Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

NIKAH SIRRI
Untuk Memenuhi Nilai Pada Beban SKS

NAMA. MAIKEL M IMBURI


NPM. 2019013

FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM UMEL MANDIRI JAYAPURA
JAYAPURA
2022
Nama : Maikel M Imburi
Nim : 2019013

Pernikahan adalah proses mengikat janji suci antara pria dan wanita. Ini adalah ibadah yang

mulia dan suci. Pernikahan tidak boleh dilakukan sembarangan karena merupakan ibadah

yang paling lama dan bisa dipertahankan sampai maut memisahkan. Tujuan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana tercantum dalam pasal 2

yang berbunyi: “Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”, pada dasarnya sahnya suatu perkawinan yang dianggap sah menurut hukum, agama

dan kepercayaan pemeluknya. Tentu saja, termasuk yang dinyatakan sah menurut hukum

Islam, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pencatat perkawinan, meskipun sah,

dianggap tidak memiliki kekuatan hukum dalam Pasal 5 dan 6 Kompilasi Islam. Hukum.

catatan (Kantor Urusan Agama) tempat tinggal calon mempelai wanita. Untuk itu, guna

memperoleh kekuatan hukum, untuk kemaslahatan, serta untuk mencegah kemungkinan

menghindari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkawinan tersebut, secara normatif

setiap perkawinan perlu dilakukan sebelum dan di bawah pengawasan pencatat perkawinan.

Artinya jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun-rukun perkawinan telah

dilaksanakan, maka perkawinan tersebut sah, terutama dalam pandangan agama dan

kepercayaan masyarakat. Namun keabsahan perkawinan ini dalam pandangan agama dan

kepercayaan masyarakat juga perlu diperhatikan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi

masyarakat yang dibuktikan dengan akta nikah dan masing-masing suami istri mendapatkan

haknya, jika terjadi perselisihan atau perselisihan. antara mereka atau salah satu dari mereka

tidak bertanggung jawab, yang lain dapat melakukannya. upaya hukum untuk

mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing.


Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang, sangat berguna dan

bermanfaat bagi dirinya dan keluarganya (istri dan anak) untuk menolak dan menghindari

kemungkinan di kemudian hari pengingkaran terhadap perkawinannya dan akibat hukumnya.

perkawinan itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan). perkawinan) dan

juga untuk melindungi dari fitnah (tuduhan zina). Jadi jelas bahwa pencatatan nikah untuk

mendapatkan akta nikah sangatlah penting.

Bagi yang beragama Islam, tetapi tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan

akta nikah, maka dapat mengajukan permohonan Istbat nikah (penetapan/penguatan nikah) ke

Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Namun, Istbat

pernikahan ini hanya mungkin jika menyangkut

 Adanya pernikahan dalam rangka penyelesaian perceraian;


 Hilangnya Akta Nikah;
 Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat pernikahan;
 Adanya pernikahan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No 1/1974;
 Pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan pernikahan
menurut Undang-Undang No 1/1974.

Artinya, jika salah satu dari lima alasan di atas bisa digunakan, untuk mengajukan Istbat

Nikah ke Pengadilan Agama.

Di sisi lain, akan sulit jika tidak memenuhi salah satu alasan yang disebutkan. Sedangkan

permohonan istbat nikah karena alasan lain (tidak dalam rangka perceraian) hanya

dimungkinkan, jika Anda sudah memiliki Akta Nikah dari instansi yang berwenang.

Bersamaan dengan pembuatan aturan tentang kebutuhan jika perkawinan dicatat di KUA

(Kantor Urusan Agama) maka dikeluarkan akta atau surat nikah untuk menegaskannya. Jika

sudah terdaftar di KUA dan ada akta nikah justru dapat mengurangi pelanggaran hukum

(mafsadat), atau menguntungkan integritas dan kesejahteraan pasangan suami istri, maka

pencatatan nikah di KUA dapat dihukum sunnah.


Perkawinan yang hanya dilakukan menurut hukum Islam dan tidak dilakukan di hadapan

Pencatat Nikah (PPN) dan tidak dicatat dalam Kantor Urusan Agama (KUA) disebut sebagai

nikah sirri atau pernikahan di bawah tangan. Dari sisi hukum Islam, pernikahan ada di bawah

tangan hal ini tidak mengakibatkan perkawinan menjadi batal demi hukum, melainkan dari

hukum Positif di Indonesia, dianggap tidak melalui prosedur hukum karena tidak

mendaftarkan perkawinannya menurut UU Perkawinan. Pernikahan ini biasanya dilakukan

oleh Ulama atau orang yang dianggap tahu hukum munakahat (perkawinan), inilah yang

dimaksud dengan Pernikahan Siri.

Perkawinan di luar nikah yang secara agama dianggap sah, ternyata justru menimbulkan

banyak masalah yang berdampak pada kerugian perempuan. Perkawinan di luar nikah

seringkali dijadikan jalan pintas bagi pasangan suami istri untuk melegalkan hubungan

mereka, padahal tindakan ini pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan. Tulisan ini mencoba mengungkap faktor apa saja yang

melatarbelakangi seseorang melakukan nikah siri, selain masalah dan dampak yang menimpa

perempuan. Pada dasarnya nikah siri dilakukan karena ada hal-hal yang dianggap tidak

mungkin bagi pasangan untuk menikah secara formal. Banyak faktor yang melatarbelakangi

terjadinya nikah siri, yang menurut penulis semua alasan tersebut menyebabkan nikah siri

dipandang sebagai jalan pintas yang lebih mudah untuk membenarkan hubungan suami istri.

Masalah yang paling nyata mengiringi nikah siri adalah masalah hukum terutama bagi

perempuan, tetapi juga masalah internal dalam keluarga, masalah sosial dan psikologis yang

melibatkan opini publik yang menimbulkan tekanan mental terhadap perilaku, masalah

agama yang perlu dipertanyakan keabsahannya akhir-akhir ini. . merajalela di Indonesia.

Dampak nikah siri bagi perempuan adalah secara hukum, istri tidak dianggap sebagai istri

sah, tidak berhak atas warisan jika suaminya meninggal, tidak berhak atas harga gono-gini
jika terjadi cerai. Dampak ini juga berlaku bagi anak kandung hasil perkawinan yang tidak

dicatatkan.

Perkawinan yang tidak dicatatkan di depan Pencatat Nikah (PPN) dan hanya dilaksanakan

berdasarkan syarat sahnya perkawinan menurut syariat Islam tidak memiliki kekuatan

hukum, maka akibat hukumnya yang timbul dari perkawinan tersebut tidak mendapat

perlindungan hukum. Akibat hukum dari perkawinan sirri umumnya berdampak sangat

merugikan bagi istri, baik secara hukum maupun secara sosial, serta bagi anak-anak yang

dilahirkan. Secara hukum, wanita tidak dianggap sebagai istri. Dia tidak berhak untuk

penghasilan dan warisan dari suami jika suaminya meninggal. Selain itu, isteri tidak berhak

atas warisan jika terjadi cerai atau cerai, karena secara hukum perkawinan dianggap tidak

pernah terjadi. secara sosial, istri akan sulit bersosialisasi karena wanita yang melakukan

pernikahan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan pria tanpa ikatan

perkawinan atau dianggap sebagai simpanan.

Nikah tidak sah di bawah tangan tanpa menurut hukum negara juga berdampak negatif

pada status anak yang dilahirkan anak luar nikah, anak tersebut hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibu dan keluarganya ibu.

Anak juga akan kesulitan untuk mendapatkan akta kelahiran karena salah satu syarat

pembuatan akta kelahiran adalah melampirkan kartu keluarga yang masih berlaku dibuat

berdasarkan akta nikah orang tua anak. Akta Nikah merupakan bukti otentik keabsahan

perkawinan seseorang sangat bermanfaat bagi pasangan suami istri Dengan mendaftarkan

pernikahan kepada petugas yang berwenang. Jadi akibat hukum yang timbul dari pernikahan

tersebut akan mendapat perlindungan hukum dari pemerintah terutama untuk istri dan anak-

anaknya. Selain itu, anak membutuhkan dan mendapatkan hak atas pendidikan, cinta dan
kesehatan dari keduanya orang tuanya, yang pada umumnya hak-hak anak tidak diperoleh

jika anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan.

Lalu bagaimana cara mengatasi masalah yang muncul di bawah kekuasaan perkawinan,

seperti sengketa harta benda, anak-anak, atau warisan yang seharusnya dapat diserahkan

kepada Pengadilan atau pejabat yang berwenang. Meskipun anak-anak yang lahir dari

perkawinan yang sah diakui sebagai warga negara Indonesia, tetapi dalam hal memperoleh

hak seperti memperoleh identitas, pendidikan, kesehatan serta tidak berhak atas nafkah dan

warisan dari ayahnya jika ayahnya telah meninggal dunia berbeda dengan anak yang lahir

dari perkawinan yang sah karena lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut Negara.

Anda mungkin juga menyukai