Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KONSTITUSI INDONESIA
Untuk Memenuhi Nilai Pada Beban SKS
Mata Kuliah
KONSTITUSI INDONESIA

Dosen Pengampuh :
DOSEN.
Dr. ROIDA HUTABALIAN, SH, MH

NAMA. MAIKEL M IMBURI


NPM. 2019013

FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM UMEL MANDIRI JAYAPURA
JAYAPURA
2022
A. PENDAHULUAN

Setiap negara di seluruh dunia pasti memiliki konstitusinya, apa itu konstitusi ?.
Konstitusi ( constituante ). Istilah ini berkaitan dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum
atau prinsip. Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya
menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya. Dalam
kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan
hukum. Istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai
prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur,
prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya. Konstitusi
umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi
dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.
Dalam bentukan organisasi konstitusi menjelaskan bentuk, struktur, aktivitas, karakter, dan
aturan dasar organisasi tersebut. Jenis organisasi yang menggunakan konsep konstitusi yaitu,
organisasi pemerintahan (transnasional, nasional atau regional), organisasi sukarela,
persatuan dagang, partai politik, perdagangan beras dan rempah-rempah. Konstitusi pada
umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah dokumen yang berisi aturan-aturan untuk
menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara. Namun dalam pengertian ini, konstitusi
harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Menurut para
ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan
politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distribusi maupun alokasi.
Konstitusi bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan
kompleksitas strukturnya, terdapat pula konstitusi politik atau hukum akan tetapi
mengandung pula arti konstitusi ekonomi.

Sudah menjadi sebuah kenyataan bahwa tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak
memiliki konstitusi. Oleh karena itu, negara dan kontitusi merupakan dua lembaga yang tak
terpisahkan dalam kehidupan demokrasi suatu bangsa, sebab negara sebagai sebuah lembaga
adalah suatu arena kehidupan yang netral, di mana pewarnaannya sangat tergantung pada
bentuk-bentuk kekuasaan dan pengisian kekuasaan tersebut. Masalah dasar yang sering
muncul dalam sebuah negara – kaitannya dengan pengisian kekuasaan dan penyelenggaraan
kekuasaan – adalah mengenai bagaimana legitimasi dari kekuasaan dan ruang batas
kekuasaan itu diberikan dan dijalankan? Masalah berikutnya yang juga selalu mengiringi
adalah mengenai prinsip-prinsip umum dari penyelengaraan kekuasaan itu sendiri. Konstitusi
sebagai wujud kristalisasi kehidupan bangsa, pada dasarnya merupakan kerangka masyarakat
politik yang diorganisir dengan dan melalui hukum mengenai pengaturan pendirian dan
pelaksanaan lembaga-lembaga kekuasaan serta jaminan kehidupan akan hak-hak politik
warga negara. Legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh sebagian dan/atau sekelompok orang
(pemerintah) untuk berkuasa atas yang lainnya – di samping karena proses politik, juga
karena dibenarkan dan/atau dengan melalui konstitusi untuk menjamin keberlangsungan
hidup bersama. Karena itu, konstitusi juga pada prinsipnya mengandung unsur pokok dari
asas-asas penyelenggaraan kekuasaan secara luas, dan jaminan konstitusional atas hak-hak
yang diperintah serta hubungan antara keduanya.
Serta suatu negara-bangsa (nation state), konstitusi lahir dengan latar belakang sejarah
tertentu. Sebagaimana dijelaskan oleh Hawgood, tentang tiga model lahirnya konstitusi
(revolutionary constitution, parlementarian constitution, dan neo-national contitution),16 di
dalamnya terdapat bukan saja tentang prinsip-prinsip hukum yang mengatur tentang
penyelenggaraan kekuasaan negara, tetapi juga mengandung dasar, cita-cita, harapan dan
tujuan negara bangsa itu sendiri, karena konstitusi suatu negara biasanya mengandung suatu
rumusan yang di dalamnya sangat komprehensif meliputi pernyataan kemerdekaan, dasar,
cita-cita, harapan dan tujuan dari negara bangsa itu sendiri.

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa konstitusi lahir bukan sekedar sebagai dasar
hukum atas berdirinya suatu negara. Lebih dari itu, konstitusi juga merupakan landasan
kehidupan bangsa yang dalam kehidupan bernegara sebagai landasan kehidupan demokrasi.
Oleh sebab itu, konsitusi juga harus dimaknai sebagai jaminan terhadap hak-hak politik
rakyat sebagai hak konstitusional warga negara. Dalam melihat keberlangsungan demokrasi,
Slamet Efendi Yusuf memberikan pengertian dan batasanbatasan terhadap konstitusi sebagai:
Pertama, seperangkat norma yang mengandung dasar, cita-cita, harapan, dan tujuan negara.
Kedua, seperangkat peraturan yang mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam
negara. Ketiga, seperangkat peraturan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat, seperangkat peraturan yang memberikan jaminan perlindungan hak-hak politik dan
hak-hak asasi manusia kepada warga negara dan penduduk negara.
Konstitusi bukanlah suatu hal yang kaku (statis) sifatnya, yang hanya mampu memilah
mana yang benar dan yang salah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih dari
itu, konstitusi juga merupakan landasan dan motivator atas pertumbuhan dan perkembangan
bangsa dan negara. Eksistensi konstitusi merupakan perwujudan dari kristalisasi kehidupan
bangsa dan negara yang setiap saat tumbuh dan berkembang secara dinamis. Maka evaluasi,
pembaharuan dan penyempurnaan terhadap konstitusi setiap saat bagi negara yang
demokratis adalah suatu keniscayaan.
Dari kenyataan di atas, sulit untuk dibayangkan sebuah demokrasi terwujud dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa adanya kepastian yang terwujud melalui landasan
konstitusi. Seolah menjadi keyakinan dunia bahwa keberlanjutan demokrasi hanya dapat
terjaga dengan melalui landasan konstitusi yang kokoh, dalam arti konstitusi yang dapat
dijadikan landasan yang utuh dan sistematis bagi kehidupan demokrasi bangsa dalam negara.
Selain itu, sebuah negara yang diatur menurut konstitusi, merupakan landasan yang paling
logis dan paling kuat untuk menjaga keberlanjutan demokrasi. Karena di dalam konstitusi itu
sendiri, berisikan prinsip-prinsip dasar bagi demokrasi yang dibangun dan melindunginya
dari ancaman yang berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang seperti itu
adalah demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang dalam kehidupan bernegara
dikenal konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan.

Carl J. Friedrick, mengemukakan bahwa konstitusionalisme adalah gagasan bahwa


pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat,
tetapi yang tunduk kepada pembatasan yang dimaksud untuk menjamin bahwa pemerintahan
tersebut tidak disalah gunakan oleh mereka yang mendapat mandat untuk memerintah.
Sehingga demokrasi dalam pengertian pemerintahan konstitusional seperti di atas,
merupakan suatu tujuan aturan konstitusional, di mana sumber kewenangan dan kekuasaan
terakhir berada pada konstitusi itu sendiri, tidak secara atributif melekat pada tangan
penguasa – baik itu Presiden maupun parlemen, serta institusi pemerintah lainnya.
Lembaga- pemerintah tidak memiliki kewenangan yang lebih, selain apa yang telah
ditetapkan dalam konstitusi tentang lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan
kewenangannya.
Dengan dijadikannya konstitusi sebagai landasan yang kokoh atas keberlanjutan
demokrasi, maka dalam kehidupan bernegara keberadaan konstitusi harus juga menjadi
landasan negara konstitusional (contitutional state). Sebuah negara, di mana kewenangan
untuk memerintah tergantung pada konstitusi yang mendistribusikan kewenangan dalam
kekuasaan dan memberikan batasan-batasan kewenangan atas pelaksanaan kekuasaan
tersebut. Pengaturan kekuasaan dan batasan kewenangan di dalam kekuasaan yang
dilandaskan dengan dan melalui konstitusi ditegakkan untuk mewujudkan demokrasi dengan
maksud yang lebih baik, yaitu melindungi dan menjamin prinsip-prinsip dasar demokrasi dan
hak-hak politik seluruh warga negara. Namun demikian, landasan demokrasi yang utuh dan
sistematis dalam konsititusi dapat bertahan dan memiliki kekuatan yang efektif dalam
mengatur sendi-sendi kehidupan bernegara jika sumber dan keberadaanya diakui secara sah
(legitimate). Sebab tidak mungkin konstitusi sebagai landasan demokrasi menjadi legitimate
dan mengikat prilaku politik warga, kalau konstitusi tersebut tidak memperoleh pengesahan
yang kuat secara demokratis oleh rakyat. Jadi, salah satu syarat yang mendasar bagi kontitusi
untuk menopang kehidupan demokrasi harus memperolah persetujuan melalui proses
demokrasi dan mendapatkan dukungan yang luas dari sebagian besar rakyat sebagai warga
negara.

Di alam demokrasi, sebuah konstitusi keberadaannya tidak sekedar dimaksudkan menjadi


kewajiban bagi keberlanjutan demokrasi, tetapi juga bagaimana konstitusi tersebut bisa
diterima secara luas oleh rakyat. Menurut N. R. L. Haysom, konstitusi sebagai landasan
demokrasi harus memenuhi dua persyaratan yang tak terpisahkan yaitu, dukungan dan
sekaligus penerimaan mayoritas oleh berbagai ragam elemen masyarakat disegala level dan
daerah. Hal itu menjadi sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa, karena di dalamnya
terdapat hal-hal yang berbeda akan nilai, budaya, agama, ras, dan identitas yang mudah
pecah.19 Dari sini kemudian pentingnya konstitusi sebagai landasan bagi seluruh anggota
masyarakat yang beraneka ragam, agar segala kebutuhan dan kepentingannya terayomi,
terlindungi dan terintegrasi dalam kepentingan dan kesejahteraan bersama. Proses
pembuatan, persetujuan dan pengesahan konstitusi, rakyat memiliki kesempatan yang cukup
terbuka untuk memberikan partisipasi politiknya, yang tentunya diatur dalam sebuah
mekanisme yang efektif dalam menjaring aspirasi. Dalam proses tersebut dukungan dan
persetujuan rakyat menjadi penting untuk menjamin kepentingan mereka sendiri dan
keutuhan sebuah bangsa itu sendiri.

K.C. Wheare (1975) membagi konstitusi menjadi empat jenis, yaitu sebagai


berikut: Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis. Konstitusi tertulis
adalah suatu konstitusi (UUD) yang dituangkan dalam dokumen formal.
Konstitusi sendiri bisa dimaknai secara sempit maupun secara luas. Konstitusi dalam arti
sempit hanya mengandung norma-norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam
Negara. Sedangkan Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan
dasar atau hukum dasar, baik yang tertulis atau pun tidak tertulis maupun campuran keduanya
tidak hanya sebagai aspek hukum melainkan juga non-hukum (Utomo, 2007:12).

Pengertian konstitusi dari asal kata bahasa Prancis, yaitu “Constituer” yang berarti
membentuk. Sedangkan di Negara dengan penggunaan bahasa Inggris dipakai istilah
“Constitution” (Soemantri, 1993:29). Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan
dari dua kata, yaitu “cume” dan “statuere”. Cume adalah preposisi yang berarti bersama
dengan, sedangkan statuere mempunyai arti membuat sesuatu agar berdiri atau
mendirikan/menetapkan (Soetoprawiro, 1987:28–29).

Menurut Herman Heller (Syahuri, 2004:32) membagi pengertian konstitusi menjadi tiga yaitu:

 Die Politische verfassung als geselschaftlich wirk lichkeit. Konstitusi adalah


mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan.
Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
 Die Verselbtandigte revhtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan yang
hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
 Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai
undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
 Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi
itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi, hal inilah yang disebut oleh para
ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar
dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-
negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu
konstitusi (Utomo, 2007:7).

Jenis-jenis Konstitusi

K.C. Wheare (1975) membagi konstitusi menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut:

 Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis. Konstitusi tertulis


adalah suatu konstitusi (UUD) yang dituangkan dalam dokumen formal.
Sedangkan konstitusi yang bukan dalam bentuk tertulis adalah suatu konstitusi
yang tidak dituangkan dalam dokumen formal, contohnya konstitusi yang berlaku
di Inggris, Israel, New Zaeland.
 Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid. Konstitusi fleksibel bersifat elastis,
diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang.
Sedangkan konstitusi rigid mempunyai kedudukan dan derajat yang jauh lebih
tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain, hanya dapat diubah dengan
cara yang khusus atau istimewa atau dengan persyaratan yang berat.
 Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi. Konstitusi
derajat tinggi adalah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam
negara. Sedangkan konstitusi derajat tidak derajat tinggi adalah suatu konstitusi
yang tidak mempunyai kedudukan seperti derajat tinggi, sehingga persyaratan
mengubah konstitusi ini tidak sesulit mengubah konstitusi derajat tinggi,
melainkan sama dengan pengubahan undang-undang.
 Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan. Negara serikat didapatkan sistem
pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara
bagian. Pembagian tersebut diatur dalam konstitusinya atau undang-undang dasar.
Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan tersebut tidak dijumpai, karena
seluruh kekuasaannya tersentralkan di pemerintah pusat, walaupun dikenal juga
dalam desentralisasi.
 Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer.

Tujuan dan Fungsi Konstitusi Konstitusi menjadi hukum dasar suatu negara. pokok negara
dan masyarakat, yaitu:

C.F Strong menyatakan bahwa pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi
kewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa memiliki
dua tujuan, yaitu (Utomo, 2007:12):

 Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.


 Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa serta
menetapkan batas-batas kekuasaan bagi penguasa.
 Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan
jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan
yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada
penguasa untuk mewujudkan tujuan Negara.

Menurut Henc Van Maarseven bahwa konstitusi berfungsi menjawab berbagai


persoalan konstitusi menjadi hukum dasar pada suatu negara. Pokok negara dan
masyarakat, yaitu :

 Konstitusi harus merupakan sekumpulan aturan-aturan dasar yang menetapkan


lembaga-lembaga penting negara.

 Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya.


 Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban warga negara dan
pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
 Konstitusi harus mengatur dan membatasi kekuasaan negara dan lembaga-
lembaga-nya.
 Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa.
 Konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dan masyarakat.

Keberadaan konstitusi tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan negara. Konstitusi


ditempatkan pada posisi ter-atas yang menjadi pedoman untuk jalanya sebuah negara dan
mencapai tujuan bersama warga negara. Adapun Fungsi konstitusi, baik tertulis maupun tidak
tertulis adalah sebagai berikut (Asshiddiqie, 2006:122):

 Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.


 Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
 Fungsi pengatur hubungan antar organ negara dengan warga negara.
 Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara atau pun
kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
 Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli
(yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
 Fungsi simbolik sebagai pemersatu.
 Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan.
 Fungsi simbolik sebagai pusat upacara.
 Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam arti sempit hanya
dibidang politik maupun dalam arti luas yang mencakup sosial dan ekonomi.
 Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat (social
engineering dan social reform), baik dalam arti sempit atau pun luas.
A. UUD 1945 Sebagai Konstitusi Tertulis Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia

Lazimnya sebagai negara demokratis, Negara Kesatuan Republik Indonesia


(NKRI) juga memiliki konstitusi tertulis yang di kenal dengan Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945). Sebagai konstitusi negara, UUD 1945 ditetapkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 1945,
tepatnya sehari setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Pada awal ditetapkannya sebagai konstitusi negara, UUD 1945 yang kita
kenal sekarang, oleh PPKI hanya diberi nama “Oendang-Oendang Dasar”. Begitu pun
saat UUD diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II tanggal 15
Februari 1946, istilah yang digunakan masih Oendang-Oendang Dasar. Istilah UUD
1945 dikenal sebaga dasar konstitusi NKRI, baru setelah dikeluarkannya Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 istilah UUD 1945 dipakai sebagaimana yang
diundangkan dalam Lembar Negara No. 75 Tahun 1959.
Sebelum ditetapkannya istilah UUD 1945 sebagai “nama” dari konstitusi NKRI
– dalam sejarah konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebelumnya sempat mengalami
perubahan dan beberapa kali telah dilaksanakan sebagai dasar konstitusi negara.
Perubahan terhadap konsitusi sebenarnya bukan hanya menjadi sebuah dinamika
pasca jatuhnya rezim Soeharto, tetapi jauh sebelumnya perubahan terhadap konstitusi
sudah dimulai sejak lima tahun pertama pasca kemerdekaan RI. Bahkan subtansi
perubahannya pun sangat mendasar, tidak sekedar mengubah teks pasal demi pasal di
dalam batang tubuh saja, tapi juga paradigma konstitusi, negara, sistem kekuasaan,
hubungan relasioner antar lembaga negara dan juga relasi sosial antar warga dan
lembaga kekuasaan negara.
Berdasarkan sejarah konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia sejak kemerdekaan
Indonesia diproklamirkan, UUD 1945 dalam teks asli sebagaimana yang disahkan
pada tanggal 18 Agustus 1945, pernah berlaku dua kali dalam suasana ketatanegaraan
dan kurun waktu yang berbeda. Dengan teks yang berbeda – UUD 1945 mengalami
perubahan melalui empat kali amandemen – istilah UUD 1945 juga berlaku
sebagaimana yang kita miliki sekarang. Selain UUD 1945, sebelumnya Indonesia juga
sempat memiliki dua macam konstitusi, yaitu Konstitusi Repbulik Indonesia Serikat
(RIS), berlaku antara 27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950 dan Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS), berlaku antara 17 Agustus 1950 s.d. Juli 1959. Tanpa
mengurangi signifi kansi dan latar berlakang kesejarahannya, yang dimaksud dengan
UUD dalam pembahasan ini adalah UUD 1945 yang berlaku hingga sekarang sebagai
konstitusi negara.
Sebagaimana dijelaskan dalam Bagian Umum, Penjelasan UUD 1945,
antara lain dikemukakan bahwa :
“Undang-undang Dasar sesuatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya
dasar negara itu. Undangundang Dasar ialah hukum yang tertulis sedang di sampingya
Undang-undang Dasar itu belaku juga hukum-dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-
aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara
meskipun tidak tertulis. Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit
constitutionel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-
undang Dasar (loi constitutionalle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana
suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund). Dari Undang-undang Dasar”

Dari penjelasan di atas, UUD sebagai sebuah konstitusi negara disebut sebagai
hukum tertulis. Selain itu juga dipergunakan untuk menunjuk pengertian hukum dasar
(droit constitutionel). Dalam penjelasan tersebut juga diakui bahwa selain UUD
sebagai hukum dasar tertulis, juga ada hukum tidak tertulis sebagai bagian dari
peraturan perundang-undangan di luar UUD.
Menurut Joeniarto, yang dimaksud dengan UUD adalah sekumpulan dari pada
ketentuan di dalam suatu kodifi kasi mengenai hal-hal yang dasar-dasar atau pokok-
pokok dari pada ketatanegaraan suatu negara. Di dalamnya diberikan sifat yang kekal
dan luhur, sedangkan untuk merubahnya diperlukan cara yang istimewa. Termasuk
juga UUD 1945 sebagai hasil seleksi dari serangkaian pemikiran the founding father
kita, termaktub dalam sebuah dokumen resmi negara di mana untuk mengoreksi dan
mengevaluasinya dibutuhkan cara dan mekanisme yang sifatnya istemewa. Dibilang
istimewa, karena tidak seperti peratuaran perundangundangan lainnya yang dapat
diubah melalui sebuah kebijakan politik oleh lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD.
Selain itu, hal-hal yang pokok dan dasar dalam kehidupan kenegaran yang
diatur dan ditentukan dalam UUD 1945 menyangkut hak-hak konstitusional warga,
dasar-dasar ketatanegaraan, serta penegakkan hak konstitusional dalam sistem
ketatanegaraan. Namun mengenai ukuran materinya dalam beberapa konstitusi negara
di dunia tidak ada satu kesatun ukuran yang pasti. Hal ini terbukti bahwa materi yang
diatur dan ditentukan dalam masing-masing UUD suatu negara biasanya tidak sama,
sangat tergantung pada dinamika politik dan suasana kebatinan suatu negara di saat
UUD tersebut disusun. Dengan demikian, UUD 1945 di samping sebagai syarat
berdirinya negara, di dalamnya juga termasuk cita-cita, tujuan dan mekanisme
penyelenggaraan negara yang baik. Hal ini sudah menjadi kelaziman negaranegara
modern, apalagi bagi Indonesia sebagai negara baru pada waktu itu, UUD 1945 perlu
adanya, bahkan lebih dari pada itu, harus ada karena UUD 1945 merupakan puncak
dari kristalisasi perjuangan kemerdekaan bangsa.
Dalam suasana kehidupan bernegara, adanya UUD 1945 baik bagi penguasa
maupun masyarakat, kedua pihak akan dengan mudah mengetahui, mengarahkan dan
menjaga agar selalu dijunjung tinggi nilai-nilai dan pokok-pokok ketatanegaraan yang
terkandung di dalamnya. Dengan kesadaran konstitusional bersama dapat dijamin
suatu sistem ketatanegaran serta cara penyelengaraan kekuasaan negara dilaksanakan
dengan pasti dan dapat dimengerti oleh rakyat, sehingga dengan pasti dapat dijamin
juga apa yang menjadi hak-hak konstitusional warga negara beserta seluruh
kewajibannya yang dapat dituntut oleh negara kepada rakyatnya.
Sebagai hukum dasar tertinggi, UUD 1945 memiliki implikasi-implikasi
terhadap struktur dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Lazimnya sebuah
konstitusi, UUD 1945 menurut Jimly Asshiddiqie menampung dasardasar konseptual
mengenai dua hal yang sifatnya strategis. Pertama, sebagai dasar struktur dan
penyelengaraan ketatanegaraan. Sebagai dasar dari struktur ketatanegaraan UUD
1945 memiliki implikasi terhadap sistem pembagian kekuasaan, hubungan
kelembagaan, dan mekanisme check and balances dalam kekuasaan. Kedua, sebagai
instrumen peraturan perundang-undangan. Sebagai Undang-Undang Dasar tertinggi,
segala peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan
UUD 1945, sebab peraturan perundang-undangan di bawahnya dibuat atas dasar
menerjemahkan terhadap UUD 1945 di mana lembaga yang berwenang
menerjemahkannya, kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Pasca amandemen UUD 1945, isi dan kandungannya memiliki dampak pada
perubahan sistem ketatanegaraan yang cukup mendasar. Perubahan-perubahan
tersebut juga mempengaruhi struktur dan mekanisme organ-organ negara yang tidak
dapat lagi dijelaskan dan didefi nisikan menurut paradigma lama, sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Menurut Jimly Asshiddiqie,
sedikitnya ada empat pokok-pokok pemikiran baru yang diadopsikan ke dalam UUD
1945 hasil amandemen:
 Penegasan Cita Demokrasi dan Nomokrasi. Negara Indonesia menganut paham
kedaulatan rakyat atau democracy. Dalam sistem konstitusional UUD 1945,
pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut
prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum atau konstitusi
(constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie)
dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaknya dilaksanakan secara beriringan
sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
 Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip Checks and Balannces. Dalam UUD 1945
hasil amandemen, prinsip kedaulatan rakyat dibagi secara horizontal dengan
cara memisahkan kekuasaan (separation of power) ke dalam fungsi lembaga-
lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain
bedasarkan prinsip checks and balances.
 Sistem Pemerintahan Presidentil. Dalam rangka pemisahan kekuasaan dan
prinsip cheks and balances, UUD 1945 menegaskan sistem pemerintahan
Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensiil.
 Cita Persatuan dan Keberagaman. Prinsip persatuan dan keragaman kembali
ditegaskan dalam UUD 1945 karena kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat
majemuk.
Salah satu bentuk perubahan yang mempengaruhi struktur dan mekanisme organ-organ
negara tersebut adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi, sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman yang mengadili sengketa pelaksanaan kaidah UUD 1945. (Keberadaan
Mahkamah Konstitusi adalah penegasan akan eksistensi pelaksanaan negara hukum dan
demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power) dengan prinsip checks and balances.).

Anda mungkin juga menyukai