Anda di halaman 1dari 28

IMPLIKASI HUKUM PENGATURAN PERLUASAN MAKNA

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) PADA


UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2014 TERHADAP
PROSES PENGAJUAN SENGKETA DI PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA

TIM PENELITI
I Gusti Ngurah Wairocana ; I Ketut Sudiarta ; I Wayan Bela Siki Layang
; Kadek Agus Sudiarawan ; I Gede Pasek Pramana

Disampaikan pada :
Seminar Sains dan Teknologi
14-15 Desember Patrajasa Bali
LPPM UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2017
Latar Belakang
 Lahirnya UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan  menghadirkan beberapa perubahan
kompetensi yang terkait dengan prosedur pengajuan perkara
pada Peradilan Tata Usaha Negara;
 Salah satu isu hangat dan sangat problematis pasca hadirnya
UU Administrasi Pemerintahan  terdapat perubahan
substansial terkait “PENGERTIAN/PEMAKNAAN KTUN”
Perluasan makna KTUN
UU No 51 Tahun 2009 UU No 30 Tahun 2014
Suatu penetapan tertulis Penentapan tertulis yang juga
mencakup tindakan faktual;
 dikeluarkan oleh badan atau Keputusan badan atau pejabat
pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif,
berisi tindakan hukum tata legislatif, yudikatif dan
usaha negara pelanggaran negara lainya;
Berdasarkan ketentuan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Asas-
perundang-undangan asas umum pemerintahan yang
bersifat kongkret, individual baik;
dan final Bersifat final dalam arti luas;
Keputusan yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum menimbulkan akibat hukum;
bagi seseorang atau badan Keputusan yang berlaku bagi
hukum perdata warga negara.
Perluasan pemaknaan KTUN ini kemudian
menimbulkan persoalan hukum:

• bagi para pihak • berpotensi menimbulkan


konflik akibat perbedaan
(terutama hakim dalam
tafsir dari berbagai
menyelesaikan elemen terkait dalam
sengketa) tahap pelaksanaanya

ARTI PENTING KTUN


Dasar hukum bagi pemerintah untuk bertindak, sekaligus dasar bagi
masyarakat untuk menggugat
Dengan latar belakang tersebut diatas, dilakukanlah
peneltian dengan judul :

Implikasi Hukum Pengaturan Perluasan Makna Keputusan


Tata Usaha Negara (KTUN) pada Undang-Undang No.30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap
Proses Pengajuan Sengketa di Pengadilan Tata Usaha
Negara
RUMUSAN MASALAH
1) Mengapa pembentuk undang–undang memperluas ruang lingkup
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara...?

2) Bagaimanakah implikasi hukum pengaturan perluasan makna


Keputusan Tata Usaha Negara pada UU Administrasi
Pemerintahan terhadap proses pengajuan sengketa di Pengadilan
Tata Usaha Negara...?

3) Bagaimanakah sikap Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam


menyelesaikan sengketa tata usaha negara berkaitan
dengan perluasan pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara pasca
berlakunya UU Adminstrasi Pemerintahan...?
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian :
 Penelitian hukum ini merupakan gabungan antara penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris.
 Dimana untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian
normatif dilakukan penelitian hukum empiris

2. Bahan Hukum:
Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Metode dokumentasi dengan mengumpulkan, bahan hukum yang terkait
dengan obyek penelitian.

4. Teknik Analisa Bahan Hukum


Diskripsi, sistematisasi, interpretasi, evaluasi dan argumen
5 Lokasi Penelitian
 Di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar
 Di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar
 Dengan Penelitian Pendahuluan dengan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha
Negara Yogyakarta)

Adapun pertimbangan dalam pemilihan sampel meliputi :


• Dipilih sampel yang terlibat langsung dalam proses penyelesaian Sengketa
Tata Usaha Negara dalam lingkungan PTUN;
• Dipilih sampel yang memiliki lingkup wilayah dengan karakteristik yang
berbeda;
• Dipilih sampel dengan tingkat keberagaman kasus tata usaha negara yang
dimiliki;
6. Subyek Penelitian
• Responden:
– Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar
– Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar
• Narasumber:
– Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar
– Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

7. Teknik Pengumpulan Data  metode wawancara kepada responden dan narasumber.


8 Alat Pengumpulan Data  Alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data
primer yaitu berupa pedoman wawancara.

9. Analisis Data
 Analisis data  dilakukan pengelompokan data yang diperoleh baik dari penelitian
kepustakaan ataupun penelitian lapangan  Setelah proses pengumpulan data maka tahap
selanjutnya adalah pengolahan data.
 Data yang dikelompokkan, diseleksi, dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
metode kualitatif. Hasil dari analisis ini yang menjadi jawaban dari permasalahan yang ada.
PEMBAHASAN
1. Pertimbangan Pembentuk Undang–Undang
Memperluas Ruang Lingkup Pemaknaan Keputusan
Tata Usaha Negara

– UU Administrasi Pemerintahan merupakan salah satu


regulasi yang kelahirannya dilatarbelakangi oleh
keberadaaan filosofi dasar dalam rangka memberi
kemanfaatan hukum yang sebesarnya bagi masyarakat.

– UU Administrasi Pemerintahan menggeser paradigma lama


kepada paradigma baru yaitu paradigma pelayanan publik
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terus
berkembang seiring keterbukaan akses informasi publik
yang semakin luas.
Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Perundang-
undangan Administrasi Pemerintahan menunjukkan bahwa
perluasan makna KTUN dimunculkan dalam UU Administrasi
Pemerintahan didasarkan pada beberapa pertimbangan utama
meliputi :
 Untuk memperluas ruang lingkup sengketa yang
dapat diadili pada Peradilan Tata Usaha Negara
(memperluas kompetensi absolut PTUN).
 Untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi warga
masyarakat dalam mencapai keadilan.
 Untuk memperkuat fungsi kontrol yuridis eksternal
dari masyarakat terhadap aparatur pemerintahan.
 untuk memperkuat prinsip kehati-hatian sekaligus sisi
responsif aparatur pemerintahan.
2. IMPLIKASI HUKUM PERLUASAN PERMAKNAAN KTUN
DALAM PASAL 87 UU AP

• Pengaturan perluasan makna KTUN dalam UU


Administrasi Pemerintahan menimbulkan
berbagai implikasi-implikasi hukum yang
merubah sistem Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara khususnya terkait kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa
dan sengketa yang menjadi lingkup kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Implikasi hukum yang terjadi saat pemberlakuan ketentuan
Peralihan Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan
(Perluasan Pemaknaan KTUN):

A. Pengaturan Penetepan Tertulis yang juga mencakup


Tindakan Faktual;
 KTUN yang dulu nya identik dengan penetapan tertulis kemudian diperluas
dengan mencakup pada Tindakan Faktual yang dilakukan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, syarat KTUN Tertulis diperluas dengan mencakup
pula Perbuatan Materiil Tata Usaha Negara.

 Dengan mengatur mengenai tindakan faktual ini, proses pengajuan gugatan-


gugatan terhadap tindakan faktual yang dulunya masuk kedalam ranah
Pengadilan Negeri melalui gugatan perbuatan melawan hukum
(onrechmatige overhaitdaad), hari ini dapat masuk menjadi obyek yang
diadili oleh PTUN.

 (Diatur dalam SE MA Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan


Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan)
B. Keputusan badan atau pejabat di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara
negara lainya
 UU PTUN mendefinisikan KTUN sebagai suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
 Ditinjau dari segi perbuatnya, KTUN merupakan suatu produk hukum
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara dalam
rangka melaksanakan kegiatan eksekutif.

 Perluasan pemaknaan pasca UU Administrasi Pemerintahan


 Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya
kemudian masuk sebagai unsur pembuat KTUN yang dapat menjadi
obyek sengketa pada Peradilan Tata Usaha Negara Secara
penormaan telah memperluas sumber terbitnya KTUN yang menjadi
obyek sengketa pada Peradilan Tata Usaha Negara.
C. Bersifat final dalam arti luas;
 Ketentuan Penjelasan UU Administrasi Pemerintahan Pasal 87 butir d
memberi penjabaran yang dimaksud dengan final dalam arti luas adalah 
mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang.

 Keputusan Tata Usaha Negara dan atau Tindakan yang bersifat final dalam arti
luas  diatur dalam SE No.4 Tahun 2016 pada Bagian Rumusan Pleno Kamar
Tata Usaha Negara  sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah
menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan persetujuan dari
instansi atasan atau instansi lain.

 Implikasi hukum dari pengaturan ketentuan ini ialah  PTUN kemudian


memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha
Negara yang obyek sengketanya berupa KTUN yang belum final (masih dalam
proses atau diambil alih atasan pejabat yang berwenang)

 Meskipun masih ditahap awal (pejabat terbawah), apabila KTUN tersebut


dianggap merugikan, maka setiap pihak yang dirugikan dapat mengajukan
gugatan ke PTUN meskipun keputusan tersebut belum final.
D. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat
hukum.
 Masyarakat dapat mengajukan gugatan Tata Usaha Negara
atas segala potensi kerugian yang mungkin muncul dari
dikeluarkannya suatu KTUN oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara.

 Dengan pemberlakuan ketentuan ini, setiap KTUN yang


dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
dianggap akan merugikan (meskipun tidak secara langsung)
dimasa depan, dapat diajukan sebagai obyek Sengketa Tata
Usaha Negara di PTUN.
E Keputusan yang berlaku bagi warga negara.
 Dengan pengaturan ini terjadi Perluasan dari pihak yang berpeluang
mengajukan gugatan Tata Usaha Negara, dimana tidak hanya kemudian
terbatas untuk individu tertentu (individual), melainkan juga bagi warga
negara atau masyarakat secara luas yang berpotensi atau telah mengalami
kerugian akibat terbitnya KTUN tersebut.

 Hilangnya frasa individual dalam UU Administrasi Pemerintahan secara


tidak langsung dapat diartikan sebagai bentuk perluasan terhadap legal
standing PTUN, dimana warga atau masyakarat dapat mengajukan perkara
ke PTUN.

 Implikasi-implikasi hukum yang ditimbulkan terkait pegaturan penormaan


perluasan pemaknaan KTUN dalam UU AP  pada tataran praktis
perluasan pemaknaan ini kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum,
dimana terjadi berbagai perbedaan penafsiran yang mengakibatkan
kebingungan para pihak pada tataran pelaksanaannya.
3 Sikap Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara berkaitan
dengan Perluasan Pemaknaan KTUN pasca berlakunya
UU Administrasi Pemerintahan
 Dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara, hukum formil yang digunakan
adalah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (UU No.5 Tahun 1986
yang kemudian dirubah dengan UU No.9 Tahun 2009 dan dirubah kembali
dengan UU No.51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

 Kebingungan terkait hukum acara yang diberlakukan pada pengadilan Tata


Usaha Negara kemudian terjadi pasca lahirnya UU Administrasi
Pemerintahan.

 UU Administrasi Pemerintahan selain mengatur ketentuan materiil hukum


administrasi, juga mengatur ketentuan-ketentuan hukum formil dalam
upaya penegakan Hukum Administrasi Pemerintahan.
 Padahal sebagaimana diketahui Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara secara khusus telah diatur dalam ketentuan UU
PTUN yang masih berlaku dan belum dinyatakan dicabut
atau digantikan oleh ketentuan peraturan peraturan
perundangan-undangan lainnya.

 Pada kondisi demikian  terlihat jelas bahwa ketentuan


hukum acara yang mengatur terkait administrasi
pemerintahan kemudian tersebar dalam dua bingkai
peraturan perundang-undangan besar yaitu pada UU PTUN
dan UU Administrasi Pemerintahan.
SIKAP YANG SEHARUSNYA DIAMBIL HAKIM PTUN DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA TUN PASCA PENGATURAN
PERLUASAN MAKNA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

 Perluasan Pemaknaan KTUN dalam UU Administrasi


Pemerintahan kemudian dianggap menimbulkan masalah
teoritik hukum karena undang-undang ini memperluas
pengertian KTUN sebagaimana diatur dalam UU PTUN yang
merupakan undang-undang formil hukum administrasi negara.

 Hal inilah kemudian menunjukkan  Tidak terdapat pedoman


yang jelas bagi penegak hukum (terutama hakim), terkait
ketentuan mana yang kemudian dapat diberlakukan dalam
menangani dan memeriksa perkara pada Peradilan Tata Usaha
Negara.
Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara 
haruslah mampu mengadili menurut hukum dan
untuk memperoleh, menemukan pengertian maupun
makna yang tepat tentan haruslah mengacu pada
prinsip-prinsip yang mendasarinya.

Dalam menghadapi perbedaan pengaturan antar


peraturan perundang-undangan yang terjadi  asas
hukum menjadi unsur penting bagi hakim dalam
menilai mengingat asas hukum merupakan dasar
atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif.
 Hakim dalam merespon perluasan pemaknaan KTUN pasca
lahirnya UU Administrasi Pemerintahan  haruslah dapat
melihat dari sisi teoritis, dimana UU PTUN merupakan Lex
specialis sedangkan UU Administrasi Pemerintahan
merupakan Lex generalis.

 UU PTUN merupakan undang-undang khusus yang mengatur


mengenai hukum acara yang berlaku pada Peradilan Tata
Usaha Negara, sedangkan UU Administrasi Pemerintahan
secara substansi merupakan sumber hukum materiil
administrasi pemerintahan yang meskipun didalamnya
mengatur pula hukum acara namun tidak serta merta dapat
difungsikan untuk mengubah ketentuan perundang-undangan
khusus (UU PTUN) yang sebelumnya telah mengatur hukum
acara Peradilan Tata Uasha Negara secara detail dan lengkap.
 Pada kondisi demikian UU PTUN haruslah dimaknai
sebagai ketentuan yang mengatur secara khusus hukum
acara Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga ketentuan
ini haruslah dapat mengesampingkan ketentuan yang
diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan sebagai
ketentuan yang sifatnya umum karena tidak termasuk
dalam jenis peraturan perundang-undangan yang
fungsinya sama.

 Atas dasar tersebut berlaku asas preferensi hukum Lex


specialis derogat legi generalis (hukum yang bersifat
khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum).
PENUTUP
Simpulan :
Terdapat beberapa pertimbangan utama dari
pembentuk undang-undang dalam mengatur perluasan
pemaknaan KTUN pada Ketentuan Peralihan Pasal 87
UU Administrasi Pemerintahan yang antara lain :
 Untuk memperluas kompetensi atau ruang lingkup sengketa yang
dapat diadili pada Peradilan Tata Usaha Negara.
 Untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi warga masyarakat
dalam mencapai keadilan.
 Untuk memperkuat fungsi kontrol eksternal masyarakat terhadap
aparatur pemerintahan agar tidak mudah menjadi obyek dari
penyalahgunaan kekuasaan aparatur pemerintahan.
 Untuk memperkuat prinsip kehati-hatian sekaligus sisi responsif
aparatur pemerintahan berkaitannya dengan dikeluarkannya suatu
KTUN dalam pelaksanaan fungsi administrasi pemerintahan.
 Beberapa implikasi hukum yang muncul pasca perluasan pemaknaan KTUN pada
UU Administrasi Pemerintahan meliputi :
 PTUN memiliki kewenangan mengadili tindakan faktual yang dilakukan aparatur pemerintahan yang
dulunya merupakan kewenangan Pengadilan Negeri (gugatan perbuatan melawan hukum),
 Keputusan diluar lingkungan eksekutif yang dikeluarkan oleh badan pejabat di lingkungan legislatif,
yudikatif dan penyelenggara negara lainnya menjadi obyek Sengketa Tata Usaha Negara,
 KTUN yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan persetujuan dari
instansi atasan atau instansi lain dapat diajukan sebagai obyek Sengketa Tata Usaha Negara,
 Gugatan ke PTUN dapat diajukan atas segala potensi kerugian yang mungkin muncul dari
dikeluarkannya suatu KTUN.
 Pihak yang berpeluang mengajukan gugatan Tata Usaha Negara tidak hanya terbatas untuk individu
tertentu (individual), melainkan juga bagi warga negara atau masyarakat secara luas yang
berpotensi atau telah mengalami kerugian akibat dikeluarkannya KTUN tersebut.

 Selain menimbulkan berbagai implikasi hukum pasca pengaturan perluasan makna


dalam UU Administrasi Pemerintahan, pada tataran praktis perluasan pemaknaan
KTUN ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum, dimana terjadi berbagai
perbedaan penafsiran yang mengakibatkan kebingungan para pihak pada tataran
pelaksanaannya.
 Sikap Yang Seharusnya Diambil Hakim PTUN Dalam Menyelesaikan
Sengketa TUN Pasca Pengaturan Perluasan Makna UU Administrasi
Pemerintahan
 UU PTUN haruslah ditempatkan sebagai undang-undang khusus yang mengatur mengenai
hukum acara yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara,  sementara UU Administrasi
Pemerintahan secara substansi merupakan sumber hukum materiil administrasi
pemerintahan (meskipun didalamnya mengatur pula beberapa perubahan hukum acara yang
diberlakukan pada Peradilan Tata Usaha Negara).

 UU Administrasi Pemerintahan atas dasar kebaruannya dan kemanfaatannya tidak serta


merta dapat difungsikan untuk mengubah dan mengantikan ketentuan perundang-
undangan khusus yang sebelumnya telah mengatur hukum acara Peradilan Tata Usaha
Negara.

 Dari sisi teoritis, UU PTUN merupakan Lex specialis sedangkan UU Administrasi Pemerintahan
merupakan Lex generalis. UU PTUN haruslah dimaknai sebagai ketentuan yang mengatur
secara khusus hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga ketentuan ini dapat
mengesampingkan ketentuan yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan sebagai
ketentuan yang sifatnya umum.
 Atas dasar tersebut berlaku asas preferensi dalam hukum Lex specialis derogat legi
generalis (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum).
SEKiAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai