Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH MASUKNYA KRISTEN KE TAPANULI UTARA

Pada tahun 1824, hingga perkembangannya yang baru terlihat pada tahun
1861 setelah zending Rheinische Missions Gesellshaft (RMG) mempekerjakan
zendelingnya di Tapanuli Utara, dibahas pula mengenai dampak dari
perkembangan agama Kristen bagi kehidupan masyarakat Batak di Tapanuli
Utara dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial-budaya. Penulisan skripsi
ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan agama Kristen di Tapanuli Utara
(1861-1890).
Agama Kristen di Tapanuli Utara berkembang dengan cepat. Tahun 1861,
hanya ada dua orang Batak yang menjadi Kristen. Sepuluh tahun kemudian,
1871, sudah ada 1.250 orang Batak yang menjadi Kristen. Perkembangan ini
terjadi karena kegigihan dan kesabaran zendeling dalam menghadapi suku Batak
yang keras dan tertutup. Zendeling hidup bersama suku Batak dan memberikan
pengaruh baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial-budaya. Zendeling
yang paling dikenang di Tapanuli Utara adalah Ingwer Ludwig Nommensen, ia
disebut juga Ompu.
Perkembangan ini memang mengubah cara hidup masyarakat Batak di
Tapanuli Utara, namun masih belum mengubah seluruh konsep pemikiran suku
Batak tentang Tuhan secara utuh. Pada saat-saat tertentu, mereka masih
mencampurkan beberapa pemikiran agama Batak dengan kepercayaan iman
Kristen.
SEJARAH MASUKNYA KRISTEN KE SIMALUNGUN

Injil masuk ketanah Simalungun pada 2 September 1903 oleh seorang


utusan RMG (Rheinische Missionsgesellschaft), yaitu Pdt. August Theis. Selain
August Theis, nama-nama Zendeling lainnya adalah G. K. Simon, Henri
Guillaume, Edward Muller dan Carl Gabriel (Damanik 2012, 145).
Penginjilan di tanah Simalungun tergolong lambat karena setelah beberapa
tahun sejak penginjilan masuk ke tanah Simalungun ada memberikan dirinya
untuk dibaptis. Jalung Wismar Saragih (1888-1968) dibaptis pada tanggal 11
September 1910 (Dasuha dan Sinaga 2003, 178). J. Wismar juga menjadi pendeta
pertama dari tanah Simalungun (Aritonang dan Steenbrink 2008, 556).
Lambatnya perkembangan Injil di tanah Simalungun disebabkan karena
pemberitaan Injil tidak dilakukan menggunakan bahasa Simalungun, melainkan
bahasa Toba. Perkembangan Islam yang telah lebih dahulu mempengaruhi orang
Simalungun juga menjadi faktor lain penghambat Injil di tanah Simalungun.
Selain itu faktor lainnya adalah kurangnya perhatian para zendeling terhadap
orang-orang di Simalungun.

Perjumpaan Injil Dengan Budaya Simalungun


Masuknya para zendeling dari Barat ke tanah Simalungun tentu tidak
dapat menghindari adanya benturan budaya yang dibawakan oleh para zendeling
dengan budaya asli Simalungun.
Charles H. Kraft berpendapat bahwa melakukan penginjilan berarti suatu
usaha untuk menerjemahka Injil dari satu budaya ke budaya lain. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan pendengar Injil memahaminya (Charles 1981, 59).
Ada tiga unsur penting di dalam pengkabaran Injil, yaitu Injil, penginjil
dan pendengar Injil (Kane 1978, 85-139). Tentu saja Injil yang dibawa oleh para
pekabar Injil bukanlah Injil yang “telanjang”, melainkan Injil yang telah
bercampur dan manjadi produk dari negeri asalnya yang sangat dipengaruhi dan
dibentuk oleh kebudayaan, pendidikan, sosial, dan corak kerohanian.
Injil inilah yang mereka bawa dan mereka ajarkan kepada orang-orang
yang mendengarkan Injil, termasuk orang-orang Simalungun.
Melalui perjumpaan ini lah terjadi perkembangan-perkembangan baru. Kruyt
berpendapat bahwa para pekabar Injil belajar dari masyarakat sekitar dan
mengoreksi kembali pemahaman mereka tentang kebudayaan dan adat-istiadat
penduduk pribumi. Melalui proses inilah para penginjil melihat bahwa ada unsur-
unsur positif di masyarakat pribumi yang harus dipertahankan dan dilestarikan
(Kruyt 1973, 17-18). Perjumpaan antar budaya ini membentuk suatu masyarakat
baru, demikian juga dengan masyarakat Simalungun.
Tugas keliping agama kristen protestan

Anda mungkin juga menyukai