Anda di halaman 1dari 20

HUKUM WARIS

Perwarisan Terhadap Anak Di Luar Kawin


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Dosen :

Karmila, S.H.,M.H.

Di Susun Oleh :
NAMA : ABDUR RAHMAN

STAMBUK : 216 601 005

FAKULTAS : HUKUM

UNIVERSITAS LAKIDENDE
UNAAHA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan adanya suatu keluarga, hal inilah
yang mendorong manusia untuk selalu ingin hidup bersama dalam suatu keluarga melalui
ikatan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP) ditegaskan bahwa perkawinan ialah : “ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang
tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah membenihkan
anak di rahimnya, anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna dimata hukum
seperti anak sah pada umumnya. Dengan kata lain anak tidak sah adalah anak yang tidak
dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. Sedangkan pengertian luar kawin
adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan
sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan Perkawinan yang sah menurut hukum
positif dan peraturan didalam agama yang diyakininya.
Terkait dengan hak keperdataan anak dengan adanya pengakuan, maka timbulah
hubungan perdata antara anak dan bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur
dalam pasal 280 Kitab Undang Undang Hukum Perdata akan tetapi jika tidak ada pengakuan
oleh seorang ayah terkait dengan tidak adanya hubungan pernikahan yang sah, menyangkut
anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya sesuai dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam
Pasal 43 ayat 1 dikatakan
“Anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Bermula keluar Putusan Nomor 46 Tahun 2010 menetapkan ketentuan baru dari
permohonan uji materi ketentuan pasal 2 ayat 2 menyatakan setiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pasal 43 ayat 1 Undang-
undang No 1 Tahun 1974 UU Perkawinan yang diajukan oleh pemohon Hj.Aisyah
Mochtar dan Mohammad Iqbal Ramadhan, mereka memohon dalam permohonannya
menyatakan bahwa mereka telah dirugikan oleh kedua pasal tersebut di atas serta
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi status perkawinan.
Hukum keluarga yang tidak hanya menyangkut persoalan antara suami dan isteri,
namun juga menyangkut status keperdataan anak yang dilahirkan dari suatu hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Pengaturan anak luar kawin dalam UU Perkawinan termasuk agak
rancu karena statusnya sebagai anak luar kawin, maka sesungguhnya disitu tidak ada
tindakan perkawinan yang mendahului kelahiran anak tersebut.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka Penulis
dapat rumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Perlindungan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Mendapatkan Hak


Waris Pasca Keluarnya Putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010
2. Mengetahui bagaimana Pengaturan Hukum Waris Di Indonesia Sebelum
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010.

C. Tujuan Penulisan.
Tujuan dari penulisan Makalah ini terbagi menjadi dua tujuan yakni tujuan Umum
dan tujuan Khusus.
a. Tujuan Umum (Het Doel Van Hot Onderzoek).
Secara umum Penulisan Makalah yang dikemukakan diatas adalah bertujuan untuk
menambah kasanah pengetahuan dibidang ilmu hukum khususnya Hukum Waris tentang
Pewarisan Anak Di Luar Kawin.
b. Tujuan Khusus (Net Doel In Net Onderzoek).
Mengenai tujuan khusus Makalah ini beranjak dari permasalahan yang dikaji adalah :
Untuk mengetahui Bagaimana Hukum Waris, anak luar kawin berhak mendapat perlindungan
hukum dan kepastian hukum terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak- hak
yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinan orang tuanya masih disengketakan.
BAB II
PEMBAHASAN

Contoh Kasus
Anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak sah disebut dengan istilah anak tidak sah
atau anak luar perkawinan. Konsekwensi normatif, terminologi anak tidak sah atau anak luar
kawin membawa akibat hukum terhadap pengakuan hak konstitusional anak dan sebaliknya.
Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar perkawinan
tidak memperoleh hak-hak konstitusional sebagai warga negara yang menganut prinsip
Negara hukum. Secara konstitusional, hal tersebut telah merugikan hak anak terutama
dibidang kewarisan.
Kemudian di ajukan Permohonan Pengujian Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) UU
Perkawinan ini efek dari perceraian pedangdut Machica Mochtar dan Moerdiono, mantan
Mensesneg era (alm) Presiden Soeharto. Machica dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun
1993 yang dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu,
Moerdiono masih terikat perkawinan dengan istrinya. Lantaran UU Perkawinan menganut
asas monogami mengakibatkan perkawinan Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan
KUA.
Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut hukum (negara) dan
anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya. Setelah bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak
pula membiayai hidup Iqbal sejak berusia 2 tahun. Iqbal juga kesulitan dalam pembuatan akta
kelahiran lantaran tak ada buku nikah.
Atas dasar pemikiran tersebut, Putusan MK tidak hanya berakibat terhadap reposisi
keberpihakan hak kewarisan anak, tetapi berakibat pula dalam menjamin dan melindungi
hak-hak anak lainnya seperti hak memperoleh nafkah, hak perwalian, dan hak alimentasi dari
ayah biologis. Oleh karena itu, meskipun transformasi prinsip persamaan dan keadilan dalam
Putusan MK sesuai dengan prinsip universalitas dan keadilan fitrah, kontekstualisasi Putusan
MK yang melebihi tuntutan pihak pemohon (Aisyah Mokhtar dan Muhammad Iqbal) harus
tetap dibatasi hanya berakibat hukum dalam perkara waris dan dalam konteks anak luar
kawin sebagai hasil perkawinan sirih dalam perspektif formalisme hukum.
A. Perlindungan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Mendapatkan Hak waris
Pasca Keluarnya Putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010

Perlindungan anak luar kawin dalam hal ini mencakup perlindungan secara Yuridis.
Sebelum keluarnya putusan Mahakamah Konstitusi terhadap anak diluar kawin menurut
Undang Undang Perkawinan Pasal 43 ayat 1 anak luar kawin hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, jadi Pasca adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi memberikan perlindungan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara
dan secara otomatis tidak tercantum nama ayahnya diakta kelahiran dan tentu berimplikasi
tidak mendapatkan “hak waris” dengan tidak tercantumkanya nama ayah tentu akan
merugikan anaknya tersebut.
Terhadap pembuktian ayah anak diluar kawin dalam Kitab Undang Undang Hukum
Perdata yang melarang menyelidiki siapa ayah biologisnya dengan tes DNA dapat
dimungkinkan dengan memintakan penetapan pengadilan untuk menyelidiki anak luar kawin
tersebut akan tetapi jika dikemudian hari ternyata pembuktian tersebut tidak tepat maka
terhadap anak atau ibu yang menyelidiki ayah si anak luar kawin harus bersedia untuk
dituntut balik atas perbuatan pencemaran nama baik.
Pembuktian siapa ayah biologis oleh seorang anak dilarang oleh Kitab Undang
Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 287 berbunyi “menyelidiki soal siapakah bapak
seorang anak adalah terlarang” yang dapat diartikan bahwa melalui suatu keputusan
Pengadilan tidak bisa ditetapkan siapa ayah seorang anak.
Namun J Satrio menjelaskan pendapatnya bahwa lahirnya Pasal tersebut
kemungkinan berangkat dari kenyataan bahwa pada saat itu belum ada teknik atau ilmu
kedokteran yang dapat digunakan sebagai patokan pasti untuk menentukan seorang anak
adalah keturunan dari laki-laki tertentu. Sehingga untuk menyelidiki siapa ayah biologis
seorang anak tidak mungkin. Akan tetapi mengingat perkembangan Ilmu Kedokteran
mengenai DNA yang sudah begitu maju sudah sepantasnya pasal 287 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata disimpangi karena sekarang untuk membuktikan siapa ayah dari
seorang anak menjadi sangat mudah.
Terhadap anak zina juga demikian, oleh hukum islam dikatakan anak luar kawin
tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya dan memang itu tidak
diperbolehkan dalam Kompilasi hukum Islam.
Disini cenderung bertolak belakang dengan Putusan MK yang menyatakan anak luar kawin
memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.
Akan tetapi menurut Hakim Akil, hanya merupakan aturan hukum yang bersifat
umum (lex generalis) dalam mengatur status dan kedudukan anak. Sementara itu, ada aturan
lain yang sifatnya lebih khusus (lex specialis) seperti KUHPerdata dan UU Peradilan
Agama yang dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam.“Putusan MK dan UU
Perkawinan hanya bersifat umum. Lebih khusus diserahkan kepada aturan yang sifatnya
lebih khusus,” ujar Akil. Ia mencontohkan bagi yang tunduk pada hukum Islam maka tetap
harus tunduk pada aturan Islam. Yaitu anak luar kawin (hasil zina) tidak memiliki
nasab dengan ayah biologisnya dan tidak menjadi ahli waris. “Akan tetapi, lelaki yang
menjadi bapaknya dapat dikenakan hukuman (ta’zir) untuk memberikan kebutuhan hidup
si anak dan memberikan hartanya bila dia meninggal melalui wasiat wajibah,” lanjut
Akil.
Akan tetapi kembali lagi bahwa penjelasan Hakim Konstitusi Akil Mochtar tidak
dapat dijadikan suatu pegangan perlindungan hukum yang mengatakan aturan islam
dijadikan sebagai lex specialis, Putusan MK dijadikan lex generalis sebab bagaimana
pun harus ada Peraturan Pelaksana. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan
mengabulkan sebagian permohonan p a r a pemohon dan Pasal 2 ayat 2 Undang-
undang Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk
mencapai tertib administrasi.
Putusan MK dinilai tepat yang kemudian berpengaruh terhadap akta pengakuan, akta
pengesahan dan akta kelahiran terhadap anak diluar kawin yang juga dengan demikian
harus memiliki bukti otentik yakni berupa Akta. Karena saat Perkawinan dilaksanakan
akan tetapi tidak dicatatkan, menurut Undang Undang Perkawinan, Perkawinan yang
dilakukan menurut hukum masing masing agamanya tetap menjadi perkawinan yang sah
akan tetapi dari segi pembuktian secara hukum tidak ada dengan demikian akan berimbas
kepada status anak dan status ibu kandung, karena status anak dalam hal ini bisa menjadi
anak diluar kawin yang tentu berpengaruh terhadap hubungan keperdataan dengan ayah
biologisnya oleh karena itu pentingnya pencatatan tertib administrasi dengan menerbitkan
buku nikah demikian juga jika status tidak ada hubungan perkawinan maka menyangkut
status anak juga harus melalui prosedur administratif.
Jika anak tersebut hendak membuktikan ayah biologisnya, atau ayah
biologisnya mengakui anaknya secara sukarela atau ayah dan ibu kandungnya
melangsungkan perkawinan setelah itu mencatatkan status anaknya ke buku nikah menjadi
anak sah. Dalam rangkaian tersebut tentunya prosedur hukum administratif perlu dilakukan
untuk menjamin kepastian hukum kepada status keperdataan seorang anak.
Jika Warisan telah terbuka dan dibagi sebelum terbitnya Putusan MK Nomor
46, maka pembagian tersebut sudah sah dan benar menurut Undang undang yang
berlaku saat itu sebab seperti yang diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 874 yang menyatakan bahwa segala harta peninggalan yang meninggal dunia
adalah kepunyaan sekalian ahli waris menurut undang-undang dengan demikian secara
otomatis warisan akan dibuka pada waktu itu dan dibagi kepada orang yang masih
hidup dan memiliki hubungan darah dan wasiat yang telah diambil sebagai sesuatu
ketetapan yang sah.
Cara menghitung besar bagian mutlak harus memperhatikan ketentuan Pasal 916 a
KUH Perdata. Menurut ketentuan Pasal tersebut, dalam hal ada ahli waris mutlak dan ahli
waris tidak mutlak, penghibaan harus tidak melanggar bagian mutlak yang ditentukan.
Penentuan bagian mutlak itu tanpa memperhitungkan adannya ahli waris tidak mutlak. Anak
luar kawin masuk kategori ahli waris mutlak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 selama anak luar kawin tersebut mendapatkan pengakuan dari
ayah biologisnya atau telah melewati upaya hukum di pengadilan. Dan apabila penghibaan
itu melebihi jumlah bagian mutlak yang ditentukan tanpa memperhitungkan ahli waris
tidak mutlak, kelebihannya dapat dituntut kembali oleh ahli waris mutlak.
Menurut penjelasan Prof. Ali Afandi, maksud ketentuan Pasal 916 a KUH Perdata
adalah supaya ahli waris tidak mutlak mendapat perlindungan dari ahli waris mutlak.
Tujuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk menegaskan bahwa
anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Menurut pertimbangan
Mahkamah Konstitusi, hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian hukum
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak- hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinan orang tuanya masih
disengketakan.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak merubah status anak luar kawin
menjadi anak sah, sekalipun Putusan Mahkamah Konstitusi itu menyatakan adanya
hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan bapaknya serta keluarga ibu
dan bapaknya. Kedudukan anak luar kawin berbeda dengan anak sah, karena kedudukan
ini akan berimplikasi pada pewarisan yakni adanya perbedaan bagian pewarisan anak luar
kawin dan anak sah. Terkait dengan pewarisan ini, di Indonesia belum ada unifikasi di
bidang hukum waris, yakni masih berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH
Perdata, Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam yang dituangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam, yang dipakai pedoman pembagian warisan bagi mereka yang beragama
Islam. Pluralisme hukum ini terjadi karena adanya berbagai garis kekeluargaan, yakni
Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.

B. Pengaturan Hukum Waris Di Indonesia Sebelum Keluarnya Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010.

1. Pewarisan Menurut KUH Perdata

Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu ahli waris
menurut ketentuan undang-undang dan karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamen). Cara
yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang- undang atau “ab intestato”,
sedangkan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”. Menurut Prof. Ali
Afandi mewaris dengan cara ab intestato (tanpa wasiat) disebut juga hukum waris “by
ver sterf” (berhubung dengan meninggalnya seseorang). Artiya waris terjadi demi
hukum karena undang-undang menentukan.

Prof. Ali Afandi, S.H., dalam bukunya “Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum
Pembuktian” (hal. 40) menyebutkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) mengadakan 3 penggolongan terhadap anak-anak:

a. Anak sah, yaitu seorang anak yang lahir di dalam suatu perkawinan;
b. Anak yang lahir di luar perkawinan, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang
ibu. Di dalam hal ini antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian
kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui anak
itu saja. Jadinya, keluarga lain dari orang yang mengakui itu, tidak terikat oleh
pengakuan orang lain. Anak dari golongan ini, jika ayah dan ibunya kawin, lalu
menjadi anak sah;
c. Anak lahir di luar perkawinan, dan tidak diakui, tidak oleh ayah maupun oleh ibunya.
Anak ini menurut hukum tidak punya ayah dan tidak punya ibu. Terhadap anak di luar
kawin yang tidak diakui, karena tidak mempunyai keluarga maka juga tidak ada
ketentuan tentang hukum warisnya.

Hak mewaris anak di luar perkawinan berdasarkan asas perkawinan monogami yang
dianut oleh BW (Burgerlijke Wetboek) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 dan
asas pengakuan mutlak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 BW (Burgerlijke
Wetboek). Sehingga BW menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak luar
kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya. Pengakuan dari kedua
orang tua biologisnya. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas
adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang
diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah.
Berdasarkan Pasal 280 KUH Perdata, dengan melakukan perbuatan pengakuan
terhadap anak luar kawin, timbul hubungan perdata antara bapak dengan anak
tersebut. Pengakuan dapat dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan
harus dicatat dalam jihat akta kelahiran si anak (Pasal 281 ayat (2) KUH Perdata).
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa BW menganut suatu asas bahwa anak
luar kawin baru mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya, setelah orang tuanya
mengakui anak tersebut. Asas tersebut dapat disimpulkan Pasal 280, 282, ayat 2, 285,
286 BW. Asas ini jelas berbeda dengan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Islam dan
Hukum Adat.
Menurut asas yang berlaku dalam hukum Islam dan hukum adat anak luar
kawin otomatis mempunyai hubungan dengan ibunya, tanpa perlu adanya pengakuan dari
si ibu. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menganut asas yang berlainan dengan BW yakni seorang anak mempunyai
hubungan hukum langsung dengan ibu kandungnya.
Hubungan darah dengan ayahnya baru ada, setelah anak luar kawin tersebut
diakui, karena masih menjadi persoalan apakah pengakuan merupakan bukti adanya
hubungan darah, ataukah ia merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan
kekeluargaan? Kedua ketentuan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi yang berbeda.
Apabila diterima ketentuan mengenai keharusan adanya pengakuan dan bahwa pengakuan
tersebut adalah merupakan bukti adanya hubungan hukum, maka di sini diterima suatu
pendapat bahwa hubungan hukum itu sendiri sebenarnya sudah ada, hanya belum dapat
dibuktikan, dan untuk itu perlu adanya pengakuan. Jadi di sini pengakuan
mempunyai sifat declaratief, dan yang demikian asasnya berlaku mundur, yaitu
mundur sampai pada saat dilahirkannya si anak luar kawin.
Apabila kita mengikuti pendapat yang kedua, yaitu bahwa pengakuan merupakan
perbuatan hukum, maka pengakuan tersebut merupakan unsur constitutief, artinya
perbuatan tersebut menimbulkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada, yaitu
hubungan hukum antara anak luar kawin dan orang tua yang mengakui.
Persoalan yang pernah muncul dalam hubungannya dengan pendapat tersebut
adalah apakah orang dapat mengakui orang lain yang lebih tua sebagai anaknya?
Apabila kita mengikuti pendapat pertama yang menyatakan bahwa pengakuan hanya
bersifat declaratief saja, maka peristiwa seperti tersebut di atas tidak mungkin terjadi,
karena pengakuan di sini adalah pernyataan mengenai peristiwa yang benar-benar
terjadi, jadi sudah ada peristiwanya. Dengan lain perkataan seorang anak tidak dapat
diakui oleh orang lain selain daripada bapaknya (dulu juga ibunya).
Pengakuan oleh orang tua di Indonesia, selain daripada orang yang sungguh-
sungguh bapaknya tidak boleh. Anak-anak yang diakui secara sah mempunyai hubungan
hukum dengan orang tua yang mengakuinya. Hal ini berarti bahwa hubungan antara
orang tua yang mengakui dengan anak yang diakui diatur oleh hukum.
Beberapa uraian di atas dapat ditarik suatu prinsip hukum bahwa hubungan hukum
antara anak luar kawin dengan ayah/ibu yang mengakuinya bersifat terbatas, dalam arti
hubungan tersebut hanya ada antara si anak luar kawin dengan ayah/ibu yang
mengakui saja, tidak sampai meliputi hubungan hukum dengan anggota keluarga yang lain
(dari ayah/ibunya yang mengakui).
Bagi anggota keluarga yang lain, si anak luar kawin adalah orang lain,
karenanya mereka tidak mempunyai hak waris atas warisan keluarga sedarah
ayah/ibu yang mengakui (Pasal 872 BW). Terhadap asas tersebut ada kekecualiannya,
yaitu dalam hal anggota keluarga sedarah sah dari ayah/ibu yang mengakui meninggal
tanpa meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang masih memberikan hak kepada
mereka untuk mewaris dan juga tidak meninggalkan suami/isteri maka anak luar kawin,
dengan mendahului Negara, maka berhak untuk menarik seluruh warisan bagi mereka
(Pasal 873 BW)
2. Pewarisan Menurut Hukum Islam

Anak yang lahir dari perkawinan siri ini masih menjadi perdebatan yang cukup
panjang. Menurut Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyebutkan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu.”
Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama
atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
2 ayat (2) UUP yang menyatakan
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan:
a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat.
b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-
Undang No. 32 Tahun 1954.

Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya
memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan
bahwa
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”,
Dan Pasal 43 ayat (1) UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan
dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga
dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang
berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya
(Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan
antara kedua orang tuanya.
Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh
Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari
pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum
antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin
tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak
luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan
hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari
ayah kandungnya (walaupun secara tekhnologi dapat dibuktikan). Pendapat ini juga
dikuatkan oleh Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tanggal 10 Maret 2012 yang
menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas wasiat wajibah.

3. Pewarisan Menurut Hukum Adat

Dalam masyarakat Indonesia banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan di
luar perkawinan. Apabila terdapat wanita yang melahirkan anak luar kawin dalam hukum
adat maka akan dilakukan kawin paksa. Kedudukan anak luar kawin terhadap harta warisan
ayah biologisnya dalam sistem keturunan patrilineal dan matrilineal pada dasarnya hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja sedangkan dalam sistem parental
keududukan anak luar kawin sama dengan anak sah dan berhak atas harta warisan dari ayah
biologisnya namun pembagian harta warisan tersebut berdasarkan pada asas
parimirma dengan dasar welas asih dan kerelaan.
Terdapat pula beberapa Yurispudensi Mahkamah Agung yang menyatakan
bahwa anak luar kawin kedudukannya dipersamakan dengan anak sah dan berhak atas
harta warisan dari orang tuanya dengan jumlah pembagian yang sama, apabila anak luar
kawin tidak bersama dengan anak sah maka anak luar kawin tersebut mendapatkan
hak atas seluruh harta warisan orang tuanya dan adapula keputusan yang mengatakan
bahwa anak luar kawin berhak atas harta warisan dari ayah biologisnya namun hanya
sebatas harta gono-
gini saja.
Menurut hukum adat, pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan
saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Pengertian hukum waris adat
menurut R. Soepomo adalah :“hukum waris adat memuat peraturan - peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang- barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari satu angkatan
manusia (generatie) kepada keturunannya” (Soepomo: 1993:72).
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas
Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya
terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila
dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah
kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan,
keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Secara teoritis sistem keturunan itu dapat di bedakan d alam tiga cora k, yaitu:
a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam
pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara,
Irian),
b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di
dalam pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor),
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan
pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur,
Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain) (Soerojo Wignyodipoero: 1994:
109).

Ahli waris dalam konsep hukum adat yang terpenting adalah anak kandung sendiri.
Dengan adanya anak kandung ini maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutup
untuk menjadi ahli waris. Dalam masyarakat hukum adat khususnya dalam hal pewarisan
terhadap anak luar kawin masing-masing di setiap daerah mempunyai peraturan
tersendiri.
Mengenai pembagiannya menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember
1961 Reg. No. 179 K/Sip/61, anak perempuan dan anak laki- laki dari seorang peninggal
warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah
sama dengan anak perempuan.
Hukum waris adat sangat dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang bersifat
susunan unilateral, yaitu matrilineal dan patrilineal. Kedudukan anak luar kawin dalam
kekerabatan yang patrilineal berbeda dengan anak sah. Anak luar kawin dalam kekerabatan
yang patrilineal hanya berhak mewaris dari harta peninggalan ibunya saja.
Beberapa Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung mengenai kedudukan anak
luar kawin menurut hukum adat tersebut, antara lain seperti yang terdapat
pada Yurisprudensi Mahkamah Agung, sebagai berikut
Nomor 179/K/SIP/1960 tanggal 23 Oktober 1961: Berdasarkan rasa kemanusiaan
dan keadilan umum juga, atas hakikat persamaan hak antara anak sah dan anak luar kawin,
dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di
Indonesia, bahwa anak- anak luar kawin dan anak -anak sah dari seorang peninggal harta
(pewaris), bersama-sama berhak atas harta warisan, dengan kata lain bagian seorang anak
-anak sah adalah sama dengan bagian seorang anak- anak luar kawin.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 415/K/SIP/1970 tanggal 30 Juni
1971 : Hukum adat di daerah Padang, Sumatera Utara, tentang kedudukan anak (anak sah
dan anak luar kawin) terhadap warisan orang tua. Di daerah Tapanuli pemberian dan
penyerahan kepada seorang anak-anak luar kawin merupakan “serah lepas” (Sri Wahyuni
:
2006: 61-62).
Putusan Makamah Agung tanggal 18 Maret 1959, yang menyatakan menurut
hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak luar kawin hanya diperkenankan mewaris
harta gono gini (harta bersama dari keluarga bapak biologisnya, sedangkan harta pusaka
(barang asal) anak luar kawin tidak berhak mewarisinya,
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1037/K/SIP/1971 tanggal 31 Juli
1973 menjelaskan hukum adat di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tentang kedudukan
anak-anak luar kawin terhadap warisan orangtuanya, dalam hal ini pewaris yang telah
meninggal dengan meninggalkan seorang anak-anak luar kawin, maka anak-anak luar
kawin inilah yang merupakan satu-satunya ahli warisnya dan yang berhak atas harta yang
ditinggalkannya (Sri Wahyuni : 2006:63).
Putusan Makamah Agung tanggal 18 Maret 1959, yang menyatakan menurut
hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak luar kawin hanya diperkenankan mewaris
harta gono gini (harta bersama dari keluarga bapak biologisnya, sedangkan harta
pusaka (barang asal) anak luar kawin tidak berhak mewarisinya (Sri Wahyuni : 2006: 53).
Dari beberapa keputusan tersebut dapat dikatakan bahwa anak luar kawin
kedudukannya dipersamakan dengan anak sah dan berhak atas mewaris harta warisan dari
orang tuanya dengan jumlah pembagian yang sama. Apabila anak luar kawin tidak bersama
dengan anak sah maka anak luar kawin tersebut dapat mewaris seluruh harta warisan orang
tuanya dan adapula keputusan yang mengatakan bahwa anak luar kawin berhak atas harta
warisan dari ayah biologisnya namun hanya sebatas harta gono-gininya saja tanpa
mewaris harta pusaka (barang asal) yang ditinggalkan oleh ayah biologisnya.
Yurispudensi Mahkamah Agung ini dapat digunakan selama pihak-pihak yang
bersengketa tidak merasa dirugikan, namun apabila pihak-pihak yang bersengketa merasa
dirugikan maka hakim dapat menggunakan jalan musyawarah dan kembali kepada
pengaturan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak
mendapat perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap status seorang anak yang
dilahirkan dan hak- hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinan orang tuanya masih disengketakan. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut tidak merubah status anak luar kawin menjadi anak sah, sekalipun
Putusan Mahkamah Konstitusi itu menyatakan adanya hubungan perdata antara anak luar
kawin dengan ibu dan bapaknya serta keluarga ibu dan bapaknya. Kedudukan anak luar
kawin berbeda dengan anak sah, karena kedudukan ini akan berimplikasi pada pewarisan
yakni adanya perbedaan bagian pewarisan anak luar kawin dan anak sah.
Hukum waris di indonesia mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas,
yang berbeda dari hukum Islam, hukum barat dan hukum adat. Sebab perbedaannya
terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila
dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah
kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan,
keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Terkait dengan pewarisan ini, di Indonesia belum ada unifikasi di bidang hukum
waris, yakni masih berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata, Hukum
Waris Adat dan Hukum Waris Islam yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang
dipakai pedoman pembagian warisan bagi mereka yang beragama Islam. Pluralisme
hukum ini terjadi karena adanya berbagai garis kekeluargaan, yakni Patrilineal, Matrilineal,
dan Parental.

B. Saran

Perubahan pada Undang-Undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan


menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar
pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya yang selama ini tidak diakui
negara. Uji materi ini diajukan oleh Machica Mochtar, istri siri Menteri Sekretaris Negara era
Orde Baru Moerdiono, yang hak anaknya tidak diakui karena status perkawinan bawah
tangan. Dalam putusannya MK menyatakan, bapak dari anak bersangkutan tetap harus
bertanggung jawab secara hukum, terlepas dari soal prosedur atau administrasi
perkawinannya.

Sementara itu putusan ini juga di apresiasi oleh kalangan aktifis perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nur Herwati mengatakan putusan ini berdampak
signiifikan mengingat praktek perkawinan bawah tangan di Indonesia masih tinggi dan
terjadi di semua lapisan masyarakat tak terkecuali kalangan berpendidikan tinggi.

Namun ia meminta pemerintah cermat dalam mengatur aturan baru hasil putusan ini
karena menurutnya keputusan ini tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan dampak
penolakan oleh sejumlah pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca keluarnya

Putusan MK tentang uji materi UU perkawinan, Prestasi Pustaka, Jakarta , 2012

Undang Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, Pasal 43

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang Citra

Aditya Bakti, 2000.

Hartanto, J. Andi. “Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut

KitabUndang-Undang Hukum Perdata, Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2008”

Soepomo. 1993. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita

Soerojo,Wignyodipoero. 1994. Pengantar dan Asas- asas Hukum Adat. Jakarta :

Haji

Masagung

Sujana, I Nyoman. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomo 46/PUU-VIII/2010, Yogyakarta, Aswaja

Pressindo, 2015

Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris BW (Burgerlijk Wetboek) Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1983

Jurnal

Loho Stevi. (2017). “Hak Waris Anak Di Luar Perkawinan Sah Berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nmor 46/Puu-Viii-2010” Lex Crimen Vol. Vi/No. 3/Mei/2017

Saus, Fahmi. “Akibat Hukum Hak Mewaris Anak Di Luar Perkawinan Ditinjau Dari Kitab

Undang- Undang Hukum Perdata” Lex Privatum, Vol. Iii/No. 4/Okt/2015

Satriya Putra, Lucy Pradita. “Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat Dan

Yurispudensi Mahkamah Agung” Jurnal Repertorium, Issn:2355-2646, Edisi 3


Januari-Juni 2015. Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret. E-Mail :Lukikiki@Yahoo.Com

Diktat

Kho Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I : Hukum Keluarga (diktat lengkap), Universitas

Diponegoro, Semarang, 1982, hal. 401, 402.

Pratiknyo, Hartono Soeryo. Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat FH UGM

Tesis

S ri Wah yu ni. 20 06 . “K edu du ka n Ana k L uar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat Di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali.” Tesis Megister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Internet

Apakah Anak Hasil Perkawinan Siri Berhak Mewaris.

“http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ff514fbcefcd/apakah-anak-hasil-

perkawinan-siri-berhak-mewaris. (04 Mei 2018)

Dampak putusan Mahkamah Konstitusi terhadap anak-anak hasil nikah siri.

http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/dampak-putusan-

mahkamah-konstitusi-terhadap-anakanak-hasil-nikah-siri. (06 Mei 2018)

Hak Waris Anak Luar Kawin. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl373/hak-waris-

anak-luar-kawin.(04 Mei 2018)

Muhammad, Bahruddin. (2013) “Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/Puuviii/2010 Terhadap Pembagian Hak Waris Anak Luar Perkawinan“

https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/18859-akibat-hukum-putusan-

mahkamah-konstitusi-nomor-46puuviii-2010-terhadap-pembagian-hak-waris-anak-

luar-perkawinan--oleh-dr-h-bahruddin-muhammad-1712.html. (04 Mei 2018)


Putusan MK Berpengaruh pada Hukum Waris.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f41e31435676/putusan-mk-

berpengaruh-pada-hukum-waris-. (04 Mei 2018)

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang anak luar kawin diakses dari media

internet,http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-

konstitusi-tentang- status-anak-luar-kawin/ diakses pada tanggal 26 Maret 2015

Putusan Mk tak bermanfaat untuk anak luar kawin diakses dari media internet

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f7475cd1eb4d/putusan -mk

takbermanfaat-untukanak-luar-kawin diakses pada tanggal 25 Maret 2015

Anda mungkin juga menyukai