Bagaimana dengan anak tiri , anak tiri tentu tidak ada hubungan darah dengan ayah tirinya jika
anak tersebut adalah bawaan ibu, begitu juga anak tiri bawaan suami tidak mempunyai hubungan
darah dengan ibu tiri. Sesuai dengan ketentuan hukum waris maka anak tiri tidak mendapatkan hak
waris dari ayah tiri atau ibu tiri.

Misalnya ayah tirinya meninggak terlebih dahulu maka yang akan mendapatkan hak waris
adalah isterinya, anak bawaan suami, dan anak hasil perkawinannya dengan janda tersebut (jika ada
anak). Sedang anak bawaan ibu dari perkawinan terdahulu tidak bisa mendapatkan hak waris dari
harta ayah tirinya karena tidak mempunyai hubungan darah. Begitu juga apabila ibu tiri yang
meninggal terlebih dahulu maka yang akan mendapatkan warisan adalah suaminya, anak kandung
ibunya, dan anak dari hasil perkawinannya dengan duda tersebut (jika ada anak). Jadi dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tiri tidak bisa mendapatkan warisan dari bapak
tiri atau ibu tiri karena tidak ada hubungan darah.

F. Anak pungut/ anak angkat

Anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orangtua angkatnya namun ia berhak untuk
mendapatkan kasih sayang seperti anak kandung, mendapatkan nafkah, mendapatkan pendidikan
yang layak dan hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan kehidupan.

Dikarenakan tidak adanya hubungan darah antara anak angkat dengan orangtua angkatnya
maka anak angkat tidak bisa menjadi ahli waris harta warisan orang tua angkatnya sesuai dengan
pasal 174 Kompilasi Hukum Islam. Meskipun anak angkat bukan sebagai ahli waris, namun anak
angkat berhak atas bagian harta warisan orangtua angkatnya dengan mendapatkan bagian atas
dasar wasiat wajibah sebagaimana pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang besarnya tidak
lebih dari (satu per tiga) dari seluruh harta peninggalan orang tua angkatnya. Penelitian dengan
metode yuridis normatif ini memiliki tujuan untuk mengetahui hak anak angkat terhadap harta
warisan menurut hukum waris Islam di Indonesia. Seringkali terjadi sengketa antara ahli waris
dengan anak angkat terkait pembagian harta warisan orang tua angkat.
Penyelesaian sengketa waris Islam yang dimana para pihaknya beragama Islam diselesaikan di
Pengadilan Agama dikarenakan dalam pengambilan putusan Pengadilan Agama mengacu pada
hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam sehingga putusannya sesuai dengan hukum waris Islam.
Sedangkan Pengadilan Negeri menyelesaikan sengketa waris berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan hukum adat sehingga tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

G. Orang yg meninggal Bersama

Dalam ilmu faraidh, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian waris adalah
hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia. Dengan kata lain jika pada saat pewaris
meninggal, ada ahli waris yang terlebih dahulu meninggal sebelumnya, maka sejatinya dia bukan
ahli waris alias tidak mendapatkan hak waris darinya.

Akan tetapi beda halnya jika pada saat pewaris meninggal, ada ahli waris yang masih sempat
hidup, tapi sebelum harta warisannya dibagikan misalnya, ahli waris tersebut meninggal terlebih
dulu, maka dia masih berhak mendapatkan hak waris karena syarat pembagian warisnya
terpenuhi. Karena pada saat pewaris meninggal dunia, dia masih dalam keadaan hidup walau
pun tidak lama setelah itu, ahli waris tersebut ikut meninggal. Maka nantinya harta waris yang
menjadi haknya, akan dibagikan lagi kepada ahli warisnya yang masih hidup.

Nah, masalahnya adalah bagaimana jika ada kasus di mana satu keluarga meninggal secara
bersamaan dan tidak diketahui siapa yang terlebih dahulu meninggal. Misalnya satu keluarga
yang menjadi korban pesawat jatuh, tanah longsor, kapal tenggelam, gempa bumi dan
sebagainya.

Dalam pembahasan ilmu faraidh kasus seperti ini dikenal dengan istilah al-gharqa wa al-hadma.
Al-gharqa artinya orang yang tenggelam, al-hadma artinya orang yang terkena reruntuhan
bangunan dan semisalnya. Ada 3 pembagiannya yaitu :

1. jika dapat dipastikan semuanya meninggal secara bersamaan, maka para ulama sepakat
bahwa antara satu dengan lainnya tidak saling mewarisi. Karena salah satu syarat pembagian
warisnya tidak terpenuhi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat pewaris meninggal dunia.
2. jika diketahui dengan pasti siapa yang meninggal lebih dulu dan siapa yang meninggal
belakangan, maka para ulama sepakat bahwa yang meninggal belakangan mewarisi harta
dari yang meninggal lebih dulu.
3. jika tidak bisa diketahui dengan pasti apakah semuanya meninggal secara bersamaan atau
apakah sebagian ada yang meninggal lebih dulu dan sebagian ada yang meninggal
belakangan.

Ada pendapat lain mengatakan jika ada beberapa anggota keluarga misalnya suami istri yang
mengalami kecelakaan pesawat, dan tidak dapat dipastikan apakah keduanya meninggal secara
bersamaan atau tidak, maka dalam kasus seperti ini suami istri tersebut tetap saling mewarisi
satu sama lain.

BAB III

A. KESIMPULAN
1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa

yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing,

Dari definisi hukum kewarisan menurut KHI ini, dapat kita simpulkan

bahwa hukum kewarisan merupakan aturan-aturan tentang bagaimana

kepemilikan harta peninggalan di bagikan kepada orang-orang yang

berhak atas pembagian itu,serta ketentuan-ketentuan yang mengatur

berapa saja bagian tiap-tiap mereka yang berhak atas harta peniggalan itu.

2. Seorang khunsa dapat mempunyai kedudukan yang sah untuk menjadi ahli

waris berdasarkan kelamin baru apabila telah diperoleh putusan yang sah,

karena telah dilalui proses penanganan secara medis terhadap seorang

khunsa tersebut dan telah melalui proses hukum hukum yang sah maka

seorang khunsa tersebut mengikuti status hukum yang baru apabila terjadi

perubahan status dari yang awalnya misalkan berjenis kelamin wanita

menajadi berjenis kelamin pria, hal ini tidak bertentangan dengan FATWA

MUI dalam MUNAS No. 3 Tahun 2010, dimana penulis menyimpulkan

seorang khunsa dapat tergolong golongan yang sah melakukan operasi

jenis kelamin karena berkelamin ganda, dan statusnya mengikuti jenis

kelamin yang baru setelah dilakukan operasi ataupun sesuai putusan yang

berlaku.

3. Upaya hukum yang dapat dialkukan seorang khunsa untuk memperoleh

kepastian hukum adalah melalui proses pengajuan perubahan data atas

status barunya apabila seorang khunsa telah melakukan operasi pada

kelaminnya/ melakukan pembuangan salah satu kelamin, dengan bukti

secara medis yang sah maka orang tersebut dapat mengajukan perubahan

statusnya ke pengadilan untuk merubah status kependudukan dengan jenis

kelamin yang baru dengan dasar perubahan data tersebut termasuk ke

dalam peristiwa penting menurut UU AMINDUK, meskipun tikdak

terdapat UU yang secara khusus mengatur mengenai seorang khunsa

pengadilan tetap harus menerima kasus tersebut karena menurut UU No.

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak boleh


menolak suatu perkara meskiipun tidak ada UU yang mengaturnya

B. SARAN

1. Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering

menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk

mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah

pembagian waris sesuai dengan hukum Islam

2. Sebaiknya Pemerintah membuat UU yang secara khusus mengatur

mengenai kewarisan menurut Hukum Islam termasuk kasus-kasus yang

ada dalam ruanglingkup kewarisan seperti kasus seorang khunsa,

transeksual, anak luar kawin dan lain-lain, agar terdapat kepastian yang

tidak membingungkan masyarakat.

3. Sebagai masayarakat yang hidup di zaman modern, sebaiknya masyarakat

lebih menggali informasi dengan mengikuti perkembangan zaman karena

pentingnya masalah seperti warisan, informasi yang di dapatkan

masyarakat bisa bermanfaat bagi orang lain seperti informasi mengenai

upaya seperti apa apabila seorang khunsa ingin mendapatkan kejelasan

status kewarisannya.

Anda mungkin juga menyukai