Anda di halaman 1dari 18

UPAYA ADMINISTRASI PENOLAKAN PERMOHONAN

KESESUAIAN KEGIATAN PEMANFAATAN RUANG DALAM


PROSES PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

(Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Administrasi


yang diampu oleh Dr. Tedi Sudrajat, S.H., M.H.)

Oleh :
Dedi Purwanto E2A022021

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN


TEKNOLOGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER ILMU HUKUM
PURWOKERTO
2023
i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
I. PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
II. PEMBAHASAN...................................................................................................................... 6
III. PENUTUP ............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 16

ii
I. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(UU Cipta Kerja) yang diundangkan pada 11 November 2020
membawa paradigma baru dalam perizinan berusaha.
Penyelenggaraan perizinan berusaha lebih lanjut diatur secara
detail dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
(PP No. 5 Tahun 2021). Dalam PP No. 5 Tahun 2021, setiap
pelaku usaha yang akan menjalankan kegiatan berusaha,
wajib memenuhi persyaratan dasar perizinan berusaha dan
perizinan berusaha1. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelaku
usaha yang akan mengajukan permohonan perizinan berusaha
melalui sistem Online Single Submission (OSS) wajib terlebih
dahulu memenuhi persyaratan dasar perizinan berusaha yang
meliputi :
a. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
b. Persetujuan Lingkungan; dan
c. Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi.
Dalam UU Cipta Kerja, yang dimaksud dengan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara
rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang merupakan
proses pemberian perizinan untuk memanfaatkan ruang untuk
kegiatan tertentu baik kegiatan berusaha maupun kegiatan
nonberusaha seperti pendidikan, rumah ibadah, rumah
tinggal, dan kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD.
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang terdiri dari :
a. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(KKKPR) dalam hal lokasi kegiatan telah diatur dalam
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR);

1
Pasal 4 PP No. 5 Tahun 2021

3
b. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(PKKPR) dalam hal lokasi kegiatan belum diatur dalam
RDTR namun telah diatur dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW); dan
c. Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(RKKPR) dalam hal kegiatan merupakan proyek strategis
nasional dan lokasi yang digunakan belum diatur baik
dalam RDTR maupun RTRW.
PT. Sanjaya Thanry Bahtera merupakan badan hukum
yang menyelenggarakan kegiatan berusaha penempatan tenaga
kerja ke luar negeri dengan lokasi kegiatan yang dimohonkan
berada di Jalan Kalidonan Kelurahan Donan, Kecamatan
Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap. Untuk dapat memproses
perizinan berusahanya, PT. Sanjaya Thanry Bahtera wajib
memiliki KKKPR dengan cara mengunggah file polygon lokasi
usaha yang dimohon dalam sistem OSS melalui akun yang
dimilikinya karena lokasi yang dimohonkan berada dalam
kawasan yang telah diatur dalam RDTR Perkotaan Cilacap.
Berdasarkan file polygon lokasi usaha tersebut, sistem OSS
melakukan validasi secara otomatis terhadap RDTR. Sesuai
dengan hasil validasi, sistem OSS menyatakan bahwa lokasi
yang dimohonkan tidak sesuai RDTR dan pelaku usaha
dipersilakan untuk memilih lokasi usaha yang lain. Merasa
dirugikan, PT. Sanjaya Thanry Bahtera mengajukan keberatan
kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cilacap selaku
Badan Tata Usaha Negara yang menerima delegasi
kewenangan penyelenggaraan perizinan berusaha yang
menjadi kewenangan Bupati.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut,
menarik untuk dianalisis upaya administrasi apa yang dapat
dilakukan oleh PT. Sanjaya Thanry Bahtera yang

4
kepentingannya dirugikan oleh sistem OSS berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UU AP).

5
II. PEMBAHASAN
Dalam pelaksanaan tugas administrasi pemerintahan baik
yang menyangkut urusan eksternal (pelayanan umum)
maupun yang berkaitan dengan urusan internal (seperti
urusan kepegawaian), suatu instansi pemerintah
(Badan/Pejabat TUN) tidak dapat dilepaskan dari tugas
pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Dengan
semakin kompleksnya urusan pemerintahan serta semakin
meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat, tidak
tertutup kemungkinan timbulnya benturan kepentingan
(Conflict of Interest) antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN)
dengan seseorang/Badan Hukum Perdata yang merasa
dirugikan oleh KTUN tersebut, sehingga menimbulkan suatu
sengketa Tata Usaha Negara.
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat
terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah
(Badan/Pejabat TUN) dengan seseorang/Badan Hukum
Perdata tersebut, ada kalanya dapat diselesaikan secara damai
melalui musyawarah dan mufakat, akan tetapi ada kalanya
pula berkembang menjadi sengketa hukum yang memerlukan
penyelesaian lewat pengadilan.
Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat),
maka timbulnya suatu sengketa Tata Usaha Negara tersebut,
bukanlah hal yang harus dianggap sebagai hambatan
pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dalam melaksanakan tugas
di bidang urusan pemerintah, melainkan harus dipandang
sebagai :
1. Dari sudut pandang warga masyarakat, adalah merupakan
pengejawantahan asas Negara hukum bahwa setiap warga
Negara dijamin hak-haknya menurut hukum, dan segala
penyelesaian sengketa harus dapat diselesaikan secara
hukum pula;

6
2. Dari sudut pandang Badan/Pejabat TUN, adalah sarana
atau forum untuk menguji apakah KTUN yang
diterbitkannya telah memenuhi asas-asas hukum dan
keadilan melalui sarana hukum menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku2.
Oleh karena itu lahirnya suatu sengketa Tata Usaha Negara
bukanlah suatu hal yang luar biasa, melainkan suatu hal yang
harus diselesaikan dan dicari jalan penyelesaiannya melalui
sarana yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN), untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang timbul
sebagai akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (Beschikking) dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara,
yaitu3 :
1. upaya administrasi (Vide Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3) UU
PERATUN);
2. gugatan (Vide Pasal 1 angka 5 jo Pasal 53 UU PERATUN).
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN,
sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul
antara orang atau Badan Hukum perdata baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkan KTUN,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan KTUN menurut ketentuan
Pasal 1 angka 3 UU PERATUN adalah suatu penetapan tertulis

2
Ujang Abdullah. Upaya Administrasi dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Diklat Calon Hakim
Angkatan IV Mahkamah Agung RI Tahun 2009”, PUSDIKLAT MA RI, Bogor, tanggal 7 Juli
2009
3
Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH., MH, Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan Tata
Usaha Negara, PT. Pramedya Pustaka, Jakarta, 1999, hal.5

7
yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang
berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dari rumusan pasal tersebut, ternyata KTUN yang
merupakan dasar lahirnya sengketa Tata Usaha Negara
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut4 :
1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
5. Bersifat konkrit, individual dan final;
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Keenam elemen tersebut bersifat kumulatif, artinya untuk
dapat disebut KTUN yang dapat disengketakan di Pengadilan
Tata Usaha Negara harus memenuhi keseluruhan elemen
tersebut. Jenis-jenis KTUN (Beschikking) menurut doktrin
(pendapat/teori para pakar administrasi Negara) terdapat
berbagai rumusan, antara lain menurut P. De Haan (Belanda),
dalam bukunya : “Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat”,
(Philipus M. Hadjon; 2002) dikelompokkan sebagai berikut5 :
1. KTUN perorangan atau kebendaan;
2. KTUN Deklaratif dan Konstitutif (Rechtsvastellend en
Rechtsscheppend);
3. KTUN Bebas dan Terikat (Vrij en Gebonden);
4. KTUN yang member beban dan yang menguntungkan

4
Yuslim. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.2015. Sinar Grafika. Jakarta hal 47.
5
Philipus M. Hadjon, SH.,Prof.,DR.,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. 2002. Gajah
Mada University Press. Hal.143-145

8
(Belastend en Begunstigend);
5. KTUN Seketika dan Permanen (Einmaligh en Voortdurend).
Menurut Penjelasan Pasal 48 UU PERATUN, upaya
administratif merupakan prosedur yang ditentukan dalam
suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
suatu sengketa Tata Usaha Negara yang dilaksanakan di
lingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh badan peradilan
yang bebas), yang terdiri dari :
a. Prosedur keberatan; dan
b. Prosedur banding administratif.
Berdasarkan rumusan penjelasan Pasal 48 tersebut maka
upaya administratif merupakan sarana perlindungan hukum
bagi warga masyarakat (orang perorangan/badan hukum
perdata) yang terkena KTUN (Beschikking) yang merugikannya
melalui Badan/Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
pemerintah itu sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan.
Dalam pasal 48 UU PERATUN, disebutkan sebagai berikut :
1. Dalam hal suatu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk menyelesaikan secara administratif
sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata
Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia;
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 UU AP, warga masyarakat
(perorangan atau Badan Hukum perdata) yang dirugikan
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan
Upaya Administratif berupa keberatan kepada Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan dan/atau melakukan

9
Keputusan dan/atau Tindakan atau banding kepada Atasan
Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam kasus
permohonan KKKPR PT. Sanjaya Thanry Bahtera yang ditolak
oleh Badan Tata Usaha Negara melalui Sistem OSS, dapat
lakukan analisis sebagi berikut :
1. Penolakan permohonan KKKPR yang dilakukan melalui
Sistem OSS apakah merupakan KTUN atau Tindakan TUN
sesuai dengan ketentuan UU AP?
Perlu diketahui, terkait mekanisme pengajuan perizinan
berusaha melalui Sistem OSS sebagai berikut :
a. Pelaku Usaha mengajukan permohonan perizinan
berusaha melalui akun OSS dengan mengajukan
permohonan baru atau pengembangan;
b. Berdasarkan permohonan tersebut, Pelaku Usaha
diarahkan untuk menambah bidang usaha dengan
mengisi bidang usaha sesuai dengan Klasifikasi Bidang
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang digunakan oleh
sistem OSS sesuai dengan PP No. 5 Tahun 2021;
c. Setelah menetapkan bidang usaha, Pelaku Usaha
diarahkan untuk mengisi data usaha meliputi nama
kegiatan usaha/proyek, luas lahan usaha dan
alamat/lokasi usaha.
d. Luas lahan usaha dan alamat/lokasi usaha diinput
disertai dengan kewajiban mengunggah file polygon
sesuai dengan sistem yang ditentukan oleh sistem OSS;
e. Setelah mengunggah file polygon, Pelaku Usaha
diarahkan untuk melakukan validasi dalam sistem OSS;
f. Sistem OSS akan melakukan validasi lokasi usaha
berdasarkan RDTR dengan hasil :
1) Disetujui seluruhnya, apabila seluruh luasan yang

10
dimohonkan berdasarkan file polygon dinyatakan
sesuai dengan RDTR;
2) Disetujui sebagian, apabila sebagian luasan yang
dimohonkan berdasarkan file polygon dinyatakan
sesuai dengan RDTR dan sebagian lainnya tidak
sesuai dengan RDTR; atau
3) Ditolak seluruhnya, apabila seluruh luasan yang
dimohonkan berdasarkan file polygon dinyatakan
tidak sesuai dengan RDTR.
g. Apabila permohonan disetujui seluruhnya atau disetujui
sebagian, maka sistem akan menerbitkan dokumen
KKKPR yang ditandatangani oleh Pejabat yang
berwenang secara otomatis.
h. Apabila permohonan ditolak seluruhnya, maka akan ada
kotak dialog dengan notifikasi/pemberitahuan “Lokasi
Usaha Anda tidak sesuai dengan RDTR. Silakan
sesuaikan Lokasi Usaha Anda”.
i. Apabila permohonan ditolak seluruhnya, Pelaku Usaha
tidak dapat melanjutkan pengisian data usaha dan
memproses perizinan berusaha.
Dalam kasus PT. Sanjaya Thanry Bahtera, lokasi yang
dimohonkan telah diatur dalam RDTR Perkotaan Cilacap
dan sistem OSS membaca bahwa lokasi usaha yang
diajukan tidak sesuai dengan RDTR. Apabila melihat ciri-
ciri KTUN, maka notifikasi/pemberitahuan yang
dikeluarkan oleh sistem OSS memenuhi kriteria sesuai
dengan syarat yang ditetapkan dalam Pasal 52 ayat (1) UU
AP, sebagai berikut :
a. Dilakukan oleh badan/pejabat yang berwenang. Dalam
hal ini tindakan badan/pejabat Tata Usaha Negara
diwakilkan oleh sistem OSS dan produknya merupakan
Keputusan Berbentuk Elektronis sebagaimana diatur

11
dalam Pasal 38 UU AP.
b. Dibuat sesuai dengan prosedur. Proses validasi dan
penerbitan KTUN dilakukan sesuai dengan Norma,
Standar, Prosedur, dan Kriteria yang ditetapkan oleh PP
No. 5 Tahun 2021, PP No. 6 Tahun 2021, PP No. 21
Tahun 2021, dan SE Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE-PF.01/III/2021
tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang di Daerah.
c. Substansi telah sesuai dengan permohonan yang
dimohonkan oleh PT. Sanjaya Thanry Bahtera.
2. Upaya administrasi yang dapat dilakukan oleh PT. Sanjaya
Thanry Bahtera, sebagai berikut :
a. Keberatan Administrasi
Keberatan Administrasi ditujukan kepada Kepala
DPMPTSP Kabupaten Cilacap selaku Pejabat Tata
Usaha Negara yang mendapatkan delegasi kewenangan
penerbitan perizinan berusaha berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah. Dalam
PP tersebut, penyelenggaraan perizinan berusaha yang
menjadi kewenangan Bupati/Walikota didelegasikan
kepada Kepala DPMPTSP Kabupaten/Kota6.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang, KKPR merupakan kewenangan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional7.
Selanjutnya melalui Surat Edaran Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE-PF.01/III/2021

6
Pasal 3 jo Pasal 5 PP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di
Daerah.
7
Pasal 98 ayat (2) PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

12
tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang di Daerah, didelegasikan kepada Bupati/
Walikota untuk permohonan KKPR yang berada dalam
satu wilayah kabupaten/kota.
Sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU AP, PT. Sanjaya
Thanry Bahtera memiliki hak untuk mengajukan
keberatan secara tertulis dalam jangka waktu 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak permohonan KKPR-nya
ditolak oleh sistem OSS.
Kepala DPMPTSP Kabupaten Cilacap berdasarkan
kewenangan yang diperoleh dari pendelegasian oleh
Bupati, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja
sejak keberatan diterima.
b. Banding Administrasi
Dalam hal PT. Sanjaya Thanry Bahtera tidak/belum
puas dengan penyelesaian dari Kepala DPMPTSP
Kabupaten Cilacap, dia mempunyai hak untuk
mengajukan banding administrasi kepada Bupati
Cilacap selaku atasan Kepala DPMPTSP Kabupaten
Cilacap sekaligus pemilik asal kewenangan perizinan
berusaha.
Banding administrasi dapat diajukan secara tertulis
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak
keputusan upaya keberatan diterima8.
Bupati Cilacap sebagai atasan Kepala DPMPTSP
Kabupaten Cilacap wajib menyelesaikan upaya banding
administrasi yang diajukan oleh PT. Sanjaya Thanry
Bahtera dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja
sejak banding administrasi diterima.
Dalam hal upaya banding administrasi diterima, Bupati

8
Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) UU AP

13
Cilacap menerbitkan KTUN sesuai dengan permohonan
banding administrasi yang diajukan. Apabila upaya
banding administrasi ditolak oleh Bupati Cilacap, maka
PT. Sanjaya Tanry Bahtera dapat melakukan upaya
hukum administrasi berupa gugatan melalui Pengadilan
Tata Usaha Negara Semarang.

14
III. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Penolakan permohonan KKKPR yang diajukan oleh PT.
Sanjaya Tanry Bahtera merupakan KTUN Berbentuk
Elektronis yang telah memenuhi syarat sahnya KTUN
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 52 UU AP.
2. Upaya administrasi yang dapat dilakukan oleh PT. Sanjaya
Tanry Bahtera adalah Keberatan Administrasi kepada
Kepala DPMPTSP Kabupaten Cilacap, Banding Administrasi
kepad Bupati Cilacap, sampai dengan Gugatan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang.

Saran yang dapat diberikan antara lain :


1. Perlu ada produk yang lebih jelas dan dapat dijadikan alat
bukti untuk mengajukan upaya administrasi alih-alih
hanya notifikasi/pemberitahuan melalui sistem OSS;
2. RDTR Perkotaan Cilacap agar mengatur lebih lengkap dan
detail mengenai kegiatan-kegiatan yang diizinkan
dilakukan dalam zona-zona sesuai dengan pola ruang yang
ditentukan dalam RDTR untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dan kepastian investasi bagi masyarakat
dan pelaku usaha.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aschari, dkk, 2017, Kajian tentang Kompetensi Absolut Peradilan


Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa
Keputusan Fiktif Positif, Jurnal Kajian Hukum, Vol. 2,
No. 1.
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar
Grafika, Jakarta.
Budiamin Rodding, 2017, Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif
Positis dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik,
Tanjungpura Law Journal, Vol. 1 Issue 1, Januari.
Desy Wulandari, 2020, Pengujian Keputusan Fiktif Positif di
Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Lex
Renaissance, No. 1 Vol. 5 Januari.
Enrico Simanjuntak, 2017, Perkara FiIktif Positif dan
Permasalahan Hukumnya, Jurnal Hukum dan
Peradilan, Volume 6 Nomor 3, November.
Enrico Simanjuntak, 2018, Prospek Fiktif Positif dalam Menunjang
Kemudahan Berusaha di Indonesia, Jurnal
Rechtsvinding, Volume 7 Nomor 2, Agustus.
Githa Angela Sihotang dkk, 2017, Diskresi dan Tanggung Jawab
Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam
Situasi Darurat, Jurnal Law Reform, Volume 13, No.
1.
Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian
dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Indro harto, SH, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Edisi Baru,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Kartika Widya Utama, 2015, “Surat Keputusan Tata Usah Negara
Yang Bersifat Fiktif Positif”, Jurnal Notarius, Edisi 08,

16
Nomor 2, September.
Luthfi Anshori, 2015, Diskresi dan Pertanggungjawaban
Pemerintah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan,
Jurnal Yuridis, Vol. 1 Juni.
Muhammad Addi Fauzani dan Fandi Nur Rohman, 2020,
Problematik Penyelesaian Sengketa Perbuatan
Melawan Hukum oleh Penguasa di Peradilan
Administrasi Indonesia (Studi Kritis terhadap
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019),
Jurnal Widya Pranata Hukum, Vol. 2 Nomor 1
Februari.
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana Media
Group, Jakarta.
Philipus M Hadjon, dkk, 2008, Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan
Kesepuluh.
Ridwan, 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII
Press, Yogyakarta.
Ridwan, 2014, Hukum Administrasi Negara,
Rajawali Press, Jakarta.
SF Marbun, 2011, Peradilan Adminstrasi Negara dan Upaya
Administratif di Indonesia, .FH UII Press, Yogyakarta.
SF Marbun, 2018, Hukum Administrasi Negara I, FH UII Press,
Yogyakarta.
Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH.,MH., Tuntutan Praktek
Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, PT.
Pramedya Pustaka, Jakarta, 1999.
, Pelaksanaan Otonomi Daerah Berkaitan
Dengan Perijinan Yang Rawan Gugatan, Makalah
Temu Ilmiah HUT PERATUN XIII, Medan, 2004.
Indonesia. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. UUD NRI Tahun 1945.

17
Indonesia. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
UU No. 5 Tahun 1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN
No. 3344.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. UU No. 9 Tahun 2004. LN No. 35
Tahun 2004. TLN No. 4380.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. UU No. 51 Tahun 2009. LN No. 160
Tahun 2009. TLN No. 5079.
Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. UU No. 30
Tahun 2014. LN No.292 Tahun 2014. TLN No. 5601.
Indonesia. Undang-Undang Cipta Kerja. UU No. 11 Tahun 2020.
LN. No. 245 Tahun 2020. TLN No. 6573.

18

Anda mungkin juga menyukai