Anda di halaman 1dari 16

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri

Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

Email: nindyacz@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai bagaimana kewenangan dalam pembentukan Peraturan Menteri ditinjau dari
teori perundang-undangan dan dari Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 serta bagaimana keberlakuan
Peraturan Menteri yang pembentukannya tidak didasarkan pada kewenangan tersebut. Penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
Peraturan Menteri adalah peraturan delegasi sehingga pembentukan Peraturan Menteri hanya bisa didasarkan
pada kewenangan delegasi. Pasal 8 ayat (2) tidak bisa diartikan sebagai bentuk pengatribusian kewenangan
mengatur sehingga Menteri dalam membentuk Peraturan Menteri tetap harus berdasarkan pendelegasian
kewenanagan mengatur lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Bagi Peraturan
Menteri yang dibentuk tidak berdasarkan kewenangan delegasi, maka Peraturan Menteri itu tidak dapat diakui
keberadaannya sebagai peraturan perundang-undangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
umum.

The Authority to Establish Ministerial Regulation as One Kind of Regulations

Abstract

This thesis provides explanation on how the legislation authority works in establishing a Ministerial Regulation,
based on the legislation theory and Article 8 paragraph 2 Law No. 12 of 2011. This thesis also provides
explanation on how the impact of a Ministerial Regulation establishing if it was not based on that authority. This
thesis is a normative legal study with a doctrinal method. This thesis concludes that the Ministerial Regulation is
a delegated legislation. Article 8 paragraph 2 can not be defined as a transfer of legislation authority itself.
Therefore, the Minister in terms of making this regulation shall refer to a delegated authority appointed by a
higher regulation. The Ministerial Regulation wich is formed without the delegated authority as the basic will
make the regulation to be unrecognized as a regulation and not publicly binding.

Keywords : Ministerial Regulation, transfer of legislation authority, delegated legislation

Pendahuluan
Mengacu pada teori jenjang hukum yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky, maka
ada dua bentuk peraturan di bawah Undang-Undang yang tentu saja merupakan peraturan
hasil penyerahan kewenangan mengatur dari undang-undang. Dua peraturan tersebut adalah
Peraturan Pelaksana (Verodnung) dan Peraturan Otonom (Autonome Satzung). Peraturan ini
berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan pelaksana
(Verodnung) bersumber dari kewenangan delegasi yaitu kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang dilimpahkan oleh undang-undang kepada peraturan perundang-

1
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
undangan yang lebih rendah.1 Kewenangan ini tidak diberikan, melainkan diwakilkan dan
bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan
tersebut masih ada. Sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi yaitu
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh undang-undang
kepada suatu lembaga negara atau pemerintah.2 Kewenangan ini melekat terus-menerus dan
dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas
yang diberikan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk mekanisme
penyerahan kewenangan membentuk peraturan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011. Pasal 7 ayat (1) mengatur mengenai jenis sekaligus hierarki dari peraturan
perundang-undangan di Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang/Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.3

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas adalah sesuai dengan tata urutan atau
hierarkinya.4 Selain tujuh peraturan tersebut, ada pula peraturan-peraturan lain yang termasuk
dalam jenis peraturan perundang-undangan menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, atau lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.5
Peraturan perundang-undangan tersebut menurut Pasal 8 ayat (2) diakui keberadaanya dan

1
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hal. 56.
2
Ibid., hal. 55.
3
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 12
Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Pasal 7 ayat (1).
4
Ibid., Pasal 7 ayat (2).
5
Ibid., Pasal 8 ayat (1).

2
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.6
Kalimat diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sama
artinya dengan kewenangan delegasi. Tetapi kalimat berdasarkan kewenangan memiliki
makna yang rancu. Penjelasan Pasal 8 ayat (2) memberikan pengertian yang dimaksud dengan
berdasarkan kewenangan adalah penyelenggaraan urusan tertentu di pemerintahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.7 Pengertian ini rentan memunculkan
anggapan bahwa Pasal 8 ayat (2) adalah suatu bentuk pengatribusian kewenangan mengatur
tersendiri kepada lembaga yang dimaksud oleh ayat (1) sehingga tanpa adanya undang-
undang yang mengatribusikan kewenangan mengatur kepada lembaga pemerintahan tersebut,
maka lembaga yang bersangkutan tetap dapat membuat peraturan karena sudah memiliki
kewenangan atribusi.
Sebenarnya kebanyakan dari lembaga pemerintahan yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat
(1) memang telah memperoleh atribusi kewenangan mengatur dari undang-undang yang
mengatur tentang pembentukan lembaga itu sendiri. Contohnya adalah Dewan Komisioner
OJK yang diberikan kewenangan atribusi untuk membentuk Peraturan OJK oleh Pasal 8 UU
No. 21 Tahun 2011.8 Contoh lainnya adalah Bank Indonesia yang memperoleh kewenangan
atribusi untuk membentuk PBI yang diberikan oleh Pasal 1 angka 8 UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia9. Namun lain halnya dengan Menteri. Sebagai organ pemerintahan,
Menteri tidak diberi kewenangan membentuk peraturan oleh Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. Artinya tidak ada kewenangan atribusi untuk
membentuk peraturan yang didapatkan Menteri dari undang-undang yang mengaturnya.
Karena Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tidak mengatribusikan kewenangan mengatur
kepada Menteri, maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri hanya dapat dibentuk
berdasarkan kewenangan delegasi.
Nyatanya, banyak ditemukan Peraturan Menteri yang dibuat tidak berdasarkan pada
kewenangan delegasi, terlihat dari bagian konsiderans Peraturan Menteri tersebut yang tidak
mencantumkan pasal pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

6
Ibid., Pasal 8 ayat (2).
7
Ibid., Penjelasan Pasal 8 ayat (2).
8
Indonesia (c), Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011. LN No. 111
Tahun 2011, TLN N0. 5253, Pasal 8.
9
Indonesia (d), Undang-undang tentang Bank Indonesia, UU No. 23 Tahun 1999, LN No. 66 Tahun
1999, TLN No.3843, Pasal 1 angka 8.

3
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Dengan tidak adanya ketentuan atau pasal pendelegasian untuk membentuk Peraturan Menteri
di atas, maka perlu dipertanyakan apa dasar kewenangan Menteri dalam membentuk
peraturan-peraturan tersebut jika ditinjau dari teori perundang-undangan serta Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011. Hal selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana keberlakuan
Peraturan Menteri yang dibentuk tidak berdasarkan pendelegasian kewenangan dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, yaitu:
1. Bagaimanakah Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 mendefinisikan sumber
kewenangan mengatur untuk membentuk Peraturan Menteri?
2. Bagaimanakah kewenangan pembentukan Peraturan Menteri jika ditinjau dari teori
dan peraturan perundang-undangan?
3. Bagaimanakah keberlakuan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa adanya
pendelegasian dari peraturan perundang-undangan di atasnya?
Berdasarkan latar belakang serta pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari
pembahasan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 mendifinisikan
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan.
2. Mengetahui secara jelas teori serta peraturan yang terkait dengan kewenangan
pembentukan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan.
3. Mengetahui bagaimana keberlakuan Peraturan Menteri yang dibentuk dengan
tidak didasarkan pada kewenangan delegasi.

Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif yaitu penelitian yang hanya dilakukan
dengan cara meneliti terhadap asas-asas baik yang tertulis maupun tidak tertulis.10 Penelitian
ini melihat pada asas-asas hukum yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
mengenai kewenangan pembentukan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan.

10
Sri Mamudji, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 10.

4
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Berdasarkan bentuk penelitian yang berbentuk yuridis-normatif maka penelitian ini
menggunakan data sekunder, yaitu data yang telah dalam keadaan siap pakai dan dapat
diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.11. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah studi dokumen dimana studi dokumen ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder,
yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
berupa peraturan perundang-undangan Indonesia seperti Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami dan menjelaskan
bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, penelusuran
internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, disertasi, surat kabar dan makalah.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus.
Sedangkan tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif yaitu dengan memberikan gambaran mengenai kewenangan pembentukan Peraturan
Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga
termasuk penelitian murni yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan
pengetahuan12 khususnya yang terkait dengan kewenangan pembentukan Peraturan Menteri
sebagai jenis peraturan perundang-undangan.

Tinjauan Teoritis
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Dalam teori peraturan perundang-undangan, Hans Kelsen mengemukakan mengenai
jenjang norma hukum (stufentheorie) di mana norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki atau tata susunan, dalam arti suatu norma yang lebih
rendah berlaku berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada

11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 1994), hal 37.
12
Sri Mamudji, Op. cit., hal. 5

5
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu
norma dasar (grundnorm).13
Hans Nawiasky kemudian mengembangkan teori tersebut14 yang menyatakan bahwa
selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu
juga berkelompok-kelompok dan pengelompokan norma hukum dalam negara itu sendiri
terdiri atas empat kelompok besar yaitu15:
I. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
II. Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)
III. Formell Gestez (Undang-Undang formal)
IV. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom
Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) merupakan norma tertinggi
dalam suatu negara dan tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi bersifat
pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan
merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.16
Menurut Hans Nawaisky, isi Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar
bagi pembentukan konstitusi atau pembentukan undang-undang dasar dari suatu negara. Ia
ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.17
Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsfundamentalnorm) merupakan
kelompok norma hukum di bawah Norma Fundamental Negara. Kelompok norma hukum ini
merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum
yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal. Di
Indonesia, Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara ini tertuang dalam Batang Tubuh UUD
1945 dan Ketetapan MPR, serta di dalam hukum dasar tidak tertulis yang sering disebut
Konvensi Ketatanegaraan. Aturan ini merupakan landasan bagi pembentukan Undang-
Undang (Formell Gesetz) dan peraturan lain yang lebih rendah.18

13
Ibid., hal. 41.
14
Teori yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky ini disebut juga dengan die Theorie vom
Stufenordnung der Rechtsnormen.
15
Maria Farida, Op.cit., hal. 44.
16
Ibid., hal. 46.
17
Ibid., hal. 47.
18
Ibid., hal. 48 49.

6
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Kelompok norma hukuum yang berada di bawah Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara adalah Formell Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan Undang-Undang.
Norma hukum dalam suatu Undang-Undang sudah merupakan norma hukum yang lebih
konkret dan terinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma
hukumnya juga tidak saja bersifat tunggal tetapi dapat merupakan norma hukum berpasangan
sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum primernya. Maka, dalam
suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan norma yang bersifat sanksi. Undang-Undang
(wet/gesetz/act) berbeda dengan peraturan lainnya karena Undang-Undang merupakan norma
hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif.19
Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan
Peraturan otonom (Autonome Satzung). Peraturan pelaksaan dan peraturan otonom ini
merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan
bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari
kewenangan atribusi.20
Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan seperti di atas menurut
Bagir Manan mengandung beberapa prinsip. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai
berikut21:
1. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau
memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundangundangan tingkat lebih
tinggi.
2. Isi atau meteri muatan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi, kecuali apabila peraturan perundang-undangan
lebih tinggi dibuat tanpa wewenang (onnbevoegd) atau melampaui wewenang
(deternement de pouvouir).
3. Harus diadakan mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut
tidak disampingi atai dlanggar.

19
Ibid., hal. 51 52.
20
Ibid., hal. 55.
21
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FHUII Press, 2003), hal. 207.

7
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Penyerahan Kewenangan Mengatur
Agar pengaturan dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif, maka
harus ada penyerahan kewenangan mengatur yang dinyatakan secara tegas dalam undang-
undang yang bersangkutan. Hal ini merupakan bentuk konkret adanya penyerahan
kewenangan mengatur dari lembaga legislatif kepada lembaga eksekutif yang biasa disebut
dengan legislative delegation of rule-making power.22 Dalam ilmu perundang-undangan
dikenal dua macam penyerahan kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan
yaitu delegasi dan atribusi.
Maria Farida menyebutkan bahwa delegasi kewenangan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) adalah pelimpahan
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun dengan tindakan.23
Tujuan dari delegasi kewenangan pada dasarnya adalah agar ketentuan dalam suatu
peraturan perundang-undangan bisa diimplementasikan atau dilaksanakan. Suatu peraturan
dapat dikatakan sebagai peraturan delegasi sepanjang dasar pembentukannya masih berada di
dalam koridor peraturan perundang-undangan di atasnya. Oleh karena itu sebenarnya,
kewenangan delegasi membentuk peraturan tidak harus selalu dilihat dari pendelegasian yang
eksplisit tetapi bisa juga terlihat dari kebutuhan faktual untuk membentuk peraturan delegasi,
walaupun tidak didelegasikan dengan tegas oleh peraturan perundang-undangan tersebut.
Sepanjang kebutuhan faktual itu muncul untuk mengimplementasikan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka dapat dikatakan bahwa peraturan yang
akan dibentuk adalah peraturan delegasi atau peraturan pelakasanaan.
Van Wijk/Konijenbelt memberikan pengertian mengenai atribusi kewenangan dalam
pembentukan perundang-undangan adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet
(Undang-Undang) kepada suatu lembaga pemerintahan.24 Kewenangan tersebut melekat
terus-menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan.
Kewenangan atribusi harus diserahkan melalui Undang-Undang dan tidak bisa
diserahkan melalui peraturan perundang-undangan lain. Hal ini merupakan bentuk penguatan

22
Jimly Asshiddiqie, Op. cit., hal. 215.
23
Maria Farida, Op. cit., hal. 56.
24
Ibid., hal. 55.

8
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
konsep pembagian kekuasaan karena pada dasarnya DPR lah lembaga yang memegang
kekuasaan legislasi. Agar pengaturan juga dapat dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan
lainnya, maka harus ada penyerahan kewenangan mengatur dari DPR yang tentunya hanya
bisa dilakukan melalui Undang-Undang. Oleh karena itu, atribusi kewenangan mengatur tidak
dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan selain Undang-Undang.
Selain itu, perlu diingat pula bahwa atribusi tidak dapat diberikan dengan membatasi
ruang lingkup pengaturan. Dengan diserahkannya kewenangan mengatur dari lembaga
legislatif kepada suatu organ atau lembaga pemerintahan, maka kewenangan mengatur itu
diberikan sepenuhnya oleh DPR dan lembaga penerima atribusi berhak untuk membuat
peraturan menganai hal apapun dan tidak terbatas pada ruang lingkup tertentu, sepanjang
urusan yang diatur tersebut masih merupakan wewenang dari lembaga yang menerima
atribusi.

Pembahasan
Atribusi kewenangan mengatur pada umumnya dapat ditemukan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pembentukan lembaga yang menerima atribusi
tersebut. Sedangkan di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara, ternyata tidak ditemukan sama sekali adanya bentuk atribusi kewenangan mengatur.
Undang-Undang tersebut hanya mengatur kewenangan-kewenangan mengurus (bestuur)
kementerian namun tidak mengatribusikan kewenangan mengatur kepada Menteri. Hal ini
memberikan satu kesimpulan bahwa Menteri memang tidak memiliki kewenangan atribusi
dalam membentuk peraturan. Konsekuensi logisnya ialah Peraturan Menteri hanya dapat
dibentuk apabila didelegasikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
hierarkinya. Maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri adalah peraturan delegasi dan
bukan merupakan peraturan atribusi atau peraturan otonom.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi sebagai berikut:
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.25

Sedangkan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) berbunyi sebagai berikut:

25
Indonesia (b), Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 12
Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234), Pasal 8 ayat (2).

9
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Yang dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah penyelenggaraan urusan
tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan26

Kalimat diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan jelas merujuk pada


pengertian kewenangan delegasi. Artinya, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga
yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (1) harus didasarkan salah satunya pada kewenangan
delegasi. Makna dari kalimat diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan dapat
dimengerti dengan jelas sebagai wujud dari salah satu sumber kewenangan membentuk
peraturan sesuai dengan teori perundang-undangan.
Namun kata berdasarkan kewenangan melahirkan makna yang rancu karena sangat
tidak jelas dan membingungkan. Kata berdasarkan kewenangan ini tidak menunjuk pada
kewenangan apa yang sebenarnya dimaksud, apakah kewenangan mengatur atau cukup
dengan kewenangan mengurus saja. Penjelasan Pasal 8 ayat (2) di atas semakin menunjukan
bahwa yang dimaksud dengan kewenangan adalah kewenangan mengurus, dan tidak
menunjuk pada kewenangan mengatur. Maka yang akhirnya disalahpahami adalah Pasal 8
ayat (2) ini seakan-akan memperbolehkan pembentukan peraturan dengan hanya didasarkan
pada kewenangan mengurus yang dimiliki oleh suatu lembaga atau organ pemerintahan, tanpa
perlu adanya penyerahan kewenangan mengatur.
Dengan ketentuan seperti itu, maka lembaga atau organ pemerintahan akan
menganggap dirinya memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan tanpa
perlu lagi mendapat atribusi kewenangan yang tegas dari Undang-Undang. Pengaturan seperti
ini menimbulkan persepsi bahwa Pasal 8 ayat (2) merupakan bentuk pengatribusian
kewenangan mengatur itu sendiri. Padahal anggapan seperti itu tidaklah benar karena yang
pertama, atribusi harus diserahkan secara jelas dan tegas dengan menyebutkan nama lembaga
atau organ yang menerima atribusi. Kedua, atribusi harus dinyatakan dengan menyebutkan
jenis peraturan perundang-undangan yang dapat dibentuk oleh lembaga penerima atribusi agar
jelas bahwa kewenangan atribusian yang diterima oleh lembaga tersebut dapat
diimplementasikan hanya dengan membentuk peraturan yang disebutkan dalam
pengatribusian.
Maka kalimat berdasarkan kewenangan dalam Pasal 8 ayat (2) tidak dapat dianggap
sebagai suatu bentuk pengatribusian, tetapi harus dilihat sebagai syarat dalam pembentukan
peraturan yaitu berdasarkan kewenangan atribusi di mana kewenangan tersebut harus
dinyatakan secara tegas dalam suatu Undang-Undang tersendiri, bukan melalui UU No. 12

26
Ibid., Penjelasan Pasal 8 ayat (2).

10
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Tahun 2011. Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah bahwa
kewenangan atribusi pengaturan tersebut dijalankan dengan membentuk peraturan atribusi di
mana ruang lingkup pengaturannya terbatas pada urusan-urusan yang memang merupakan
wewenang dari lembaga penerima atribusi tersebut, sesuai dengan delegasi, atribusi atau
mandat (kewenangan pemerintahan) yang diperolehnya.
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri sebenarnya
adalah peraturan delegasi karena hanya dapat dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi.
Menteri tidak memiliki kewenangan atribusi membentuk peraturan, sehingga Peraturan
Menteri hanya dapat dibentuk apabila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan materi muatan pengaturannya terbatas pada yang dilimpahkan saja. Dengan
demikian, Peraturan Menteri yang tidak didasarkan pada pendelegasian dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tidak dapat diakui keberadaannya sebagai peraturan
yang mengikat secara umum.
Pendelegasian yang dimaksud di sini tentunya tidak hanya pendelegasian yang
eksplisit tetapi juga pendelegasian yang dinyatakan tidak secara eksplisit. Sepanjang
Peraturan Menteri dibuat untuk mengatur hal-hal yang telah diatur oleh peraturan perundang-
undangan di atasnya, maka Peraturan Menteri tersebut dapat dianggap sebagai peraturan
delegasi. Alasannya ialah karena perancang suatu peraturan ketika sedang merancang materi
muatan tidak bisa diharapkan untuk dapat memprediksi seluruh peraturan pelaksana yang
sekiranya akan dibutuhkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan yang
dibuatnya. Bisa saja di kemudian hari, untuk melaksanakan suatu ketentuan dalam peraturan
tersebut, dibutuhkan peraturan pelaksanaan sedangkan peraturan itu sendiri tidak
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Menteri. Oleh karena itu
selama pengurusan atas ketentuan tersebut memang diserahkan kepada Menteri, maka
walaupun tidak ada kalimat pendelegasian, Menteri yang bersangkutan dapat membentuk
Peraturan Menteri dengan mendasarkan kewenangan pembentukannya pada ketentuan yang
membutuhkan pengaturan lebih lanjut itu.
Sebagai peraturan delegasi, maka Peraturan Menteri hanya dapat dibentuk apabila ada
peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan kewenangan pengaturan kepadanya baik
secara eksplisit maupun karena adanya kebutuhan untuk mengatur lebih lanjut suatu
ketentuan. Pasal yang mendelegasikan pengaturan tersebut akan dicantumkan pada bagian
konsiderans Peraturan Menteri sebagai bukti adanya dasar kewenangan dalam pembentukan
Peraturan Menteri tersebut.

11
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Namun pada kenyataannya, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 masih banyak ditemukan Peraturan Menteri yang konsideransnya tidak menunjuk pada
ketentuan pasal peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan, tetapi hanya
menyantumkan landasan filosofis dan sosiologis pembentukan Peraturan Menteri tersebut.
Tidak dicantumkannya pasal pendelegasian memberi kesan bahwa Peraturan Menteri yang
dimaksud dibuat tidak didasarkan pada kewenangan delegasi. Padahal hanya itu satu-satunya
kewenangan bagi pembentukan Peraturan Menteri. Bahkan, masih banyak Peraturan Menteri
yang dalam konsideransnya hanya menyatakan bahwa Peratruran Menteri tersebut dibentuk
karena memang dianggap perlu, tanpa menguraikan pasal pendelegasiannya. Pernyataan
seperti ini dianggap kurang tepat menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 karena
tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan
tersebut.27
Dari hasil analisis kelima Peraturan Menteri, maka Penulis mendapatkan kesimpulan
penyebab atau alasan tidak dicantumkannya pasal pendelegasian kewenangan dari peraturan
perundang-undangan lain kepada Peraturan Menteri di dalam konsideransnya yang akan
Penulis jabarkan sebagai berikut.
Pertama, banyak Kementerian Negara yang keliru dalam memahami dasar
kewenangan pembentukan Peraturan Menteri dan mengira bahwa Peraturan Menteri selain
merupakan peraturan delegasian, juga merupakan peraturan atribusian. Padahal seperti yang
sudah dibahas pada bab sebelumnya, Peraturan Menteri hanya dapat dibentuk atas dasar
kewenangan delegasi karena memang tidak ada Undang-Undang yang mengatribusikan
kewenangan mengatur kepada Menteri, sehingga Menteri tidak berwenang membentuk
Peraturan Menteri apabila tidak didelegasikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi hierarkinya.
Kedua, perancang Peraturan Menteri terlihat memiliki anggapan bahwa suatu
pendelegasian hanya dipahami apabila terdapat ketentuan delegasi sebagaimana diatur oleh
UU No. 12 Tahun 2011. Padahal, Peraturan Menteri bisa dibentuk karena adanya ketentuan
pendelegasian mapun karena adanya kebutuhan untuk mengimplementasikan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, delegasi tidak selalu harus
dinyatakan secara eksplisit tetapi bisa juga secara implisit dengan mengatur hal tertentu dalam
suatu pasal yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut.

27
Ibid., Lampiran II angka 20.

12
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Jadi apabila ada suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan28 yang tidak
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Menteri, namun
ketentuan tersebut dirasa tidak implementatif (tidak bisa dilaksanakan) tanpa adanya
peraturan pelaksanaan, maka untuk menjadikan ketentuan tersebut implementatif,
kementerian terkait dapat membentuk Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana
sepanjang urusan atas ketentuan itu memang merupakan bagian dari wewenang Menteri yang
bersangkutan.
Ketiga, perancang Peraturan Menteri banyak yang tidak memahami perbedaan antara
kebijakan yang mengikat secara umum dengan kebijakan yang tidak mengikat secara umum,
serta antara kebijakan yang bersifat penetapan dengan kebijakan yang bersifat pengaturan.
Hal ini berdampak pada produk hukum yang dikeluarkan oleh kementerian di mana jenisnya
adalah Peraturan Menteri namun sifatnya individual atau hanya berlaku sekali selesai.
Padahal, norma hukum dengan sifat seperti itu tidak bisa dikatagorikan sebagai peraturan
(regeling) melainkan keputusan (beschikking) sehingga seharusnya dituangkan dalam bentuk
Keputusan Menteri. Begitu pula dengan jenis produk hukum Keputusan Menteri yang materi
muatannya bersifat umum, abstrak dan sekali-selesai yang seharusnya dituangkan dalam
produk hukum Peraturan Menteri.
Keempat, kementerian yang mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan
seringkali melupakan atau tidak menghiraukan kementerian lain yang ranah wewenanganya
juga terkait dengan materi muatan yang diatur, sehingga lupa untuk mendelegasikan
kewenangan mengatur kepada Peraturan Menteri kepada kementerian terkait tersebut.
Ditambah lagi, kementerian lain mengira bahwa delegasi pengaturan itu hanya dilimpahkan
kepada Peraturan Menteri dari kementerian yang mengajukan rancangan peraturan
perundang-undangan tersebut. Sehingga, ketika muncul kebutuhan faktual untuk membentuk
Peraturan Menteri dari kementeriannya, maka perancang Peraturan Menteri itu malah
mendasari kewenangan pembentukan pada kewenangan atribusi.

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya, diperoleh
kesimpulan seperti yang diuraikan di bawah ini.

28
Yang dimaksud dengan peraturaran perundang-undangan di sini tentunya adalah peraturan
perundang-undangan selain Undang-Undang tetapi hierarkinya di atas Peraturan Menteri karena sebagaimana
yang diungkapkan oleh Maria Farida (a), delegasi yang diberikan langsung dari Undang-Undang kepada
Peraturan Menteri adalah tidak tepat. Jadi peraturan perundang-undangan yang tepat untuk mendelegasikan
pengaturan kepada Peraturan Menteri adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

13
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
1. Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 membedakan dua macam sumber
kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan
berdasarkan kewenangan. Kalimat diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi jelas dimaksudkan sebagai kewenangan delegasi.
Maka dapat diartikan bahwa Peraturan Menteri bisa dibentuk apabila ada
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
memerintahkan pembentukan Peraturan Menteri tersebut.
Sedangkan yang dimaksud oleh kalimat berdasarkan kewenangan harus
diartikan sebagai kewenangan atribusi membentuk peraturan, bukan berdasarkan
kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Ini berarti apabila tidak ada
kewenangan delegasi maka Menteri dalam membentuk Peraturan Menteri harus
memiliki kewenangan atribusi yang diberikan oleh Undang-Undang. Undang-
Undang yang memberikan kewenangan atribusi kepada organ pemerintahan untuk
membentuk peraturan perundang-undangan biasanya adalah Undang-Undang yang
mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi serta wewenang organ
pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan Menteri, maka undang-undang
yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara.
2. Peraturan Menteri hanya dapat dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi karena
Menteri memang tidak memiliki kewenangan atribusi untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara hanya mengatur tentang kewenangan-kewenangan mengurus (bestuur)
yang dimiliki oleh Menteri tetapi tidak mengatribusikan kewenangan mengatur
(regeling) kepada Menteri.
Oleh karena itu, Peraturan Menteri hanya dapat dibentuk apabila diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, baik secara eksplisit
maupun tidak eksplisit. Secara eksplisit maksudnya dinyatakan dengan tegas
dalam peraturan pendelegasiannya. Sedangkan tidak eksplisit artinya tidak
dinyatakan dengan tegas dalam peraturan yang mendelegasikan, tetapi karena
adanya kebutuhan faktual maka Peraturan Menteri itu harus dibentuk. Dengan
demikian, Peraturan Menteri yang dimaksud dapat mendasarkan kewengan
delegasi pembentukannya pada pasal yang membutuhkan ketentuan lebih lanjut
itu.

14
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
Mengingat sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensil, maka peraturan
yang bisa mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada Peraturan Menteri
adalah peraturan perundang-undangan selain Undang-Undang yang hierarkinya di
atas Peraturan Menteri. Pendelegasian dari Undang-Undang langsung kepada
Peraturan Menteri dianggap tidak tepat karena berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD
1945, peraturan pelaksana dari Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah,
bukan Peraturan Menteri.
3. Sebagai peraturan delegasi, maka Peraturan Menteri tidak bisa mengatur mengenai
hal-hal yang sebelumnya tidak pernah diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Peraturan Menteri yang memuat pengaturan tentang hal-hal
yang tidak didelegasikan kepadanya mengakibatkan Peraturan Menteri tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara umum. Peraturan Menteri
seperti ini jelas tidak mendapatkan penyerahan kewenangan mengatur secara
implisit dari lembaga legislatif, terbukti dari materi muatannya yang mengatur hal-
hal di luar yang didelegasikan oleh lembaga legislatif itu sendiri. Oleh karena itu,
Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian tidak dapat diakui
keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan
ketentuan pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011.

Saran
Dari kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan sebagai
masukan bagi perancang peraturan perundang-undangan. Adapun saran-saran yang hendak
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
1. Karena Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 rawan untuk dipahami sebagai
bentuk pengatribusian kewenangan mengatur, maka sebaiknya dilakukan revisi
pada Undang-Undang tersebut dengan mengganti kalimat berdasarkan
kewenangan menjadi berdasarkan kewenangan atribusi membentuk peraturan
perundang-undangan.
2. Kementerian Hukum dan HAM sebagai lembaga yang bertanggung jawab di
bidang peraturan perundang-undangan sebaiknya segera menyeragamkan
pemahaman di seluruh kementerian bahwa sebenarnya Peraturan Menteri hanya
dapat dibentuk berdasarkan pendelegasian dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi hierarkinya dan tidak dapat didasarkan pada kewenangan
atribusi.

15
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014
3. Perancang Peraturan Menteri dari tiap-tiap kementerian harus memahami betul
perbedaan antara produk hukum yang bersifat keputusan dan produk hukum yang
bersifat pengaturan agar tidak keliru dalam memilih bentuk produk hukumnya.
4. Dalam membentuk Peraturan Menteri, sebaiknya perancang peraturan tidak hanya
mencari dasar kewenangan delegasi pada peraturan perundang-undangan sektoral
di bidang urusan pemerintahannya tetapi juga melihat pada peraturan perundang-
undangan sektor lain yang di luar wewenangnya, karena bisa saja ada hal-hal
terkait atau wewenang yang melekat milik kementerian tersebut dalam peraturan
perundang-undangan di sektor lain.
5. Dalam menyusun konsiderans, perancang Peraturan Menteri seharusnya tetap
mencantumkan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
munculnya kebutuhan faktual untuk membentuk Peraturan Menteri yang
bersangkutan, walaupun sebenarnya pasal yang dicantumkan itu tidak
mendelegasikan dengan tegas pengaturan lebih lanjut kepada Peraturan Menteri.

Daftar Referensi
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia (b), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU
No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
(c), Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011. LN
No. 111 Tahun 2011, TLN No. 5253.
(d), Undang-undang tentang Bank Indonesia, UU No. 23 Tahun 1999, LN No. 66
Tahun 1999, TLN No.3843.

Buku
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FHUII Press, 2003.
Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

16
Kewenangan pembentukan ..., Nindya Chairunnisa Zahrariyadi, FH UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai