Anda di halaman 1dari 10

DISHARMONISASI HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DALAM

PERATURAN DITINJAU DARI NILAI KEPASTIAN HUKUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan dari suatu negara Indonesia tercantum dalam pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun
tujuan dari suatu negara tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Demi mewujudkan tujuan negara tersebut,
negara harus memiliki hukum untuk dapat melaksanakan ketertiban.
Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi terkait dengan hukum,
hukum merupakan keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang
mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan
memelihara ketertiban yang meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses
guna mewujudkan berlakunya kaidah itu sebagai kenyataan dalam
masyarakat. Hukum diperlukan untuk mengatur tindakan atau tingkah laku
dari manusia. Dengan adanya hukum, maka manusia akan lebih membatasi
tingkah lakunya dan dapat menentukan mana yang baik dan buruk untuk
dilakukan. Dalam perkembangannya di Indonesia hukum dibedakan
menjadi beberapa yaitu berdasarkan isinya, bentuknya, sumbernya,
sifatnya, tempat berlakunya, wujudnya, waktu berlakunya, serta cara
mempertahankannya.
Berdasarkan isinya, hukum dibedakan menjadi dua yaitu hukum
publik serta hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur
hubungan antara negara dengan individu atau warga negaranya. Sedangkan
hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu.
Hukum privat diklasifikasikan menjadi hukum perdata dan hukum
perniagaan. Hukum perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan
antar individu secara umum seperti hukum keluarga, hukum perjanjian,
hukum kekayaan, hukum waris, hukum perkawinan, dan lainnya. Dalam
hukum kewarisan, tidak semua orang dapat menjadi seorang ahli waris.
Hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi ahli waris sesuai dengan
peraturan yang ada baik hukum Islam maupun hukum perdata. Dalam
hukum Islam pewaris dan ahli waris harus mempunyai hubungan pertalian
keluarga, baik pertalian ayah dan anak, maupun anak dan cucu. Hukum
perdata juga mengatur demikian, dimana terdapat beberapa golongan yang
dapat mewaris.
Golongan satu yang dapat mewaris dalam hukum perdata ialah
suami atau istri yang hidup terlama dan anak atau keturunannya. Hal ini
tertuang dalam pasal 852 KUHPerdata yang menyebutkan bahwasanya
“Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai
perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan
nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam
garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang
lebih dulu.” Golongan kedua merupakan orang tua dan saudara kandung
dari pewaris. Golongan ketiga adalah keluarga dalam garis lurus ke atas
setelah Bapak dan Ibu pewaris, serta yang terakhir golongan keempat paman
dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan
paman dan bibi sampai tingkat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari
kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai tingkat keenam dilaporkan
dari pewaris.
Namun, karena berbagai faktor tidak semua orang dapat meneruskan
keturunannya dan lebih memilih untuk melakukan pengadopsian anak.
Dengan adanya pengadopsian anak ini maka juga akan berpengaruh dengan
garis ahli waris. Dalam staatsblad, anak angkat memiliki hak waris
sebagaimana hak waris yang dimilki oleh anak kandung. Disisi lain, hal ini
berbanding terbalik dengan ketentuan yang ada pada hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwasannya anak angkat tidak
menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Dengan perbedaan isi
kedudukan anak angkat dalam mewaris memberikan dampak adanya
ketidakpastian hukum dimana terdapat disharmonisasi antara kedudukan
mewaris anak angkat dalam hukum perdata dengan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penulisan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perbedaan hak mewaris anak angkat berdasarkan
ketentuan hukum perdata dan hukum Islam?
2. Mengapa terjadi perbedaan hak mewaris anak angkat dalam
ketentuan hukum perdata dan hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perbedaan hak mewaris anak angkat berdasarkan
ketentuan hukum perdata dan hukum Islam
2. Untuk menjelaskan alasan terjadinya perbedaan hak mewaris anak
angkat dalam ketentuan hukum perdata dan hukum Islam
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan adalah dapat berkontribusi dalam perkembangan
keilmuan mengenai hak mewaris anak angkat
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Disharmonisasi
Disharmoni adalah adanya ketidakselarasan atau tumpang tindih
baik pengaturan peraturan secara vertikal maupun horizontal. Pengaturan
peraturan perundang-undangan secara vertikal telah dijelaskan dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam Undang-undang tersebut hirarki yang paling
tinggi diduduki oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang artinya semua peraturan dibawahnya tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Apabila terjadi pertentangan maka akan menyebabkan sebuah
disharmonisasi peraturan. Dibawah Undang-undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 terdapat Tap MPR, Undang-undang atau Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, serta Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Dengan adanya disharmonisasi peraturan maka akan menimbulkan
tidak adanya nilai kepastian hukum dan berbagai penafsiran dari masyarakat
terkait dengan pedoman dalam bertingkah laku. Selain itu, juga
mengakibatkan adanya hukum tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsinya
atau disfungsi hukum. Disharmonisasi ini dapat dikarenakan oleh berbagai
faktor seperti tidak adanya keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan
peraturan, adanya keterbatasan masa jabatan dan terjadinya peralihan tugas
dari pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-
undangan, pembentukan peraturan dilaksanakan oleh badan lembaga yang
berbeda dan kurun waktu yang berbeda juga, pendekatan sistem dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan lebih lemah dibandingkan
pendekatan sistem, serta tidak terdapat cara dan metode yang pasti, baku
dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat
peraturan perundang-undangan.
B. Hak Mewaris
Hak mewaris merupakan hak yang diberikan oleh dan atas kehendak
dari si pewaris kepada ahli waris untuk menguasai atau memiliki harta
warisan dari pewaris. Ahli waris tidak seketika dapat memiliki hak mewaris,
hanya yang berdasarkan peraturan saja yang dapat menjadi ahli waris.
Adapun contoh dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur
mengenai yang dapat menjadi ahli waris. Terdapat 4 (empat) golongan ahli
waris yang dapat mewaris dari seseorang yang meninggal dunia (pewaris)
berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu: golongan I,
terdiri dari: suami/istri yang ditinggalkan, anak-anak sah, serta
keturunannya yang termuat dalam Pasal 852 KUH Perdata. Golongan II,
terdiri dari ayah, ibu, saudara, dan keturunan saudara yang tertuang dalam
Pasal 854-857 KUH Perdata. Golongan III, terdiri dari kakek, nenek,
saudara dalam garis lurus ke atas yang terdapat dalam Pasal 853 KUH
Perdata. Golongan IV, terdiri dari saudara dalam garis ke samping, contoh:
paman, bibi, saudara sepupu, sampai maksimal derajat keenam yang berada
pada Pasal 861 KUH Perdata.
Selain dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kompilasi
Hukum Islam juga mengatur mengenai ahli waris. Ahli waris berdasarkan
KHI ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris Ahli waris dalam KHI
dibedakan menjadi tiga. Pertama, ahli waris laki-laki yang terdiri dari ayah,
anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami. Kedua, ahli waris
perempuan yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri.
Ketiga, ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah
seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan
Selain yang ditetapkan dalam peraturan, untuk menjadi ahli waris
juga harus memenuhi beberapa syarat seperti memiliki hak terhadap
peninggalan waris, misal hubungan keluarga atau tertulis dalam surat wasiat
(testamen), ahli waris sudah ada saat pewaris (pemilik harta) meninggal,
serta cakap untuk menerima warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
C. Anak Angkat
Pengaturan mengenai pengangkatan anak pada hukum Islam diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam atau yang
selanjutnya disebut KHI mendefinisikan anak angkat. Definisi anak angkat
berdasarkan KHI tertuang dalam pasal 171 huruf (h) yang berbunyi ”anak
yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”. Pengaturan lain mengenai
pengangkatan anak juga terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak.
Dalam peraturan pemerintah tersebut terdapat syarat-syarat bagi
calon orang tua angkat supaya dapat melakukan pengangkatan anak atau
adopsi anak. Hal ini tertuang dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor
54 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa calon orang tua angkat harus
memenuhi syarat-syarat sehat jasmani dan rohani, berumur paling rendah
30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun, beragama
sama dengan agama calon anak angkat, berkelakuan baik dan tidak pernah
dihukum karena melakukan tindak kejahatan, berstatus menikah paling
singkat 5 (lima) tahun, tidak merupakan pasangan sejenis, tidak atau belum
mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak, dalam keadaan
mampu ekonomi dan sosial, memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis
orang tua atau wali anak, membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan
anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak, adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat, telah
mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan memperoleh izin Menteri dan/atau kepala
instansi sosial.
Selain KHI yang memberikan definisi terkait anak angkat, beberapa
pakar hukum dan peraturan perundang-undangan juga telah memberikan
definisi terkait dengan anak angkat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
menyebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Selain dari peraturan
pemerintah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak juga memberikan definisi anak angkat dengan menyebutkan
bahwasanya “anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
D. Nilai Kepastian Hukum
Teori merupakan sebuah konsep secara keseluruhan yang pada
akhirnya dijadikan sebagai landasan dalam berfikir. Sesuatu yang pasti
disebut juga dengan kepastian. Hukum merupakan sesuatu yang pasti.
Contoh dari adanya suatu kepastian hukum adalah peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan harus dibuat secara jelas, logis,
serta tidak multitafsir. Jelas diartikan bahwa dalam penyusunannya secara
tegas dan tidak ada keragu-raguan. Dalam peraturan perundang-undangan
sendiri, ada yang dinamakan dengan hirarki peraturan. Hal ini berarti
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten
dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-
keadaan yang sifatnya subjektif.
Kepastian hukum telah dikemukakan para ahli seperti Hans Kalsen,
Sudikno Mertokusumo, Jan M. Otto, serta Gustav Radbrunch. Setiap para
ahli memiliki pandangannya tersendiri terkait dengan kepastian hukum.
Sudikno Mertokusuma mengemukakan kepastian hukum adalah sebuah
jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara baik.
Kepastian hukum menginginkan adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan. Perundang-undangan tersebut haruslah dibuat oleh
pihak yang berwenang sehingga aturan-aturan tersebut memiliki aspek
yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi
sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Sementara itu, makna dasar dari
kepastian hukum juga dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Gustav
Raadbruch mengemukakan bahwa : “Pertama, bahwa hukum itu positif,
artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa
hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan.
Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah
dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah”.
Pandangan bahwa kepastian hukum merupakan kepastian dari sebuah
hukum itu sendiri. Hal tersebut yang menjadi dasar makna kepastian hukum
menurut Gustav Radbruch. Kepastian hukum merupakan produk dari
hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian
doktinal dimana mengonsepkan hukum sebagai law in books. Penelitian
hukum doktrinal menurut Soetandyo diartikan bahwa penelitian atas hukum
yang dikonsepkan dan dikembangkan atas doktrin yang dianut oleh sang
pengonsep dan/atau pengembangnya
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang penulis lakukan adalah preskriptif.
Preskriptif merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-
masalah tertentu
C. Jenis Data Dalam Penelitian
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat
(otoritatif). Bahan hukum primer yang digunakan ialah Kompilasi Hukum
Islam, dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bahan hukum sekunder
bertujuan untuk menjadi penjelas dari bahan hukum primer. Bahan hukum
sekunder yang digunakan oleh penulisan adalah artikel-artikel ilmiah, buku,
serta jurnal. Bahan hukum tersier digunakan untuk menjelaskan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan penulis ialah kamus
besar bahasa Indonesia atau KBBI.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulisan adalah
literature reseacrh. Literature research merupakan kegiatan mencari,
mengumpulkan bahan, hasil penelitian sebelumnya yang masih relevan
dengan objek penelitian yang akan dibahas sehingga dapat digunakan
sebagai referensi ataupun landasan berpikir mengenai masalah yang akan
dikaji.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menurut Udo Kuckartz berpusat pada rumusan
masalah atau pertanyaan penelitian. Menjawab penelitian adalah tujuan dari
suatu analisis. Dalam analisis tersebut, penulis harus mengikuti beberapa
tahapan yaitu membaca data yang sebelumnya telah dikumpulkan terlebih
dahulu melalui literature research kemudian mensortir data yang relevan
dengan topik permasalahan yang akan dikaji. Tahap berikutnya ialah
pengkategorian dalam penelitian. Jadi disini penulis mengkategorikan
sendiri antara peraturan perundang-undangan, nilai hukum, asas-asas
hukum, dan juga teori hukum. Selanjutnya, memasukkan data yang sudah
ada kedalam tema ataupun kategori tersebut. Setelah memasukkan data
kedalam tema atau kategori yang ada, maka tahap berikutnya adalah analisis
data. Dalam analisis data ini akan melihat kembali pada permasalahan atau
yang menjadi rumusan masalah karena rumusan masalah menjadi pusat.
Tahap terakhir dari teknik analisis data ialah kesimpulan dari analisis.
Kesimpulan yang baik harus menjawab dari rumusan masalah, serta tidak
memberikan ide baru

Anda mungkin juga menyukai