Anda di halaman 1dari 15

POKOK-POKOK MATERI FGD

Jumat, 11 Juni 2021

Judul : Pemberian Hak Guna Bangunan bagi Persekutuan Komanditer (CV)


berdasarkan Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2/SE.HT.02.01/VI/2019
Dosen Peneliti : Dr. fx. Arsin lukman, S.H.
Anggota : Noviyanti, S.H. (NPM: 5618221060)
I. LATAR BELAKANG
Pada tanggal 28 Juni 2019, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan
Nasional telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 2/SE- HT.02.01/VI/2019 mengenai pemberian
Hak Guna Bangunan untuk Persekutuan Komanditer/Commanditaire Vennootschap (CV).
Diterbitkannya Surat Edaran ini diharapkan dapat meningkatkan investasi dan mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Adapun “isi” dari Surat Edaran tersebut adalah sebagai
berikut:1
1. Dalam rangka memberikan kemudahan pelayanan pertanahan, persekutuan komanditer (CV)
dapat mengajukan permohonan hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan.
2. Pengajuan permohonan dilakukan oleh anggota komanditer maupun komplementer atau
kuasanya yang bertindak untuk dan atas nama serta atas persetujuan seluruh anggota
komanditer dan komplementer.
3. Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Standar
Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan, syarat pemberian Hak Guna Bangunan kepada
persekutuan komanditer (CV) juga melampirkan Anggaran dasar/Anggaran Rumah Tangga
yang sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
4. Pencatatan pendaftaran Hak Guna Bangunan untuk persekutuan komanditer (CV) dilakukan:
a. atas nama seluruh anggota komanditer dan komplementer dalam persekutuan komanditer
(CV) dimaksud; atau

1
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Surat Edaran Nomor 2/SE-
HT.02.01/VI/2019 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Persekutuan Komanditer (Commanditaire
Vennootschap), ditetapkan di Jakarta, 28 Juni 2019.
b. salah satu anggota komanditer dan komplementer c.q. seluruh commanditaire vennootschap
dengan persetujuan seluruh anggota komanditer dan komplementer.
Dilihat dari isi Surat Edaran tersebut diatas, maka terdapat beberapa persoalan-persoalan yaitu
antara lain adalah:
1. Persoalan Terkait Persekutuan Komanditer (CV) sebagai “Subjek” Pemilik Hak Guna
Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36 Ayat 1 UUPA).2
Hal yang sama juga diatur dalam peraturan turunannya yaitu Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah3.
2. Persoalan Terkait “Kedudukan” Surat Edaran dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan
Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
adalah sebagai berikut:
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;

2
ibid, Pasal 36
3
Indonesia (b), Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah,
PP No. 40 Tahun 1996, LN No. 48 Tahun 1996, TLN No. 3643, Pasal 19
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut diatas, tidak tercantum produk Surat
Edaran atau Keputusan Menteri didalamnya sehingga keberadaan Surat Edaran Nomor 2/SE-
HT.02.01/VI/2019 dimana isi atau materinya bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pemberian HGB akan berpotensi menimbulkan
polemik dalam penerapannya. Isi atau Materi yang terdapat dalam Surat Edaran Nomor 2/SE-
HT.02.01/VI/2019 mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk Persekutuan Komanditer
(CV), tidak mengatur “hal teknis” dari suatu peraturan umum sebagaimana fungsinya sebuah
Surat Edaran, melainkan membuat “ketentuan” baru yang menyatakan bahwa CV dapat
mengajukan permohonan HGB yang notabene bertentangan dengan UUPA dan Peraturan
Pemerintah Nomor 40/1960 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
atas tanah.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan Surat Edaran dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia menurut Teori Hierarki Norma?
2. Bagaimana pemberian Hak Guna Bangunan kepada Persekutuan Komanditer (CV)
berdasarkan Surat Edaran (SE) Kementerian ATR/BPN Nomor 2/SE HT.02.01/VI/2019?
3. Bagaimana akibat hukum diberikannya Hak Guna Bangunan kepada Persekutuan
Komanditer (CV) berdasarkan Surat Edaran Nomor 2/SE HT.02.01/VI/2019 terhadap
kekayaan bersama Persekutuan Komanditer (CV)?
III. LANDASAN TEORI
Untuk mengkaji kedudukan Surat Edaran dalam peraturan perundang- undangan dan hierarki (tata
urutan) perundang-undangan di Indonesia, maka digunakanlah teori Hierarki Norma yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen. Esensi teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen pada hierarki
dari peraturan perundang-undangan yang akan dibuat adalah4:
1. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi;

4
H.Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta,
PT Raja Grafindo, 2018), hlm: 57
2. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang yang lebih tinggi lagi.
Ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian disempurnakan oleh seorang muridnya, yakni
Hans Nawiasky dengan menyusun teori yang disebut theorie von stufenbau der rechtsordnung,
di mana norma-norma tersusun atas Pokok-pokok pemikiran Hans Nawiasky adalah sebagai
berikut:5
1. Suatu norma hukum dari negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang;
2. Suatu norma hukum yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi;
3. Norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum yang
lebih tinggi lagi;
4. Sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
Selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dalam suatu negara norma hukum juga
berkelompok yang terdiri atas empat kelompok besar yaitu:6
Kelompok 1 : stardfundamental norm (norma fundamental negara)
Kelompok 2 : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara)
Kelompok 3 : Formell Gesetz (Undang-undang “formal”)
Kelompok 4 : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom)
Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah haruslah bersumber
merujuk pada ketentuan aturan yang di atasnya atau lebih tinggi dari hal tersebut terus
berkelanjutan sehingga pada akhirnya yang lebih tinggi bersumber pada yang tertinggi
tingkatannya sehingga nantinya tidak membuat suatu konflik dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi (asas lex superior legi inferiori).
IV. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Hukum Normatif, bersifat deskriptif analitis dengan
metode Deduktif Induktif, dan teknik analisis data kualitatif.
2. Pendekatan masalah dengan cara pandang yuridis normatif melalui Pendekatan
Perundang-Undangan (Statute Approach)7 dengan menelaah semua peraturan perundang-

5
ibid, hlm: 58
6
ibid
7
Peter Mahmud Marzuki., Penelitian Hukum, Cetakan ke-12, (Jakarta, Kencana: 2016), hlm:133
undangan terkait Pemberian Hak Guna Bangunan kepada Persekutuan Komanditer yang
diperoleh berdasarkan payung hukum sebuah Surat Edaran dan pendekatan Pendekatan
konseptual (Conceptual Approach), yaitu menggunakan pendapat para ahli (doktrin)
terkait rumusan permasalahan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum normatif, maka sumber data utamanya berasal dari data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan atau literatur yang berhubungan dengan
objek penelitian. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber
penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang didapat dari
bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rumusan
permasalahan seperti UUD 1945, UUPA, PP tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas
Tanah, PP Pendaftaran Tanah, PP tentang PPAT, Perkaban No.8 Tahun 2012,dll) dan
bahan hukum sekunder yang diperoleh dari buku-buku hukum termasuk hasil Tesis, Jurnal
Hukum, dll serta bahan hukum tersier berupa kamus hukum.
V. HASIL PENELITIAN
1. Kedudukan Surat Edaran dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia menurut Teori Hierarki Norma.
Teori Hierarki Norma dikemukakan oleh Hans Kelsen dan dikembangkan oleh muridnya
Hans Nawiasky.
a. Menurut Hans Kelsen, suatu norma dikatakan sah apabila dibentuk oleh pihak yang
berwenang untuk membentuk norma tersebut. Kewenangan tersebut diperoleh dari norma
lain yang berkedudukan lebih tinggi. Wewenang yang diperoleh berdasarkan amanat
suatu peraturan perundang-undangan juga dikenal dengan istilah atribusi. Hubungan
antara keabsahan norma dan kewenangan pembentukan norma tersebut kemudian
membentuk rantai hierarki norma-norma yang berujung pada grundnorm. Ciri khas dari
kewenangan atribusi adalah melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa
sendiri setiap waktu diperlukan sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Contoh UU
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 136 memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah.8
b. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (untuk selanjutnya
disingkat Kementerian ATR/BPN) memiliki pelimpahan kewenangan berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2020 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang
dan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara di bidang
pertanahan dan tata ruang termasuk membuat peraturan.
c. Berdasarkan kewenangan delegasi, Kemeterian ATR/BPN berhak membuat kebijakan.
Kebijakan tersebut ada yang bersifat terikat berdasarkan peraturan perundang-undangan
seperti diuraikan diatas serta ada yang bersifat bebas (vrijbeleid). Kebijakan yang bersifat
bebas ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan kewenangan kebebasan
bertindak (freies ermessen). Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan dan dijalankan oleh
pejabat administrasi negara dalam rangka menyelesaikan suatu keadaan (masalah
konkret) yang pada dasarnya belum ada aturannya atau belum diatur dalam undang-
undang (peraturan perundang-undangan).9
d. Salah satu produk Kementerian ATR/BPN dalam menjalankan kewenangan kebebasan
bertindak tersebut adalah dengan penetapan Surat Edaran. Surat Edaran Menteri
ATR/BPN No. 2/SE-HT.02.01/VI/2019 diterbitkan sebagai petunjuk pelaksanaan bagi
Kantor Pertanahan dalam melakukan pelayanan pemberian Hak Guna Bangunan kepada
Persekutuan Komanditer.
e. Apabila dikaitkan dengan definisi Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 UU tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka Surat Edaran Menteri ATR/BPN No.
2/SE-HT.02.01/VI/2019 bukanlah termasuk “peraturan perundang-undangan” Hal ini
dikarenakan Surat Edaran belum memenuhi unsur-unsur dari Peraturan Perundang-
undangan yaitu:
a) Surat Edaran bukan merupakan Peraturan tertulis,

8
Arasy Pradana A. Azis, Pengertian Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm, https://new.hukumonline.com/,
diunduh 9 Juni 2021, Pukul 11.00 WIB
9
Arif Christiono Soebroto, Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, http://jdih.bappenas.go.id , diunduh pada tanggal 7 Januari 2021
Menurut A. Hamid S Attamimi: “dilihat dari bentuk dan formatnya, peraturan
kebijakan sama benar dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan
pembukaan berupa konsiderans “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”, batang
tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian dan bab-bab serta penutup, yang
sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan”.10 Dalam hal ini, format
Surat Edaran Menteri ATR/BPN No. 2/SE-HT.02.01/VI/2019 tidak memiliki format
seperti hal nya Peraturan Tertulis.
b) Surat Edaran tidak memuat Norma hukum yang mengikat secara umum, dalam Surat
Edaran Menteri ATR/BPN No. 2/SE-HT.02.01/VI/2019 ditujukan kepada Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Para Kepala Kantor Pertanahan di
seluruh Indonesia
c) Surat Edaran tidak dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang baik berdasarkan atribusi maupun delegasi, karena jika pembentukannya
mendasarkan pada atribusi kewenangan atau delegasi kewenangan peraturan
perundang- undangan maka bentuknya dapat dipastikan harus berupa peraturan
perundang-undangan.
d) Surat Edaran tidak melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan11, tidak ada proses pengundangan dan penyebarluasan sebagaimana halnya
peraturan perundang-undangan
f. Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 9/2018 tentang Pedoman Tata Naskah
Dinas di Lingkungan Kementeriaan ATR/BPN12, kedudukan Surat Edaran dalam
kementerian ATR/BPN adalah merupakan naskah dinas yang memuat pemberitahuan
tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Surat Edaran disistribusikan
kepada Pejabat dan pihak terkait lainnya. Surat Edaran termasuk bagian dari Naskah
Dinas Pengaturan. Sesuai dengan tingkatannya, naskah dinas yang bersifat pengaturan
terdiri dari Peraturan, Surat Edaran, Instruksi, Petunjuk Pelaksanaan/Petunjuk Teknis
dan Prosedur Tetap. Naskah Dinas Pengaturan merupakan bagian dari Naskah Dinas
Arahan yaitu Naskah Dinas yang memuat kebijakan pokok atau kebijakan pelaksanaan

10
A. Hamid S Attamimi dalam Arif Christiono Soebroto, ibid.
11
Indonesia (d) op.cit UU No.12/2011 juncto Indonesia (e), Pasal 1 butir 2
12
Indonesia (j), Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas
di Lingkungan Kementeriaan ATR/BPN, BNRI Tahun 2018 Nomor 686
yang harus dipedomani dan dilaksanakan dalam penyelenggaraan tugas dan kegiatan
setiap instansi pemerintah yang berupa produk hukum yang bersifat pengaturan,
penetapan, dan penugasan sedangkan pengertian Naskah Dinas sendiri adalah informasi
tertulis sebagai alat komunikasi kedinasan yang dibuat dan/atau dikeluarkan oleh Pejabat
yang berwenang di Kementerian ATR/BPN dalam rangka penyelenggaraan tugas umum
pemerintahan dibidang agrarian/pertanahan dan tata ruang. Surat Edaran memiliki derajat
lebih tinggi dari surat biasa karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang
hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat
pemberitahuan dan tidak ada sanksi karena bukanlah suatu norma.
g. Apabila dikaitkan dengan Teori Hierarki Norma dari Hans Kelsen maka Surat Edaran
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 sebagai
sebuah Naskah Dinas Pengaturan pada Kementerian ATR/BPN memiliki
ketidakharmonisan antara materi dengan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan materi Surat Edaran tersebut yaitu mengenai Hak Guna Bangunan dan
Persekutuan Komanditer sebagai subjek dari Hak Guna Bangunan yaitu Pasal 36 Ayat
(1) UUPA juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Jika dikaitkan
dengan pengelompokkan norma-norma hukum dari Hans Nawiasky, terdapat
pertentangan “materi” Surat Edaran yang merupakan kelompok 4 Verordnung &
Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom) dengan Kelompok 3 Formell
Gesetz (Undang-undang “formal”).
h. Berdasarkan teori hierarki norna dan pengaturan mengenai kedudukan surat edaran pada
Pedoman Tata Naskah Dinas kementerian ATR/BPN, maka Surat Edaran Menteri
ATR/BPN Nomor 2/SE-HT.02.01/VI/2019 bukan termasuk bagian peraturan perundang-
undangan karena tidak memuat norma tingkah laku (larangan, perintah, ijin dan
pembebasan), kewenangan (berwenang dan tidak berwenang) dan penetapan sehingga
Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mengubah atau menambah materi
peraturan menteri, Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Surat Edaran semata-
mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang terkait dengan Surat Edaran.
2. Pemberian Hak Guna Bangunan kepada Persekutuan Komanditer (CV) berdasarkan
Surat Edaran (SE) Kementerian ATR/BPN Nomor 2/SE HT.02.01/VI/2019
a. Subjek HGB dalam Hukum Positif di Indonesia
Subjek Hak Guna Bangunan (HGB) adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan
Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Orang
atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan namun tidak memenuhi syarat-
syarat sebagai WNI dan Badan Hukum, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Terjadinya HGB dan waktu lahirnya HGB, antara lain:
1) Hak Guna Bangunan atas tanah negara didasarkan kepada Surat Keputusan Pemberian
Hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, dan lahirnya HGB adalah pada saat surat
keputusan itu didaftarkan;
2) Hak Guna Bangunan atas tanah pengelolaan berdasarkan Surat Keputusan Pemberian
Hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak
Pengelola; dan hak tersebut lahir sejak surat keputusan itu didaftarkan;
3) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, terjadi saat adanya pembayaran oleh
pemegang HGB dengan bukti akta yang dibuat dihadapan PPAT dan wajib didaftarkan
sedangkan haknya lahir pada saat aktanya ditandatangani oleh para pihak dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).13
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui jual beli,
tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan serta wajib didaftar.
Peralihan HGB karena jual beli (kecuali lelang), tukar menukar, penyertaan dalam modal
dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
Hak Guna Bangunan merupakan salah satu dari objek pendaftaran tanah di disamping
bidang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Setiap
peralihan dan hapusnya Hak Guna Bangunan harus didaftarkan menurut ketentuan-
ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19 UUPA dan Pendaftaran termaksud merupakan
alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya
peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pemaparan mengenai subjek HGB, terjadinya HGB, sampai dengan pendaftaran HGB
tersebut di atas serta pengaturanya dalam hukum positif baik dalam UUPA, PP 40/1996,
PP No. 24/1997, dan PP 37/1998, tidak satupun ditemukan pengaturan mengenai
pemberian Hak Guna Bangunan untuk Persekutuan Komanditer dan tidak ada perintah

13
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Agraria, op.cit, hlm: 133
dari peraturan perundang-undangan tersebut untuk membuat petunjuk teknis atau
petunjuk pelaksana mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk Persekutuan
Komanditer. Oleh karenanya materi dari Surat Edaran Nomor 2/SE.HT.02.01/VI/2019
dengan judul Pemberian Hak Guna Bangunan Untuk Persekutuan Komanditer
(Commanditaire Vennootschap) berpotensi menimbulkan salah penafsiran karena
mengatur petunjuk teknis atas materi yang tidak pernah diatur dalam hukum positif di
Indonesia.
b. Persekutuan Komanditer (CV) adalah Badan Usaha (Non Badan Hukum)
1) Berdasarkan Pasal 1 Butir 1 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor
17 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma,
Dan Persekutuan Perdata (untuk selanjutnya disebut Permenkum HAM No. 17 Tahun
2018), Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap) adalah:
“persekutuan yang didirikan oleh satu atau lebih sekutu komanditer dengan satu
atau lebih sekutu komplementer, untuk menjalankan usaha secara terus
menerus”
2) Harta kekayaan yang dimiliki oleh Persekutuan Komanditer (CV) berasal dari
pemasukan (inbreng) para sekutu. Berdasarkan Pasal 1633 KUH Perdata, apabila
dalam perjanjian persekutuan tidak ditetapkan bagian masing-masing sekutu atas
keuntungan dan kerugian persekutuan, maka bagian tiap peserta itu dihitung menurut
perbandingan besarnya sumbangan modal yang dimasukkan oleh masing-masing
sekutu. Lebih lanjut, bagi sekutu yang memasukkan tenaga dan keahliannya ke dalam
persekutuan, maka bagiannya dalam keuntungan dan kerugian persekutuan harus
dihitung sama banyak dengan bagian peserta yang memasukkan uang atau barang
paling sedikit.14
3) Pasal 1 Butir 3 Permenkum HAM No. 17 Tahun 2018, yaitu “Sekutu Komplementer
adalah sekutu yang berhak bertindak untuk dan atas nama CV dan bertanggung jawab
terhadap pihak ketiga secara tanggung renteng sampai harta kekayaan pribadi”

14
Ibid, Pasal 1633
4) Persekutuan Komanditer Bukan merupakan badan hukum walaupun CV telah
memenuhi syarat materiil dari badan hukum yang sebagaimana dikemukakan oleh Ali
Rido terdiri dari 4 (empat) syarat yaitu:15
i. Adanya harta kekayaan yang terpisah;
ii. Mempunyai tujuan tertentu;
iii. Mempunyai kepentingan;
iv. Adanya organisasi yang teratur.
5) Terkait “syarat formil”, saat ini keberadaan Persekutuan Komanditer (CV) harus
didaftarkan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17
Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan
Persekutuan Perdata ke dalam Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU) namun
walaupun telah didaftarkan, secara formil tidak mengubah esensi kedudukan CV
sebagai badan hukum karena syarat sebagai badan hukum telah diatur lebih lanjut pada
Pasal 7 ayat (2) UU Perseroan Terbatas16 bahwa Perseroan memperoleh status badan
hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan mengenai pengesahan badan hukum
Perseroan. Badan hukum dianggap layaknya orang-perorangan secara individu yang
dapat melakukan perbuatan hukum sendiri dan dapat menuntut serta dituntut di muka
pengadilan17
6) Walaupun ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Perseroan Terbatas telah di revisi oleh UU
Cipta Kerja terkait perolehan status Bada Hukum, maka menurut Pasal 109 Angka 2
UU Cipta Kerja, Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan
kepada Menkumham dan mendapatkan bukti pendaftaran. 18Namun ketentuan terbaru
ini pun juga tidak secara otomatis mengubah status hukum CV menjadi badan hukum.
Untuk mendapatkan status sebagai Badan Hukum, maka CV sebagai sebuah entitas
badan usaha harus mengganti atau mengubah bentuknya menjadi Perseroan Terbatas.19

15
Ali Rido, R, 2002, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan. Koperasi, Yayasan,
Wakaf, Alumni, Bandung, hlm. 71
16
ibid, Pasal 7
17
Orinton Purba, Panduan Praktis Mendirikan Berbagai Badan Usaha (PT, CV, Firma, Yayasan, Koperasi)
(Jakarta: Raih Asa Sukses 2015), hlm. 20
c. Konstruksi Pemberian HGB dalam Surat Edaran Menteri ATR/BPN Nomor 2/SE
HT.02.01/VI/2019
1) Berdasarkan isi dari Surat Edaran, pengajuan permohonan Hak Guna Bangunan oleh
Persekutuan Komanditer dilakukan oleh:
a. Anggota komanditer maupun komplementer atau kuasanya (bisa salah satu atau
keduanya atau melalui surat kuasa).
b. Surat Kuasa sebagaimana dalam butir a tersebut diatas bertindak untuk dan atas
nama serta atas persetujuan seluruh anggota komanditer dan komplementer
sehingga harus ada lembar surat yang menyatakan persetujuan dari seluruh anggota
komanditer.
2) Yang berhak mengajukan permohonan adalah CV yang telah didaftarkan di
Kementerian Hukum dan HAM karena pengajuan permohonan harus melampirkan
Anggaran dasar/Anggaran Rumah Tangga yang sudah didaftarkan di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia
3) Pencatatan pendaftaran Hak Guna Bangunan untuk CV dilakukan atas nama seluruh
anggota komanditer dan komplementer dalam CV sehingga yang tercatat dalam
sertifikat Hak Guna Bangunan adalah nama-nama tiap sekutu dalam CV atau sertifikat
CV dapat juga atas nama salah satu anggota komanditer dan komplementer dengan cq
seluruh Commanditaire Vennootschap dengan persetujuan seluruh anggota
komanditer dan komplementer.
4) Kedudukan CV dalam pencatatan HGB bagi CV, tetap bukan sebagai subjek hukum
“badan hukum” melainkan subjek hukum “orang perorangan” yang harus memenuhi
persyaratan sebagai Warga Negara Indonesia. Sekutu yang tercatat namanya dalam
sertifikat HGB CV tersebut tetap bertindak secara “pribadi” atas nama masing-masing
sehingga mereka bertindak bukan atas nama CV melainkan untuk dan atas nama
seluruh pesero dalam CV. Apabila konstruksinya demikian, maka secara prinsip tidak
ada peraturan perundang-undangan yang “bertentangan”, dengan isi Surat Edaran,
namun Surat Edaran ini menjadi “tidak selaras” dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam hukum positif ketika mengatur mengenai “Pemberian
HGB bagi CV”.
3. Akibat hukum diberikannya Hak Guna Bangunan kepada Persekutuan Komanditer
(CV) berdasarkan Surat Edaran Nomor 2/SE HT.02.01/VI/2019 terhadap kekayaan
bersama Persekutuan Komanditer (CV
a. Adanya kesulitan apabila dikemudian hari dilakukan peralihan hak atas aset bersama berupa
Hak Guna Bangunan tersebut karena harus mendapatkan persetujuan seluruh sekutu atau
pesero yang namanya tercatat dalam sertifikat HGB.
b. Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimohonkan Persekutuan komanditer (CV) maka
penerbitan sertifikatnya adalah atas nama sekutu komplementer atau sekutu komanditer
dengan persetujuan seluruh sekutu dalam CV. Dengan diterbitkannya sertifikat untuk
Persekutuan komanditer (CV) ini maka akan mengundang pelaku usaha dalam CV untuk
memanfaatkannya pada kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis dengan cara
menjaminkan aset bersama HGB atas nama CV tersebut kepada bank karena Sertifikat HGB
merupakan objek dari Hak Tanggungan sebagaimana Pasal 4 UU RI Nomor 40/1996.
Apabila dijaminkan maka akan menjadi resiko bagi para sekutu CV apabila terjadi kredit
macet yang berdampak adanya sita eksekusi atas aset bersama berupa kepemilikian HGB
tersebut.
c. Perubahan personil dalam CV dinilai cukup mudah dan dinamis, oleh karenanya pergantian
antara sekutu dapat saja terjadi dan mudah dilakukan. Hal ini akan menjadi permasalahan
apabila terdapat sekutu yang keluar namun namanya tetap tertera dalam sertifikat Hak Guna
Bangunan sedangkan sertifikat HGB yang merupakan kekayaan bersama para sekutu CV
tersebut ada rencana untuk dialihkan haknya. Apabila terdapat salah satu sekutu yang keluar
dari CV maka bagian atas inbreng (pemasukannya) akan dikeluarkan atau dibayarkan
sehingga tidak berhak lagi atas pemasukannya dalam HGB walaupun namanya tetap tertera
dalam HGB. Apabila kejadian ini sampai terjadi, maka tidak ada cara lain selain tetap
mengumpulkan dan menghadirkan para sekutu yang keluar dari CV tersebut.
d. Pembagian keuntungan dalam CV sebelumnya dapat diperjanjikan oleh para sekutu
mengikuti jumlah perbandingan pemasukan ke dalam persekutuan. Namun apabila dicermati
lebih lanjut akan sulit menentukan prosentase keuntungan terkait kekayaan bersama CV,
misalnya apabila sekutu komplementer hanya memasukkan keahlian dalam persekutuan
sehingga hanya akan mendapatkan bagian terkecil dari keuntungan sesuai ketentuan Pasal
1633 KUH Perdata sedangkan sekutu komplementer tersebut memiliki kewajiban untuk
bertanggung jawab penuh sampai dengan harta pribadinya atas perjanjian yang dibuat oleh
sekutu komplementer yang menjadikan HGB milik kekayaan bersama CV sebagai jaminan.
e. Pemberian Hak Guna Bangunan kepada Persekutuan Komanditer (CV) akan menimbulkan
beberapa akibat dikemudian hari dari sisi pertanggung jawaban. Seluruh perangkat CV baik
sekutu aktif maupun sekutu pasif dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian yang
diderita oleh CV. Khusus bagi sekutu pasif dapat dikenakan pertanggungjawaban apabila
terbukti bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHD yang dalam hal ini disebut
tanggung renteng sampai pada harta kekayaan pribadi yang tidak terbatas. Inilah faktor
prinsipil bahwa Persekutuan Komanditer tetaplah sebuah badan usaha walaupun secara
materiil memiliki karakteristik seperti badan hukum dan secara formil juga harus didaftarkan
di Kementerian Hukum dan HAM. Misalnya, suatu CV mengalami kredit macet dalam
pembayaran Perjanjian Kredit. Hal ini akan menimbulkan polemik terkait
pertanggungjawaban kredit macet tersebut contohnya dan sangat beresiko untuk sekutu
komanditer yang notabene hanya memasukkan modal saja dalam pembelian aset HGB,
namun namanya tertera dalam sertifikat HGB yang merupakan nama orang- perorang cq
nama seluruh sekutu dalam CV hal ini dikarenakan hak bertindak keluar hanya ada pada
sekutu komplementer namun sekutu komanditer juga akan menanggung kerugian atas resiko
kehilangan aset Hak Guna Bangunan apabila kredit macet tersebut sampai menimbulkan sita
atas harta atau aset CV. Menurut Pasal 1631 KUH Perdata, salah satu pemasukan (inbreng)
adalah barang berwujud maka sehubungan dengan risiko atas barang tersebut adalah
merupakan tanggungan persekutuan karena tidak hanya penggunaannya saja akan tetapi jika
sudah dibalik nama atas nama CV (seluruh pesero dalam CV) maka juga “kepemilikannya”.
f. Terkait dengan harta bersama CV berupa sertifikat HGB atas nama pesero/sekutu dalam CV
yang diterbitkan sesuai dengan Surat Edaran Nomor 2/SE.HT.02.01/VI/2019, apabila CV
tersebut dinyatakan pailit maka akan terdapat dua budel pailit yaitu budel pailit para anggota
firma dalam hal ini sekutu komplementer dalam CV dan budel pailit CV itu sendiri20. Aset
HGB atas nama CV tersebut dapat dianggap sebagai harta CV yang dapat digunakan untuk
menutup kerugian atau sebagai budel pailit CV. Dengan adanya persetujuan seluruh sekutu
dalam CV baik komplementer maupun Komanditer pada pengajuan permohonan Hak Guna

20
Ali Abdullah, Hukum Kepailitan dan PKPU, Buku Ajar Program Studi Kenotariatan Universitas Pancasila,
2019, hlm: 135-138.
Bangunan untuk CV, maka seluruh sekutu dianggap telah setuju menjadikan Hak Guna
Bangunan tersebut sebagai harta bersama CV sehingga konsekuensinya dapat dikadikan
budel pailit jika CV dipailitkan atau sebagai alat pembayaran atas kerugian CV sebelum
dilakukan sita atas harta pribadi sekutu kompementer apabila nilai HGB tersebut masih
kurang nilainya.

Anda mungkin juga menyukai