Anda di halaman 1dari 11

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Tujuan Penulisan
1.3 Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Pendapat Sarjana Hukum Administrasi
Negara
2.2 Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang – Undang No. 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan UU. No. 9 Tahun 2004 dan UU. No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
2.3 Perkembangan KTUN Sebagai Objek Gugatan Dalam Praktek Peradilan

BAB III DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Keputusan Pejabat yang berwenang dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan sering dikenal dengan istilah SK (Surat Keputusan) atau ketetapan
(beschikking) atau keputusan (besluit), menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-
undang No.51 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No.5 tahun 1986 dan UU No 9
tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebut juga dengan Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN).
Dalam praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah, KTUN mempunyai kedudukan yang cukup penting oleh karena melalui
keputusan tersebut pemerintah dapat menyampaikan kebijakan - kebijakannya kepada
warga masyarakat baik itu orang perseorangan, badan hukum perdata maupun
kelompok masyarakat dalam rangka pelaksanakan tugas dan kewajibannya
mengemban amanat konstitusi mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang sejahtera, aman dan tertib.
Pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajibannya tersebut
adakalanya menghadapi benturan kepentingan dengan warga masyarakat yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah oleh karena adanya perbedaan
kepentingan, penafsiran atas penerapan peraturan perundang-undangan, dan atau
kesalahan dalam menerapkan peraturan perundang-undangan itu sendiri yang
berakibat timbulnya sengketa antara warga masyarakat dengan pemerintah.
Jika kemudian terjadi sengketa antara warga masyarakat dengan pemerintah akibat
terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara, maka lembaga yang berwenang dari segi
hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) sebagaimana maksud ketentuan Pasal 4 Undang - undang No. 9 tahun 2004
tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 yang berbunyi : "Peradilan Tata Usaha
Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa Tata Usaha Negara" dan Pasal 47 Undang - undang No.5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi : "Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara"
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Administrasi Negara serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang Hukum
Administrasi Negara.

1.3 Rumusan Masalah


a. Mengenal lebih lanjut tentang KTUN
b. KTUN sebagai objek gugatan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keputusan Tata Usaha Negara menurut pendapat Sarjana Hukum


Administrasi Negara
Keputusan tata usaha negara merupakan sebuah konsep yang berasal dari
istilah ketetapan (beschikking) dalam literatur bahasa Belanda, yang mana oleh E.
Utrecht kemudian dijabarkan sebagai “suatu perbuatan hukum publik bersegi satu
yang dilakukan oleh alat - alat pemerintah berdasarkan suatu kekuasaan istimewa”,
pendapat yang sama dinyatakan oleh W.F Prins. Sedangkan Van der Plot
berpendapat bahwa “ketetapan merupakan alat-alat pemerintahan dan pernyataan alat
pemerintahan dalam menyelenggarakan hal istimewa dengan maksud mengadakan
perubahan dalam hubungan hukum”. Berdasarkan pendapat - pendapat tersebut S.F
Marbun lebih cenderung menggunakan istilah keputusan daripada ketetapan dengan
membuat kesimpulan sebagai berikut, bahwa yang dimaksud dengan keputusan
(beschikking) adalah “suatu perbuatan hukum publik bersegi satu, yang dilakukan
oleh alat pemerintah (dalam arti sempit) berdasarkan suatu kekuasaan atau wewenang
istimewa dengan maksud terjadinya perubahan hubungan hukum”.
Dari beberapa pendapat Sarjana Hukum Administrasi Negara tersebut, maka
dapat diuraikan unsur – unsur apa yang terdapat dalam konsep / pengertian keputusan
(beschikking), yaitu sebagai berikut :
1. Perbuatan hukum publik bersegi satu;
Perbuatan hukum publik bersegi satu adalah perbuatan pemerintah
berdasarkan ketentuan hukum publik yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya
persetujuan pihak lain. Dalam konsep keputusan (beschikking) tidak ada yang
namanya persetujuan kedua belah pihak sebagaimana dikenal dalam konsep perjanjian
menurut hokum perdata, oleh karena itu pemerintah melalui aparatnya (pejabat tata
usaha negara) mempunyai kewenangan penuh menentukan kebijakannya dalam
pembuatan suatu keputusan.
2. Alat pemerintah (dalam arti sempit);
Menurut hemat Penulis mengacu pada pendapat para sarjana tersebut alat
pemerintah dalam arti sempit juga merupakan salah satu unsur keputusan, yaitu apa
dan siapa saja yang melaksanakan fungsi urusan pemerintah diluar urusan legislatif
dan yudikatif meskipun secara structural maupun organisatoris tidak termasuk jajaran
eksekutif. Pandangan demikian sejalan dengan dengan pendapat Prof.Mr Nicolai
dalam uraiannya tentang pengertian organ pemerintah, sehingga meliputi juga
instansi-instansi lain yang sebetulnya secara kelembagaan tidak tidak masuk kategori
organ pemerintah tetapi melaksanakan fungsi pemerintah.
3. Berdasarkan Kekuasaan atau Wewenang Istimewa.
Pemerintah melalui alat-alatnya yaitu badan atau pejabat tata usaha negara
dalam melakukan perbuatan/tindakan harus selalu berdasarkan hukum sesuai asas
legalitas. Hukum harus menjadi sumber kekuasaan atau wewenang bagi setiap
tindakan pemerintah, wewenang mana dapat diperoleh baik melalui atribusi, delegasi
ataupun mandat. Dengan kata lain pemerintah tanpa adanya dasar hukum berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak mempunyai kewenangan
melakukan tindakan yang mengikat pihak lain.
4. Terjadinya Perubahan dalam Lapangan Hukum.
Perbuatan / tindakan pemerintah yang dilakukan berdasarkan kewenangan
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan
perbuatan hukum, oleh karena itu dapat menimbulkan akibat hukum berupa terjadinya
perubahan hubungan hukum antara pemerintah dengan pihak yang mendapatkan
keputusan tersebut.
Merujuk pada unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian keputusan tersebut,
dengan menggunakan beberapa ukuran suatu keputusan dapat dikelompokkan
menurut jenis dan sifatnya, yaitu sebagai berikut:
1. Keputusan konstitutif dan Keputusan deklaratoir ;
Contoh : Surat Keputusan Pemberian Hak atas tanah negara versus SHM atas
tanah konversi.
2. Keputusan positif dan Keputusan negatif;
Contoh : SK pengangkatan PNS versus penundaan kenaikan pangkat dll.
3. Keputusan kilat (vluctige beschikking) dan keputusan tetap (blijvend);
Contoh : Ijin untuk mengadakan keramaian atau rapat umum versus IMB.
4. Keputusan terikat (gebonden beschikking) dan keputusan bebas (vrij
beschikking);
Contoh : Surat Ijin Mengemudi (SIM) versus Ijin Cuti.
2.2 Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang – undang No. 51 tahun
2009 tentang Perubahan UU. No. 9 tahun 2004 dan UU. No. 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek gugatan di PTUN dalam Undang-
undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 9 UUNo.51
tahun 2009, Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986, dengan beberapa pembatasan yaitu
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU. No.9 tahun 2004 dan Pasal 49 UU. No.5 tahun
1986.
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9
adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Secara normatif keputusan tata usaha negara (KTUN) menurut ketentuan pasal
1 angka 9 tersebut terdiri atas rangkaian konsep tentang :
1. Penetapan tertulis.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
4. Peraturan perundang – undangan yang berlaku.
5. Bersifat konkret, individual dan final.
6. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
1) Penetapan Tertulis.
Konsep tentang penetapan tertulis ini terdiri atas kata “penetapan” dan
“tertulis”, penetapan dalam konsep ini menunjuk pada adanya “hubungan hukum”
yang ditetapkan dalam keputusan yang bersangkutan yang dapat berupa kewajiban
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, pemberian suatu status dan lain-lain,
sedangkan kata “tertulis” dimaksudkan bahwa keputusan tersebut dibuat dalam bentuk
tulisan dan bukan lisan yang dapat memberikan gambaran tentang siapa yang
membuat tulisan, maksud / mengenai apa dan kepada siapa tulisan ditujukan. Dengan
demikian syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai bentuk formalnya
melainkan untuk kemudahan dari segi pembuktian.
2) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU NO.51 tahun 2009 yang dimaksud
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Konsep urusan pemerintahan menurut penjelasan undang –
undang ini adalah setiap kegiatan yang bersifat eksekutif, dengan demikian siapa saja
yang melaksanakan urusan pemerintahan diluar urusan legislatif dan yudikatif dapat
dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN meskikpun secara
struktural/organisatoris ia bukan termasuk dalam jajaran pemerintahan.
3) Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
Unsur ke-tiga ini terdiri atas konsep “tindakan dan “Hukum Tata Usaha
Negara”, yang kurang lebih dapat dijabarkan sebagai berikut, bahwa yang dimaksud
tindakan hukum TUN adalah setiap perbuatan atau tindakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dibidang urusan pemerintahan.
4) Peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Unsur ke-empat ini merupakan prasyarat bahwa setiap wewenang
pemerintahan untuk melakukan tindakan hukum TUN baik mengenai bentuk dari
tindakan hukum serta isi hubungan hukum yang diciptakan harus ada dasarnya dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur ini merupakan penerapan dari
asas legalitas yang dimaksudkan agar setiap perbuatan atau tindakan badan atau
jabatan TUN dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan kususnya dalam
mengeluarkan penetapan tertulis selalu tunduk dan diawasi oleh hukum.
5) Bersifat konkret, individual dan final.
- Konkret yaitu bahwa apa yang diputuskan dalam penetapan tertulis
tersebut tidak abstrak melainkan telah jelas maksud dan tujuan mengenai
hal tertentu.
- Individual menunjuk kepada orang atau badan hukum perdata secara
khusus tidak secara umum artinya harus jelas alamat yang dituju kepada
siapa penetapan tertulis tersebut ditujukan.
- Final artinya penetapan tertulis tersebut bersifat definitif dan tidak lagi
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lainnya.
6) Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Bahwa yang dimaksud dengan konsep akibat hukum dalam pengertian KTUN
menurut pasal ini adalah bahwa setiap penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau jabatan tata usaha negara dimaksudkan untuk menciptakan adanya perubahan
hubungan hukum bagi si penerima keputusan baik itu yang bersifat positif atau
negatif.
Ke-enam unsur KTUN yang terdapat dalam Pasal 1 angka 9 tersebut bersifat
kumulatif, artinya bahwa agar suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara tersebut dapat dikategorikan sebagai KTUN, maka harus
memenuhi kesemua unsur tersebut.
KTUN selain seperti apa yang dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 9 UU NO.51
tahun 2009, dikenal pula tindakan atau perbuatan diam dari badan atau pejabat TUN
yang disamakan dengan KTUN yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU No.5
tahun 1986 :
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka
setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Undang – undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan batasan atas apa
yang dimaksud dengan KTUN, yaitu meskipun keputusan tersebut dikeluarkan oleh
badan atau jabatan tata usaha negara tetapi tidak dapat dijadikan objek gugatan di
PTUN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU No.9 tahun 2004 dan Pasal 49 UU.
No.5 tahun 1986.
Ketentuan Pasal 2 menyebutkan bahwa tidak termasuk KTUN menurut UU ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.

Sedangkan ketentuan Pasal 49 UU NO.5 tahun 1986 menyebutkan bahwa :


Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain pembatasan oleh UU tentang Peradilan TUN, dalam perkembangannya
seiring dengan perubahan politik hukum terdapat pula pembatasan oleh lahirnya
Undang – undang yang baru, misalnya UU NO.2 tahun 2004 tentang Peradilan
Hubungan Industrial yang mana sebelum UU ini diundangkan keputusan tentang
perburuhan menjadi kewenangan PTUN, kemudian UU NO.14 tahun 2004 tentang
Peradilan Pajak dengan adanya Peradilan Pajak maka keputusan dibidang perpajakan
tidak lagi menjadi kewenangan PTUN, dan lain-lain.

2.3 Perkembangan KTUN sebagai Objek Gugatan dalam Praktek Peradilan;


Dalam praktek peradilan melalui Yurisprudensi yaitu putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap kemudian dikuti oleh Hakim lain dalam penyelesaian
perkara atas objek gugatan yang sama, terdapat beberapa KTUN yang tidak dapat
dijadikan objek gugatan di PTUN meskipun keputusan tersebut dikeluarkan oleh
badan atau jabatan TUN, misalnya:
- Risalah lelang (Putusan No. 150 K/TUN/1994 tanggal 7 September 1995, jo No.47
K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998 jo No.245 K/TUN/1999 tanggal 30 Agustus
2001).
- SHM yang terkait dengan pembuktian masalah kepemilikan (Putusan No.22
K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001 jo 16 K/TUN/2000 tanggal 28-02-2001).
- Akta PPAT (Putusan 302 K /TUN/ 1999 jo. NO.62 K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001).
- Keputusan Rektor Perguruan Tinggi swasta (Putusan No. 48/PK/TUN/2002 tanggal
11 Juni 2004).
- Keputusan hasil pilkades (Putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18-8-2004).
Demikian sekilas paparan tentang Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek
gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa KTUN sebagai salah satu instrumen juridis pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya bersifat dinamis seiring dengan perkembangan
politik hukum yang terjadi dalam perjalanan berbangsa dan bernegara.

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

S. F. Marbun. Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesia.


Liberty. Yogyakarta: 1997

Indroharto. Peradilan Tata Usaha Negara. Sinar Harapan. Jakarta: 1999

P. M. Hadjon et. al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada


University Press.Yogyakarta: 2011

Anda mungkin juga menyukai