Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan

watak masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur

kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karena

itu dibentuklah berbagai peraturan hukum yang mengatur berbagai hal yang

terjadi sepanjang kehidupan manusia yaitu sejak lahir hingga kemudian kematian

merenggutnya. Mengeni hal ini secara eksplisit terdapat dalam penjelasan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang sistem pemerintahan negara butir

1 (Pertama). Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti

bahwa segala sesuatu harus berdasarkan pada hukum yang berlaku di negara RI.

Tuhan menciptakan manusia ini saling berpasang-pasangan dengan tujuan

agar manusia itu sendiri merasa tenteram dan nyaman serta untuk mendapatkan

keturunan demi kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia

membentuk sebuah lembaga perkawinan. Di Indonesia sendiri perkawinan adalah

sesuatu hal yang sakral dan agung. Perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang ini telah menetapkan bahwa suatu perkawinan itu adalah

suatu dasar dimana akan memberikan kejelasan status dan kedudukan anak yang

1
dilahirkan. Dan pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa telah mengesahkan hak-hak anak. Didalam Mukadimah deklarasi

ini tersirat antara lain bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang

terbaik buat anak-anak yang telah mereka lahirkan secar garis besar, deklarasi

memuat asas tentang hak-hak anak yaitu hakuntuk memperoleh perlindungan

khusus, kesempatan, dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang

secara sehat dan wajar dalam keadaan jaminn sosial termasuk gizi yang cukup,

perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan,

perawatan dan perlakuan khsus jika mereka cacat, tumbuh dan dibesarkan dalam

suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin dibawah asuhan serta

tanggung jawab orang tua mereka sendiri, dalam mendapatkan pendidikan, dan

dalam hal terjadi kecelakaan atau malapetaka, mereka termasuk orang yang

pertama memperoleh perlindungan serta pertolongan, memperoleh perlindungan

terhadap segala bentuk yang menyia-nyiakan (anak), kekejaman dan penindasan

serta perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi.

Sebelum terlahirnya seorang anak maka perlu dilakukannya suatu

perkawinan. Jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci dan

berkekuatan hukum. Jadi anak yang kelak terlahir dari hubungan perkwinan

memiliki asal usul kelahiran seorang anak yang sangat menentukan kehidupannya

kelak, seperti halnya dengan status apakah dia terlahir sebagai anak sah atau anak

diluar kawin.

Anak luar kawin adalah anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak

didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil, sehingga perkawinan tersebut tidak

2
mempunyai alat bukti karena tidak dilakukan dihadapan Pegawai Catatan Sipil.

Pasal 81 KUH Perdata, melarang melakukan perkawinan menurut agama sebelum

dilakukan perkawinan dihadapan Pegawai Catatan Sipil, dan apabila ketentuan itu

dilanggar maka antara orang-orang yang melakukan perkawinan tersebut dan

keturunannya tidak akan ada hubungan-hubungan perdata kecuali bila ada

pengakuan anak sebagaimana diatur oleh Pasal 280 KUH Perdata. Hubungan-

hubungan yang ada hanyalah berupa hubungan darah saja dan orang-orang yang

melakukan perkawinn tersebut dan keturunannya dapat tinggal dalam satu rumah

secara sah sebagai suatu keluarga.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memandang suatu perkawinan

hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hubungan-hubungan perdata yang

dimaksud dalam undang-undang ini adalah hubungan pewarisan antara orang-

orang yang melakukan perkawinan tersebut dan keturunannya serta keluarganya,

apabila dikemudian hari terdapat salah seorang yang meninggal dunia.

Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak

menjelaskan mengenai konsekwensi hukumnya apabila perkawinan hanya

dilakukan menurut agama dan kepercayaannnya tanpa mendaftarkannya ke

Kantor Catatan Sipil, sesuai dengan ketentuan pasal 66 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, maka kitaaaa harus mengacu kepada ketentuan pasal 26 juncto Pasal

80 KUH Perdata, yaitu orang-orang yang melakukan perkawinan, keturunannya,

keluarganya tidak mempunyai hubungan-hubungan perdata antara lain hubungan

pewarisan apabila dikemudian hari terdpat salah seorang meninggal dunia, kecuali

3
antara ibu dengan anaknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 UU No. 1

Tahun 1974.

Anak luar kawin yang terjadi dari hubungan perkawinan tidak berhak

mendapatkan warisan dari ayahnya, karena antara sianak dan ayahnya tidak

mempunyai hubungan perdata. Berbeda dengan anak yang lahir dari hubungan

perkawinan yang telah didaftarkan di Kantor Catatan Sipil, anak tersebut secara

mutlak bisa mendapatkan haknya sebagai seorang anak salah satu adalah masalah

mewaris dari harta ayahnya. Hubungan perdata anak luar kawin tersebut dapat

terjadi secara sah di mata hukum, apabila si anak telah mendapat pengakuan dri

yahnya, yaitu anak tersebut dapat mewarisi dari harta peninggalan ayahnya. Atas

pengakuan dari ayahnya maka si anak dapat mengajukan permohonan ke

Pengadilan Negeri, sehingga Pengdilan Negeri dapat memberi izin atau

memerintahkan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk

memberikan catatan pinggir pada akta kelahiran si anak menjadi anak sah dari

perkawinan tuan X dan Nyonya Y tersebut.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 101, 102 dan 275 KUH Perdata.

Atas dasar akta kelahiran dan pengakuan anak dari ayahnya tersebut maka si anak

dapat memperoleh hak-hak sebagai anak sah, yaitu dapat mewaris dan dapat

menggunakan nama belakang ayahnya, dan lain sebagainya.

Asal usul kelahiran anak dapat dilihat dalam akta kelahirannya. Dengan

adanya akta kelahiran agar seorang anak dapat membuktikan bahwa dirinya

adalah benar-benr anak dari ayah x dan ibu y. jika usul seorang anak yang tidak

dilindungi oleh hukum atau dengan kata lain anak tersebut tidak memiliki akta

4
kelahiran. Contoh jika kelak anak tersebut ingin melakukan perbuatan hukum

tertentu, misalnya menuntut harta warisan orang tuanya maka anak tersebut akan

mengalami kesulitan karena secara hukum tidak dapat membuktikan bahwa ia

adalah anak kandung dari orang tua yang meninggalkan hart warisan. Akan tetapi

lain halnya dengan anak yang memiliki akta kelahiran, maka ia akan lebih mudah

membuktikan tentang asal usul kelahirannya.

Sehingga setiap kelahiran itu perlu memiliki bukti tertulis dan otentik

karena untuk dapat membuktikan identitas seseorang yang pasti dan mempunyai

kekuatan pembuktian yang sempurna adalah dapat kita lihat dari akata

kelahirannya yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang berwenang untuk

mengeluarkan akta tersebut.

Sedangkan di negara Indonesia yang berhak mengeluarkn akta kelahiran

adalah Lembaga Catatan Sipil yang diatur dalam keputusan Presiden Nomor 12

tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan

Catatan Sipil yang salah satu fungsinya menurut Pasal 5 ayat 2 adalah pencatatan

dan penerbitan akta kelahiran.

Setelah ditetapkan keputusan presiden tersebut maka setiap peristiwa

kelahiran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat perlu didaftarkan di Kantor

Catatan Sipil guna mendapatkan akta kelahiran. Hal ini agar kedudukan hukum

dan status seseorang itu dapat dilihat sewaktu-waktu dengan memiliki alat bukti

yang otentik, kecuali itu informasi dan data yang ada dalam akta kelahiran juga

penting untuk negara, yaitu :

1. Untuk meningkatkan tertib administrasi kependudukan

5
2. Untuk menunjang bagi data perencanaan pembangunan

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dalam penulisan skripsi ini

penulis mengambil judul : “KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DARI PIHAK

AYAH SEBAGAI AHLI WARIS GOLONGAN I MENURUT KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan pada penulisan ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan anak luar kawin dalam memperoleh warisan sebagai

ahli waris golongan I ?

2. Bagaimana peristiwa pengakuan atau pengesahan anak di luar kawin, agar

mempunyai kedudukan dan status hukum ?

C. Maksud dan Tujuan Penulisan

Adapun maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk memperoleh gelar kesarjanaan (S1) di Fakultas HukumUniversitas

Quality Kabanjahe. .

2. Untuk menambah pengetahun dibidang hukum perdata yang menyangkut

masalah anak luar kawin.

6
D. Metode Pengumpulan Data

Dalam hal penulisan ini, metode pengumpulan data yang digunakan

sebagai bahan acuan adalah Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research

Method), yaitu cara pengumpulan data berdasarkan kepustakaan, dimana sebagian

bahan diambil dari buku-buku yang berhubungan dengan objek buku-buku

yang berhubungan dengan penulisan skripsi, bahan kuliah yang tidak

dipublikasikan.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pewarisan Secara Umum

Adapun pengertian warisan secara etimologi yakni berasal dari kata :

waritsa-yaritsu-wartsan yang berarti mempusakai, istilah yang sama artinya

dengan waris adalah faraidh yang berarti ketentuan, menurut istilah adalah bagian

yang telah ditentukan bagi ahli waris. Pengertian waris segi terminology adalah

peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang hidup, baik

berupa harta bergerak maupun tidak.

Hukum diartikan juga sebagai gejala sosial. Hukum tidak lain dari tingkah

laku masyarakat. Ada yang mengartikannya sangat luas yaitu setiap aturan tingkah

laku adalah hukum, termasuk kewajiban yang bersifat kesusilaan, kebiasaan-

kebiasaan. Dalam bahasa masyarakat adat, hukum adalah segala sesuatu yang

diadatkan. Ada yang memberi arti lebih sempit yaitu terbatas pada aturan tingkah

laku yang mempunyai sanksi. Masalah yang timbul dalam meterjemahkan hukum

sebagai gejala sosial Hukum semata-mata diartikan sebagai aturan tertulis.

Persoalan yang dihadapi, adalah tidak semua masalah hukum dimuat dalam aturan

tertulis, hukum meliputi aturan tertulis dan tidak tertulis. Ketika hukum diartikn

dalam arti tertulis dan tidak tertulis, tidak serta merta memudahkan penerapan

hukumnya. Bila terjadi pertentangan antara aturan tertulis dengan tidak tertulis,

doktrin mengajarkan “ Hukum tertulis didahulukan”. Persoalan lebih lanjut, kalau

ternyata hukum tidak tertulis lebih sesuai dengan kesadaran hukum atau rasa

8
keadilan atau kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang tidak tertulis

merupakan “The Living Law”, sedangkan secara sosial, hukum tertulis merupakan

“The Dead Law”. Perkembangan lain, berpendapat agar kenyatan sosial harus

menjadi dasar pertimbangan hakim. Hakim dapat mengenyampingkan hukum

apabila tidak sesuai dengan kenyataan soaial. Terlalu menekankan kenyataan

sosial dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan penerapan hukum menjadi

sangat subjektif.

Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang

mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu

atau beberapa orang lain1.

Hukum Waris menurut A. Pitlo yaitu, “kumpulan peraturan yang mengatur

hukum mengenai harta kekayaan, karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai

pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya dari

pemindahan ini bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara

mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan pihak ketiga”.2

Sedangkan Hukum Waris Menurut Wirjono Prodjodikoro, “soal apakah

dan bagaimanakah pelbagai hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan

seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang

masih hidup”3

1
J.Satrio, 1992, Hukum Waris, Alumni, Bandung, hal.8
2
Mulyadi, 2005, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Fakultras Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, hal. 2.
3
Ibid

9
“Kemudian Subekti dan Tjitrosoedibio mengatakan Hukum Waris adalah,

“Hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan

dari seorang yang meninggal”4.

Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

termasuk dalam bidang hukum perdata yang memiliki sifat dasar, yaitu bersifat

mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Kitab Undang-Undang hukum perdata

juga memberikan batasan tentang pengertian dan defenisi hukum waris sebagai

suatu pedoman, adapun pengertian tersebut, adalah seperti terurai dibawh ini.

Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena

kematian”. Pasal 832 KUH Perdata mengatakan: “Menurut Undang-Undang yang

berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarg sederhana baik syah maupun

luar kawin dan si suami atau isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan

tertera dibawah ini, dalam hal bilaman baik keluarga sedarah maupun yang hidup

terlama diantara suami isteri tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang

meninggal menjadi milik negara yang mana wajib melunasi segala utangnya,

sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu. Jadi warisan dalam sistem

hukum perdata barat yang bersumber pada KUH Perdata itu meliputi seluruh harta

benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum

harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadp ketentuan

tersebut ada beberapa pengecualian, hubungan-hubungan hukum tertentu, yang

walaupun mempunyai nilai uang, dan karenanya bersifat hukum kekayaan tetapi

4
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, 2005, Kamus Hukum, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 56.

10
bersifat sangat pribadi, tidak termasuk dalam hak dan kewajiban yang dapat

diwariskan, contohnya :

1. Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi, yang mengandung

kewajiban prestasi yang berhubungan erat sekali dengan pribadi si pewaris,

seperti pewaris yang berjanji untuk membuat lukisan potret seseorang (Pasal

1610 KUH Perdata)

2. Keanggotaan dalam suatu perseroan, Pasal 1646 KUH Perdata sub

4 yaitu perseroan berakhir kalau seseorang pesero meninggal atau ditaruh

dibawah pengampuan.

3. Lastgeving (Pasal 1813 KUH Perdata) pemberian kuasa berakhir

dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa.

Termasuk juga hak nikmat hasil orang tua/wali atas kekayan anak yang berada

dibawah kekuasaan orang tua atau ditaruh dibawah perwaliannya (Pasal 311

dan 314 KUH Perdata tentang vruchtgenot). Orang tua yang menjalankan

kekuasaan orang tua atas anaknya yang belum dewasa, namun hak tersbeut

berakhir dengan meninggalnya si orang tua (Pasal 311 ayat 3) maupun si anak

yang belum dewasa (Pasal 314). Asal diingat, bahwa hak-hak yang bernilai

uang, yang berasal dari hubungan-hubungan hukum tersebut, yang sudah ada

masuk dalam warisan, tetapi tidak dapat timbul hak-hak dan kewajiban baru

bgi para ahli waris dari hubungan hukum tersebut.5

Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW

mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada

5
Ibid, hak. 10

11
ahli wrisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 833 ayat (1) KUH

Perdata, yaitu “sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh

hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang

meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli

warisnya “saisine”. Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu : “Ahli waris

memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa

memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum

mengetahui tentang adanya warisan itu.”

Sistem waris KUH Perdata tidak mengenal istilah “harta asal maupun

harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab

harta warisan dalam KUH Perdata dari siapa pun juga, merupakn “kesatuan” yang

secar bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal

warisan/ pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam KUH Perdata tidak dikenal

perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang

ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 849 KUH Perdata

yaitu “Undang-Undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-

barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem

hukum waris KUH Perdata mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat

yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris.

Harta Peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia, saat

ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka, dalam hal ini ada ketentuan

khsusu dari Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu anak yang ada

dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bila

12
kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap dia tidak

pernah ada, jelaslah bahwa seorang anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal

berhak mendapat warisan. Hal ini diatur dalam Pasal 836, dengan mengingat

ketentuan Pasal 2 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, agar dapat

bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat warisan jatuh

meninggal.

B. Syarat-Syarat Pewarisan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seseorang yang akan menerima

sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat, sebagai

berikut :

a. Harus ada orang yang meninggal dunia

Sesuai dengan bunyi Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu

pewarisan hanya berlangsung karena kematian, maka dengan kematian

seseorang maka hak waris terbuka untuk ahli warisnya.

b. Harus ahli waris atau para ahli waris ada pada saat pewaris meninggal dunia.

Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 KUH

Perdata, yaitu : “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan

dianggap sebagai telah dilahirkan, bilaman kepentingan si anak

menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak

pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur

haknya oleh hukum sebagai ahli waris dantelah dianggap cakap untuk

mewaris;

13
c. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris.

Dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang

tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap

untuk menjadi ahli waris.

Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut diatas, para ahli waris diberi

kelonggaran oleh Undang-Undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap

suatu harta warisn. Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan

setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah menerma atau menolak warisan

atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan

“menerima warisan secara beneficiaire”, yang merupakan suatu jalan tengah

antara menerima dan menolak warisan.

Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna

menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban

sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (Pasal

1024 KUH Perdata). Setelah jangka wktu yang ditetapkan undang-undang

berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:

a. Menerima warisan dengan penuh;

b. Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan

diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam

warisan itu, atau disebut dengan istilah “menerima warisan secara

beneficiaire”;

c. Menolak warisan

14
Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara

beneficiaire atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan,

mempunyai beberapa kewajiban yaitu :

1. Wajib melakukan pencatatan atas jumlh harta peninggalan dalam waktu

empat bulan setelah ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan

Negeri;

2. Wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya;

3. Wajib membereskan urusan waris dengan segera;

4. Wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur benda bergerak

maupun kreditur pemegang hipotik;

5. Wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh kreditur pewaris,

maupun kepada orang-orang yang menerima pemberian secara “legaat”;

6. Wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal melalui surat

kabar resmi.

Orang yang menerima legaat dinamakan legataris, karena ia bukan ahli

waris maka ia tidak diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris, ia hanya

mempunyai hak untuk menuntut legaat yang diberikan kepadanya.6

C. Cara Memperoleh Warisan

Dalam Undang-Undang terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan,

yaitu sebagai berikut :

6
H.Zainuddin Ali, M.A, 2008 Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 97

15
1. Secara Ab Intestato (ahli waris menurut Undang-Undang Pasal 832 KUH

Perdata) Pasal 832 KUH Perdata mengatakan menurut Undang-Undang yang

berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah baik sah maupun luar

kawin, dan si suami atau isteri yang hidup terlama. Hubungan darah tersebut

dapat sah atau luar kawin baik melalui garis ibu maupun bapak. Hubungan

darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan sebagai akibat dari

suatu perkawinan yang sah. Hubungan darah yang tidak sah timbul sebagai

akibat hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dan

pengakuan anak secara sah jadi pada azasnya keluarga semenda tidak

mewaris.

Menurut Undang-Undang (Ab Intestato), yaitu pewarisan yang

timbul karena adanya hubungan darah antara si pewaris dengan yang

mewaris, pewaris menurut Undng-Undang ini dibagi menjadi empat golongan

yang terdiri dari:

1. Ahli Waris Golongan I

Ahli waris golongan I terdiri dari anak-anaknya atau sekalian

keturunannya sampai kepada derajat yang tidak terhingga, Dahulu suami

atau isteri yang hidup terlama baru dapat mewarisi apabila si pewaris

tidak mempunyai keluarga sedarah sampai derajat keduabelas, karena

pada saat itu menurut paham orang-orang Belanda pada waktu

pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harta benda yang

ditinggalkan si pewaris baru tetap berada ditangan pihak keluarga,

sedangkan isteri bukan keluarga sedarah dari si pewaris. Cara berfikir

16
seperti itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan hidup masyarakat saat

ini, oleh karena sebab diatas melalui Staablad 1935 nomor 486 yang

melalui berlaku 01 Januari 1936 ditambahkan jga suami atau isteri si

pewaris yang hidup terlama, besarnya hak yang dimiliki suami atau isteri

yang hidup terlama, besarnya hak yang dimiliki suami atau isteri yang

hidup terlama ditentukan sebesar bahagian satu orang anak sedarah dari

si pewaris menurut Pasal 852 KUH Perdata. Jadi dengan kata lain yang

termasuk kedalam ahli waris golongan I dlah suami atau isteri yang hidup

terlama beserta anak-anak dan selanjutnya keturunannya. Jadi bila

terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat

1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih

dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang ank, yaitu cucu

pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang

menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu

(plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20

bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya

meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak

memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak

pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya

digantikan oleh anak-anaknya atau cucu pewaris.

2. Ahli Waris golongan II

Ahli waris golongan II ini meliputi anggota keluarga dalam garis

lurus ke atas yaitu ayah, ibu, beserta para saudara-saudara si pewaris.

17
Dalam hal ayah dan ibu mewaris dari harta anaknya maka Pasal 854 ayat

(1) menyatakan apabila seseorang meninggal dunia dengan tidak

meninggalkan keturunan, suami atau isteri sedangkan bapak dan ibunya

masih hidup maka mereka mendapat 1/3 dari warisan jika pewaris

meninggalkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan.

Pasal 854 menyimpulkan bahwa ayah, ibu dan saudara mewaris kepala

demi kepala, Pasal 854 ayat (2) mengatakan bapak, ibu pewaris masing-

masing mendapat ¼ dari warisan jika pewaris meninggalkan lebih dari

seorang saudara laki-laki dn saudara perempuan sedangkan 2/3 sisanya

adalah untuk saudara sipewaris tersebut diatas. Dari pasal 854 tersebut

dapat disimpulkan bahwa bila ayah dan ibu mewaris dengan lebih dari 2

orang saudara maka yah dan ibu mengambil dahulu masing-masing ¼

bagian jadi kedua-duanya mendapat 2/4 bagian sedangkan sisanya dibagi

rata antara saudara-saudaranya. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah

meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian

sebagai berikut :

- ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris

bersma dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun

perempuan, sama saja;

- 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jiuka ia mewaris bersama-

sama dengan dua orang saudara pewariw;

- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris

bersma-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.

18
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka

harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris,

sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara

saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau

seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi

dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai

saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian

saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua

bgian yang dipisahkan tadi.

3. Ahli Waris Golongan III

Ahli Waris Golongan III terdiri dari kakek nenek baik dari pihak

ayah maupun dari pihak ibu dan seterusnya keatas. Menurut Pasal 853

KUH Perdata warisan dibagi dalam dua bagian terlebih dahulu (kloving)

satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis ayah lurus keatas

sedangkan satu bagian lainnya untuk keluarga sedarah dalam garis

keturunn ibu lurus keatas, jadi dalam pewaris golongan III ini secara

otomatis terjadi kloving (pemecahan) warisan menjadi dua bagian.

4. Ahli Waris Golongan IV

Ahli waris Golongan IV yaitu sanak saudara dalam garis keturunan

kesamping hingga derajat keenam, para ahli waris tersebut paman dan

bibi dan sekalian keturunan dari paman dan bibi yang telah meninggal

lebih dahulu dari si pewaris. Pertama warisan tersebut dibagi menjadi dua

19
yaitu ½ untuk keluarga sedarah dalam garis keturunan ayah dan yang ½

bagian lagi untuk garis keturunan ibu (Pasal 858 KUH Perdata), dan pada

ahli waris golongan IV ini tidak dikenal pembagian tempat.

Dalam hal mewaris menurut Undang-Undang dibedakan menjadi dua cara

mewaris yaitu :

a) Mewaris Langsung, yaitu orang itu mewaris dlam kedudukan sebagai

ahli waris langsung karena diri sendiri (Uit Eigen hoofde).

b) Mewaris tidak langsung/mewaris karena penggantian (Bij

plaatsvervulling), ialah mewaris untuk orang yang sudah meninggal

terlebih dahulu dari pada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang

telah meninggal lebih dahulu dari si pewaris. Pasal 841 menyatakan

pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk

bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang

yang diganti.7

Ada tiga macam penggantian tempat yaitu ;

1. Menurut Pasal 842 KUH Perdata

Penggantian dalam garis lurus kebawah yang sah berlangsung terus

dengan tiada akhirnya. Dalam segala hal pergantian seperti tersebut

diatas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilaman beberapa

anak si meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang

anak yang telah meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan

7
Effensi Perangin, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 11

20
mereka mewaris bersma-sama, atau sama lain dalam pertalian keluarga

yang berbeda-beda derajatnya.

2. Menurut Pasal 844 KUH Perdata

Dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atau keuntungan

sekalian anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang

telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama

dengan paman atau bibi. Maupun warisan itu setelah meninggalnya

semua saudara semeninggal lebih dahulu harus dibagi antara sebagaian

keturunan mereka yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam

penderajatan yang tidak sama.

3. Menurut Pasal 845 KUH Perdata

Pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juga bagi

pewarisan para keponakan, ialah bilamana disamping keponakan yang

bertalian keluarga sedarah terdekat dengan semeninggal, masih ada

anak-anak dan keturunan saudara laki-laki atau perempuan darinya

saudara-saudara mana telah meninggal lebih dulu.

2. Secara Testamentair yaitu pewarisan berdasarkan wasiat adalah pernyataan

kehendak si pewaris mengenai apa yang dikehendakinya apa yang terjadi

dengan hartanya setelah dia meninggal dunia. Suatu surat wasiat sering kali

berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan

mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli

21
waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surt

wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala

kewajiban dari pewaris.

Suatu surat wasiat sering kali berisi penunjukan seseorang atau beberapa

orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari wrisan. Akan

tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli

waris menurut surt wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh

segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.

Dari kedua macam ahli waris di atas, timbulah persoalan ahli waris yang

manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau

ahli waris menurut surat wasiat?

Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH

Perdata tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah

ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang

membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak

sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata yang isinya

membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris

menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi Pasal 881 ayat (2),

yaitu : “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang

mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak

atas sesuatu bagian mutlak”.

Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “letgitime portie” ini

termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam

22
garis lurus ke atas maupun dalam garis lurus ke bawah yang memperoleh bagian

tertentu dari harta peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si

pewaris.

Testament atau Wasiat adalah suatu akta yang memuat tentang apa yang

dikehendaki terhadap harta setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali

bila si pewaris merasa ingin mengganti isi wasiatnya. Testament atau wasiat

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

Jadi pertama-tama suatu testament adalah suatu “akta”, kata mana

menunjuk pada syarat, bahwa testament harus berbentuk suatu tulisan, sesuatu

yang tertulis.

Hukum waris testamentair tidak mengikuti asas hukum perjanjian, dimana

dikatakan bahwa pada asasnya perjanjian itu bentuknya bebas (overeenkomsten

zijn vormvrij).

Unsur kedua, suatu testament yaitu berisi “Pernyataan kehendak”, yang

berarti menyatakan suatu tindakan hukum sepihak.

Tindakan hukum sepihak adalah tindakan-tindakan atau pernyataan-

pernyataan dimana tindakan atau pernyataan kehendak satu orang saja sudah

cukup untuk timbulnya akibat hukum yang dikehendaki. Jadi testament bukan

merupakan suatu perjanjian karena suatu perjanjian mensyaratkan adanya “sepakt

mereka yang mengikat dirinya”, yang berarti harus ada paling sedikitnya dua

kehendak yang saling bertemu. Yang benar adalah bahwa suatu testament

menimbulkan suatu perikatan. Dan karenanya ketentuan-ketentuan mengenai

23
perikatan berlaku terhadap testamen, sepanjang tidak secara khusus ditentukan

lain.

Unsur berikutnya adalah “apa yang terjadi setelah ia meninggal dunia”.

Berarti bahwa testament baru berlaku kalau si pembuat testament telah meninggal

dunia, itulah sebabnya sering kali suatu testament disebut “Kehendak terakhir,

sebab setelah matinya si pembuat testament, maka wasiatnya tidak dapat dirubah

lagi.

Unsur lain yang sangat penting dan tidak boleh dilupakan adalah “dapat

dicabut kembali” syarat ini penting, karena syarat inilah yang pada umumnya

dipakai untuk menetapkan apakah suatu tindakan hukum harus dibuat dalam

bentuk surat wasiat atau cukup dalam bentuk lain.8

Untuk membuat suatu testament harus memenuhi syarat yaitu:

1. Dewasa

Menurut Pasal 897 KUH Perdata “Para belum dewasa yang belum mencapai

umur genap delapan belas tahun, tidak diperbolehkan membuat surat wasiat”

2. Akal sehat

Mengerti dengan sadar tentang apa yang dibuatnya dan dinyatakannya dalam

sebuah surat wasiat yang berlaku setelah si pewaris meninggal dunia terhadap

harta peninggalannya tersebut.

3. Tidak dapat pengampunan

Tidak mampu menggunakan akal pikirannya, mereka memerlukan

pengampunan atau diperlukan seorang pengampun (Kurator), pengampun

8
J.Satrio, op.cit, hal.180

24
biasanya suami terhadap isterinya atau sebaliknya atau oleh hakim ataupun

perkumpulan-perkumpulan

4. Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan, kekeliruan

Dalam membuat surat wasiat harus dengan kesadaran sehingga wasiat yang

dibuat memang berdasarkan pada keinginan sipewaris.

5. Isi harus jelas

Dalam surat wasiat harus dibuat pernyataan si pewaris dengan sebenarnya

dan sesuai dengan keinginan si pewaris dalam memilih ahli warisnya maupun

dalam menetapkan apa yang harus dilakukan terhadap harta warisan yang

ditinggalkan si pewaris.

Testament atau Akta Wasiat pada umumnya berisikan;

a. Erfstelling (Pasal 954 KUHPerdata), yaitu Wasiat pengangkatan waris adalah

suatu wasiat dengan mana si yang mewariskan, kepada seseorang atau lebih,

memberikan harta kekayaan yang akan ditinggalkan apabila ia meninggal

dunia baik seluruhnya maupun sebagian seperti misalnya setengahnya,

sepertiganya.

b. Legaat (Pasal 957 KUHPerdata), yakni Hibah Wasiat adalah suatu penetapan

wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seseorang atau

lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu,

seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau

memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.

25
c. Codicil (tidak berhubungan dengan harta)

Pencabutan testament menurut Pasal 995 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata “tiap-tiap pencabutan yang dilakukan baik secara tersurat maupun secara

tersirat dalam suatu surat wasiat yang kemudian adalah absah dan sempurna, pun

sekiranya akta yang baru itu tak berlaku, disebabkan ketidakcakapan yang

diangkat menjadi waris atau yang harus menerima hibah, atau karena penolakan

mereka untuk menerima warisan atau hibah itu, sehingga pencabutan wasiat harus

dilakukan:

1. Secara tegas, jika dibuat wasiat baru yang isinya mengenai pencabutan surat

wasiat

2. Secara diam-diam, dibuat testament baru yang memuat pesan-pesan yang

bertentangan dengan testament lama.

26
BAB III

TINJAUAN TENTANG ANAK LUAR KAWIN

A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut KUHPerdata

Tuhan menciptakan manusia ini saling berpasang-pasangan dengan tujuan

agar manusia itu sendiri merasa tentram dan nyaman serta untuk mendapatkan

keturunan demi kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia

membentuk sebuah lembaga perkawinan. Di Indonesia sendiri perkawinan adalah

sesuatu hal yang sakral dan agung. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Pasal 1 yaitu “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan

adanya perkawinan tersebut maka diharapkan dapat membentuk sebuah keluarga

yang sejahtera, karena di dalam keluarga dapat menciptakan generasi yang sehat

lahir dan bathin. Anak adalah sebuah anugrah yang diberikan Tuhan bagi manusia

maka sudah selayaknya manusia harus merwat pemberian Tuhan tersebut dengan

sebaik-baiknya.

Kehadiran seorang anak dalam suatu keluarga merupakan suatu

kebahagiaan. Anak sebagai anggota keluarga mempunyai hak yang perlu dan

seharusnya diperhatikan oleh orang tuanya, perlu mendapatkan bimbingan dan

perawatan. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak kawin atau dapat berdiri

sendiri dan berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tuanya putus.

27
Anak wajib menghormati orang tuaaa dn mentaati kehendak mereka yang

baik, jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya yaitu

kepada orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan

bantuannya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak yaitu dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa anak adalah seseorang

yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas umur 21

(dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan

kepentingan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak

dicapai pada umur tersebut. Batas umur dalam peraturan perundang-undangan

lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan kemampuan untuk itu

berdasarkan hukum yang berlaku.

Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan anak, dalam hal ini anak

luar kawin, Undang-undang Dasar 1945 dalam Pasal 34 menyatakan bahwa

negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan ank-anak terlantar.

Ketentuan UUD 1945 tersebut diatas, ditegaskan pengaturannya dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.

Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-Undang kesejahteraan anak tersebut

di atas adalah anak yang dapat dijamin pertumbuhan dan perkembangannya

dengan wajar baik secara rahasia, jasmani maupun sosial.9

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ditemukan secara

jelas pasal mana yang mengatur mengenai pengertian anak luar kawin. Namun

apabila diteliti antara satu pasal dengan pasal lainnya, maka secara tersirat

9
Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan anak, Bumi
Aksara, Jakarta, hal.16

28
pengertian anak luar kawin dapat diartikan sebagai berikut; “Anak Luar Kawin

adalah anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang dilakukan tidak

dihadapan Pejabat Kantor Catatan Sipil, serta ayah dan ibu dari anak luar kawin

tersebut tidak sedang terikat dengan perkawinan dengan orang lain.” Anak luar

kawin dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya maka harus

memenuhi ketentuan Pasal 280 dan Pasal 285 KUH Perdata. Berdasarkan

ketentuan ini maka anak luar kawin akan dapat menjadi ahli waris atau menjadi

pewaris sesuai dengan ketentuan BAB XII, bagian ketiga, Pasal 862 sampai

dengan Pasal 873 KUH Perdata10.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

mengatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”, masyarakat dewasa ini banyak yang

tidak mencatatkan perkawinannya karena masyarakat Indonesia hanya

menganggap bahwa akta yang di keluarkan itu hanya sebagai bukti.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengatur dan tidak

menjelaskan mengenai apa konsekwensi hukumnya/akibat hukumnya apabila

perkawinan hanya dilakukan menurut hukum agama/ kepercayaannya saja tanpa

melakukan pendaftaran di Kantor Catatan Sipil atas perkawinan yang telah

dilakukannya, sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, maka kita mengacu kepada ketentuan Pasal 26 juncto Pasal 80 KUH

Perdata, yaitu bahwa orang-orang yang melakukan perkawinan tersebut dan

keturunannya atau keluarganya tidak mempunyai hubungan-hubungan perdata dan

Gede Purwaka, 2006, Kasus Anak Luar Kawin Dari Pihak Ayah Dirubah
10

Menjadi Ksus Ahli Waris Golongan I, FHUI, Tanggerang, hal. 12

29
keturunannya atau keluarganya tidak mempunyai hubungan-hubungan perdata

antara lain hubungan pewarisan apabila dikemudian hari terdapat salah seorang

meninggal dunia, kecuali antara ibu dengan anaknya sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974.11

Jadi dengan tidak disahkannya perkawinan orangtuanya dihadapan Kantor

Catatan Sipil, maka menimbulkan akibat hukumnya yaitu dengan tidak

mendapatkan status anak sah dari hasil perkawinan tersebut. Seorang anak yang

lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil maka anak

tersebut tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya melainkan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarg ibunya. Dengan kata

lain si anak tidak akan mewaris apabila ayahnya meninggal dunia.

Undang-Undang perkawinan Indonesia mewajibkan setiap perkawinan

harus dicatatkan, hal tersebut selain sebagai tertib administrasi juga sebagai

landasan hukum terhadap segala sesuatu sebagai akibat dari perkawinan tersebut.

Pada dasarny semua manusia dilahirkan sama kedudukannya didalam hukum

(equality before the law) namun Negara mempunyai aturan hukum yang

mewajibkan rakyat untuk mentaati dan menjalankannya tidak terkecuali masalah

perkawinan dalam hal ini tentang kedudukan anak hasil perkawinan tersebut.

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang

perkawinan menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan di dalam

atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

11
Ibid. hal. 2.

30
Akan tetapi dalam hal kewarisan sering sekali terjadi hal-hal yang sangat

merumitkan ahli waris yang sebenarnya, karena adanya pihak ketiga yang ingin

mengenyampingkan ahli waris, misalnya ada seorang anak dan anak itu dibantah

bahwa ia bukan anak dari bapaknya lantas bagaimana anak tersebut membuktikan

bahwa ia adalah anak dari orangtuanya yang meninggal yang meninggal dunia?

Hal tersebut dapat diatasi dengan baik yaitu dengan cara memberi bukti-bukti

yang kuat dan autentik bahwa dirinya adalah anak dari orangtuanya yang telah

meninggal dunia dan sekaligus ia menyatakan bahwa ia berhak atas harta yang

ditinggalkan orangtuannya.

Sebab alat bukti yang sah adalah suatu alat bukti yang tertulis dan autentik

yang menerangkan tentang suatu hal, agar hal tersebut mempunyai dasar kekuatan

hukum yang kuat dan pasti. Kenyataan ini dapat dilihat dalam pasal 1888 KUH

Perdata yang menyatakan “kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada

akta aslinya. Apabila akta aslinya itu ada maka salinan ikhtisar-ikhtisar itu sesuai

dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan untuk

mempertunjukkannya”.

Demikian pula dengan peristiwa kelahiran seseorang, peristiwa kelahiran

itu perlu mempunyai bukti yang tertulis dan autentik karena untuk membuktikan

identitas seseorang yang pasti dan sah adalah dapat kita lihat dari akta

kelahirannya yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang berwenang yang

mengeluarkan akta tersebut.

Apabila kita lihat di Negara Indonesia, maka yang berhak mengeluarkan

akta kelahiran seseorang adalah Lembaga Catatan Sipil, hal ini dapat dilihat

31
bahwa salah satu fungsi Kantor Catatan Sipil adalah menyelenggarakan Pecatatan

dan penerbitan kutipan akta kelahiran ini terdapat dalam Pasal 5 ayat (2)

Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1983. Dengan demikian dari Akta Kelahiran

tersebut dapat dilihat status seorang anak yang dilahirkan, yaitu anak sah atau

anak luar kawin.

Pasal 272 KUH Perdata menjelaskan bahwa Anak di luar kawin, kecuali

yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan

yang dicatat di Kantor Catatan Sipil dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum

melakukan Pencatatan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah

terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya

sendiri. Dari bunyi pasal diatas kita dapat mengetahui bahwa anak luar kawin

adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan antara seorang pria dan

wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan tetapi belum dicatat di Kantor

Catatan Sipil dan perkawinan tersebut hanya dilakukan menurut agama dan

kepercayaannya sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, dan apabila salah satu orang tuanya atau kedua orang tuanya masih dalam

perkawinan maka tidak dapat disebut anak luar kawin, melainkan anak zinah.

Anak luar kawin dapat diakui oleh ayah kandungnya dengan ketentuan bahwa

pengakuan tersebut dilakukan sebelum orang tua anak tersebut melakukan

perkawinan atau bila dalam perkawinan orang tuanya mengakui adanya anak

tersebut dalam akta perkawinannya.

Dengan telah dilakukannya pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut

maka orangtua yang mengakuinya terjadi hubungan hukum dengan anak luar

32
kawin tersebut (Pasal 280 KUH Perdata). Anak luar kawin yang telah mendapat

pengakuan dari orang tuanya berubah statusnya menjadi anak luar kawin yang

diakui, namun anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ayah

atau ibu yang mengakuinya dan ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan

keluarga ayah atau ibu yang mengakuinya, artinya apabila saudara dari ayah atau

ibunya meninggal anak tersebut tidak ada dasar untuk ikut mewaris sebagaimana

dijelaskan pada Pasal 872 KUH Perdata kecuali anggota keluarga sedarah si

pewaris sudah tidak ada semuanya (Pasal 873 KUH Perdata).

B. Alasan Perkawinan Tidak di Daftarkan di Kantor Catatan

Sipil

Dalam kehidupan sehari-hari banyak yang salah mengartikan mengenai

perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, banyak diantara mereka

hanya melakukan perkawinan hanya menurut agama dan kepercayaannya, dan

mereka menganggap bahwa perkawinan mereka tidak perlu dicatatkan karena

perkawinan tidak hanya didasarkan kepada alat bukti berupa akta perkawinan,

yang menyebabkan perkawinan tersebut menjadi tidak sah. Perkawinan yang tidak

dicatatkan di Kantor Catatan Sipil kebanyakan dialami oleh penduduk golongan

Tionghoa. Golongan penduduk ini banyak sekali yang tidak mempunyai akta

perkawinan hal itu menimbulkan akibat hukum bagi anak-anak yang lahir dari

perkawinan mereka. Anak-anak yang lahir dari perkawinan itu tidak dapat

mewaris dari harta ayahnya dan tidak mendapat hubungan perdata dari ayahnya.

33
Perkawinan yang tidak dicatatkan hanya berdasarkan rasa saling percaya,

sehingga tidak diperlukan alat bukti yang nyata, terdapat beberapa alasan dan latar

belakang kenapa banyak penduduk golongan Tionghoa tidak mencatatkan/

mendaftarkan ke Kantor Catatan Sipil atas perkawinan yang telah dilakukan

menurut agama/ kepercayaannya. Alasan dan latar belakang tersebut adalah :

1. Adanya perkawinan campuran dimana sang suami adalah Warga

Negara Asing dan Isteri adalah Warga Negara Indonesia, menurut Pasal 2

Staatsblad 1898 nomor 158 juncto Bagian Ketiga Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, maka dapat diartikan bahwa status sang isteri dan anaknya akan

mengikuti status sang suami/ayah. Berdasarkan ketentuan ini maka sang suami

yang warga negara asing mencoba untuk menghindari ketentuan tersebut,

terutama mengenai status anaknya nanti agar tidak mengikuti

kewarganegaraan sang ayah, tetapi mengikuti kewarganegaraan sang ibu yaitu

Warga Negara Indonesia.

2. Adanya keinginan dari sang suami yang tidak mau terikat pada

ketentuan Pasal 27 KUH Perdata juncto Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 yang menganut azas monogami dalam perkawinan.

Kaum pria yang mempunyai daya sex yang tinggi akan menghindari ketentuan

azas monogami tersebut agar dapat mempunyai isteri lebih dari satu yang

diperbolehkan menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaan.

3. Adanya ketidaktahuan hukum dan tidak adanya biaya.12

12
Ibid. hal. 6

34
Banyak penyebab-penyebab lain mengenai tidak didaftarkannya

perkawinan di Kantor Catatan Sipil, Negara Indonesia merupakan Negara yang

berdasarkan pada hukum, hukum mempunyai peranan yang sangat besar terhadap

kehidupan warga negara Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal

3 menganut asas monogami yaitu setiap suami hanya boleh beristeri satuorang

begitupun sebaliknya, atas dasar hukum tersebut sebahagian dari masyarakat

Indonesia merasa tidak puas karena terdapat larangan untuk melakukan poligami,

bagi suami yang ingin melakukan poligami hrus mengajukan permohonan kepada

Pengadilan tempat tinggalnya dan harus ada persetujuan dari pihak-pihak yang

bersangkutan (Pasl 3 ayat (2) dan Pasl 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974),

agar tidak melalui proses yang panjang maka perkawinan tersebut dilakukan

hanya berdasarkan agama/kepercayaannya saja, dengan alasan bahwa perkawinan

akan lebih baik apabila dikatakan sah oleh agama.

Walaupun begitu Indonesia merupakan negara hukum yang semuanya

harusa beardasarkan hukum, perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan

Sipil pasti akan mengalami kesusahan atau kesulitan karena tidak dapat

menunjukkan alat bukti yang autentik tentang identitas pribadi seseorang,

misalnya apabila seorang anak hendak memasuki sekolah pada suatu perguruan

tinggi didalam maupun diluar negeri yang dilaksanakan oleh badan-badan sosial

dan pemerintah, sedangkan salah satu persyaratan untuk mendaftarkan diri

diminta agar para peserta dapat memberikan atau memperlihatkan akta

kelahirannya, dan apabila anak tersebut tidak dapat memperlihatkan akta

35
kelahirannya maka anak itu akan mengalami kegagalan dan itu sama saja

menghentikan cita-citanya.

C. Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris

Pada zaman dahulu ada perbedaan antra anak-anak yang sah dengan anak-

anak wajar (anak luar kawin), dalam lapangan hukum publik. Perbedaan itu

menentukan bahwa anak-anak luar kawin tidak dapat menjabat atau memangku

jabatan-jabatan tertentu dan tidak dapat menjadi saksi dalam perkara-perkara anak

sah. Akan tetapi kemudian perbedaan itu telah dihapus dan kini hanya ada

perbedaan antara anak-anak sah dan anak-anak luar kawin dalam lapangan hukum

perdata saja.13

Menurut Pasal 280 KUHPerdata ada dua macam anak luar kawin, yaitu

anak luar kawin yang diakui dan anak luar kawin yang tidak diakui. Anak luar

kawin yang diakui maka akan menimbulkan hubungan perdata antara lain berupa

hubungan pewarisan antara ayah dengan si anak luar kawin beserta ketrunannya,

sedangkan apabila anak luar kawin tidak diakui maka hubungan perdata tersebut

tidak ada.14

Anak luar kawin yang dibahas dalam bab ini yaitu anak luar kawin yang

diakui oleh ayahnya berarti anak tersebut dapat mewaris apabila ayahnya

meninggal dunia. Status hukum keturunan seseorang harus jelas dan terang,

R.Soetojo prawirohamidjojo dan asis safioedin, 1986, Hukum Orang dan


13

Keluarga, alumni Bandung, hal. 132.


14
I Gede Purwaka, Op. Cit hal. 13

36
karena hal ini penting dalam hubungannya dengan soal kewarisan dan hal perdata

lainnya, karena itu pendaftaran dn pencatatan kelahirn di dinas kependudukan dan

catatan sipil memang sangat penting untuk membuktikan asal usul seseorang yang

tercantum dalam akta kelahiran tersebut, yakni apakah anak itu merupakan anak

yang sah, anak luar kawin atau anak luar kawin yang diakui. Dari akta kelahiran

dapat diketahui asal usul identits dan status hukum keturunan seseorang.15

Anak luar kawin dapat mewarisi harta ayahnya apabila telah mendapat

pengakuan dari ayahnya, hubungan darah antara anak luar kawin dan ayahnya

tidak dapat diakui secara hukum karena ayah anak luar kawin harus terlebih

dahulu memberikan pengakuan yang berarti bukti adanya hubungan hukum yang

sebenarnya sudah ada namun belum dapat dibuktikan. Disini pengakuan

mempunyai dua sifat pertam “Pengakuan” mempunyai sifat yang declaratief, dan

yang demikian asasnya berlaku mundur, mundur sampai lahirnya sianak luar

kawin, dan yang kedua yaitu bahwa pengakuan merupakan perbuatan hukum,

maka pengakuan disini merupakan unsur constitutief, artinya perbuatan tersebut

menimbulkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada yaitu hubungan

antara anak dengan orang yang mengakui.16

Dengan adanya pengakuan dari ayah anak luar kawin, maka peristiwa

pengakuan anak itu sangat penting sekali mendapat pengesahan dari suatu

lembaga yang berwenang yang merupakan langkah lebih lanjut dari pengakuan

ayah anak luar kawin tersebut, jika anak yang telah diakui tersebut telah mendapat

15
Rachmadi Usman, 206, Aspek-Aspek Hukum Perorngan dan
Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 2006.
16
J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Alumni, Bandung, hal. 154

37
pengesahan, maka status dan kedudukan anak tersebut menjadi sma (tidak

berbeda) dengan anak sah dalam segala hal termasuk berhak mewarisi harta

ayahnya.

Dalam hal mewaris yang diatur menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, hak bagian anak luar kawin tergantung dengan siapa anak luar kawin

tersebut mewaris. Hanya anak luar kawin yang telah diakui dan disahkan oleh

orang tuanya yang mendapat harta warisan. Besarnya hak bagian anak luar kawin

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Anak luar kawin mewaris bersama-sama golongan pertama meliputi anak-

anak atau sekalian keturunannya (Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata) dan suami atau istri hidup lebih lama (Pasal 852 A Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata), maka bagian anak luar kawin tersebut ialah 1/3 dari

harta yang ditinggalkan. Menurut Pasal 863 KUH Perdata yang berbunyi

“Bila Pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau

suami isteri, maka anak luar kawin yang diakui mewaris 1/3 dari mereka yang

sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”. Jadi cara

menghitung bagian yang diperoleh anak luar kawin, ialah dengan

memperhatikan dulu siapa kawan pewarisnya, sesudah itu anak luar kawin

tersbeut diandaikan sebagai anak sah, kemudian dihitung hak bagiannya

sebagai anak luar kawin yaitu 1/3 dari hak yang sedianya diterima,

seandainya anak luar kawin itu anak sah. Apabila dalam hal anak luar kawin

lebih dari satu, cara penghitungannya semua dianggap sebagai anak sah lebih

38
dahulu, baru sesudah itu hak mereka sebagai anak luar kawin masing-masing

dihitung.17

2. Anak luar kawin mewaris bersama-sama ahli waris golongan kedua dan

golongan ketiga. Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan : Jika pewaris tidak meninggalkan keturunan ataupun suami dan

istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah atau pun saudara (laki-laki

maupun perempuan) atau keturunan saudara, hak anak luar kawin menerima

½ dari warisan.

3. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan keempat meliputi sanak

saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka besarnya hak bagian anak luar

kawin adalah ¾ berdasarkan Pasal 863 ayat (1) bagian ketiga Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

4. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris keluarga yang bertalian darah

dalam lain penderajatan, maka besarnya hak bagian anak luar kawin menurut

Pasal 863 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dihitung dengan

melihat keluarga yang terdekat hubungan penderajatannya dengan pewaris,

dalam hal ini adalah golongan ketiga sehingga anak luar kawin menerima

setengah bagian (Pasal 863 ayat (1) bagian kedua Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata). Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris yng bertalian

dengan keluarga dalam lain-lain perderajatan. Pasal 863 ayat (2) KUHPerdata

menentukan kemungkinan adanya anak luar kawin yang mewaris bersama-

17
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005, Hukum Kewarisan
Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Fajar Interpratama Offset,
Jakarta, hal. 90.

39
sama dengan anggota keluarga yang berhubungan darah dalam perderatajan

yang berlainan. Kemungkinan itu terjadi dalam hal terjadinya kloving dimana

masing-masing bagian dalam kloving diperlakukan seakan-akan suatu warisan

yang berdiri sendiri. Dalam hal demikian menurut Pasal 863 ayat (2)

KUHPerdata dihitung dengan melihat keluarga yang terdekat hubungan

penderajatannya dengan pewaris. Dalam menghitung bagian untuk anak luar

kawin, maka bagian anak luar kawin dihitung lebih dahulu, baru sisanya

dihitung untuk bagian keluarg sedarah yang sah.

5. Anak luar kawin sebagai satu-satunya ahli waris. Apabila anak luar kawin

yang telah diakui oleh orang tuanya sebagai ahli waris tunggal, maka anak

luar kawin tersebut mendapat seluruh harta warisan (Pasal 865 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata).

Dalam menghitung bagian anak luar kawin atas warisan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata/BW memperbolehkan adanya penggantian

tempat bagi keturunan anak luar kawin, seandainya seorang anak luar kawin

yang diakuiu meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, dengan

meninggalkan keturunan sah, maka keturunan dari anak luar kawin tersbeut

menggantikan kedudukannya sebagai ahli waris, dlam hal ini yang pelu

mendapatkan perhatian yaitu bahwa keturunan anak luar kawin tersebut

adalah hanya keturunan yang sah.

Anaknya anak luar kawin dari anak luar kawin meskipun diakui

secara sah tidak mempunyai hak untuk menggantikan kedudukan tempat ahli

waris yang meninggal dunia dari pewaris karena pada prinsipnya pengakuan

40
hanya menimbulkan hubungan hukum antara orang yang mengakui dan anak

yang diakui saja.18

Selain bagian anak luar kawin dalam pewarisan yang telah dijelaskan

di atas, maka anak luar kawin yang diakui oleh orang tuanya berhak juga

mendapatkan atau menuntut bagian mutlak atau legitieme portie. Pengertian

legitieme portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus

diberikan kepada ahli waris yang berad dalam garis lurus menurut undang-

undang19

Menurut pasal 916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagian

mutlak atau legitieme portie dari bagian luar kawin adalah ½ dari bagian yang

menurut undang-undang sedianya harus diwarisnya dalam pewarisan karena

kematian.

D. Ketidakadilan dan Kesulitan yang Dihadapi oleh Anak

Luar Kawin

Anak luar kawin yang hendak mengikuti proses pewarisan menurut

ketentuan Pasal 863 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan

mendapatkan ketidak adilan dan kesulitan bila hendak mendapatkan warisan dari

ayahnya.

Ketidakadilan dan kesulitan itu dapat dilihat apabila sianak luar kawin

tidak diakui oleh ayahnya. Menurut ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, maka

sianak luar kawin tidak berhak mewarisi atas hart peninggalan ayahnya. Begitu

18
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit. hal.98
19
Effendi perangin, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, hal. 83

41
pula ibunya (jika masih hidup) juga tidak berhak mewarisi atas harta peninggalan

suaminya. Keadaan ini tidak adil bagi anak luar kawin dan ibunya yang telah

menjaga dan mengabdi kepada ayah/suami jatuh kepada keluarga lainnya sesuai

dengan golongan ahli waris yang tampil.

Anak luar kawin dalam usaha untuk mendapatkan hak waris dari ayahnya

atas harta peninggalan ayahnya harus banyak menemui ketidakadilan yaitu salah

satunya mendapatkan pengakuan dari ayahnya, di zaman sekarang ini sangat

sedikit orang yang mau dengan terang-terangan mengakui anaknya diluar

perkawinan, hal itu karena ada rasa malu untuk mengakui hasil perbuatannya

dimasa lalu, disadari atau tidak banyak sekali ketidak adilan yang dialami anak

luar kawin, selain tidak mempunyai status sebagai anak sah, ia juga mengalami

kesulitan di bidang pendidikan maupun bidang pekerjaannya dimana didalam

kedua bidangtersebut diharuskan mempunyai akta kelahiran dan karena akta

kelahirannya ia harus mengubur cita-citanya untuk mempunyai pendidikan yang

lebih tinggi dan pekerjaan yang layak.

Anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya juga dapat merasakan ketidak

adilan dan kesulitan yaitu dalam mengumpulkan dokumen-dokumen dari

kakek/nenek, paman/tante, dan keluarga samping lainnya pada waktu si anak luar

kawin hendak membuat surat keterangan hak mewaris dihadapan Notaris. Dalam

mengumpulkan data-data keluarga banyak sekali kendala yang harus dialami anak

luar kawin yaitu orang-orang tersebut sudah bertempat tinggal terpisah-pisah hal

tersebut membuat semua proses menjadi terhambat dan harus mencari serta

menemukan alamat-alamat orang-orang tersebut sudah ditemukan keberadaannya

42
tetapi tidak mempunyai data-data ataupun surat-surat yang lengkap maka segala

usaha yang dilakukan anak luar kawin untuk membuat Surat Keterangan Hak

Mewaris akan menjadi semakin sulit.

Banyaknya ketidakadilan dan kesulitan yang dialami oleh anak luar kawin

sangat tidaj sejalan dengan anak sah yaitu anak yang dilahirkan dan ditumbuhkan

sepanjang perkawinan (Pasal 250 KUHPerdata), anak sah dapat memiliki

semuanya terutama pengakuan dari ayahnya pada saat dia dilahirkan sekaligus

memiliki semuanya terutama pengakuan dari ayahnya pada saat dia dilahirkan

sekaligus memiliki hubungan-hubungan perdata secara langsung tanpa harus

berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari ayahnya dan berhak mewaris dari

harta ayahnya, sangat jauh berbeda dengan anak luar kawin, untuk memperoleh

pengakuan dari ayahnya harus melalui beberapa langkah yang cukup panjang dan

tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya, tidak berhak memakai nama

ayahnya walaupun darah yang ada didalam tubuh anak luar kawin itu adalah darah

ayahnya.

Hubungan hukum dengan ayahnya tetap baru ada, kalau si ayah

memberikan pengakuan. Seakan-akan hubungan darah baru ada dengan ayahnya,

setelah anak luar kawin diakui olehnya. Suatu ketentuan hukum yang dianggap

aneh, namun demi kepentingan hukum diperlukan, dikatakan seakan-akan

hubungan darah dengan ayahnya baru ada, setelah anak luar kawin diakui, karena

masih menjadi persoalan apakah pengakuan merupakan bukti adanya hubungan

darah, ataukah ia merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan

kekeluargaan ? Kedua-duanya dapat mebimbulkan konsekuensi yang berbeda

43
sekali dalam hal kita menerima bahwa pengakuan adalah bukti adanya hubungan

hukum, maka disini diterima bahwa hubungan hukum itu sendiri sebenarnya

sudah ada, hanya belum dapat dibuktikan untuk itu perlu adanya pengakuan.20

Biasanya proses pewarisan anak luar kawin dengan menggunakan

ketentuan Pasal 280 juncto Pasal 863 KUHPerdata dilakukan bisa si anak luar

kawin tidak dirugikan. Artinya anak luar kawin dan/atau keluarga lainnya (sesuai

dengan golongan ahli waris) akan tampil sebagai para ahli waris kemudian ahli

waris keluarga tersebut akan menghibahkan bagian yang diterimanya tersebut

kepada isteri pewaris/ibu (kalau masih hidup) dan anak luar kawin yang ada.

Kalau tujuan pewarisan hanya untuk peralihan hak (balik nama) dari harta

yang ditinggalkan si pewaris atas harta yang tidak bergerak seperti tanah, rumah

dan lain sebaginya, maka cara yang dilakukan seperti diatas dpat dilakukan. Status

anak sah tertuang dalam akta kelahiran dari anak luar kwin tersebut dan juga

dalam surat keterangan hak mewaris yang dibuat oleh Notaris, hal ini sangat

memberi dampak yang sangat positif dan babik sianak luar kawin beserta

keturunannya dikemudian hari. Si anak luar kawin dan keturunannya akan dapat

memakai nama marga sang ayah yang merupakan suatu kebanggaan tersendiri

bagi anak luar kawin tersebut.

20
J.Satrio, Op.cit, hal. 153

44
BAB IV

KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DARI PIHAK AYAH

SEBAGAI AHLI WARIS GOLONGAN I MENURUT

KUHPERDATA

A. Upaya Mendapatkan Pengakuan dari Ayah Anak Luar Kawin

Pada dasarnya tidak ada seorangpun yang terlahir ke dunia telah memiliki

dosa dan secara biologis tidak ada seorangpun anak terlahir tanpa memiliki bapak.

Mengenai beragamnya penyebutan terhadap status anak sendiri hendaknya harus

disikapi dengan bijak kaitannya dengan dukungan kita terhadap perlindungan

anak.

Status sebagai anak yang dilahirkan sebagai anak luar kawin merupakan

suatu masalah bagi anak luar kawin tersebut, karena mereka tidak bisa

mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak

sah karena secara hukumnya anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar kawin tidak akan memperoleh hak

yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar kawin

tersebut. Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak

memiliki kewajiban memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak

bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibannya yang dipandang menjadi

hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah dimata hukum. Hak anak dari

kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat

material, yaitu baik berupa pembiayaan keperluan hidup sehari-hari, pembiayaan

45
mengenai pendidikan anak luar kawin tersebut serta mengenai hak pewarisan anak

luar kawin tersebut.

Anak luar kawin memperoleh hubungan perdata dengan ayahnya, yaitu

dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar kawin, pengakuan anak

merupakan pengakuan yang dilakukan oleh ayah atas anak yang lahir dari

perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak bisa

dilakukan baik oleh ibu maupun ayah, tetapi karena berdasarkan ketentuan Pasal

43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur

bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, maka untuk mendapatkan hubungan

perdata tersebut, seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak.

“Suatu Pengakuan adalah suatu pernyataan akan kebenaran, oleh salah

satu pihak yang bersengketa, tentang apa yang dikemukakan oleh lawannya.

Pengakuan itu meliputi pernyataan akan kebenaran dari tuntutan, hubungan

hukum dan peristiwa”21

Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan

terhadap anak luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak

atau ibunya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dengan suatu

kakta otentik, bila belum diadakan pada akta kelahiran atau pada waktu

pelaksanaan pernikahan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta

yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil dan didaftarkan pada akta kelahiran

menurut hari penandatanganan, pengakuan itu harus dicantumkan pada margin

21
Ali Afandi, 2004, Hukum Waris, Hukum Kelurga, dan Hukum
Pembuktian, Cetakan Keempat, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 214

46
akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan anak dilakukan dengan akta

otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak meminta agar hal itu

dicantumkan pada margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk

membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.

Ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin diatur dalam Pasal 280

KUHPerdata sampai dengan Pasal 286 KUHPerdata yaitu:

a. Pasal 280 KUHPerdata menyatakan bahwa dengan pengakuan yang

dilakukan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si

anak dan bapak atau ibunya. Berdasarkan Pasal 280 ini, seorang anak luar

kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila

telah diakui secara sah, dengan demikian apabila seorang anak luar kawin

tidak diakui oleh orang tuanya maka ia tidak akan memiliki hubungan

keperdataan baik dengan ayah maupun dengan ibu biologisnya.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga memungkinkan seorang bapak

melakukan pengakuan anak pasal saat atau setelah perkawinan

dilangsungkan, seperti yang ditetapkan dalam Pasal 273 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar kawin, selain karena

perzinahan atau dosa darah dianggap sebagai anak sah, apabila ayah dan

ibunya itu kemudian menikah dan sebelum perkawinan diselenggarakan anak

tersebut diakui oleh bapak ibunya.

Meski ada ketentuan yang memungkinkan seorang laki-laki atau ayah anak

luar kawin melakukan pengakuan anak, namun pengakuan itu hanya bisa

dilakukan dengan persetujuan ibu. Pasal 284 KUHPerdata menyatakan bahwa

47
suatu pengakuan terhadap anak luar kawin hanya dapat dilakukan selama sang ibu

menyetujui pengakuan tersebut. Pasal 278 KUHPerdata pun mengatur tentang

ancaman pidana bagi orang yang mengakui anak luar kawin yang bukan anaknya.

Namun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan

keperdataan dengan ibunya dankeluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal

43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hanya saja dalam ayat (2)

disebutkan bahwa kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut

dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarnag belum diundangkan oleh

pemerintah.

Dengan demikian berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini

KUHPerdata, Fakta hukum tersebut diatas menunjukkan sampai saat ini

kedudukan hukum anak luar kawin hanya dapat disandarkan ada ketentuan

hukum yang diatur dalam KUHPerdata, sehingga kedudukan anak luar kawin

secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan tidak jauh lebih baik. Dalam artian tetap diperlakukan suatu

pengakuan untuk menciptkan hubungan keperdataan antara seorang anak luar

kawin dengan orang tuanya.

Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Pengakuan Sukarela yaitu suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang

dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapak dan

ibunya seorang anak yang telah dilahirkan diluar perkawinan yang sah

48
menurut Undang-Undang22. Pengakuan Sukarela dapat dilakukan dengan

cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu;

a. Dalam Akta Kelahiran Si Anak

Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang

anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa

otentik harus menghadap dihadapan Pegawai Catatan Sipil untuk

melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.

b. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat

perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta

perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) jo Pasal 272

KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan

menjadi seorang anak sah.

c. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta otentik

seperti akta Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1)

KUHPerdata.

d. Dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, yang dibutuhkan

dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari penanggalannya

sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.

2. Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat

dilakukan oleh si anak luar kawin yang lahir dari perkawinan yang tidak sah

menurut Undang-Undang. Dengan cara mengajukan gugatan terhadap ayah

anak luar kawin kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin

Ko Tjay Sing, 1981, Hukum Perdata Jilid I, Hukum Keluarga, Iktikad


22

Baik, Semarang, hal. 390

49
diakui sebagai anak sah dari ayahnya ketentuan ini diatur dalam Pasal 287

sampai dengan 289 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. “Anak luara

kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin yang terlahir dari ibu atau

bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik diantara mereka maupun

dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang)”23

Anak luar kawin tersebut diatas, akan memiliki hak waris atau hubungan

perdata dengan orangtua yang mengakuinya apabila terdapatnya pengakuan

terhadp anak luar kawin tersebut, melalui 4 (empat) cara yang diatur dalam Pasal

281 KUHPerdata, yaitu ;

1. Didalam akta kelahiran anak yang bersangkutan;

Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk mendapatkan pengakuan ayah anak

luar kawin berdasarkan pasal ini ayah anak luar kawin harus menghadap

sendiri atau dengan perantaraan orang lain yang diberi kuasa khusus dengan

surat kuasa otentik dihadapan Pegawai Catatan Sipil tatkala anak

diberitahukan atas pengakuan.

2. Didalam akta perkawinan orangtua biologisnya (Pasal 281 ayat (2); dalam hal

ini pengakuan anak luar kawin dimuat dalam akta perkawinan, yang memiliki

akibat anak luar kawin menjadi anak sah (Pasal 272 KUHPerdata).

3. Didalam akta otentik lain yaitu akta Notaris (Pasal 281 ayat 1).

Dengan demikian pengakuan anak tidak harus dilakukan dihadapan Pegawai

Catatan Sipil.

Surini Ahlan Sjarif, dan Nurul Elmiyah, 2006, Hukum Kewarisan


23

Perdata Barat, Cetakan Kedua, Prenada Media Group, Jakart, hal. 86.

50
4. Dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil yang dibutuhkan dalam

register Catatan Sipil menurt hari penanggalannya (Pasal 281 ayat 2).

Peristiwa pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi

harus dilakukan dimuka Pegawai Catatan Sipil, dengan pencatatan dalam akta

kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orang tuanya atau dapat juga

dalam suatu akta tersendiri dari Pegawai Catatan Sipil.

Pengakuan tersebut apabila dilakukan secara sah menurut hukum maka

anak luar kawin akan mendapat status sebagai anak luar kawin yang diakui

sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah

diuraikan diatas, maka secara hukum seorang anak luar kawin yang telah diakui

secara sah menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, akan menjadi

ahli waris yang sah dari orang tua biologis yang mengakuinya. Namun demikian

untuk dapat mengidentifikasi keberadaan seorang anak luar kawin secara teknis

hukum akan mengalami beberapa kesulitan, apabila pengakuan tersebut telah

dilangsungkan secara diam-diam oleh orang tua biologisnya tanpa sepengetahuan

dari ahli waris lainnya. Keadan ini secara hukum sangat dapat dimungkinkan

untuk terjadi, mengingat pengakuan anak luar kawin hanya memerlukan

persetujuan dari ibu biologis si anak luar kawin, sehingga dapat saja isteri atau

suami yang melakukanpengakuan tidak tahu kalau telah terjadi pengakuan.

Adapun prosedur pengakuan anak luar kawin diatur dalam Pasal 49

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang

menegaskan hal-hal sebagai berikut :

51
1. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada instansi pelaksana

paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pengakuan anak oleh

ayah yang disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.

2. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan

bagi orangtua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir

diluar hubungan perkawinan yang sah.

3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat Pencatat

Sipil mencatat pada register akta pengakuan anak dan menerbitkan Kutipan

Akta Pengakuan Anak.

Seorang ayah yang akan mengakui anak luar kawin dapat mengajukan ke

Pengadilan Negeri setempat. Penetapan pengadilan atas permohonan tersebut

merupakan dasr bagi Catatan Sipil untuk mencatat pengakuan tersebut dalam akta

lahir anak yang bersangkutan sehingga kekuatan hukum atas pengakuan anak luar

kawin tersebut menjadi kuat.

Sebelum keluarnya Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008, ada

perbedaan peraturan tentang Pencatatan Sipil termasuk juga dalamhal kelahiran

bagi tiap golongan penduduk Indonesia yang pada akhirnya di dalam akta

kelahiran tersbeut juga dicantumkan staatblad sesuai dengan golongan penduduk

itu dimana statblad 1917 Nomor 130 tentang Pencatatan Sipil bagi golongan

tinghoa, staatblad 1920 Nomor 791 tentang Pencatatan Sipil bagi golongan

Indonesia, staatblad 1933 Nomor 75 tentang Pencatatan Sipil bagi golongan

Indonesia, kristen, jawa, madura dan minahasa serta non staatblad, dan keluarnya

52
Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008, maka tidak ada lagi perbedaan

pengaturan dan didalam akta kelahiran itu juga tidak dimuat lagi staatblads.

Akta kelahiran itu sendiri terdiri atas:

a. Akta kelahiran umuam adalah akta kelahiran yang pendaftarannya tidak

melebihi jangka waktu 60 hari kerja sejak anak dilahirkan, persyaratannya,

1. Surat keterangan lahir dari rumah sakit, klinik persalinan tempat kelahiran

anak

2. Surat nikah, akta perkawinan catatan siapil orng tua anak yang dilahirkan.

3. Kartu tanda penduduk / kartu rumah tangga

4. Surat bukti kewarganegaraan Indonesia, bagi warga Indonesia turunan

5. Akta lahir ibu bagi sianak luar kawin

6. Surat-surat asing bagi warga negara Indoensia.

b. Akta kelahiran dispensasi adalah akta kelahiran yang diterbitkan bagi anak

kelahiran tahun 1985, 1984 dst, kebawah, persyaratannya;

1. Surat pengantar lurah setempat

2. Surat nikah orang tua (Agama Islam) surat kawin gereja/Baptis (Agama

Kristen) yang diperkawinan orang tuanya dibawah 1975, akta perkawinan

catatan sipil (Kristen, Hindu, Budha, Khatolik)

3. Fotocopy Ijazah yang bersangkutan

4. Kartu Tanda Penduduk / Kartu Keluarga yang bersangkutan

c. Akta Kelahiran Istimewa adalah akta kelahiran yang diterbitkan khusus bagi

kelahiran tahun 1986, 1987 dst ke atas. Persyaratannya adalah;

1. Surat pengantar lurah diketahui camat setempat.

53
2. Surat nikah bagi yang beragama islam, akta kawin catatan sipil bagi yang

beragama kristen, hindu, budha, khatolik

3. Kartu Tanda Penduduk/ Kartu Keluarga yang bersangkutan

4. Ijazah

B. Upaya Pengajuan Surat Permohonan Penetapan Kepengadilan Negeri

Anak luar kawin tidak dapat mewaris karena belum mendapat pengakuan

dari ayahnya, oleh sebab itu anak luar kawin beserta ibunya meminta bantuan

seorang yang mengerti mengenai masalah yang sedang mereka hadapi. Salah

satunya dengan membuat surat permohonan ke Pengadilan agar dapat membuat

Penetapan Pengesahan Perkawinan dan Pengesahan ank luar kawin serta

memerintahkan Kantor Catatan Sipil untuk mendaftarkan Perkawinan tersebut dan

memberikan Catatan Pinggir pada Akta Kelahiran Anak luar kawin agar anak luar

kawin ditetapkan sebagai anak sah dari ayah anak luar kawin. Berdasarkan Surat

Permohonan maka Pengadilan memerlukan dokumen-dokumen dari ibu dan anak

luar kawin.

Untuk membuat surat permohonan maka diperlukan dokumen-dokumen

yang lengkap, dalam sidang di Pengadilan Negeri dan mengurus permohonan

penetapan di Pengadilan Negeri. Dalam mengajukan surat permohonan ke

Pengadilan Negeri harus melampirkan fotocopy dari semua dokumen-dokumen

yang diperlukan.

Dokumen-dokumen yang harus disiapkan adalah;

a. Dokumen yang berkaitan dengan suami/ayah yang meninggal dunia;

54
1. Akta Kematian

2. Surat Kewarganegaraan Indonesia

3. Surat Ganti Nama Kalau Ada

b. Dokumen yang berkaitan dengan isteri/ibu anak luar kawin;

1. Surat Kewarganegaraan Indonesia

2. Surat ganti nama (kalaua ada)

3. Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya.

4. Kartu Keluarga

c. Surat keterangan mengenai perkawinan yang telah dilakukan oleh suami isteri

yang dikeluarkan oleh lembaga adat tempat dimana perkawinan tersebut

dilangsungkan.

d. Dokumen yang berkenaan dnegan anak luar kawin;

1. Akta Kelahiran

2. Surat Kewargnegaraan Indonesia

3. Surat Ganti Nama (Kalau ada)

4. Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya

5. Kartu Keluarga

6. Surat ijazah/ Surat Tanda Tamat Belajar (STTB)24

Pada saat sidang di Pengadilan bukti-bukti surat diajukan dan para saksi

menyampaikan keterangan perihal pengetahun mereka tentang ikhwal hubungan

ayah-ibu para pemohon sebagai suami-isteri, berdasarkan dengan Pasal 262

I Gede Purwaka, 2006, Kasus Anak Luar Kawin Dari Pihak Ayah
24

Dirubah Menjadi Kasus Ahli Waris Golongan I, FHUI, Tanggerang, hal. 21

55
KUHPerdata yang menyatakan bahwa penikmatan akan kedudukan itu dapat

dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang mana, baik dalam keseluruhannya

maupun masing-masing memperlihtkan suatu pertalian karena kelahiran, dan

karean perkawinan antara seorang tertentu dengan keturunan yang harus

dibuktikan. Antara lain peristiwa-peristiwa yang terpenting ialah bahwa orang itu

selalu memakai nama si bapak yang mana katanya telah menurunkan dia, bahwa

bapak itu selain memperlakukan dia sebagai anaknya dan sebagai anaknya pun

telah mengatur pendidikan, pemiliharaan dan penghidupannya, bahwa masyrakat

selalu mengakui dia sebagai anak si bapak, bahwa saudara-saudaranya mengakui

dia sebagai anak si bapak.

Hukum Acara Perdata yang berlaku pemohon Penetapan harus

mengajukan 2 (dua) orang saksi, saksi tersebut adalah keluarga dari ayah anak

luar kawin yaitu keluarga terdekat yang akan tampil sebagai ahli waris seandainya

menggunakan ketentuan Pasal 863 ayat (1) KUHPerdata. Tujuan saksi pada

persidangan adalah untuk memperlancar sidang di Pengadilan Negeri karena

keluarga terdekat sangat megetahui kedudukan keluarga anak luar kawin tersebut.

Menurut Pasal 1866 KUHPerdata alat-alat bukti terdiri atas :

a. Bukti tulisan yaitu pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-

tulisan otentik maupun dnegan tulisan-tulisan dibawah tangan (Pasal 1867

KUHPerdata)

b. Bukti dengan saksi-saksi yaitu pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan

dalam segala hal dimana itu tidak dikecualikan oleh undang-undang (Pasal

1895 KUHPerdata).

56
c. Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-

undang oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal kearah suatu

peristiwa yang tidak terkenal.

Ada 2 (dua) macam persangkan yaitu persangkan menurut Undang-Undang

dan persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-Undang (Pasal 1915

KUHPerdata).

d. Pengakuan, yang dikemukakan terhadap suatu pihak, ada yang dilakukan

dimuka hakim dan ada yang dilakukan dimuka persidangan (Pasal 1923

KUHPerdata).

e. Sumpah;

Di dalam kepustakaan diadakan pembagian dalam tiga jenis Kekuatan

pembuktian yaitu :

1. Kekuatan pembuktian extern, berarti bahwa jika suatu akta dari

wujudnya saja tampak sebagai suatu akta dibuat oleh suatu pejabat

umum, maka akta seperti itu dianggap sebagai akta otentik.

2. Kekuatan Pembuktian formal, berarti bahwa yang disebut dalam suatu

akta itu memang benar apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.

3. Kekuatan Pembuktian materil, berarti bahwa apa yang dimuat dalam

suatu akta itu memang sungguh-sungguh terjadi antara para pihak.25

Dalam proses permohonan Penetapan di Pengadilan Negeri Pengurusnya

dapat dilakukan oleh pemohon sendiri maupun Kuasa Hukumnya. Apabila

25
Ali Afandi, Op.cit. hal.200

57
permohonan penetapan tersebut dilakukan oleh pemohon sendiri maka ia berhak

meminta pendapat dari Notaris yang menurut pemohon mengerti tentang hal ini.

Pemohon terlebih dahulu harus meminta kepada Pengadilan Negeri untuk

menetapkan Pengesahan perkawinannya dan setelah itu baru pemohon dapat

meminta agar dalam akta kelahiran anak-anaknya dituliskan sebuah catatan

pinggir yang menjelaskan bahwa anak luar kawin tersebut merupakan anak sah

dari tuan y dan nyonya x.

Setelah dibuatnya surat permohonan tersebut, maka surat permohonan

ditandatangani oleh Nyonya x. “Berkas permohonan tersebut akan diterima oleh

pejabat yang khusus mengenai permohonan penetapan sesuai dengan kasusnya.

Pada bagian ini berkas permohonan penetapan tersebut diberi nomor pendaftaran

penetapan perkara perdata. Selanjutnya berkas permohonan penetapan tersebut

diteruskan kepada ketua pengadilan negeri untuk dimintakan penunjukan hakim

dan panitera pengganti yang akan ditugaskan untuk menangani penetapan

permohonan tersebut. Dalam kasus ini hakim yang menangani adalah hakim

tunggal”.26

Setelah mengajukan permohonan dan mendengar keternagan saksi maa

Pengadilan mengabulkan keinginan dari pemohon yaitu ibu dan anak luar kawin

dan penetapan itu berisi Pengesahan Perkawinan, serta penetapan sebagai anak

sah dari pengadilan. Dengan adanya Penetapan dari Pengadilan maka Kantor

Catatan Sipil Mencatat Perkawinan Ayah dan Ibu anak luar kawin serta dalam

Akta Kelahiran anak luar kawin yang pada awalnya hanya akta kelahiran biasa

26
I Gede Purwaka, Op. Cit. hal. 31

58
yang hanya menyebutkan anak kandung dari ibu dan sekarang dengan adanya

pengesahan anak kemudian dicantumkan data pengesahan anak yang dikenal

dengan istilah populer “catatan pinggir”. Disebut catatan pinggir, karena catatan

tentang perubahan status anak tersebut dicatat pada bagian pinggir dari akta

kelahiran semula. “Catatan pinggir” pada suatu Akta catatan Sipil pada dasarnya

berisi perubahan data dan informasi atas akta semula.

“Catatan pinggir” ini dapat diterapkan pada semua jenis dan macam Akta

Catatan Sipil dan dengan adanya “catatan pinggir” pada suatu akta, berarti data

dan informasi lama tidak berarti lagi, sedangkan yang dipergunakan sebagai data

selanjutnya adalah yang tercantum dalam “catatan pinggir”27. Dengan adanya

catatan pinggir maka anak luar kawin tersebut memiliki status sebagai anak sah

dan anak tersebut menjadi sama dengan anak sah dalam segala hal, terutama

dalam hal pewarisan. Dengan telah di buatnya catatan pinggir pada akta kelahiran

anak luar kawin maka nak luar kawin sudah sah menjadi anak sah dan hal itu

sesuai dengan Pasal 261 KUHPerdata yang menyatakan bahwa keturunan anak-

anak yang sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah

dibukukan dalam akta register catatan sipil.

“Pengesahan anak luar kawin adalah alat hukum (rechts middle) untuk

memberi kepada anak itu kedudukan (status) sebagai anak sah. Pengesahan itu

terjadi dengan dilangsungkannya perkawinan orang tua si anak menurut hukum

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum


27

Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 43

59
yang sah atau “Surat Pengesahan”, setelah si anak diakui lebih dahulu oleh kedua

orang tuanya”.28

Berdasarkan Pasal 274 KUHPerdata dapat diketahui bahwa apabila

orangtuanya sebelum atau tatkala mereka melakukan perkawinan yang sah

menurut Undang-Undang, telah melalaikan mengakuiu anak-anaknya luar kawin,

sehingga anak-anak luar kawin tidak menjadi anak sah, maka kelalaian ini masih

dapat dibetulkan dengan surat pengesahan yang diberikan oleh Menteri

Kehakiman. Sebelum memberi surat pengesahan ini, Menteri Kehakiman akan

meminta nasehat lebih dahulu dari Mahkamah Agung.

Kelalaian tersebut bisa mempunyai bermacam-macam sebab. Kebanyakan

kelalain terjadi karena kedua orangtua tidak mengetahui bahwa sebelum atau

tatkala mereka melangsungkan perkawinan, mereka harus mengakui anak-anak

luar kawin mereka, agar anak-anak itu menjadi anak sah. Bisa saja oleh karena si

ayah pada saat menikah belum mencapai umur 19 tahun dan dengan demikian

tidak boleh mengakui anak. Surat pengesahan dapat diberikan, setelah orangtua si

anak luar kawin melangsungkan perkawinan yang sah dimata hukum, dan setelah

perkawinan itu mereka mengakui anaknya, jadi pengakuan anak masih perlu.

Surat pengesahan tidak menggantikan pengakuan, hanya membentulkan

kesalahan, bahwa pengakuan tidak dilakukan sebelum atau tatkala perkawinan

dilangsungkan.

Pasal 274 KUHPerdata menyebutkan bahwa pengesahan dilakukan dengan

surta pengesahan yang diberikan oleh presiden, sebelum memberikan

28
Ko Tjay Sing, Op Cit, hal 406

60
pertimbangan dari Mahkamah Agung, sebelum memberikan pertimbangan kalau

dipandang perlu dapat memanggil keluarga sedarah dari pemohon. Untuk

didengar pendapat mereka tentang permohonan pengesahan yang diajukan oleh

yang bersangkutan.

Mahkamah Agung juga bisa memerintahkan pengadilan yang ada

dibawahnya untuk mendengar pendapat dari keluarga pemohon, terutama apabila

para anggota keluarga tersebut tinggal di tempat yang jauh dari tempat tinggal

pemohon. Selanjutnya Mahkamah Agung dapat memerintahkan agar permohonan

itu diumumkan dalam Berita Negara, maksudnya tidak lain agar mereka yang

berkepntingan diberikan kesempatan untuk mengajukanperlawanan terhadap

permohonan tersebut.29

Pengesahan anak luar kawin dalam hal orang tuanya melakukan

perkawinan yang sah, dan pengesahan terjadi karena perkawinan itu atau karena

Surat Pengsahan dari Menteri Kehakiman, maka bagi yang disahkan itu berlaku

ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang sama, seolah-olah anak itu dilahirkan

dalam perkawinan yang sah, yang berarti bahwa anak tersebut memperoleh

kedudukan yang sama seperti anak-anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan.

Anak-anak itu memperoleh status anak sah, tidak hanya terhadap orangtua yang

mengakuinya melainkan terhadap sanak keluarga orang itu. Dalam Undang-

Undang tidak ditentukan mulai kapan pengesahan itu berlaku. Dapat dianggap

bahwa pengesahan itu dan akibat-akibatnya mulai berlaku sejak orangtua sia anak

melakukan perkawinan yang sah.

J. Satrio, 2005, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam


29

Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 183

61
Dalam hal pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan yang diberikan

Menteri Kehakiman, maka pengesahan itu mempunyai kekuatan sampai hari

perkawinan. Akibatnya adalah bahwa si anak atas warisan yang jatuh sebelum

perkawinan tersebut hanya mempunyai hak sebagai anak luar kawin.

Dalam hal orangtua si anak tidak kawin, karena salah satu dari mereka

telah meninggal dunia, maka pengesahan tidak mempunyai akibat-akibat penuh,

yaitu pengesahan dalam hal pewarisan tidak akan merugikan anak-anak sah

dahulu dan pengesahan dalam hal pewarisan tidak berlaku terhadap para keluarga

sedarah lainnya. Kecuali sekedar keluarga sedarah yang telah menyetujui

pemberian pengesahan.30

Setelah akta perkawinan pemohon dan akta kelahiran dicatatkan di Kantor

catatan sipil maka penetapan pengadilan tersebut diatas, untuk kepentingan

pewarisan dari ayah anak luar kawin maka dibuatlah sebuah surat keterangan

waris yang dibuat oleh Notaris.

Setelah mendapat pengesahan sebagai anak sah dari kedua orangturanya

maka anak luar kawin dibuat sebuah surat yang menyatakan bahwa anak luar

kawin merupakan ahli waris dari harta peninggalan ayahnya, surat itu dinamakan

Surat Keterangan Waris.

Di Indonesia Surat Keterangan Waris dibuat oleh instansi yang berbeda

sesuai dengan golongan penduduk, pada zaman pemerintahan Belanda bagi orang-

orang Timur Asing Tionghoa surat keterangan warisnya dibuat oleh Notaris. Bagi

orang golongan Timur Asing selain Tionghoa diantaranya Arab, surat keterangan

30
Ko Tjai Sing, Op Cit, hal. 110

62
warisnya dibuat oleh Balai Harta Peninggalan, dan bagi golongan pribumi, surat

keterangan waris dibuat sendiri oleh para ahli waris diatas kertas bermaterai dan

kemudian diketahui oleh Lurah/ Kepala Desa dan camat tempat tinggal terakhir

pewaris pada waktu meninggal dunia.

Surat keterangan warisnya yang berbeda bagi masing-masing golongan

penduduk disebabkan karena adanya penggolongan penduduk berdasarkan Pasal

131 IS. Penggolongan penduduk tersebut merupakan peninggalan politik hukum

Belanda, yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia serta sudah tidak

sesuai lagi untuk diterapkan saat ini. Peduduk Indonesia saat ini tidak lagi

digolongkn menjdi 3 (tiga) golongan penduduk dalam pengaturan Pasal 26 ayat

(2) Undang-Undang 1945 amademen kedua dibagi menjadi 2 (dua) yaitu warga

negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia, sedangkan

definisi Warga Negara berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia adalah warga suatu

negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kemudian Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

kewarganegaraan Republik Indonesia menentukan bahwa yang menjadi Warga

Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang

bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Dalam

penjelasan Pasal 2 ini ditentukan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang

Indonesia asli adalah orang yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahiran

dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.

63
Surat keterangan waris dibuat untuk memenuhi persyaratan sebagai suatu

keterangan, maka dalam hal digunakan sebagai bukti mengenai yang tercantum

didalamnya tidak perlu dikuatkan oleh alat bukti lain, surat keternagan waris yang

dibuat dihadapan Notaris bagi golongan Tionghoa adalah merupakan akta otentik

yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sedangkan surat

keterangan waris yang dibuat oleh instansi lain hanya merupakan akta dibawah

tangan, karena surat keterangan waris yang dibuat Kepala Desa atau Luarah,

Camat dan Balai Harta Peninggalan tidak memenuhi unsur sebagai akta otentik,

meskipun demikian akta dibawah tangan tersebut diakuiu oleh orang terhadap

siapa akta dibawah tangan itu hendak dipakai atau yang dengan cara menurut

Undang-Undang dianggap diakui, maka akta dibawah tangan tersebut mempunyai

kekuatan pembuktian sebagaimana akta otentik.

Jika surat keterangan waris tersebut digunakan untuk bukti pengurusan

ternyata ditolak, maka atas penolakan tersebut pihak yang dirugikan dapat

mengajukan upaya hukum yaitu menggugat pihak yang menolaknya atas dasar

melakukan perbuatan melanggar hukum, yaitu melanggar hak pihak-pihak yang

identitasnya sebagai ahli waris tertuang dalam surat keterangan waris berupa

penggantian biaya, rugi dan bunga.

Surat Keterangan waris yang merupakan akta dibawah tangan dan bukan

merupakan akta Notaris. Adapun Surat Keterangan Ahli Waris (verklaring van

efrecht) yang dibuat oleh Notaris adalah keterangan waris yang dibuat bagi ahli

waris dari warga/golongan keturunan Tionghoa. Surat keterangan waris tersebut

dibuat dibawah tangan tidak dengan akta Notaris, pembuatan surat keterangan

64
waris bagi golongan penduduk tionghoa mengacu pada surat Mahkamah Agung

(MA) RI tanggal 8 (delapan) Mei 1991, Nomor MA/Kumdil/171/V/K/1991. Surat

Mahkamah Agung tersebut telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 (dua puluh)

Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria

Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna

keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah

dikenal sejak sebelum merdeka.

Mengenai Surat Keterangan Waris sampai saat ini tidak ada peraturan

yang mengatur secara spesifik. Dalam prakteknya dibedakan dengan dua istilah

yang hampir sama tetapi berbeda dari instansi yang mengeluarkan Surat

Keterangan Waris tersebut. Surat keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh

Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-

bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Surat Keterangan Waris tersebut sebagai awal bagi kelanjutan

dibuatnya Akta Pembagian Harta Peninggalan. Berdasarkan surat keterangan hak

waris tersebut nantinya akan dibuat suatu akta yang berisikan rincian pembagian

harta peninggalan dari pewaris misalnya rumah, tanah. Dalam akta tersebut akan

disebutkan nam-nama ahli waris berikut harta peninggalan yang menjadi

bagiannya.

Namun dalam praktek sehari-hari lebih banyak ditemui berupa Surat

Keterangan Waris yang secara umum hanya berisikan keterangan dan pernyataan

dari para ahli waris bahwa mereka adalah benar-benar merupakan ahli waris yang

sah dari pewariw yang telah meninggal dunia.

65
Akibat dari surat waris yang dibuat oleh Notaris maka anak luar kawin

sudah mendapat kedudukan sebagai anak sah dan berhak mewaris sebagai

ahliwaris golongan I dan berhak atas bahagian anak sah.

66
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapatlah

penulis menarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Kedudukan anak luar kawin dalam memperoleh warisan sebagai ahli waris

golongan I adalah dengan memperoleh pengakuan dari ayah anak luar kawin,

dengan adanya pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin

timbullah hubungan perdata dengan ayah anak luar kawin (Pasal 280

KUHPerdata).

Pengakuan merupakan suatu bukti bagi anak luar kawin bahwa dengan suatu

pengakuan status anak luar kawin dimata hukum dapat berubah sebagai anak

sah, dan seorang anak sah dapat menuntut kewajiban-kewajiban ayahnya

yang bersifat material, baik berupa pembiayaan hidup sehari-hari, pembiayan

mengenai pendidikan si anak dan terakhir dapat mewarisi harta peninggalan

ayahnya dengan kedudukan sebagai ahli waris golongan I.

2. Peristiwa pengakuan atau pengesahan anak luar kawin dapat dilakukan oleh

ibu dan anak luar kawin dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan

Negeri setempat untuk meminta agar pengadilan dapat memerintahkan

kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan orangtua anak

luar kawin dan memberikan pengesahan pada akta kelahiran anak luar kawin

dengan memberikan catatan pinggir pada akta kelahiran anak luar kawin.

67
B. Saran

Pada bagian akhir dari skripsi ini, penulis merasa perlu untuk

menyampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Agar lebih terciptanya kepastian hukum, untuk itu setiap anak yang lahir dari

suatu perkawinan harus mendapatkan suatu pengakuan dari ayahnya baik itu

secara tertulis maupun hanya secara lisan, hal tersebut dilakukan agar anak

yang dilahirkan memiliki kedudukan atau status hukum yang jelas dan anak

tersebut secara langsung dapat mewarisi harta peninggalan ayahnya serta

berhak mendapatkan hak-haknya.

2. Agar setiap perkawinan terlebih dahulu mempertimbangkan dengan baik dan

menempuh langkah-langkah untuk mencatatkan perkawinan ke Kantor

Catatan Sipil sehingga dapat memperkecil jumlah anak luar kawin yang

dilahirkan, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pengajuan permohonan ke

Pengadilan Negeri untuk mendapatkan status seorang anak dimata hukum.

68
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Afandi, Alil, 2004, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian,
Cetakan Keempat, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Ali, H. Zainuddin, M.A, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar


Grafika, Jakarta.

Mulyadi, 2005, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Fakultas Hukum Universitas


Diponegoro Semarang.

Perangin, Effendi, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta

Purwaka, I Gede, 2006, Kasus Anak Luar Kawin dari Pihak Ayah Dirubah
Menjadi Kasus Ahli Waris Golongan I, FHUI, Tangerang

Satrio, J, 1992, Hukum Waris, Alumni, Bandung.

-----------, 2005, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-


Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sing, Ko Tjay, 1981, Hukum Perdata Jilid I, Hukum Perdata Jilid I, Hukum
Keluarga, Itikad Baik, Semarang,

Situmorang, Viktor M dan Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum Akta


Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah, 2005, Hukum Kewarisan Perdata Barat
Pewaris Menurut Undang-Undang, Fajar Interpratama Offset,
Jakarta.

Soemitro, Irma Setyowati, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,
Jakarta.

Soetojo Prawirohamidjojo, R, dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan


Keluarga, Alumni, Bandung.

Subekti, R dan Tjitrosoedibio, 2005, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita,


Jakarta

Usman, Rachmadi, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di


Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

69
Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

70
71
ABSTRAK

Seorang anak lahir dari suatu ikatan perkawinan antara kedua orng tuanya, status
perkawinan orang tua anak tersebut sangat memberikan dampak terhadap anak
yang dilahirkan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Burgerlijk
Wetboek (BW), memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata dan perkawinan yang diakui dan dianggap sah yaitu perkawinan 26 dan 80
KUHPerdata. Apabila perkawinan hanya dilakukan secara agama dan
kepercayaannya tanpa didaftarkn di Kantor Catatan Sipil maka perkawinan itu
dianggap tidak sah dan anak yang dilahirkan dari perkawinan itu disebut anak luar
wakin. Anak luar kawin agar dapat memperoleh hubungan perdata dengan
ayahnya maka ia harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan dari ayahnya.

Untuk mendapatkan pengakuan dari ayah anak luar kawin yang telah meninggal
dunia, maka ibu anak luar kawin harus memint permohonn dari Pengadilan Negeri
agar dapat mendaftarkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil dan memberikan
catatan pinggir pada Akta Kelahiran anak luar kawin tersebut.

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : Bagaimana kedudukan anak


luar kawin dalam memperoleh warisn sebagai ahli waris golongan I ?,
bagaimanana peristiwa pengakuan atau pengesahan anak di luar kawin, agar
mempunyai kedudukan dan status hukum ?

Dalam hal penulisan ini, metode pengumpulan data yng digunakan sebagai bahan
acuan adalah Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research Method), yaitu
cara pengumpulan data berdasarkan kepustakaan.

Dari hasil penelitian ternyata kedudukan anak luar kawin dalam memperoleh
warisan sebagai ahli waris golongan I adalah dengan memperoleh pengakuan dari
ayah anak luar kawin dengan adanya pengakuan yang dilakukan terhadap anak
luar kawin timbullah hubungan perdata dengan ayah anak luar kawin (Pasal 280
KUHPerdata). Peristiwa pengakuan atau pengesahan anak luar kawin dapat
dilakukan oleh ibu dan anak luar kawin dengan mengajukan permohonan kepad
Pengadilan Negeri setempat untuk meminta agar pengadilan dapat memerintahkan
kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan orang tua anak luar
kawin dan memberikan pengesahan pada akta kelahiran anak luar kawin.

Agar lebih terciptanya kepastian hukum, untuk itu setiap anak yang lahir dari
suatu perkawinan harus mendapatkan suatu pengakuan dari ayahnya baik itu
secara tertulis maupun hanya secara lisan. Setiap perkawinan terlebih dahulu
mempertimbangkan dengan baik dan menempuh langkah-langkah untuk
mencatatkan perkawinan ke Kantor Catatan Sipil sehingga dapat memperkecil
jumlah anak luar kawin yang dilahirkan.

i
72
KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa, karena berkat lindunganNya penulis dapat menyelesaikan

Skripsi ini, sebagai salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Quality

Kabanjahe.

Penulis menyadari akan kekurangan kepustakaan yang dapat

dipergunakan, serta keterbatasan kemampuan berpikir secara ilmiah, maka skiripsi

ini yang penulis sajikan pastilah belum dapat dikatakan sempurna, karena

kurangnya pengalaman penulis, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran-

saran yang bersifat membangun dari para pembaca dan penulis akan menerimanya

dengan hati terbuka.

Skripsi yang sederhana ini dapat terwujud adalah berkat bantuan,

dorongan semangat dan nasehat serta bimbingan dari berbagi pihak yang nilainya

penulis rasakan tiada terhingga.

Atas tersusunnya Skripsi ini, maka pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Benar Sinuraya, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Quality Kabanjahe.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Ketua Prodi Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Quality Kabanjahe,yang juga sebagai

Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan banyak terima kasih sedalam-

ii
73
dalamnya yang telah mengorbankan waktu dan pemikiran untuk membimbing

penulisan dalam menyelesaikan Skripsi ini.

3. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum selaku Pembimbing II Penulis, yang telah

meluangkan waktunya memberikan bimbingan dalam pembuatan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen/Staf Pengajar serta seluruh Civitas Akademika Fakultas

Hukum Universitas Quality Kabanjahe yang dengan ketulusan dan kerelaan

telah mendidik dan membantu penulis dari permulan perkuliahan sampai

terselesaikannya penulisan skripsi ini.

5. Untuk Ayahanda tercinta Thamson Karo-karo dan Ibunda Wasti Br Ginting,

penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya karena

memberi semangat dan dorongan pada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam

penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan saran-saran dan kritik dari

pembaca sehingga untuk masa mendatang penulis dapat membuat tulisan yang

lebih baik lagi.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis dengan tulus memohon kepada

Tuhan Yang Maha Esa semoga memberikan balasan yang melimpah kepada

pihak-pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil yang

telah penulis sebutkan diatas.

Kabanjahe, J u n i 2012
P e n u l i s,

NENSI MARLENA BR KARO


NPM : 0803010054

iii
74
DAFTAR ISI

Halaman

A B S T R A K ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR .......................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................... iv

BAB I P E N D A H U L U A N ..................................................... 1

A. Alasan Pemilihan Judul................................................. 1

B. Perumusan Masalah ......................................................... 6

C. Maksud dan Tujuan Penulisan ......................................... 6

D. Metode Pengumpulan Data............................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 8

A. Pewarisan Secara Umum .............................................. 8

B. Syarat-Syarat Pewarisn .................................................. 13

C. Cara Memperoleh Warisn .............................................. 15

BAB III TINJAUAN TENTANG ANAK LUAR KAWIN ............ 27

A. Pengertian Anak Luar Kawin berdasarkan

KUHPerdata .................................................................... 27

B. Alasan Perkawinan Tidak Didaftarkan di Kantor

Catatan Sipil .................................................................... 33

C. Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris ........................... 36

75
iv
Halaman

D. Ketidak Adilan dan Kesulitan yang dihadapi oleh

Anak Luar Kawin ........................................................... 41

BAB IV KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DARI PIHAK

AYAH SEBAGAI AHLI WARIS GOLONGAN I

MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA .............................................................................. 45

A. Upaya Mendapatkan Pengakuan dari Ayah Anak Luar

Kawin............................................................................... 45

B. Cara Pengajuan Surat Permohonan Penetapan Ke

Pengadilan Negeri ........................................................... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 67

A. Kesimpulan...................................................................... 67

B. Saran................................................................................ 68

DAFTAR PUSTAKA

76
v

Anda mungkin juga menyukai