Anda di halaman 1dari 15

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO 46/PUU-VIII/2010

A. Pengertia Putusan

Keputusan, penetapan, dan putusan dalam lingkungan pengadilan

biasanya dibedakan. Keputusan adalah istilah yang sering digunakan untuk

menyebut Surat Keputusan (SK) di bidang administrasi umum seperti

pengangkatan dan pemberhentian pegawai, pejabat dan pembentukan dan

pembubaran panitia. Sementara penetapan adalah keputusan-keputusan yang

berkaitan dengan administrasi perkara atau administrasi justisial. (Huda, 2018:

129)

Jadi keputusan maupun penetapan adalah sama-sama beschikking dan

yang membedakan keduanya, keputusan adalah bidang administrasi di bidang

umum, sedangkan penetapan adalah bidang administrasi justisial. Mengenai

beschikking adalah salah satu bentuk kegiatan pemerintahan dalam

menjalankan perannya yang tergolong dalam perbuatan hukum pemerintah.

Menurut Utrecht Beshikking adalah suatu perbuatan publik yang bersegi satu

yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan

istimewa. Menurut Van der Pot Beschikking adalah perbuatan hukum yang

dilakukan alat-alat pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat alat

pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal-hal istimewa dengan maksud

mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan-perhubungan hukum.


Menurut Kamus Hukum Beschikking diartikan sebagai suatu keputusan yang

diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus atau

keputusan dalam bidang administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat atau

badan pemerintahan yang berwenag dan berwajib khusus untuk itu. (Edwar,

2018) Jadi berdasarkan penjelasan para ahli di atas, Beschikking adalah

keputusan atau penetapan yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara

atau badan pemerintahan yang memiliki kewenangan khusus.

Istilah beschikking bidang administrasi justisial di lingkungan

Mahkamah Konstitusi disebut dengan istilah ketetapan bukan penetapan.

Menurut Jimly Asshiddiqie kata keputusan berasal dari kata putus, me-mutus-

kan, dan pe-mutus-an. Kemudian padanan kata penetapan berasal dari kata

tetap, me-netap-kan, dan pe-netap-an. Sedangkan kata ke-putus-an haruslah

dipadankan dengan kata ke-tetap-an bukan penetapan. Sehingga di lingkungan

Mahkamah Konstitusi istilah keputusan di bidang administrasi justisial disebut

dengan istilah ketetapan bukan penetapan sebagaimana yang lazim digunakan

di lingkungan pengadilan biasa. (Asshiddiqqie, 2006: 277-278)

Empat bentuk produk hukum yang dihasilkan oleh Mahkamah

Konstitusi diantaranya ada: 1) putusan (vonnis), 2) peraturan (regels), 3)

ketetapan (beschikking) di bidang administrasi justisial, 4) keputusan

(beschikking) di bidang administrasi umum. Keempat produk hukum di atas

pada dasarnya harus dilaksanakan berdasarkan proses atau prosedur yang tepat
serta dilaksanakan dan diadministrasikan dengan cara yang tepat pula.

(Asshiddiqqie, 2006: 280)

Putusan (dalam bahasa Belanda disebut vonnis; vonnis een uitspreken;

dalam bahasa Inggris verdict, decision; dalam bahasa latin disebut veredictum)

adalah kesimpulan atau ketetapan (judgment) hakim untuk mengakhiri suatu

perkara yang diperhadapkan kepadanya. Putusan adalah hasil tahu, di mana

putusan terdiri dari subyek dan pengertian yang menjadi satu pengertian.

Putusan merupakan cetusan pengetahuan dari pengakuan sesuatu terhadap

sesuatu. (Sujana, 2020: 67) Putusan hakim adalah suatu akhir dari rangkaian

proses pemeriksaan suatu perkara. Putusan dalam pengertian lain adalah

penentuan atau penetapan hakim mengenai hak-hak tertentu serta hubungan

hukum di antara para pihak untuk menyelesaikan persengketaan di antara

mereka. Putusan dalam peradilan adalah perbuatan hakim sebagai pejabat

negara yang berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dilimpahkan para

pihak kepadanya. (Huda, 2018: 130-131)

Hakim konstitusi melalui putusan pengujian UU, “membuat” hukum

seperti hukum yang diciptakan oleh lembaga pembuat undang-undang (DPR

dan Presiden), sehingga hakim Mahkamah Konstitusi dapat disebut sebagai

negative legislator. (Huda, 2018: 136) Negative Legislator menurut Mahfudz

MD dalam bukunya Konstitusi dan Hukum dalam Kontrovesi Isu dimaknai

sebagai tindakan Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan norma dalam


judial review Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 atau

membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif tetap berlaku

dengan menggunakan original intent UUD 1945 sebagai tolak ukurnya. Jadi

negative legislator adalah tindakan MK yang membatalakan norma yang ada

dalam suatu bila bertentangan dengan UUD 1945. (Denisatria, 2018) Putusan

Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan seluruh atau sebagian permohonan

pengujian UU atau dapat menolak atau menyatakan permohonan pemohon

dengan amr putusan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)

terhadap materi muatan ayat, pasal dan atau bagian suatu undang-undang yang

diajukan pengujian. (Huda, 2018: 136)

Jadi putusan adalah kesimpulan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh

hakim peradilan untuk mengakhiri suatu perkara yang diperkarakan. Putusan

Mahkamah Konstitusi adalah putusan hakim konstitusi dalam mengabulkan

seluruh atau sebagian permohonan pengujian UU, atau menolak dengan

menyatakan amar putusan tidak diterima terhadap materi muatan ayat, pasal

dan bagian suatu undang-undang yang diajukan.

B. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal

24C jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan
tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahnya. Dalam pasal 10 Undang-

Undang No. 8 Tahun 2011 ditegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat

ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-

Undang ini mencangkup pula kekuatan hukum yang mengikat (final and

binding). (UU No. 8 Tahun 2011, pasal: 10 (1))

Menurut Ni’matul Huda dalam bukunya Kekuatan Eksekutoral Putusan

Mahkamah Konstitusi, kekuatan hukum mengikat artinya putusan tersebut

mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum di wilayah

negara Republik Indonesia. Jadi putusan ini berlaku sebagai hukum

sebagaimana hukum diciptakan pembuat UU. (Huda, 2018: 193) Kemudian

dalam pasal 10 di atas dijelaskan bahwa tidak ada upaya hukum yang dapat

ditempuh untuk mengubahnya. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tidak

dapat diajukan peninjauan ulang seperti putusan peradilan di bawah

Mahkamah Agung dapat diajukan banding di tingkat Pengadilan Tinggi dan

kasasi di tingkat Mahkamah Agung terhadap suatu putusan hakim.

C. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ini berkaitan

dengan pengakuan kedudukan hukum anak luar kawin. Perkara ini mengadili

permohonan pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan ini


diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan

Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono pada tanggal Senin 14 Juni 2010

dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari itu juga.

1. Latar Belakang Lahirnya Putusan

Putusan ini dilatarbelakangi dengan adanya perkawinan yang tidak

dicatatkan di lembaga negara yang terkait. Perkawinan itu adalah

perkawinan yang dilakukan oleh Moerdiono dengan Aisyah Mochtar pada

tahun 1993 berdasarkan syari’at Islam, dari perkawinan tersebut mereka

dikarunia keturunan bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Pada saat

menikah dengan Aisyah, Moerdiono masih terikat perkawinan dengan

istrinya. Karena perkawinan mereka terganjal dengan ketentuan pasal 3

dan 4 UU Perkawinan sehingga perkawinan tersebut tidak dicatatkan.

Akibatnya, perkawinan mereka dianggap tidak sah menurut negara dan

anaknya oleh negara dianggap sebagai anak luar nikah yang menurut pasal

43 ayat (1) anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya. Setelah Moerdiono dan Aisyah bercerai

Moerdiono tidak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula

membiayai kebutuhan hidup Iqbal sejak berusia dua tahun. (Mokoginta,

2017: 50-51)

Merasa hak konstitusionalnya sebagai warga Indonesia dirugikan

Aisyah dan Iqbal mengajukan permohonan pengujian pasal 2 ayat (2) dan

Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 terhadap Undang-Undang Dasar


1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Kedua pasal tersebut menurut

pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga mengakibatkan

kerugian karena tidak diakuinya status perkawinan dan status hukum anak

yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Pemohon yang merasa dirugikan

hak konstitusinya sebagai warga negara karena adanya ketentuan UU

Perkawinan maka pemohon melayangkan permohonan uji materi ke

Mahkamah Konstitusi. Setelah pemohon membuktikan kedudukan hukum

(Legal Standing) yang diminta oleh Mahkamah Konstitusi, pemohon

meminta Mahkamah Konstitusi untuk menguji kembali pasal 2 ayat (2)

dan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Menurut pemohon pasal tersebut

menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga mengakibatkan kerugian

karena tidak diakuinya status perkawinan dan status hukum anak yang

dilahirkan.

Pertama, hak konstitusi pemohon sesungguhnya telah dilanggar oleh

pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1). Padahal hak konstitusi mereka telah

dijamin di dalam pasal 28B ayat (1) dan (2) serta pasal 28D ayat (1) UUD

1945. Menurut pemohon, perkawinan pemohon yang sah menurut agama

Islam menjadi tidak sah karena diciderai oleh norma hukum. Sehingga hal

tersebut jelas tidak adil, bagaimana mungkin norma agama dapat

dikalahkan oleh norma hukum. Kemudian hal tersebut berdampak pada

status anak yang dilahirkan oleh pemohon menjadi tidak sah menurut

norma hukum dalam UU Perkawinan.


Kedua, konsekuensi dari ketentuan pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)

serta pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah setiap orang memiliki

kedudukan dan hak yang sama termasuk untuk mendapatkan pengesahan

atas pernikahan dan status hukum anaknya. Jadi tidak ada diskriminasi

dalam penerapan norma hukum (konstitusi) terhadap setiap orang yang

melakukan perkawinan dengan cara yang berbeda dan anak yang

dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta

tidak dibeda-bedakan. Akan tetapi dalam praktiknya norma agama justru

diabaikan oleh kepentingan norma hukum. Secara otomatis status anak

yang dilahirkan dari perkawinan pemohon adalah sah secara hukum

agama, namun menjadi seperti anak yang dilahirkan di luar nikah

berdasarkan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang secara

norma hukum hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya. Perlakuan diskriminatif ini menimbulkan masalah dan

status anak di muka hukum menjadi tidak jelas. Padahal dalam UUD 1945

dinyatakan anak yang terlantar saja, yang status orang tuanya tidak jelas,

dipelihara oleh negara. Dengan kata lain di sini terjadi pelanggaran norma

hukum terhadap norma agama. Sementara konstitusi negara Republik

Indonesia tidak menghendaki hal yang demikian.

Ketiga, terhalangnya anak untuk menuntut hak dari ayah biologisnya

karena keberadaan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, sehingga

menimbulkan rasa ketidakadilan, karena anak yang lahir ke dunia tidak

dipersalahkan dan bukan juga kehadiran tanpa sebab, melainkan sebagai


hasil dari hubungan kasih sayang antara kedua orang tuanya. Jadi

ketentuan dalam pasal 43 ayat (1) menyebabkan suatu ketidakpastian

hukum antara hubungan anak dengan ayahnya. Sehingga nantinya di masa

depan akan memunculkan beban psikis terhadap anak, karena tidak adanya

pengakuan dari ayahnya atas kelahirannya.

Keempat, khusus untuk pemohon, secara objektif mengalami

kerugian material dan finansial. Karena pemohon harus menanggung biaya

hidup, biaya pengasuhan dan biaya pemeliharaan anak. Dengan adanya

ketentuan dalam UU Perkawinan menjadikan pemohon tidak berhak untuk

menuntut hak dan kewajiban suami. (Mokoginta, 2017: 51-53) Untuk

memperkuat alasan ini pemohon mengutip teori Van Apeldoorn yang

menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup

secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara

manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-

kepentingan manuasia, seperti kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda

dan lain sebagainya terhadap segala sesuatu yang merugikannya. (Putusan

MK, 2010: 10)

2. Keterangan Pemerintah

Berdasarkan permohonan di atas pemerintah memberikan

keterangan atas permohonan Pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan yang diajukan oleh pemohon. Menurut

pemerintah secara umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


perkawinan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Perkawinan adalah sebuah pranata untuk

mengesahkan hubungan dua anak manusia yang berbeda jenis kelamin

sehingga menjadi pasangan suami istri. Secara umum perkawinan

dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan keluarga yang lestari,

utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin. Karena itu dengan sendirinya

diperlukan kesesuaian dari kedua belah pihak yang akan menyatu menjadi

satu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat, sehingga latar belakang

kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan salah satu latar

belakang kehidupan itu adalah agama.

Perkawinan adalah salah satu bentuk perwujudan hak-hak

konstitusional warga negara yang harus di hormati (to respect), dilindungi

(to protect) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal

28 ayat (1) yang menyatakan secara tegas: “Setiap orang berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah.” dan dalam pasal 28J ayat (1) UUD 1945 dinyatakan behwa: “Setiap

orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian dalam hak

konstitusi tersebut terkandung kewajiban menghormati atas hak-hak

konstitusi orang lain. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hak-hak

konstitusional yang diberikan oleh negara tersebut dapat dilaksanakan

dengan sebebas-bebasnya oleh setiap orang, karena bisa jadi pelaksanaan


hak konstitusi seseorang dapat melanggar hak konstirusional orang lain,

sehingga diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak-hak

konstitusional tersebut. Terkait pengaturan hak-hak konstitusional

tersebut, sebagaimana tertuang dalam pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang

menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang

wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang

dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi

tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Pengaturan tersebut bertujuan untuk kepentingan nasional atau

kepentingan masyarakat luas, agar pelaksanaan hak konstitusi seseorang

tidak mengganggu hak konstitusi orang lain.

Oleh karena itu menurut keterangan pemerintah, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 telah sejalan dengan amanat kontitusi dan karenanya

tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tidak mengandung materi muatan yang mengurangi dan menghalang-

halangi hak seseorang untuk melakukan perkawinan. Akan tetapi, Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bagaimana sebuah perkawinan

seharusnya dilakukan sehingga hak-hak konstitusi seseorang terpenuhi

tanpa merugikan hak-hak konstitusi orang lain. (Putusan MK No. 46,

2010: 17-19)
3. Putusan Mahkamah

Setelah mendengar pendapat dari pihak yang berperkara,

mahkamah berpendapat bahwa berdasarkan penjelasan UU No. 1 Tahun

1974 di atas bahwa pencatatan perkawinan bukanlah faktor yang

menentukan sahnya suatu perkawinan dan pencatatan perkawinan

merupakan kewajiban adminstratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya suatu

perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-

masing pasangan calon mempelai. Adapun kewajiban untuk mencatatkan

perkawinan pada lembaga negara terkait adalah bentuk kewajiban

adminstratif.

Makna pentingnya kewajiban administratif berupa kewajiban

pencatatatan perkawinan tersebut, menurut mahkamah dapat dilihat dari

dua perspektif. Pertrama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksudkan

dalam rangka negara memberi jaminan perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan.

Menurut mahkamah hal ini merupakan bentuk tanggung jawab negara dan

harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis

yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. (Pasal

28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945) Sekiranya pencatatan yang dimaksud

dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah

tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan


ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-

mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis. (Pasal 28J ayat (2) UUD 1945)

Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara

dumaksud agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam

kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi

terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat

dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta yang otentik,

sehingga perlindungan dan pelayanan negara terkait dengan hak-hak yang

timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara

secara efektif dan efisien. Artinya dengan memiliki bukti otentik

perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat

terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tida perlu proses pembuktian

yang memakan waktu, uang, tenaga dan pikiran yang lebih banyak, seperti

pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU No. 1 Tahun

1974 yang mengatur bahwa asasl-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan

akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan

pengadilan yang berwenang. Pembuktian tersebut akan lebih mudah,

efektif dan efesian apabila dengan adanya pembuktian akta yang otentik.

(Putusan MK No. 46, 2010: 33-34)


Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa pokok permasalahan

hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah

mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar

perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih

luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang

sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil

tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa, baik melalui

hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan

teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak

tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir

dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya

memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah

tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang

melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan

dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak

dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-

laki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan

perkembangan teknologi yang ada dimungkinkan dapat dibuktikan bahwa

seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. (Putusan MK No.

46, 2010: 33-35)


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqqie, Jimly (2006). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta:


Konstitusi Press

Denisatria, Mohammad Fandi. Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator


dan Positive Legislator. Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator
dan Positive Legislator - Klinik Hukumonline. Diakses pada 15 Maret 2022

Huda, Ni’matul (2018). Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi.


Yogyakarta: FH UII Press

Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 46 Tahun 2010

Mokoginta, Bachtiar (2017). Perlindungan Hak-Hak Keperdataan Anak luar


Kawin dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Sujana, I Nyoman (2020). Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin dalam Perspektif
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Yogyakarta:
Aswaja Pressindo

Anda mungkin juga menyukai