Anda di halaman 1dari 70

TEKNIK PENYUSUNAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(LAMPIRAN II UU NOMOR 12 TAHUN 2011)
OLEH:
SRI HARININGSIH. SH., MH.
TEKNIK PENYUSUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

OLEH:
SRI HARININGSIH, S.H; M.H.

I.TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


1. Dasar Hukum.
a. Ketentuan mengenai Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku pada saat ini adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mulai
berlaku pada tanggal 4 Oktober 2019.
b. Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun2011 menentukan bahwa
penyusunan Peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
2. Makna Teknik Penyusunan Peraturan Perundang undangan.
Dalam KBBI Teknik diartikan sebagai pengetahuan tentang cara,
metode, atau sistem mengerjakan sesuatu.
“Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan” berarti
pengetahuan tentang cara atau metode Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
(pengganti UU No.10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan mengacu
pada :
1. Buku Pedoman Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-
undangan Departemen Kehakiman pada Tahun 1976;
2. Lampiran Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara
Mempersiapkan RUU, RPP, dan Rancangan Keputusan Presiden;
3. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan Dan Bentuk RUU, RPP, dan Rancangan
Keputusan Presiden.
4. Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan diperlukan teknik
penyusunan agar terdapat suatu standar, baik mengenai bentuk luar
(kerangkanya), sistematika, maupun mengenai tata penulisan dan perumusan
norma.

Standar tersebut selama ini dikenal dengan “Teknik Penyusunan Peraturan


Perundang-undangan”. Disebut dengan “teknik” karena seorang perancang
peraturan perundang-undangan pada dasarnya sama dengan seorang arsitek
bangunan, dalam pengertian harus mampu memberi bentuk pada suatu
gagasan, mewujudkan suatu konsep dan perintah yang samar, menjadi
rumusan yang konkrit yang bisa memberi makna / arti dalam menata suatu
hal atau permasalahan.
Menurut Irawan Soeyito membentuk peraturan perundang-undangan
diperlukan bakat seni tersendiri.
Demikian juga pendapat Reed Dickerson seorang Guru Besar Perundang-
undangan dari Universitas Indiana USA, mengatakan bahwa “legislative
drafting is both a science and an art”.

Disebut “science” karena kaidah yang disusun dapat diterapkan secara


umum, dan disebut “Art” karena berkaitan dengan rasa berbahasa dan
pengetahuan mengenai penafsiran teknis.
sedangkan P.M Bakhsi seorang pengacara dari India yang mendalami
masalah Perancangan Peraturan Perundang-undangan, mengatakan
bahwa “knowledge of law is intelegence, memory, and judgement, while
drafting is skill and art”.
Dikatakan “skill” karena perlu latihan kemampuan pikiran sehingga terampil
dalam penguasaan kaidah yang diatur.
Merancang Peraturan Perundang-undangan memang memerlukan seni
tersendiri, yakni rasa berbahasa dan pengetahuan mengenai teknis di bidang
tertentu. Sama halnya seperti seorang pelukis yang secara instink
menentukan warna yang cocok untuk bagian tertentu dari gambar yang
dibuat atau pikiran seorang musikus menentukan nada-nada yang tepat
untuk bagian tertentu suatu lagu yang diciptakan. Begitu pula perancang
Peraturan Perundang-undangan yang baik, tidak akan tenang sebelum dapat
menemukan kata / istilah yang tepat yang dicarinya untuk suatu makna
tertentu.
Dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bagi seorang
perancang Peraturan Perundang-undangan (legislative drafter) disamping
harus menguasai substansi yang akan dituangkan, mempunyai kecakapan
untuk menemukan esensi dari kumpulan fakta atau referensi yang ada, dan
untuk memilih instrumen hukum yang tepat, dalam pengertian yang sesuai
dengan substansi yang akan diatur, juga dituntut mempunyai rasa seni
tersendiri, yakni bagaimana menuangkan substansi dalam sistematika yang
tepat dan memformulasikan norma-normanya dengan menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti tetapi tidak menghilangkan esensinya, tidak
bermakna ganda, dan bagaimana menuangkan dalam suatu format yang
dapat memenuhi rasa estetika.
3. Pengertian Peraturan Perundang-undangan

Dalam Pasal 1 angka 2 UU No.12/2011 (pengganti UU NO.10 Tahun


2004)
Peraturan Perundang-undangan diberi batasan pengertian: adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.

4. Norma

Dalam KBBI kata norma diartikan:


aturan atau ketentuan yang mengikat warga/ kelompok di
masyarakat;
panduan/tatanan yang dipakai sebagai pengendali tingkah laku; dan
kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu.
5. Norma Peraturan Perundang – undangan
Norma Peraturan Perundang-undangan berupa ketentuan atau materi
muatan yang dirumuskan dalam Pasal/ayat dalam batang tubuh
Peraturan Perundang-undangan yang sifatnya mengikat secara umum
dan digunakan sebagai pengendali tingkah laku atau sebagai tolok
ukur untuk menilai sesuatu.-

6. Jenis Norma Peraturan Perundang - undangan.


Norma Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
norma tingkah laku (gedrags normen);
norma kewenangan (bevoegdheids normen); dan
norma penetapan (bepalende normen).

4 (empat) tipe norma tingkah laku


₋ larangan (verbod)→ digunakan kata “dilarang”
₋ perintah (gebod) → digunakan kata “wajib” dan “harus”
₋ pengecualian dari larangan yang dikaitkan dengan adanya Izin (boleh
melakukan sesuatu) (toestemming)→ digunakan kata “dapat”
pembebasan dari suatu perintah (vrijstelling) → biasanya digunakan kata
“kecuali” atau “Dalam hal”
Contoh :

Pasal...
Surat panggilan harus disampaikan kepada yang ber-sangkutan sendiri,
kecuali jika yang bersangkutan tidak ada di tempat, surat panggilan dapat
disampaikan kepada keluarganya.

atau dirumuskan sbb:


Pasal...
(1). Surat panggilan harus disampaikan sendiri kepada
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal yang bersangkutan tidak ada di
tempat,surat psanggilan dapat disampaikan kepada keluarganya.
3 (tiga) tipe norma kewenangan :
₋berwenang (gebonden bevoegdheid)

₋tidak berwenang (onbevoegdheid)

₋berwenang dan dapat melakukan tetapi tidak perlu melakukan (kan maar

niet hoetf – discretionarie bevoegheid)

→ Menteri pada dasarnya diberi kewenangan untuk


memberikan izin di bidang yang masuk dalam lingkup tugas dan
kewenangannya, tetapi jika pemohon izin tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan maka Menteri juga dapat menolak permohonan izin tersebut.
Norma penetapan, muatannya hanya berisi ketentuan
yang berupa penetapan saja, misalnya kapan mulai berlakunya suatu
Peraturan Perundang-undangan atau penentuan tempat kedudukan suatu
lembaga. 
7. Teknik Memperbaiki Substantif.
Dalam hal kita harus menyempurnakan suatu Rancangan Peraturan
Perundang-undangan maka terdapat beberapa langkah yang harus kita
lakukan yakni:
Harus dijaga adanya konsistensi yang menyeluruh dalam penyusunan

kalimat, peristilahan, dan ungkapan;.


Penataan yang cermat dan systematis dalam merumuskan suatu norma

sehingga mudah dimengerti:


jelas subyeknya baik berupa subyek hukum atau subyek kalimat; Jelas

predikatnya; dan Jelas obyeknya.


Gunakan kata atau istilah yang sudah lazim digunakan dan dimengerti

oleh umum;
Jangan menggunakan istilah dalam bahasa asing di dalam norma.

8. Sistimatika
Sistimatika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang
tercantum dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
terdiri atas 4 BAB dan 284 petunjuk:
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN, mencakup :
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang- undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok Yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)
BAB II HAL-HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
B. PENYIDIKAN
C. PENCABUTAN
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
C. TEKNIK PENGACUAN
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA
B. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-
UNDANG
C. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA
SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-
UNDANG
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-
UNDANG
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI
K. BENTUK RANCANGAN PERDAPROV
L. BENTUK RANCANCANGAN PERDAKAB/KOTA
Contoh : kerangka Undang-Undang
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
Judul
TENTANG

(Nama Undang-Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
P
E
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, M
B
Menimbang : a. bahwa …;
U
b. bahwa …;
K
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
A
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu …;
A
N
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1. Frase
2. Undang-Undang Nomor…Tahun…tentang (Lembaran 2. Jabatan
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…,Tambahan 3. Konsideran
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. …) 4. DS. Hukum
3. dan seterusnya …; 5. Diktum
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG … (nama Undang-Undang)


BAB I

Pasal 1
BATANG TUBUH
Dalam … yang dimaksud dengan: 1. Ket Umum
1. ……………………………………… . 2. Materi Yang Diatur
2. ……………………………………… . 3. Ket Pdn (jika diperlukan)
BAB II 4. Ket Peralihan (jk diperlukan)
5. Ket Penutup
….
Pasal …
(dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal … P
E
N
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, U
T
U
P
I. JUDUL (petunjuk nomor 2 s/d 13).
1. Setiap Peraturan Perundang-undangan harus diberi judul.
2. Judul memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan
atau penetapan dan nama Peraturan Perundang-undangan.
3. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah
marjin tanpa diakhiri dengan tanda baca.
4. Nama Peraturan Perundang-undangan :
a. dibuat secara singkat dapat berupa satu kata atau frasa tetapi secara
esensial maknanya telah mencerminkan isi peraturan yang
bersangkutan ;
b. tidak boleh disertai singkatan dari nama peraturan yang
bersangkutan;
Contoh I:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN …
TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)
Contoh II:
PERATURAN DAERAH KOTA …
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD)
c. tidak menggunakan akronim dari nama peraturan yang bersangkutan,
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN …
TENTANG
PROGRAM LEGISLASI NASIONAL
( PROLEGNAS )

5. Pada judul peraturan perubahan, ditambahkan frasa PERUBAHAN ATAS di


depan nama peraturan yang diubah dan nama peraturan tersebut dilengkapi
dengan Nomor dan Tahun pengundangan atau penetapannya.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI
POLITIK
6. Jika peraturan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, diantara kata PERUBAHAN
dan kata ATAS disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan
telah dilakukan.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN …
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS ………..

7. Jika peraturan yang diubah mempunyai nama singkat, peraturan yang diubah
dapat menggunakan nama singkat peraturan yang diubah .
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN …
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
8. Pada judul peraturan yang dicabut dan materi peraturan tersebut tidak diatur
kembali ditambahkan kata PENCABUTAN di depan mana peraturan yang
dicabut.
Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 26 TAHUN 1999
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 PNPS TAHUN 1963
TENTANG PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI.

Catatan :
jika permasalahan atau esensi dari peraturan yang dicabut kemudian masih
diperlukan untuk diatur kembali maka keterangan mengenai pencabutan dari
peraturan tersebut dirumuskan dalam KETENTUAN PENUTUP suatu peratutan
dengan rumusan sebagai berikut :
Pada saat ……(jenis peraturan) ini mulai berlaku,…….(jenis
peraturan) yang ditulis secara lengkap dengan Nomor, Tahun dan
LN/TLN nya atau BN/TBN (untuk peraturan Pusat) atau LD/TLD atau BD
(untuk peraturan tingkat Daerah) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
9. Pada judul Perpu yang ditetapkan menjadi UNDANG-UNDANG, ditambahkan
kata PENETAPAN di depan nama Perpu yang ditetapkan dan diakhiri dengan
frasa MENJADI UNDANG-UNDANG.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG

10. Pada judul Peraturan Perundang-undangan mengenai pengesahan perjanjian


atau persetujuan internasional,ditambahkan kata PENGESAHAN di depan
nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa Indonesia
digunakan sebagai salah satu teks resmi (biasanya untuk perjanjian atau
persetujuan yang sifatnya bilateral), nama perjanjian atau persetujuan
internasional ditulis dalam Bahasa Indonesia, yang diikuti teks resmi
bahasa asing yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di
antara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK IDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2007
TENTANG
PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN
PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG
PERTAHANAN DAN KEAMANAN
(AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE
GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF PHILIPPINES ON COOPERATIVE ACTIVITIES IN THE
FIELD OF DEFENCE AND SECURITY)

b. Jika Bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi (biasanya untuk perjanjian
atau persetujuan yang sifatnya multilateral) nama perjanjian atau persetujuan ditulis
dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
(KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)
II.PEMBUKAAN (petunjuk no.14 s/d 16).
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
1. Frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Frasa ini ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan
ditengah marjin pada pembukaan tiap jenis peraturan.

2. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan.


Jabatan pembentuk peraturan ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital dan diletakkan ditengah marjin setelah frasa DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, dan diakhiri tanda baca koma.
Contoh:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
3. Konsiderans (petunjuk no. 17 s/d 27).
a. diawali dengan kata Menimbang.
b. memuat uraian singkat tentang pokok pikiran yang menjadi dasar atau
alasan dibuatnya suatu peraturan. Untuk UU atau PERDA biasanya dalam
pokok pikiran tersebut memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis
(petunjuk no.19)
Filosofis : menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yg
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yg bersumber
dari Pancasila dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Sosiologis : menggambarkan bahwa peraturan yg dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Yuridis : menggambarkan bahwa peraturan yg dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
c. jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, tiap pertimbangan
dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian dan
antara pertimbangan yang satu dan pertimbangan berikutnya mencerminkan
alur pikir yang runtut serta menggambarkan suatu sikuen yang runtut.

d. masing-masing pertimbangan diawali dengan abjad, kata bahwa, dan diakhiri


dengan tanda baca titik koma.
Contoh : Menimbang : a. bahwa …………....;
b. bahwa ……………;

e. jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan pertimbangan


terakhir berbunyi sebagai berikut :
Contoh : Menimbang : a. bahwa ………….;
b. bahwa …………..;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk (UU)
menetapkan (Peraturan di bawah UU)
f. untuk konsiderans Pert. Pemerintah (yang pertama kali ditetapkan) dan Perpres pada
dasarnya cukup memuat satu pertimbangan berisi uraian mengenai perlunya
melaksanakan ketentuan Pasal (dengan ayat tertentu jika ada) atau beberapa Pasal
dari UU yang mendelegasikan. Konsideran untuk PP perubahan tidak mungkin hanya
memuat 1 (satu) pertimbangan saja.
Contoh untuk PP yang pertama kali ditetapkan.
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal….. Undang-Undang Nomor…
Tahun…. Tentang…….. perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang……..;
Catatan: Untuk Perpres lihat juga petunjuk no.26.

g. jika terdapat beberapa Pasal dari suatu UU yang mendelegasikan untuk diatur lebih
lanjut dengan PP dan materi dari PP yang akan ditetapkan dapat digabung dalam satu
PP, maka terdapat 2 (dua) cara dalam merumuskan konsiderans yakni dengan
menyebut secara rinci Pasal-Pasal yang mendelegasikan atau hanya dirumuskan secara
umum tanpa menyebut secara eksplisit Pasal yang mendelegasikan:
Contoh 1: Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal,
Pasal….,Pasal…dst Undang-Undang Nomor…. Tahun…
tentang……, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang…….; (lihat PP dari UU tentang Jasa Konstruksi)
Contoh 2: Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan

ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(Lihat PP Nomor 27 Tahun 1983).
4. Dasar Hukum ( petunjuk no. 28 s/d 52 ).
a. dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
b. dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan dan
peraturan yang memerintahkan pembuatan peraturan.

Contoh dasar hukum kewenangan (dari UUD Negara RI Tahun


1945):
1. Pasal 5 ayat (1) dasar kewenangan Presiden mengajukan RUU kepada
DPR.
2. Pasal 5 ayat (2) dasar kewenangan Presiden menetapkan PP.
3. Pasal 18 ayat (6 ) dasar kewenangan Pemda menetapkan Perda.
4. Pasal 20 ayat (1) dasar kewenangan DPR membentuk UU.
5. Pasal 22 ayat (1) dasar kewenangan Presiden menetapkan Perpu.
6. Pasal 21 ayat (1) dasar kewenangan Anggota DPR mengajukan usul
RUU.
7. Pasal 22D dasar kewenangan DPD mengajukan RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
8. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) dsr kewenangan
pembentukan UU pencabutan Perpu.
c. peraturan yang dijadikan dasar hukum hanya peraturan yang tingkatannya
sama atau lebih tinggi.
d. peraturan yang akan dicabut dan peraturan yang sudah diundangkan tetapi
belum berlaku tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum
e. pencantuman peraturan yang dijadikan dasar hukum harus memperhatikan
tata urutan dengan menggunakan angka arab 1, 2, 3 dst dan disusun secara
kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
f. dasar hukum yang diambil dari UUD ditulis dengan menyebutkan Pasal atau
beberapa Pasal yang relevan dan diikuti frasa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar hukum yang bukan UUD tidak perlu
mencantumkan Pasal, tetapi cukup mencantumkan judul peraturan yang
bersangkutan dan dilengkapi dengan pencantuman LN dan TLN yang ditulis di
antara tanda baca kurung.

Contoh:
Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204);
g. dasar hukum yang berasal dari peraturan zaman Hindia Belanda, ditulis terlebih
dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli dalam
Bahasa Belanda disertai dengan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara
tanda baca kurung.

Contoh :
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(Wetboek van Koophandel,
Staatsblad 1847:23);
5. Diktum (petunjuk no.53 s/d 60).
Diktum terdiri atas :
a. kata Memutuskan yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital, tanpa
spasi, diakhiri dengan tanda baca titik dua, dan diletakkan ditengah marjin.
Contoh : MEMUTUSKAN:
b. kata Menetapkan;
c. nama Peraturan Perundang-undangan, yang seluruhnya ditulis dengan
huruf kapital tanpa disertai frasa ”REPUBLIK INDONESIA” dan diakhiri tanda
baca titik.
d. pada UU sebelum kata MEMUTUSKAN dicantumkan frasa Dengan
Persetujan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan ditengah marjin

Contoh:
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG…………
III. BATANG TUBUH (petunjuk no. 61 s/d 95).
1. Batang tubuh peraturan dikelompokkan ke dalam :
a. Ketentuan Umum;
b. Materi pokok yang diatur ;
c. Ketentuan Pidana (jika diperlukan);
d. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan);
e. Ketentuan Penutup.

2. Pengelompokan materi yang diatur.


Pengelompokan materi yang diatur dilakukan sebagai berikut :
1) BUKU, BAB, Bagian, dan Paragraf yang dilakukan atas kesamaan materi
yang diatur;
2) BAB dengan Pasal, tanpa Bagian dan Paragraf;
3) BAB dengan Bagian dan Pasal, tanpa Paragraf ;
4) BAB dengan Bagian dan Paragraf yang berisi Pasal

3. Penulisan BUKU diberi nomor urut bilangan tingkat dan judul seluruhnya
ditulis dengan huruf kapital .
Contoh :
BUKU KETIGA
PERIKATAN
4. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul ditulis dengan huruf
kapital.
Contoh.
BAB I
KETENTUAN UMUM

5. Bagian diberi nomor urut bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf, huruf awal
kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan
huruf kapital, kecuali kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa.
Contoh :
Bagian Kesatu
Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim

6. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab, huruf awal kata paragraf dan
setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal
kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa.
Contoh :
Paragraf 2
Tugas dan Wewenang
7. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis
dengan huruf kapital. Pasal dapat dirinci dalam beberapa ayat dan setiap ayat
hanya memuat satu norma yg disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
Contoh :
Pasal 4
(1). ………………
(2). ………………
8. Jika pasal atau ayat yang memuat rincian unsur,dapat dirumuskan dalam
bentuk satu kalimat secara utuh dapat juga dirumuskan dengan menggunakan
tabulasi.
Contoh :
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden,
dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Contoh rumusan tabulasi :
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi :
a. Presiden ;
b. Wakil Presiden ; dan
c. pejabat negara yang lain,
yang disampaikan di dalam atau di luar negeri
9. Jika rincian merupakan kumulatif gunakan kata dan, jika rincian merupakan
alternatif gunakan kata atau, dan jika rincian merupakan kumulatif dan
alternatif gunakan kata dan/atau. Kata tersebut diletakkan di belakang rincian
kedua dari rincian terakhir.

10. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dst


Contoh :
Pasal 4
(1). ………………
(2). ………………
a. ………………;
b. ………………;dan
c. ………………

11. Setiap rincian:


a. harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase
pembuka;
b. diawali dengan huruf kecil, kecuali untuk nomenklatur tertentu, misal
Presiden, Gubernur.
c. rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat.
III. 1. a Ketentuan Umum(petunjuk no. 96 s/d 109 ).
a. Ketentuan Umum diletakkan dalam BAB I dan jika dalam peraturan
tidak dilakukan pengelompokan BAB, ketentuan umum diletakkan
dalam Pasal 1.
b. Ketentuan umum dapat berisi lebih dari satu pasal.
c. Frasa pembuka berbunyi : Dalam……..(jenis Peraturan) ini yang
dimaksud dengan:
d. Ketentuan umum memuat:
1) batasan pengertian atau definisi;
2) singkatan atau akronim yang digunakan;
3) hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-
pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan
asas, maksud, dan tujuan.
e. batasan pengertian atau definisi yang dimuat dalam ketentuan
umum, masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka
Arab, diawali dengan huruf kapital, dan diakhiri dengan tanda baca
titik.
f. batasan pengertian atau definisi tidak perlu diberi penjelasan.
III. 1. b Materi Pokok yang Diatur (petunjuk no. 110 s/d 111).
Pembagian materi pokok yang diatur didasarkan pada kriteria :
a. berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi (Contoh
pembagian dalam KUHP); kejahatan thd keamanan negara, thd
martabat Presiden, thd negara sahabat dan wakilnya, thd kewajiban
dan hak kenegaraan, thd ketertiban umum dst.
b. berdasarkan urutan atau kronologis dari tahapan yang dilakukan
(contoh pembagian dalam KUHAP);
c. berdasarkan urutan jenjang jabatan, misalnya Jaksa Agung, Wakil
Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda

III. 1. c Ketentuan Pidana (petunjuk no.112 s/d 126).


a. Ketentuan Pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma
larangan (dilarang) atau perintah (wajib).
b. Ketentuan Pidana diletakkan dalam bab tersendiri sebelum
Ketentuan Peralihan (jika ada) jika tidak ada Ketentuan Peralihan
diletakkan sebelum Ketentuan Penutup.
c. Dalam merumuskan Ketentuan Pidana perlu diperhatikan:
­ asas-asas umum ketentuan pidana dalam KUHP (Pasal 103) yang
menentukan ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII berlaku juga
bagi perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali oleh UU ditentukan lain.
­ lamanya pidana ditentukan maksimumnya yang dirumuskan: dipidana
dengan pidana penjara paling lama…….. (angka dengan huruf) tahun dan
pidana denda paling banyak ………… (jumlah uang dengan huruf).
­ untuk tindak pidana tertentu (yang dikatagorikan exstra ordinary crimes
misalnya korupsi-terorisme-narkoba-pencucian uang) dapat saja
disamping pidana maksimum dirumuskan juga pidana minimumnya yang
dirumuskan : dipidana dengan pidana penjara paling singkat…….. (angka
dengan huruf) tahun dan pidana denda paling sedikit……. (jumlah uang
dengan huruf).
­ Sifat tindak pidananya dirumuskan dengan jelas kejahatan atau
pelanggaran dan pidana yang dijatuhkan untuk kumulatif (dan), alternatif
(atau), atau kumulatif alternatif (dan/atau).
­ Catatan: dalam teknik yang dimuat dalam Lampiran II UU.No.12 Tahun
2011 untuk denda secara tegas dirumuskan pidana denda.
d. Ketentuan Pidana hanya dimuat dalam UU atau Perda. Dalam Pasal 15 ayat (2)
dan ayat (3) UU NO.12 Tahun 2011 diatur secara eksplisit ketentuan pidana
dalam Perda ditentukan untuk pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
dan pidana denda paling banyak RP50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
(ayat (2) dan dalam ayat (3) ditentukan dapat memuat ancaman pidana
kurungan atau pidana denda selain sbgmn dimaksud pada ayat (2) sesuai dgn
yang diatur dlm Peraturan Per UU lainnya.
Ketentuan ini sudah dimuat dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, tetapi tanpa klarifikasi pidana kurungan untuk yang
mengacu pada ketentuan Peraturan Per.uu.an lainnya (pd ayat (3)).
e. Subyek pelakunya harus dirumuskan secara jelas berlaku bagi siapapun
(setiap orang) atau untuk subyek tertentu (misalnya pegawai negeri, orang
asing, hakim, jaksa dsb).
f. Ketentuan Pidana tidak boleh diberlakukan surut.
III. 1. d Ketentuan Peralihan (petunjuk no.127 s/d 135 ).
a. Tidak semua Peraturan Perundang-undangan memerlukan Ketentuan
Peralihan.
b. Ketentuan Peralihan diperlukan jika materi yang akan diatur dalam
peraturan yang dibuat telah diatur dalam peraturan sebelumnya,
dan materi tersebut diatur lagi dengan ketentuan yang berbeda.
Dengan demikian dalam Ketentuan Peralihan yang diatur adalah
bagaimana hubungan hukum atau tindakan hukum yang belum
selesai prosesnya yang semula dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan yang lama, harus diselesaikan berdasarkan peraturan yang
baru. Ketentuan ini perlu agar tidak merugikan pihak-pihak yang
terkena dampak perubahan ketentuan peraturan ,menghindari
kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, dan mengatur hal-
hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
III. 1. e Ketentuan Penutup(petunjuk no.136 s/d 159 ).
a. Ketentuan Penutup diletakkan pada Bab atau Pasal terakhir dari
suatu peraturan.
b. Ketentuan Penutup memuat :
­ penunjukkan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang-undangan; (jika ada)
­ nama singkat (jika ada) dan bukan singkatan atau akronim,
kecuali singkatan atau akronim tersebut sudah sangat dikenal
dan tidak menimbulkan salah pengertian.
­ status peraturan yang sudah ada (dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku atau untuk peraturan pelaksanaannya biasanya masih
dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan…(jenis
Peraturan ybs) ini. Frasa “atau belum diganti yang baru” tidak
digunakan lagi. Ketentuan tsb untuk menghindari adanya
kefakuman hukum);
­ Dalam UU No.12 Tahun 2011 rumusan untuk pernyataan masih
berlakunya peraturan pelaksanaan dirumuskan : masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
­ saat mulai berlaku peraturan (bisa ditentukan pada tanggal
diundangkan atau pada tanggal yang secara eksplisit ditentukan
dalam peraturan yang bersangkutan atau menyerahkan pada
peraturan lain yang tingkatanya sama atau yang lebih rendah).
­ pencabutan peraturan harus disebutkan secara jelas judulnya,
Nomor dan Tahun pengundangan atau penetapan dan LN/TLN
atau BN/TBN atau LD/TLD atau BD/TBDnya.
IV. PENUTUP. (petunjuk no. 160 s/d 173 ).
Penutup merupakan bagian akhir suatu peraturan yang memuat :
1. perintah pengundangan dan penempatannya (dalam LN, BN, LD atau
BD) ;
2. penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan yang memuat:
­ tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
­ nama jabatan yang ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda baca koma ;
Contoh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
­ tanda tangan pejabat; dan
­ nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan
pangkat .
Contoh : (seharusnya) SUSILO BAMBANG YUDHOYONO bukan DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYNO (sebagaimana yang ada selama ini).
Presiden terdahulu walaupun memiliki gelar, untuk
penandatanganan peraturan tidak pernah mencantumkan gelar
tersebut.
3. pengundangan peraturan; unsur-unsur yang dimuat sama dengan unsur
dalam penandatanganan pengesahan atau penetapan (point 2)
4. Penulisan LN/TLN-BN/TBN atau LD /BD ditulis secara lengkap dengan
huruf kapital.
V. PENJELASAN (petunjuk no. 174 s/d 191 ).
1. Penjelasan untuk UU dan Perda perlu, tapi untuk peraturan dibawah UU
kecuali Perda jika diperlukan.
2. Penjelasan merupakan tafsir resmi pembentuk Peraturan Per.UU an atas
norma tertentu dalam batang tubuh dan tidak boleh dijadikan dasar
hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.
3. Penjelasan terdiri atas Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal Demi
Pasal.
4. Karena penjelasan pasal demi pasal, maka tidak boleh memberikan
penjelasan pasal secara masal.
Misalnya : Pasal 4 sampai dengan Pasal 10
Cukup jelas.

Catatan: Kalau untuk pengacuan pasal atau ayat yang berturutan dalam
norma dimungkinkan untuk tidak menyebut pasal demi pasal atau
ayat demi ayat yang diacu, tetapi cukup dengan menggunakan frasa
sampai dengan, misalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 9. (lihat petunjuk Nomor 273).
5. Penjelasan umum memuat uraian secara sistimatis mengenai latar
belakang pemikiran, maksud dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-
undangan.

6. Untuk kata atau frasa yang perlu dijelaskan, kata atau frasa tersebut ditulis
diantara dua tanda petik yang terlebih dahulu diawali dengan frasa Yang
dimaksud dengan
contoh : Yang dimaksud dengan “Taruna” adalah ………

7. Penjelasan Pasal tidak boleh:


a. bertentangan dengan normanya;
b. memperluas atau menambah normanya;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi yang telah dirumuskan
dalam batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian dalam Ketentuan
umum;
e. Tidak memuat rumusan pendelegasian
VI. LAMPIRAN (petunjuk 192 s/d 197)
1. Jika Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran hal tsb
dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan.

2. Lampiran dapat memuat uraian, daftar, tabel, gambar, peta dan sketsa.

3. Tiap lampiran diberi nomor urut dengan menggunakan angka


romawi,misalnya : LAMPIRAN I, LAMPIRAN II.
VII. HAL-HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN (petunjuk no. 198 s/d 216).
1. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada
Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah.

2. Pendelegasian kewenangan harus menyebutkan secara jelas materi


yang perlu diatur dan jenis Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan untuk mengatur (bukan menyebut pejabatnya).
Misalnya :
– Ketentuan lebih lanjut mengenai ………. diatur dengan Peraturan
Pemerintah (bukan oleh Pemerintah);
– Ketentuan lebih lanjut mengenai …….. diatur dengan Peraturan
Presiden. (bukan oleh Presiden ).
3. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur dan
materi yang didelegasikan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) gunakan rumusan: Ketentuan lebih lanjut
mengenai…. diatur dengan… (sebut secara jelas jenis Peraturan
Perundang-undangan yang digunakan untuk mengatur).

4. Jika materi muatan yang didelegasikan boleh didelegasikan lebih


lanjut, gunakan rumusan: Ketentuan lebih lanjut mengenai… diatur
dengan atau berdasarkan….

5. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur di


dalam Peraturan yang mendelegasikan dan materi muatan
tersebut tidak boleh disubdelegasikan, gunakan rumusan:
Ketentuan mengenai… diatur dengan …
6. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur di
dalam Peraturan yang mendelegasikan dan materi muatan
tersebut boleh disubdelegasikan, gunakan rumusan: Ketentuan
mengenai…. diatur dengan atau berdasarkan…
7. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan
materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa Pasal atau
ayat tetapi hanya akan diatur dalam satu jenis Peraturan
Perundang-undangan, gunakan rumusan: Ketentuan mengenai….
diatur dalam….
8. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan
materi tersebut hanya akan diatur dalam satu Jenis Peraturan
Perundang-undangan maka nama dari Peraturan tersebut
dirumuskan (jenis Peraturan Perundang-undangan)… tentang
Peraturan Pelaksanaan… (jenis Peraturan Perundang-undangan
yang mendelegasikan).
9. Jangan membuat delegasi blanko.
Misalnya :
Hal-hal yang belum cukup diatur akan diatur dengan
Peraturan Perundang-undangan.

10. Pendelegasian kewenangan mengatur dari UU kepada


menteri,pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian,atau
pejabat yang setingkat degan menteri dibatasi untuk peraturan
yang bersifat teknis administratif.

11. Kewenangan yang didelegasikan kepada alat penyelenggara


negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat
penyelenggara negara lain,kecuali jika oleh UU yg
mendelegasikan kewenangan tsb dibuka kemungkinan untuk itu.

12. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan


Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur
Jenderal,sekretaris jenderal,atau pejabat yang setingkat.
12. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal ata pejabat yang
setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang tingkatanya lebih rendah daripada UU.

13. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak


mengulangi etentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan
Perundang-ndangan yang mendelegasikan,kecuali jika hal itu
memang tidak dapat dihindari.
B. PENYIDIKAN (petunjuk no.217 s/d 220 ).
1. Penyidikan hanya dimuat dalam UU atau Perda.

2. Ketentuan Penyidikan diletakkan sebelum Ketentuan Pidana.

3. Ketentuan Penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik


Pegawai Negeri Sipil tertentu untuk melakukan penyidikan atas
pelanggaran ketentuan Undang-Undang atau Perda.

4. Pemberian kewenangan kepada PPNS tidak boleh mengurangi


kewenangan penyidik umum.
C. PENCABUTAN (petunjuk no.221 s/d 229 ).
1. Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut
melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.

2. Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi


yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan
Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam
ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru,
dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

3. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan,


tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri
dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak
berlaku.
4. Jika pencabutan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan
peraturan pencabutan tersendiri,peraturan pencabutan tersebut pada
dasarnya memuat 2(dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab yaitu:
a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan.
b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya
Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.

5. Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah


dicabut,tetap tidak berlaku meskipun Peraturan Perundang-undangan
yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (P.230 s/d 238)
1. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan:
a. menyisipkan atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-
undangan; atau
b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-
undangan.

2. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan


bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau
pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi
yang bersangkutan.
a. Contoh penyisipan bab:
15. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IX
A sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IX A
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL
b. Contoh penyisipan pasal:
9. Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni
Pasal 128 A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128 A
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat
memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas
untuk negara untuk dimusnahkan.

c. Contoh penyisipan ayat:


10. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat,
yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1). …………
(1a). ………..
(1b). ………..
(2). …………
3. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan
penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka
urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap
dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
contoh:
9. Pasal 16 dihapus
10. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 18
(1). ………
(2). Dihapus
(3). ………
E. PENETAPAN PERPU MENJADI UU (petunjuk 239 )

Batang tubuh UU tentang penetapan Perpu menjadi UU pada dasarnya terdiri


atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu :
a. Pasal 1 memuat penetapan Perpu menjadi UU yang diikuti pernyataan
melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan UU
penetapan tsb.
b. Pasal 2 memuat ketentuan saat mulai berlaku.

F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (petunjuk no.240 s/d 241).

Batang tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional


pada dasarnya terdiri atas 2(dua) pasal yang ditulis denga angka Arab yaitu:
a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat
pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan terjemahanya dalam
bahasa Indonesia.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
VIII. BAHASA PER.UU.AN (petunjuk 242 s/d 254)
1. Bahasa Per.uu.an pada dasarnya tunduk pada kaidah Bahasa Indonesia,
ttp Bahasa Per.uu,an mempunyai corak tersendiri yang bercirikan
kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian,
dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam
perumusan maupun penulisan.
2. Ciri-ciri Bahasa Per.uu.an antara lain:
a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b. bercorak hemat;
c. obyektif dan menekan rasa subyektif (tidak emosi dalam
mengungkapkan tujuan dan maksud);
d. membakukan makna kata, ngkapan atau istilah yang digunakan
secara kosisten;
e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu
dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan
g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah
didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan,
nama profesi, nama institusi/lembaga pemeritah/
ketetataanegaraan dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan
rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma
ditulis dengan huruf kapital’
h. tidak menggunakan kata atau frasa yang artinya tidak menentu
atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas.
Misalnya : Istilah minuman keras
i. untuk memperluas pengertian kata atau istilah digunakan kata
meliputi dan untuk mempersempit pengertian kata atau istilah
digunakan istilah tidak meliputi.
j. tidak memberi arti kepada kata atau frasa yang maknanya jauh
menyimpang dari makna yang biasa dignakan.
Misalnya: Pertanian meliputi pula peternakan, perkebunan, dan
perikanan.
k. Di dalam Peraturan yang sama tidak menggunakan:
− beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian
yang sama;
− satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda;
− tidak menggunakan frasa tanpa mengurangi,dengan tidak mengurangi
atau tanpa menyimpang dari.
− Untuk menghindari perubahan nama kementerian,penyebutan
menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada
urusan pemerintahan dimaksud.
− penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang sudah banyak
digunakan dan telah disesuaikan ejaanya dengan kaidah Bahasa
Indonesia dapat digunakan jika:
− mempunyai konotasi yang cocok;
− lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa
Indonesia;
− mempunyai corak internasional;
− lebih mempermudah tercapainya kesepakatan, atau
− lebih mudah dipahami dari pada terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia.
contoh: devaluasi (penurunan nilai uang) devisa (alat pembeyaran luar
negeri).
l. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di
dalam penjelasan Peraturan Per.uu.an. Kata, frasa, atau istilah bahasa
asing itu didahului oleh padannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis
miring dan diletakkan diantara tanda baca kurung.
Contoh: penggabungan (merger)
IX. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH (petujuk no.255 s/d 270).
1. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan
kata jika, apabila, atau frase dalam hal.
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka)
Contoh:
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu.
Contoh:
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam
masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti
sampai habis masa jabatannya.
c. Frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,
keadaan, atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak
terjadi (pola kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil
Ketua.
2. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga gunakan kata berwenang.
Contoh:
Presiden berwenang menolak atau mengabulkan permohonan
grasi.

3. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan,


gunakan kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan
dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku.
Contoh:
Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin
mendirikan bangunan.

4. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,


gunakan kata harus. jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Untuk memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
X. TEKNIK PENGACUAN (petunjuk no. 271 s/d 284)
1. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari
Peraturan ybs atau Peraturan lain dengan menggunakan frasa
sebagaimana dimasud dalam Pasal… atau sebagaimana dimaksud pada
ayat…
2. Pengajuan terhadap lebih dari dua pasal,ayat,atau huruf yang berurutan
tidak perlu disebut satu per satu tetapi cukup dengan menggunakan frasa
sampai dengan.
Contoh ; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 6
Sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (7)
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan d
3. Pengacuan lebih dari dua thd pasal atau ayat yang berurutan tetapi ada
pasal atau ayat yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak diacu
dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat(1).
4. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi
pokok yang diacu. Contoh: Izin penambangan batubara sebagimana
dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh……
5. Pengacuan hanya dilakukan ke Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatanya sama atau lebih tinggi.
6. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau
ayat bersangkutan.
7. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang tidak disebutkan secara rinci,
menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
8. Untuk menyatakan peraturan pelaksnaan masih tetap berlaku
digunakan frasa masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam….
9. Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf
Booksman Old Style, dengan huruf 12, diatas kertas F4.
XI. PENGUNDANGAN
1. Pengundangan Undang-Undang,Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden dalam Lembaran
Negara dilakukan oleh Menteri Hukum dan Ham.(vide Pasal 147 Perpres
Nomor 87 Tahun 2014 ttg Peraturan Pelaksanaan UU No 12 Tahun 2011).
Termasuk yang diundangkan dalam LN dan TLN adalah PBI,Peraturan OJK
dan Peraturan BPK karena sesuai dengan ketentuan dalam UU ybs.
2. Pengundangan Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota dalam Lembaran
Daerah dilakukan oleh sekretaris Daerah.( Vide Pasal 156 dan Pasal 158
Perpres No.87 Tahun 2014).
3. Pengundangan Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Peraturan Walikota
dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.(vide Pasal 159 dan
Pasal 160 Perpres No.87 Tahun 2014).
4. Pengundangan Peraturan Menteri dan Peraturan Kepala/Pimpinan
Lembaga Pemerintah non Kementerian dalam Berita Negara dilakukan
Menteri Hukum Dan Ham tetapi kemudian di delegasikan kepada Direktur
Jenderal Peraturan Perundang-undangan.Vide Pasal 153 Perpres No.84
Tahun 2014.
5. Pengundangan Peraturan Desa dalam Lembaran Desa dilakukan oleh
Sekretaris Desa.(vide Pasal 69(11) UU No.6 Tahun 2014 ttg Desa)
6. Pengundangan Peraturan Kepala Desa dalam Berita Desa dilakukan oleh
Sekretaris Desa.( idem Peraturan Desa).
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai