Anda di halaman 1dari 27

HAK WARIS ANAK DARI PERKAWINAN SIRI MENURUT

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010

Proposal Penelitian untuk Risalah

Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Diajukan oleh :

MOHAMMAD JIHAN FADLI

NIM : 19070527

Kepada

PENDIDIKAN ULAMA TARJIH MUHAMMADIYAH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

YOGYAKARTA

Rabi’ul Akhir 1443


November 2021
BAB I

HAK WARIS ANAK DARI PERKAWINAN SIRI MENURUT PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010

A. Latar Belakang

Pernikahan atau juga dikenal sebagi perkawinan merupakan anjuran

dari Allah SWT yang bertujuan untuk menyatukan dua insan manusia

yang berimplikasi pada menyatunya dua keluarga yang pada umumnya

mempunyai latar belakang yang berbeda. Menurut Undang-undang No. 1

Tahun 1974 perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang

Maha Esa.(UU. No. 1 Tahun 1974, Ps. 1) Berdasarkan peraturan

perundang-undangan di Indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2

ayat (1) dijelaskan bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya. Dalam agama

Islam telah ditetapkan rukun-rukun pernikahan yang apabila rukun-rukun

tersebut telah terpenuhi semua maka pernikahan dianggap sah. Lebih

lanjut lagi dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa

perkawinan bisa dipandang sah menurut hukum Negara apabila setiap dari

perkawinan itu dilakukan pencatatan sesuai perundang-undangan yang

1
berlaku. (UU. No. 1 Tahun 1974, Ps. 2) Pencatatan ini dimaksudkan untuk

mengatur dan menjamin hak dan kewajiban dalam menjalin hubungan

berumah tangga.

Allah menjadikan perkawinan sebagai jalan bagi manusia untuk

melangsungkan dan meneruskan keturunan. Dalam hal ini anak sebagai

penyambung keturunan, penerus masa depan, sandaran orang tua di kala

usia senja, dan penerus hak orang tua ketika sudah tiada.(Saefi, 2018)

Secara hukum perundang-undangan, anak dipandang sah apabila

dilahirkan dari pernikahan yang sah.(UU No. 1 Tahun 1974, Ps. 42)

Pernikahan yang sah ini sebagaimana yang telah dipaparkan di atas yaitu

menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan Kompilasi Hukum

Islam pasal 4 menegaskan bahwa perkawinan dianggap sah apabila

dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Hukum Islam

menegaskan bahwa perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi

rukun-rukun dan syarat-syarat nikah sebagai mana yang telah ditetapkan

oleh Syari’at Islam. Lebih lanjut lagi dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 1

tahun 1974 di samping pernikahan sah berdasarkan ketentuan agama

masing-masing juga harus dicatatkan pada lembaga negara yang terkait.

Masyarakat di Indonesia meskipun telah diatur oleh perundang-

undangan yang berlaku, tak jarang banyak yang mengabaikannya. Hal ini

dibuktikan dengan adanya sepasang lelaki dan perempuan yang

2
melangsungkan pernikahan secara agama, namun mereka tidak melakukan

pencatatan pernikahan pada lembaga Negara yang terkait. Pernikahan ini

sudah masyhur di kalangan masyarakat dengan sebutan pernikahan siri.

Ury Ayu Masitoh dalam Diversi Jurnal Hukum Volume 4 menyatakan

bahwa pernikahan siri dipicu karena mempelai belum siap secara ekonomi

untuk melangsungkan perkawinan, sehingga tidak memerlukan banyak

uang untuk melangsungkan perkawinan. Selain itu, Perkawinan siri

biasanya dilakukan oleh seorang suami yang tidak mendapat ijin dari

istrinya untuk melakukan perkawinan lagi ataupun seorang suami yang

menceraikan suaminya tetapi masih dalam proses persidangan sehingga

secara hukum laki-laki tersebut belum boleh menikah. (Masitoh, 2018:

127) Tentu dari pernikahan yang tidak sesuai dengan prosedur peraturan

perundang-undangang ini memunculkan pihak-pihak yang dirugikan,

diantara pihak yang paling dirugikan adalah istri dan anak. Istri menjadi

pihak yang dirugikan karena pernikahan ini dianggap tidak pernah ada

oleh Negara. Hal ini terjadi karena pernikahan tersebut tidak tercatat di

Kantor Urusan Agama yang konsekuensinya tidak diterbitkannya akta

perkawinan. Dari tidak terbitnya akta perkawinan ini, dampaknya apabila

pasangan suami istri siri tersebut dikaruniai keturunan maka akan

mendatangkan kesulitan dalam hal pembuatan akta kelahiran. Tentunya

apabila di kemudian hari anak tersebut menemukan suatu permasalahan

dengan ibu tiri (Istri Pertama/Istri sah), saudara tirinya (Anak-anak Istri

3
sah) dan keluarga orang tua sirinya akan menyulitkannya karena anak dari

perkawinan siri tersebut tidak memilik dokumen dan bukti resmi dari

Negara.

Menurut agama Islam anak yang terlahir ke dunia dalam keadaan

bersih dan tidak menanggung beban dosa dari siapapun termasuk kedua

orang tuanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-

An’am

ۚ
…‫اخرى‬ ‫وزر‬
ّ ‫كل نفس ّاال عليها وال تزر وازرة‬
ّ ‫وال تكسب‬...

...Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang


bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang
lain… (Q.S. al-An’am [6] : 164)

Berdasarkan penjelasan ayat di atas pertangung jawaban pidana dalam

hukum Islam bersifat individu. Maksudnya di sini adalah seseorang tidak

dapat menanggung beban dosa orang lain maupun bertanggung jawab atas

dosa orang lain. Oleh karena itu, seorang anak yang terlahir di dunia tidak

mewarisi dosa yang telah diperbuat oleh kedua orang tuanya. Dengan

demikian, resiko dari perkawinan siri yang telah diperbuat oleh kedua

orang tuanya bukan menjadi tanggung jawabnya. Kemudian dari sini

timbul persoalan bagaimana dengan status dan hak-hak anak yang

dilahirkan dari hasil perkawinan siri, termasuk hak kewarisannya.

4
Persoalan waris pada umumnya adalah pewarisan antara orang tua

dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Sehingga masalah

pewarisan hanya terjadi dengan keluarga inti saja, namun seiring

berkembangnya masyarakat, peristiwa pewarisan juga semakin bervariasi,

seperti warisan dari anak jatuh ke orang tua, saudara, pamannya, bahkan

jatuh pada orang lain karena adanya wasiat. (Masitoh, 2018: 129) Dengan

lahirnya anak di luar perkawinan yang sah, khususnya anak dari

perkawinan siri, maka pembagian harta warisan pun menjadi rumit. Status

waris anak dari perkawinan siri masih diperdebatkan di kalangan

masyarakat tentang boleh dan tidaknya memberi harta waris kepada anak

tersebut. Sebagian ada yang memperlakukan anak tersebut selayaknya

anak sah. Karena anak tersebut sah secara agama, sehingga harta warisan

akan diberikan kepadanya yang pada akhirnya tak jarang menyulut

kemarahan ahli waris lainnya. Ketika terjadi sengketa di pengadilan, anak

tersebut dinyatakan hanya mendapat sebagian kecil harta atau malah tidak

mendapat apapun karena kedudukannya lemah di mata hukum positif.

Sebagaimana pemaparan data di atas, telah ada permasalahan

tentang perkawinan siri yang dilakukan oleh mantan Mensesneg Drs.

Moerdiono dan Machica binti H. Mochtar. Mereka pada tanggal 20

Desember 1993 melangsungkan perkawinan secara hukum Islam dengan

wali nikah almarhum H. Mochtar Ibrahim dan disaksikan oleh dua orang

5
saksi, mereka adalah KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar

seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal, satu set perhiasan emas dan

berlian dibayar tunai dengan prosesi ijab qabul dilakukan antara wali nikah

almarhum H. Mochtar Ibrahim dengan mempelai pria Drs. Moerdiono.

Secara syariat Islam dan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 pernikahan

itu sah. Namun berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun

1974 keabsahan perkawinan mereka masih dipermasalahkan. Kemudian

dari pernikahan yang telah dilangsungkan, pada 5 Februari 1996 mereka

dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan.

Kemudian pada tahun 1998 hubungan perkawinan mereka kandas dan

Machica merawat Muhammah Iqbal Ramadhan sendirian. Selepas

perceraian, hubungan mereka tidak berhenti sampai di situ, perceraian

mereka berbuntut panjang. Pada tahun 2010 Machica mengajukan uji

materi ke Mahkamah Konstitusi untuk memperjuangkan hak-hak putranya

sebagai anak dari Drs. Moerdiono. (Putusan MK No 46 Tahun 2010)

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi anak yang lahir dari

perkawinan siri dianalogikan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan

yang sah. Menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan ini merupakan

konsekuensi logis dari adanya pengaturan mengenai persyaratan dan

prosedur perkawinan yang sah. Karena menurut Mahkamah Konstitusi

bukan suatu hal yang logis apabila undang-undang memastikan hubungan

6
hukum anak yang lahir dari pasang laki-laki dan perempuan yang tidak

terikat dalam suati perkawinan yang sah. (Putusan MK No. 46 tahun 2010)

Putusan Mahkamah Konstitusi di atas seakan-akan berunsur

kontradiktif dengan ketentuan hukum Islam yang menyatakan bahwa anak

lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung dosa orang tuanya.

Karena Islam tidak mengenal konsep dosa turunan. Sehingga dalam dua

ketentuan di atas terdapat unsur kerancuan, pertama Islam tidak mengenal

konsep dosa turunan, sehingga Islam menjamin hak-hak anak tersebut.

Kedua negara tidak mengakui adanya pernikan siri sehingga negara tidak

mengakui adanya pernikahan tersebut dan konsekuensinya negara tidak

bisa menjamin hak konstitusi dari anak yang lahir dari perkawinan siri.

Oleh karena itu, timbul suatu permasalahan mengenai hak waris anak dari

pernikahan siri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis merumuskan

masalah diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan keperdataan anak dari perkawinan siri dengan

ayah sirinya menurut putusan Mahkamah Konstitusi?

2. Bagaimana hak waris anak hasil perkawinan siri menurut putusan

Mahkamah Konstitusi?

7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukan penelitian ini diantaranya :

1. Untuk menjelaskan hubungan keperdataan anak yang dilahirkan dari

perkawinan siri dengan ayah sirinya menurut putusan Mahkamah

Konstitusi no. 46/PUU-VIII/2010

2. Untuk menjelaskan hak waris anak yang lahir dari hasil pernikahan siri

menurut putusan Mahkamah Konstitusi no. 46/PUU-VIII/2010

Adapun harapan kegunaan dari penelitian ini antara lain:

1. Dapat memberikan kejelasan hukum dan perlindungan hak-hak anak

yang lahir dari hasil pernikahan siri. Sehingga anak tersebut tidak

mendapat diskriminasi dari berbagai pihak dan kewajibannya bisa

terpenuhi secara maksimal.

2. Dapat memberikan sumbangsih terhadap kajian studi ilmu mawaris

dan memberikan sudut pandang baru.

3. Dapat menambah dan berbagi wawasan pengetahuan dan referensi

bagi peneliti lain yang akan mebahas permasalahan yang setema.

D. Tinjauan Pustaka

Perbincangan mengenai masalah kewarisan sesuai ketentuan Islam

merupakan sesuatu yang urgen. Karena masalah ini sering menimbulkan

8
persengketaan dan perselisihan dalam sebuah keluarga. Penelitian dan

karya tulis mengenai masalah kewarisan dan pernikahan siri ini telah

banyak dilakukan penelitian.

Dalam rangka mewujudkan penelitian yang professional dan

mencapai target maksimal, peneliti melakukan telaah Pustaka untuk

menghindari terjadinya plagiasi. Setelah peneliti melakukan penelusuran

pustaka belum menemukan penelitian yang membahas hak waris anak dari

hasil pernikahan siri ditinjau berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi

No. 46/PUU-VIII/2010. Adapun karya tulis yang membahas mengenai

persoalan mawaris dan kedudukan anak dari perkawinan siri yang telah

penulis temukan, diantaranya:

Jurnal Diversi Jurnal Hukum volume 4 nomor 2 yang terbit pada

bulan Desember 2018 yang ditulis oleh Ury Ayu Masitoh mahasiswa

fakultas hukum Universitas Islam Kadiri Kediri dengan judul “Anak hasil

perkawinan siri sebagai ahli waris ditinjau dari hukum perdata dan

hukum Islam”. Dalam penelitian ini peneliti membandingkan dua sumber

hukum waris yang digunakan di Indonesia yaitu hukum waris perdata dan

hukum waris Islam untuk menganalisis hak waris anak yang dilahirkan

dari perkawinan siri. Hasil dari penelitian ini penulis mengambil

kesimpulan bahwa anak hasil perkawinan siri memiliki kedudukan yang

sama dengan anak sah di mata hukum Indonesia. Meskipun demikian

9
penulis juga membedakan keduanya yakni dari sisi identitas dan

pewarisan. Dalam pandangan hukum perdata, anak hasil perkawinan siri

memiliki kedudukan dan bagian waris yang sama dengan anak sah,

asalkan anak tersebut telah disahkan. Sedangkan dalam hukum Islam anak

hasil perkawinan siri dan anak sah memilki kedudukan yang sama

meskipun tidak disahkan. Lebih lanjut Ury Ayu Masitoh menjelaskan

kedua pandangan hukum, suatu perkawinan yang ada haruslah mendapat

akta nikah dari pegawai pencatatan. Sehingga dengan tidak adanya

pencatatan nikah, dalam hal identitas anak tersebut dianggap sebagai anak

luar perkawinan.

Jurnal Lex Privatum Vol. VI no. 9 yang diterbitkan di bulan

November 2018 dengan judul “Studi komparasi pembagian warisan

menurut hukum Islam dan hukum adat” karya Muhammad Faisal Tambi.

Berbeda dengan sebelumnya, penelitian ini membahas tentang

perbandingan dan persamaan hukum waris Islam dan hukum waris adat.

Hasil dari penelitian ini penulis memaparkan dua kesimpulan, pertama

persamaan antara hukum waris Islam dan Hukum waris adat yang sama-

sama membahas tentang pemindahan harta peninggalan pewaris kepada

ahli waris dan menetapkan anak dan keturunannya sebagai ahli waris

utama. Kedua tentang perbedaan, dalam hukum kewarisan Islam dikenal

dengan sistem kewarisan secara individual bilateral, sedangkan dalam

10
hukum kewarisan adat selain sistem kewarisan individual juga dikenal

sistem kewarisan kolektif dan mayoret. Selain itu penulis juga

memaparkan tentang dasar pembagian harta warisan. Dalam hukum waris

Islam pembagian harta warisan didasarkan pada al-Qur’an, Hadis, dan

Ijtihad para Ulama. Sedangkan pembagian harta warisan dalam hukum

waris adat didasarkan dengan cara musyawarah kekeluargaan.

Skripsi “Hukum Mawaris anak hasil dari perkawinan siri di desa

Tanjung Lago kecamatan Tanjung Lago kabupaten Banyuasin ditinjau

dari hukum positif dan hukum Islam” karya dari Yolanda Andriyani

mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palembang. Penelitian ini

membahas tentang hak waris anak hasil perkawinan siri yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat desa Tanjung Lago kecamatan Tanjung Lago

kabupaten Banyuasin. Dimana pada masyarakat tersebut praktik

pembagian harta warisnya berbeda dengan hukum perdata dan hukum

Islam. Adapun hasil dari penelitian ini, penulis mengambil kesimpulan,

menurut hukum perdata secara kedudukan dan bagian waris anak tersebut

memiliki hak yang sama dengan anak sah asalkan anak tersebut telah

disahkan. Sedangkan dalam hukum Islam anak tersebut memiliki

kedudukan dan hak waris yang sama meskipun tidak disahkan. Adapun

kendala yang terjadi di desa Tanjung Logo dalam pelaksanaan pembagian

11
waris pada anak hasil perkawinan siri adalah karena kurangnya rasa

percaya antara sesama keluarga.

Skripsi “Status waris anak dalam kandungan istri siri menurut

hukum Islam dan hukum perdata” karya Nurul Akhwati Abdullah

mahasiswa Universitas Islam Alauddin Makasar. Penelitian ini membahas

berkaitan dengan hak-hak dan kedudukan anak dalam kandungan istri siri

dianalisis berdasarkan hukum Islam dan hukum perdata. Pada penelitian

ini juga dilakukan studi komparasi tentang hukum Islam dan hukum

perdata. Sama seperti penelitian sebelumnya, menurut hukum Islam dan

hukum perdata anak yang masih di dalam kandungan istri siri dapat

memperoleh haknya sebagai ahli waris sepanjang memperoleh pengakuan

dari ayah biologisnya.

Skripsi “Kedudukan anak dan harta dalam perkawinan siri ditinjau

dari UU nomor 1 tahun 1974” karya Agung Suryanto mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini membahas tentang

keabsahan perkawinan siri dan kedudukan anak dari perkawinan siri

ditinjau menurut UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Skripsi “Kedudukan hak waris anak dari pernikahan siri menurut

UU nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU nomor 1 tahun

1974” karya Iqbal Refah Erbanka mahasiswa Universitas Islam Malang.

12
Penelitian ini membahas tentang kedudukan anak dari hasil perkawinan

siri dan mengupas tentang dampak yang ditimbulkan dari hasil perkawinan

siri. Pisau analisis dalam menjawab persoalan ini penulis mengacu pada

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Karya tulis dari Komari, hakim Mahkamah Agung Republik

Indonesia dengan judul “Eksistensi Hukum Waris di Indonesia: antara

Adat dan Syari’at” yang diterbitkan oleh jurnal asy-Syari’ah, Volume

XVII, Nomor 2, Agustus 2015. Dalam karya tulis ini, penulis mengkaji

tentang praktik hukum waris di Indonesia yang dipengaruhi oleh tiga

sistem hukum, yaitu hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat.

Kesimpulan dari penelitian ini, bahwa sampai saat ini pelaksanaan hukum

waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum adat dan syari’at. Hal

ini tampak dari sikap yang bertolak belakang di kalangan masyarakat

muslim Indonesia. Dimana masyarakat Indonesia di satu sisi ingin

menerapkan hukum waris Islam, tetapi di sisi lain mereka masih

memegang teguh hukum adat.

Jurnal Al-Ahwal, Vol. 10 yang diterbitkan pada bulan Juni 2017

karya dari Muhammad Ubayyu Rizka dan Siti Djazimah mahasiswa

Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Analisis Maqa>sid

asy-Syari>’ah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-

VIII/2010 dan Implikasinya terhadap Hukum Keluarga Islam di

13
Indonesia”. Peneliatian ini membahas tentang putusan Mahkamah

Konstitusi yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya

dan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya sepanjang

bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam

penelitiannya peneliti menggunakan pendekata Maqa>sid asy-Syari>’ah.

Hasil dari penelitian ini, peneliti memaparkan kesimpulan bahwa putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam,

bahkan sejalan dengan prinsip-prinsip Maqa>sid asy-Syari>’ah terutama

pada prinsip hifz an-nasl (keturunan) dan hifz an-nafs (jiwa).

Jurnal Yuridis Vol. 6 No. 1 yang terbit pada bulan Juni 2019, dengan

judul “Progresivitas Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PUU-VIII/2010” karya dari Sarifudin Mahasiswa STAI Cirebon dan

Kudrat Abdillah Mahasiswa IAIN Madura. Dalam karya tulis ini, penulis

mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ditinjau

dari optik hukum progresif. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam

penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

No. 46/PUU-VIII/2010 telah mencerminkan semangat hukum progresif

sebagaimana yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Letak progresivitasnya

terletak pada semangat para hakim untuk terus menggali dan mencari

keadilan substantif walaupun harus dengan cara “melampaui” bunyi teks

14
peraturan perundang-undangan (rule breaking), demi memenuhi rasa

keadilan hukum di Masyarakat.

Melihat penelitian-penelitian di atas, sampai saat ini belum ada

penelitian hak kewarisan anak dari perkawinan siri dengan perspektif

putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Penelitian yang

telah ada adalah pembagian hak waris anak perspektif hukum Islam,

hukum perdata, hukum adat, dan Kompilasi Hukum Islam.

Oleh karena itu, berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan

di atas maka penulis ingin menyampaikan judul penelitian “Hak Waris

Anak dari Perkawinan Siri Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No

46/PUU-VIII/2010”. Karena pada pembahasan terdahulu sudah banyak

yang membahas mengenai persoalan hak waris anak dari perkawinan siri,

namun belum ada penelitian yang membahas problematika tersebut

menggunakan pendekatan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-

VIII/2010.

E. Kerangka Teoritik

Fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang hak waris anak dari

pernikahan siri menurut putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-

VIII/2010. Oleh karena itu, untuk menguraikan permasalahan di atas akan

digunakan teori-teori sebagai berikut:

15
1. Sebab-sebab menjadi ahli waris

Menurut hukum kewarisan Islam sebab-sebab menjadi ahli waris

diantaranya terjadi karena adanya hubungan nasabiyah (nasab) dan

sababiyah (perkawinan). Hubungan nasab ini diawali karena adanya

hubungan perkawinan dan proses mengandung pada masa kehamilan.

Para ulama sepakat bahwa batas minimal masa kehamilan adalah

sekurang-kurangnya enam bulan dari waktu senggama. Menurut Imam

Abu Hanifah waktu masa kehamilan wanita adalah enam bulan dari

waktu prosesi akad nikah. (Az-Zuhaili, tt: 28) Mayoritas ulama

berpendapat bahwa batas masa mengandung wanita minimal enam

bulan itu mengacu dari penggabungan dua ayat al-Qur’an yaitu:

...‫محلته ّامه كرها ّووضعته كرها ومحله وفصله ثلثون شهرا‬...

...Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan

melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung

sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan... (al-Ahqaf [46] : 15)

...‫محلْته ّامه وهنا على وهن ّوفصاله ف عامني‬...

...Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang


bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun...
(Luqman [31] : 14)

16
Oleh karena itu, dari proses perkawinan dan masa mengandung

akan lahir keturunan dari pasangan suami istri tersebut. Dalam Islam

seorang anak dianggap sah apabila terlahir dari hasil perkawinan yang

sah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Saw,

‫الولد للفراش‬

“Nasab seorang anak itu dinisbahkan kepada kedua orang


tuanya yang melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang sah.”

Begitu pula dalam hukum positif di Indonesia, seorang anak

dianggap sah apabila terlahir dari hasil perkawinan yang sah. Hal ini

telah dijelaskan di dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 “Anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah.” Jadi anak yang terlahir dari rahim seorang

wanita dengan jalur perkawinan yang sah maka nasabnya

dikembalikan kepada suami tersebut.

2. Keabsahan Perkawinan

Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia,

perkawinan sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat

kediaman mempelai, di masjid, maupun di Kantor Urusan Agama

dengan ijab dilakukan oleh wali nikah calon istri dan qobul diucapkan

17
oleh calon suami. Ucapan ijab dan qobul yang diucapkan oleh kedua

belah pihak tersebut harus terdengar dengan jelas di hadapan dua orang

saksi akad nikah. (Hilman, 1990: 29) Jadi menurut hukum Islam

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang diucapkan ijab oleh wali

nikah dan qobul oleh mempelai pria di hadapan dua orang saksi dalam

suatu majelis akad nikah.

Sedangkan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia,

dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 (UU perkawinan)

perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan hukum

masing-masing agama dan kepercayaanya. Dalam Kompilasi Hukum

Islam pasal 4 dijelaskan perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum Islam sesuai dengan ketentuan UU perkawinan pasal 2

ayat (1). Lebih lanjut untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi

seluruh masyarakat Indonesia dalam pasal 2 ayat (2) UU perkawinan

dijelaskan perkawinan harus dicatatkan pada lembaga negara yang

terkait. Ketentuan tentang pencatatan perkawinan ini selanjutnya diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Menurut fatwa Muhammadiyah mencatatkan perkawinan bagi

umat Islam hukumnya wajib. Menurut Muhammadiyah pada awalnya

hukum Islam tidak mengatur adanya pencatatan perkawinan. Pada

masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya

18
pencatatan perkawinan. Pada waktu itu perkawinan yang telah

dilakukkan diumumkan di khalayak umum dengan media walimatu al-

‘urs, sebagimana sabda Rasulullah saw,

‫أعلنوا هذا النكاح و اضضربوا عليه ابلغرابل‬

“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” (H.R. Ibnu


Majah dari Aisyah)

‫أومل ولو بشاة‬

“Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan


memotong seekor kambing” (H.R. al-Bukhari dari Abdurrahman bin
‘Auf)

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadi

perkawinan, maka pembuktiannya cukup dengan alat persaksian.

Namun karena adanya perubahan dan tuntutan zaman,

Muhammadiyah mengeluarkan fatwa pencatatan perkawinan itu

hukumnya wajib. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan

perkawinan di masyarakat dengan tujuan untuk menjamin kepastian

hukum dan melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan dari

segi hak nafkah, hubungan orang tua dan anak, kewarisan dan lain-

lain. Menurut Muhammadiyah pencatatan perkawinan dan pembuatan

19
akta perkawinan diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan

muammalah yang pada situasi tertentu diperintahkan untuk mencatat.

Sebagaiman disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282,

ْٓ
ّ ‫منوا اذا تداينتم بديْن ااٰل اجل ّم‬
...‫سمى فاكتبوه‬ ْْٓ ‫اٰييّها الّذين ا‬

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan


utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...(al-Baqarah [2]: 282)

Menurut Muhammadiyah akad nikah bukanlah muammalah biasa,

akan tetapi perjanjian yang sangat sakral dan kuat. Oleh karena itu,

jika utang piutang atau hubungan kerja harus dicatatkan, maka

semestinya akad nikah yang begitu sakral, luhur, dan agung harus

lebuh utama dicatatkan. (Majelis Tarjih, 2019: 48-51)

3. Alat Bukti Perkawinan

Akibat dari pencatatan perkawinan, maka akan diterbitkannya

akta perkawinan (buku nikah) sebagai alat bukti perkawinan. Akta

perkawinan ini disiapkan oleh pegawai pencatatan dan ditandatangani

oleh kedua mepelai, kedua saksi, wali nikah dan pegawai pencatatan

berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan dibuat dalam

dua rangkap, rangkap pertama disimpan oleh pegawai pencatat, dan

rangkap kedua disimpan panitera pengadilan dalam wilayah kantor

20
pencatatan. Kemudian kedua mempelai diberikan kutipan akta

perkawinan. (Hilman, 1990: 92) Pencatatan perkawinan ini telah diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada bab dua.

Alat bukti perkawinan selain akta perkawinan adalah Isbat nikah.

Isbat nikah adalah penetapan perkawinan suami istri yang telah

dilaksanakan sesuai ketentuan agama Islam yaitu dengan terpenuhinya

syarat dan rukun nikah, tetapi perkawinannya belum dicatatkan ke

pejabat yang berwenang yaitu pegawai pencatatan perkawinan. Isbat

nikah merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama yang

diperuntukkan bagi mereka yang melakukan nikah sebelum

diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan. Juncto (Jo) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

(pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974) Akan tetapi, kewenangan ini

diperluas dengan merujuk ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 7.

Dalam pasal tersebut dijelaskan apabila perkawinan tidak dapat

dibuktikan dengan buku nikah, maka suami atau istri, anak-anak

mereka, wali nikah dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan

perkawinan tersebut dapat mengajukan isbat nikah ke Pengadilan

Agama. Adapun isbat nikah yang dapat diajukan di Pengadilan Agama

adalah karena adanya perkawinan dalam rangka menyelesaikan

perceraian, hilangnya akta perkawinan, adanya keraguan tentang

21
keabsahan perkawinan, adanya perkawinan sebelum berlakunya UU

perkawinan dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.

(pasal 7 Kompilasi Hukum Islam)

F. Metode Pembahasan

Dalam penyusunan penelitian ini menggunakan metode penelitian

guna memudahkan pembahasan dan penelitian. Metode penelitian adalah

prosedur atau langkah-langkah dilakukan oleh peneliti dalam melakukan

penelitian. Metode penelitian menyangkup pengumpulan data, cara

menganalisis data, dan cara memaparkan data. (Sofia, 2017: 92) Adapun

metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini fokus mengkaji tentang hak waris anak dari

perkawinan siri menurut hukum waris adat dan hukum waris Islam.

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka atau Library research

yaitu penelitian dengan mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis

seperti kitab atau buku-buku yang berhubungan dengan topik

pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas. Oleh

karena itu, data dari penelitian ini bersifat penelitian kualitatif.

22
2. Sumber Data

Penelian ini menggunakan dua jenis sumber kepustakaan yaitu

sumber primer dan sumber sekunder. Data primer dalam penelitian ini

adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

Sedangkan data sekundernya adalah data dokumen berupa kitab

seperti Fiqih Islam wa adillatuhu, buku seperti Hukum Waris Islam

(K.H. Azhar Basyir), Hukum Perkawinan Indonesia, Tanya Jawab

Agama (Majelis Tarjih), Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin dalam

perspektif putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,

serta jurnal dan artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Di mana

dokumen-dokumen tersebut setema dengan pembahasan yang sedang

penulis kaji.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

metode dokumtasi, yaitu data dari sumber primer dan sekunder.

Kemudian data-data yang sudah ada dikaji, kemudian dipaparkan

sesuai dengan bahasan penelitian. Sumber dari pembahasan penelitian

ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

sebagai sumber primernya dan mengumpulkan sumber-sumber data

lain yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai sumber sekundernya.

23
G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam punulisan penelitian ini, penulis

membagi ke dalam lima bab yang masing-masing bab terdapat subbab

tersendiri. Adapun bab-bab itu diantaranya:

Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah yang memaparkan tentang masalah yang mendorong penulis

untuk melakukan penelitian ini, kemudian dilanjutkan dengan rumusan

masalah untuk memfokuskan pembahasan pada penelitian ini. Kemudian

bab ini juga terdapat tujuan dan kegunaan penelitian yang hendak dicapai

oleh peneliti, serta sistematika pembahasan yang menjelaskan secara garis

besar hal-hal yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Bab kedua adalah gambaran umum tentang mawaris dan pernikahan.

Dalam bab ini membahas tentang pengertian waris, prinsip-prinsip hukum

kewarisan, system kekeluargaan dan pembagian harta warisan. Selain itu

pada bab ini juga membahas tentang pengertian perkawinan, rukun dan

syarat sah perkawinan, dan perkawinan yang terlarang dalam hukum Islam

dan perundang-undangan.

Bab ketiga adalah gambaran umum tentang putusan Mahkamah

Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Dalam pembahasan ini penulis akan

24
menguraikan tentang putusan MK berupa permasalahan yang melatar

belakangi lahirnya putusan tersebut dan hasil putusannya.

Bab keempat adalah pembahasan dan hasil penelitian yang di

dalamnya membahas tentang sah tidaknya perkawinan siri menurut hukum

Islam dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu juga membahas

tentang hak waris anak dari perkawinan siri menurut hukum Islam dan

MK. juga cara penyelesaian masalah pembagian harta warisan kepada

anak tersebut menurut hukum yang berlaku.

Bab kelima adalah penutup yang di dalamnya berisi tentang

kesimpulan yang mana kesimpulan ini adalah jawaban dari rumusan

masalah yang sedang diteliti. Selain itu pada bab penutup ini berisi saran

dari peneliti tentang problematika yang telah dibahas dalam penelitian.

25
DAFTAR PUSTAKA

Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press, 2013

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu. tt: Daar al-Fikr, tt

Faisal Tambi, Muhammad. Studi Komparasi Pembagian Warisan Menurut


Hukum Islam dan Hukum Adat. Jurnal. Lex Privatum Vol. VI/No.
9/Nov/2018

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang Hukum


Adat Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990

Kosim. Fiqih Munakahat I dalam Kajian Filsafat Hukum Islam dan


Keberadaannya dalam Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia.
Depok: Rajagrafindo Persada, 2019

Lev, Daniel S. Islamic Courts in Indonesia A Study in the Political Basses of


Legal Institutions (terjemahan). Jakarta: Intermasa, 19980

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa-fatwa Tarjih Tanya Jawab


Agama jilid 8. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019

Masitoh, Ury Ayu. Anak Hasil Perkawinan Siri Sebagai Ahli Waris Ditinjau dari
Hukum Perdata dan Hukum Islam. Jurnal Hukum. Vol. IV/No.
2/Des/2018

Muhibbussabry. Fikih Mawaris. Medan: Pusdikra Mitra Jaya, 2020

Muzammil, Iffah. Fikih Munakahat Hukum Pernikahan dalam Islam. Tangerang:


Tira Smart, 2019

Sofia, Adib. Metode Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Bursa Ilmu, 2017

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara, 2012

Anda mungkin juga menyukai