Anda di halaman 1dari 5

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang

atau Badan Hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah . Perlindungan hukum terhadap penyelesaian permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan sengketa tata usaha negara tersebut sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara
(beschikking)

menurut F.H van der Burg dapat ditempuh melalui dua kemungkinan, pertama melalui peradilan tata
usaha Negara/peradilan administrasi (administratief rechtspraak) dan kedua melalui banding
administrasi (administratief beroep). Indonesia sebagai negara hukum mendasarkan pada falsafah
Negara Pancasila,

Philipus M. Hadjon merumuskan elemen-elemen atau unsur-unsur negara hukum Pancasila sebagai
berikut:

1.keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;

2.hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara;

3.prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;

4.keseimbangan antara hak dan kewajiban

Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut dalam Negara Hukum Indonesia, diharapkan
akan melahirkan asas kerukunan. Asas kerukunan akan menciptakan keserasian hubungan antara
pemerintah dengan rakyat . Dalam negara hukum Pancasila, prinsip utama yang dikedepankan dalam
penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan rakyat adalah prinsip penyelesaian sengketa dengan
musyawarah, diantaranya melalui sarana upaya administratif, sehingga diharapkan dapat memulihkan
kerukunan dan keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat. Apabila melalui upaya administratif,
rakyat tidak puas dengan keputusan upaya administratif tersebut, maka sarana dan upaya terakhir
dalam menyelesaikan sengketa antara rakyat dengan pemerintah tersebut adalah melalui Peradilan Tata
Usaha Negara

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang menyatakan bahwa tidak setiap Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) sebagai
obyek sengketa Tata Usaha Negara dapat langsung digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara, karena
apabila tersedia upaya administratif, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui upaya administratif sebelum diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah pengadilan yang mempunyai wewenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutus sengketa tata usaha negara 1 Definisi Sengketa Tata Usaha Negara yang
tertuang dalam Pasal 1 angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 PTUN adalah: “Sengketa Tata Usaha Negara
adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun daerah, sebagai akibat

1
Safitri, E. D., & Sa’adah, N. (2021). Penerapan Upaya Administratif Dalam Sengketa Tata Usaha
Negara. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(1), 34-45. https://doi.org/10.14710/jphi.v3i1.34-45
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan yang
menjadi subyek sengketa tata usaha negara merupakan orang serta badan hukum perdata di satu pihak
dan pejabat TUN di sisi lainnya. Sehingga diketahui bahwa para pihak yang terkait dalam di dalam
sengketa TUN hanya orang atau badan hukum perdata dan pejabat TUN. Keputusan TUN Fiktif sendiri
digunakan sebagai obyek sengketa dikarenakan adanya disharmonisasi antara UU nomor 30 tahun 2014
Administrasi pemerintahan dan UU nomor 51 tahun 2009, perubahan kedua atas UU PTUN. Meskipun
sama – sama memberikan pengertian tentang KTUN, namun terdapat perbedaan dari masing – masing
pengertian yang diberikan oleh undang – undang tersebut, sehingga membuat kerancuan atau
ketidakpastian hukum terhadap putusan yang telah dikeluarkan sehingga dijadikanlah keputusan TUN
fiktif sebagai obyek sengketa TUN.2 peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Konkret,maksudnya adalah mengatur suatu hal yang jelas atau tidak abstrak. Individual, maksudnya jelas
ditujukan kepada seseorang tertentu. Final, maksudnya adalah bahwa Surat Keputusan tersebut sudah
definitif dan telah dilaksanakan yang menimbulkan suatu akibat hukum. Misalnya, kehilangan pekerjaan
atau diberhentikan sebagai Pengawai Negeri Sipil, kehilangan rumah dan lain sebagainya. Dengan
demikian, unsur-unsur sengketa tata usaha negara adalah :

a. Subyeknya orang atau badan hukum perdata di satu pihak dan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
di lain pihak.

b. Obyek sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 3

Negara sebagai organisasi4 yang memiliki berbagai macam fungsi dan tugas dalam tujuannya
mensejahterakan masyarakat. Sebagai sebuah organisasi, Negara memiliki pemerintah sebagai
pelaksana, yang kemudian menjalankan perbuatan-perbuatan / tindakan pemerintah. ,
mengidentifikasikan perbuatan pemerintah manakala:

a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam ke dudukannya sebagai penguasa maupun
sebagai alat per lengkapan pemerintahan (bestuurorganen) dengan prakarsa dan tanggungjawab
sendiri.

b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.

c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum
administrasi.

d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat
Perbuatan / Tindakan Pemerintahan dalam kajian Hukum Administrasi Negara di Indonesia, digolongkan
menjadi 3 (Tiga) jenis yang terdiri dari:
2
Buonsu, I. G., Dewi, A. S. L., & Suryani, L. P. (2021). Keputusan Fiktif Sebagai Dasar Pengajuan
Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara. Jurnal Preferensi Hukum, 2(1), 68-72.
https://doi.org/10.22225/jph.2.1.2797.68-72
3
Samosir, T. (2015). Efektifikasi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Tata
Usaha Negara. ADIL: Jurnal Hukum, 6(2), 182-197. https://doi.org/10.33476/ajl.v6i2.821
a. Melakukan Perbuatan Materiil (Materiele Daad)

b. Mengeluarkan Peraturan (regeling)

c. Mengeluarkan Keputusan / Ketetapan (beschikking)

Ciri-ciri perbuatan pemerintah diatas kemudian diadopsi keadalam bentuk peraturan normatif, dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN (UU PTUN), obyek sengketa administrasi / tata usaha
negara, terbatas pada keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual dan final.

Sehingga ditinjau dari pengertian tersebut, tindakan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan
(regeling) dan melakukan perbuatan materiil (materiele daad) bukan menjadi kompetensi Pengadilan
Tata Usaha Negara (vide Pasal 1 angka 4 UU PTUN).

Ini adalah salah satu syarat formil suatu perkara dapat diajukan ke PTUN. Meskipun demikian, apabila
kita melihat dalam UU-AP, terdapat upaya memperluas kewenangan PTUN, yang tidak hanya terbatas
dalam ranah pembuatan, penerbitan dan keabsahan Keputusan / Surat Keputusan Tata Usaha Negara
melainkan juga telah memasukkan tindakan faktual (materiil) dalam rangka pelaksanaan keputusan tata
usaha negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan (vide Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 87 huruf a UU-AP).

Perluasan kewenangan ini sesuai dengan tujuan dibentuknya PTUN sebagai sarana kontrol hukum yang
utuh di bidang administrasi pemerintahan. Pandangan Utrecht bahwa kewenangan adalah bentuk
kekuasaan dan kekuatan, tentu memerlukan suatu kontrol (dalam hal ini hukum) agar kekuasaan dan
kekuatan tersebut tidak disalahgunakan oleh pemilik kewenangan, hal ini dikarenakan kekuasaan
cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang bersifat absolut, pasti diikuti dengan penyalahgunaan.
Pembuat UU-AP

dengan demikian telah mengajukan suatu proposisi yang sangat menarik menurut penulis, apakah
tindakan administrasi merupakan satu kesatuan dengan surat keputusan tata usaha negara (KTUN) dan
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga tidak hanya keputusan tata usaha negara saja
yang dapat diajukan gugatan (challenge), namun juga setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka
persiapan, pembuatan serta pemenuhan Keputusan Tata Usaha Negara.

Sedangkan De Haan, di sisi lain memandang tindaknya nyata / faktual tidak memiliki akibat hukum.
Inilah yang kemudian menarik untuk dikaji, apakah tindakan pejabat tata usaha negara yang
mengabaikan permohonan tata usaha negara dapat menjadi landasan hukum terbitnya Keputusan Tata
Usaha Negara, dan / atau menjadi landasan hukum Pemohon Keputusan Tata Usaha Negara untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara sebagai fundamentum petendi. 4 Salah satu
bentuk tindakan hukum pemerintah adalah penetapan beschikking atau dalam litelatur hukum
Indonesia disebut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu

4
Utama, K. W. (2015). Surat keputusan tata usaha negara yang bersifat fiktif positif. Notarius, 8(2), 141-
251. https://doi.org/10.14710/nts.v8i2.10259
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata”. Penetapan suatu KTUN merupakan bentuk pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban negara
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Bahkan KTUN tersebut merupakan konkretisasi dari peraturan perundang-undangan yang bersifat
abstrak. KTUN merupakan tindakan hukum pemerintah yang bersegi satu/sepihak (eenzijdige), karena
tidak memerlukan persetujuan orang lain dalam peneteapannya. Hal ini disebabkan karena dalam
perspektif hukum publik, kedudukan pemerintah lebih tinggi dibandingkan warga negara. Terkait
dengan hal tersebut, Ridwan HR menyatakan bahwa:

“Bila dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintah itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari
organ pemerintahan (eenzijdige wilsverklaring van de bestuurorgaan) dan membawa akibat pada
hubungan hukum atau keadaan hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh
mangndung cacat seperti kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan (dwang) dan lain-lain yang
menyebabkan akibat-akibat hukum tidak sah. Di samping itu, karena setiap tindakan hukum itu harus
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dengan sendirinya tindakan
tersebut tidak boleh menyimpang dengan peraturan yang bersangkutan, yang dapat menyebabkan
akibat-akibat hukum yang muncul itu batal (nietig) atau dapat dibatalkan (nietigbaar). Walaupun
penetapan suatu KTUN dapat dilakukan secara sepihak, namun aspek perlindungn hukum terhadap
masyarakat harus tetap ditegakkan. Perlindungan hukum terhadap masyarakat tidak boleh diderogasi,
dikurangi atau dihalangi dengan sifat sepihak tersebut. Perlindungan hukum kepada masyarakat harus
tetap menjadi prioritas. Karenanya, penetapan KTUN oleh pemerintah harus sah atau sesuai hukum
(rechmatig). Hukumlah yang akan menjadi batasan mana penetapan KTUN yang sah dan mana yang
tidak sah. Dengan kata lain, walaupun pemerintah diberikan kewenangan untuk menetapkan KTUN,
namun KTUN tersebut tidak diperbolehkan merugikan kepentingan hukum masyarakat. 5

Referensi dan DOI

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/download/10232/5177

DOI https://doi.org/10.14710/jphi.v3i1.34-45

https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juprehum/article/download/2797/2179

DOI https://doi.org/10.22225/jph.2.1.2797.68-72

https://system4.yarsi.ac.id/index.php/Jurnal-ADIL/article/viewFile/821/477

DOI https://doi.org/10.33476/ajl.v6i2.821

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/notarius/article/viewFile/10259/8147

5
Hadi, S., & Michael, T. (2017). Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) Dalam Penetapan Keputusan Tata
Usaha Negara. Jurnal Cita Hukum, 5(2).
DOI . https://doi.org/10.14710/nts.v8i2.10259

https://www.academia.edu/download/55195712/
PRINSIP_KEABSAHAN_DALAM_PENETAPAN_KTUN_UIN_JAKARTA.pdf

Anda mungkin juga menyukai