Anda di halaman 1dari 114

MODUL

MATERI AJAR

TEKNIK PEMBUATAN
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

HELLEN LASTFITRIANI, SH, MH

1
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
1-2

2
3
Peristilahan

 Istilah perundang-undangan atau legal drafting sudah


merupakan istilah yang lazim dipakai dalam khasanah akademis
maupun praktis.

 Legal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum.
Sedangkan istilah Draft dapat diartikan sebagai konsep,
penambahan ing di belakang dapat diartikan pengkonsepan atau
perancangan. Jadi legal drafting adalah pengkonsepan atau
hukum perancangan. Lebih jelasnya adalah cara penyusunan
rancangan peraturan sesuai tuntutan, teori, asas, dan kaidah
perancangan peraturan perundang-undangan.

4
Peristilahan

 Secara harfiah legal dafting diterjemahkan perancangan


Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum,
Legal drafting adalah kegiatan praktek hukum yang
menghasilkan peraturan, sebagai contoh; Pemerintah
membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim membuat
keputusan Pengadilan yang mengikat publik; Swasta
membuat ketentuan atau peraturan privat seperti;
perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat
pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak.

 Legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum


dalam arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni
undang-undang atau perundang-undangan. Jadi bukan
perancangan hukum seperti perjanjian, dan lain-lain.

5
Peristilahan

 Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang


penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi
tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta
naskah awal peraturan perundang-undangan yang
diusulkan.

 Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan


adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan
yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

6
Ilmu Perundang-undangan

1. Proses Perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren):


meliputi beberapa tahapan dalam pembentukan perundang-
undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan,
penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
2. Metode perundang-undangan (gezetsgebungsmethode): ilmu
tentang pembentukan ienis norma hukum yang teratur untuk
dapat mencapai sasarannya. Pengacuannya kepada hal-hal
yang berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur
suatu ketentuan dalam norma seperti objek norma, subjek
norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic): Teknik
perundang-undangan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan
teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar, bentuk
dalam, dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.

7
Sifat Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan

 Ilmu pengetahuan bersifat normatif, yakni


berorientasi kepada melakukan perbuatan
pengaturan.

 Teori pengetahuan bersifat kognitif, yakni


berorientasi kepada menjelaskan dan
menjernihkan pemahaman.

8
Kegunaan Ilmu Perundang-undangan

Selain dalam rangka merubah masyarakat, tentunya kearah


yang lebih baik sesuai dengan doktrin hukum sebagai alat
rekayasa sosial, kegunaan lain ilmu perundang-undangan,
yaitu :
1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi
kalangan akademisi, praktisi hukum maupun pemerintah;
2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi
peraturan perundang-undangan;
3. Memberikan kepastian hukum dalam
pembentukan hukum nasional
4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan
perundang-undangan yang baik.

9
Undang-Undang dalam
Arti Materiil dan Formil

• Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap)


dibedakan antara Undang-Undang dalam arti
materiil (wet in materiele zin) dan Undang-
Undang dalam arti formil.

• Undang-Undang dalam arti materil adalah


Peraturan Perundang-undangan, sedangkan
Undang-Undang dalam arti formil adalah
Undang-Undang.

10
Beda Peraturan Perundang-undangan
dengan Undang-Undang

• Peraturan perundang-undangan, yaitu setiap


keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat
berwenang yang berisi aturan tingkah laku atau
mengikat secara umum yang disebut juga undang-
undang dalam arti materil.
• Undang-undang, yaitu keputusan tertulis sebagai hasil
kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan
legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat
atau mengikat umum yang disebut juga undang-
undang dalam arti formil.
• Undang-Undang dalam arti materil adalah Peraturan
Perundang-undangan sedangkan Undang-Undang
dalam arti formil adalah Undang-Undang.

11
Pembuat Peraturan Perundang-undangan

 Untuk dapat menjadi seorang Pembuat Peraturan Perundang-


undangan maka tidak terlepas dari penguasaan ilmu
perundang-undangan.

 Alasannya, karena ilmu perundang-undangan adalah suatu ilmu


yang mempelajari segala seluk beluk proses atau tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan dan isi atau
subtansi suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh pejabat yang berwenang untuk mengatur tingkah laku
manusia yang bersifat atau mengikat secara umum.

12
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
3-5

13
14
Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Yang Baik
Menurut Para Ahli

 Menurut Van der Vlies dibagi dua bagian, yaitu asas


formal dan asas materiil.
 Asas formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas organ/lembaga yang tepat;
3. Asas perlunya pengaturan;
4. Asas dapat dilaksanakan;
5. Asas Konsensus;

15
 Asas Materiil meliputi:
1. Asas terminologi dan sistematika yang
jelas;
2. Asas dapat dikenali;
3. Asas perlakuan yang sama dalam
hukum;
4. Asas kepastian hukum;
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan
keadaan individual.

16
 Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas-asas
pembentukan undang-undang yang baik dapat
disusun sebagai berikut:
1. Cita hukum Indonesia;
2. Asas negara berdasar hukum;
3. Asas pemerintahan berdasar sistem
konstitusi;
4. Asas-asas lainnya.

17
Fungsi Asas-Asas Perundang-undangan
Yang Baik Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan

 Menurut O. Notohamidjojo fungsi asas-asas


perundang-undangan yang baik sebagai berikut :
1. Pengundang-undangan harus
mempergunakan asas-asas hukum sebagai
pedoman bagi pembentukan hukum ;
2. Hakim seharusnya bekerja dengan asas-
asas hukum jika dia harus melakukan interpretasi
pada penafsiran artikel-artikel yang kurang
jelas ;

18
3. Hakim perlu mempergunakan
rechtsbeginselen apabila ia perlu
mengadakan analogi ;
4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap
peraturan perundang-undangan, apabila
peraturan perundang-undangan itu
terancam kehilangan maknanya.

19
 Menurut Smits asas-asas hukum memenuhi tiga
fungsi, yaitu:
1. Asas-asas hukumlah yang memberikan
keterjalinan dari aturan-aturan hukum yang
tersebar;
2. Asas-asas hukum dapat difungsikan untuk
mencari pemecahan atas masalah baru;
3. Asas-asas dalam hal fungsi pertama dan kedua,
dapat dipergunakan untuk menulis ulang bahan-
bahan ajaran hukum yang ada sedemikian
sehingga dapat dimunculkan solusi terhadap
persoalan-persoalan baru yang berkembang.

20
 Menurut A. Hamid S. Attamimi asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, berfungsi untuk:
…… Memberikan pedoman dan bimbingan bagi
penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan
susunan yang sesuai, bagi penggunaan metode
pembentukan yang tepat, dan bagi mengikuti proses
dan prosedur pembentukan yang telah ditentukan,
serta bermanfaat bagi penyiapan, penyusunan, dan
pembentukan suatu peraturan perundang-
undangan.

21
Filosofi Perancangan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan

 Menurut Seidman bahwa pembuatan peraturan


perundang-undangan mempunyai suatu filosofi.
Panduan ini menggunakan pemikiran filosofi
pragmatis. Hanya dengan mempelajari fakta
mengenai permasalahan yang ada dan
merefleksikan hal-hal tersebut, seseorang
pembuat keputusan dapat menentukan apa yang
akan dilakukan selanjutnya.

22
 Menurut Hamzah Halim ada kemungkinan
penggabungan kedua filosofi perancangan di atas,
yang dapat disebut filosofi positivisme
pragmatisme, yaitu perancangan dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan berdasarkan nilai-
nilai, kemudian menyesuaikannya dengan hal-hal
menjadi tuntutan dan kebutuhan masyarakat
berdasarkan pengalaman yang disusun secara logis.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan
yang menjadi hasil pembuatan peraturan
perundang-undangan tidak hanya merupakan suatu
kumpulan peraturan-peraturan, akan tetapi juga
berisi nilai-nilai etis dan bertumpu pada moral
masyarakat.

23
Mekanisme Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Yang Baik

 Terbitnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI
tanggal 24 Mei 2004, maka mekanisme
pembentukan peraturan perundang-undangan telah
terintegrasi di dalam satu undang-undang.
 Di dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004
diatur mekanisme pembentukan peraturan
perundang-undangan terbagi ke dalam beberapa
tahapan, yakni perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

24
Syarat Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Yang Baik

 Pembentukan peraturan perundang-undangan yang


baik harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :
1. Pertimbangan filosofi;
2. Pertimbangan yuridis;
3. Pertimbangan politis;
4. Pertimbangan sosiologis;
5. Pertimbangan ekologis;
6. Pertimbangan ekonomis;
7. Pertimbangan kulturan, dan
8. Pertimbangan religiositas.

25
Teknik Perancangan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Yang Baik

 Teknik perancangan pembentukan peraturan


perundang-undangan yang baik harus memenuhi
syarat-syarat, sebagai berikut :
1. Ketepatan struktur;
2. Ketepatan pertimbangan;
3. Ketepatan dasar hukum; dan
4. Ketepatan bahasa hukum;

26
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
6-8

27
28
Signifikansi Bahasa Peraturan
Perundang-undangan

 Prinsip dasar yang dianut dalam penyusunan


peraturan perundang-undangan adalah semua produk
perundang-undangan harus dapat dikomunikasi
secara efektif kepada masyarakat yang menjadi
sasarannya.
 Kemanfaatan fungsi produk hukum dengan baik
menuntut adanya aturan yang mudah dipahami.
 Untuk merumuskan peraturan perundang-undangan
maka dipilih kalimat yang lugas, dalam kalimatnya
tegas, jelas, mudah dipahami, tidak berbelit-belit, dan
obyektif, serta tidak menimbulkan salah tafsiran atau
tidak menimbulkan pengertian yang berbeda bagi
setiap pembaca.

29
Bahasa Peraturan Perundang-undangan

 Pada dasarnya bahasa peraturan perundang-


undangan tunduk pada kaidah tata bahasa
Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan
kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan,
mapun pengejaannya.
 Namun, bahasa peraturan perundang-undangan
mempunyai corak tersendiri yang bercirikan
kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan,
kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai
dengan kebutuhan umum.

30
Contoh :

Pasal 34
(1) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satu kepada yang lain.
Rumusan yang baik
(1) Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin.

Dalam merumuskan peraturan perundang-undangan


harus menggunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat
dan mudah dimengerti.

31
Contoh :

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang ini, harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
Rumusan yang baik
(1) Permohonan beristeri lebih dari seorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :

Hindari penggunaan kata atau frase yang artinya


kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat
kurang jelas.

32
Contoh :

Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang


jelas dibandingkan dengan istilah minuman
beralkohol.

Dalam merumuskan peraturan perundang-undangan


harus menggunakan kaidah tata bahasa Indonesia
yang baku.

33
Contoh :

1. Rumah itu pintunya putih.


2. Pintu rumah itu warnanya puitih.
3. Ijin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Kalimat tersebut adalah kalimat tidak baku.

1. Rumah itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih.


2. Pintu rumah itu (berwarna) putih atau Warna pintu
rumah itu putih.
3. Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut ijin usahanya.
Kalimat tersebut adalah kalimat baku.

34
Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah
diketahui umum tanpa membuat definisi baru maka gunakan kata
meliputi.

Contoh :

Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan


direksi badan usaha milik daerah.

35
Untuk mempersempit pengertian kata atau istilah yang sudah
diketahui umum tanpa membuat definisi baru maka gunakan kata
tidak meliputi.

Contoh :

Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.

36
Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu
menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan
bahasa sehari-hari.

Contoh :

Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan


perikanan.

Rumusan yang baik:

Pertanian meliputi perkebunan.

37
Di dalam peraturan perundang-undangan yang sama hindari
penggunaan beberapa istilah untuk menyatakan satu makna.

Contoh :

Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyetakan


pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan
penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata
gaji, maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan
menggunakan kata upah atau pendapatan untuk
menyatakan pengertian penghasilan.

38
Pilihan Kata atau Istilah

Untuk menyatakan pengertian maksimum dan


minumum dalam menentukan ancaman pidana
atau batasan waktu yang digunakan kata paling.

Contoh :
……. Dipidana dengan pidana penjaran paling
singkat 3 (tiga) tahun atau pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda paling
sedikit Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).

39
Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata
kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah
seluruh kalimat.

Contoh :

Kecuali A dan B, setiap orang wajib memberikan


kesaksian di depan sidang pengadilan.

40
Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata
selain.

Contoh :

Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan


dalam Pasal 7, pemohon wajib membayar biaya
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

41
Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan,
gunakan kata jika, apabila, atau frase dalam hal.

Contoh :

Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, ijin perusahaan
tersebut dapat dicabut.

42
Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan
kausal yang mengandung waktu.

Contoh :

Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi


berhenti dalam masa jabatannya karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang
bersangkutan digantikan oleh pengganti sampai habis
masa jabatannya.

43
Untuk menyatakan sifat kumulatif gunakan kata dan.

Contoh :

A dan B dapat menjadi …..

44
Untuk menyatakan sifat alternatif gunakan kata atau.

Contoh :

A atau B wajib memberikan …..

45
Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif
gunakan kata dan/atau.

Contoh :

A dan/atau B dapat menyerah …..

46
Teknik Pengacuan
Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan
pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain.
Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat
digunakan teknik pengacuan. Teknik pengacuan
dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat peraturan
perundang-undang dengan menggunakan frase
sebagaimana dimaksud dalam pasal ….. atau
sebagaimana dimaksud pada ayat ………

Contoh :

a. Persyaratan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) …..
b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berlaku pula …...

47
Pengacuan dua atau lebih pasal ayat yang berurutan tidak perlu
menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu
tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan.

Contoh :

a. ….. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai


dengan Pasal 12.
b. …... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) sampai dengan ayat (4).

48
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal ayat yang berurutan
tetapi tidak ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan,
pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata
kecuali.

Contoh :

a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi
calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi
tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.

49
50
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
9
UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

51
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
10-11

52
53
Proses Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan

1. Proses Pembuatan Perundang-undangan di Pusat


Proses pembuatan perundang-undangan di Pusat dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu:
a. Setiap bentuk/jenis peraturan perundang-
undangan mempunyai prosedur penyusunannya
masing-masing. Penyusunan produk hukum MPR berupa
Ketetapan MPR meliputi persiapan Rancangan
Ketetapan/Keputusan yang disiapkan oleh Badan Pekerja
hingga dilakukannya pembahasan dalam Sidang MPR
yang mempunyai 4 tingkatan
pembahasan/pembicaraan. Hal ini diatur khusus dalam
Peraturan Tata Tertib MPR.

54
Proses Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan

b. Proses pembuatan undang-undang, Perpu dan


Peraturan Pemerintah meliputi: Proses
persiapan rancangan Undang-undang, Perpu dan
Peraturan Pemerintah oleh Pemerintah, lalu
pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat dengan 4
tingkatan, kemudian penandatanganan oleh
Presiden, dan Pengundangan oleh Menteri
Sekretaris Negara. Demikian diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 dan
Keputusan DPR Nomor 16/DPR-RI/I/1999-2000.

55
Proses Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan

2. Proses Pembuatan Perundang-undangan di Daerah


Proses pembuatan peraturan perundang-undangan di Daerah
termasuk Pemerintahan Desa, berdasarkan pada UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang
tersebut menunjuk lebih lanjut pada peraturan Menteri Dalam
Negeri untuk mengatur proses perundang-undangan.
Proses pembuatan Peraturan Daerah, meliputi:
a. Usul inisiatif atau Rancangan Peraturan Daerah
disampaikan kepada Ketua DPRD untuk selanjutnya
diteruskan kepada Panitia Musyawarah DPRD untuk
menentukan hari atau waktu persidangan.
b. Rancangan Peraturan Daerah diperbanyak dan dibagi-
bagikan kepada anggota DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari sebelum hari persidangan.

56
Proses Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan

c. Kepala Daerah atau anggota DPRD yang


mengusulkan (pemrakarsa), menyampaikan Rancangan
Peraturan Daerah itu secara resmi pada Sidang Pleno
DPRD
d. Para anggota DPRD mengajukan pendapat setuju,
menolak, atau mengusulkan perubahan atas Rancangan
Peraturan Daerah itu.
e. Apabila dipandang perlu atas permufakatan Kepala
Daerah dengan DPRD dapat dibentuk Panitia Khusus
untuk merumuskan isi redaksi atau pun bentuk Rancangan
Peraturan Daerah
f. Rancangan yang telah mendapat persetujuan dari
DPRD ditandatangani oleh Kepala Daerah untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah dan sebagai pernyataan
persetujuan dari DPRD, Ketua DPRD turut serta
menandatangi Peraturan Daerah tersebut.

57
Proses Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan

3. Proses Pembuatan Keputusan Kepala Daerah, sepenuhnya


merupakan wewenang Kepala Daerah yang bersangkutan,
umumnya disiapkan oleh Biro Hukum Pemerintah Daerah
setempat.

4. Peraturan Desa dibuat oleh Kepala Desa dengan musyawarah


Badan Perwakilan Desa, dan tidak perlu mendapatkan
persetujuan Bupati/Walikota, tetapi wajib disampaikan
kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan
dengan tembusan kepada Camat. Sedangkan Keputusan
Kepala Desa dibuat oleh Kepala Desa tanpa perlu persetujuan
siapa pun, fungsinya untuk menjalankan Peraturan Desa.

58
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
12-13

59
60
Kerangka Peraturan
Perundang-undangan

A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar, Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (Jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)
61
Judul

 Setiap peraturan perundang-undangan harus


mempunyai penamaan/judul;
 Judul Peraturan Perundangundangan memuat
keterangan mengenai jenis, nomor, tahun
pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan
Perundangundangan;
 Nama Peraturan Perundangundangan dibuat secara
singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-
undangan;
 Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang
diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.

62
Contoh :

PERATURAN DAERAH KOTA …..


NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TAMAN KOTA

63
Perubahan

Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan


ditambahkan frase perubahan atas depan nama
Peraturan Perundang-undangan yang diubah.

Contoh :

PERATURAN DAERAH KOTA …..


NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN NOMOR 15 TAHUN
2002
TENTANG
TAMAN KOTA

64
Pembukaan

Pembukaan Peraturan Perundangundangan terdiri atas:

1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;

2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundangundangan;

3. Konsiderans;

4. Dasar Hukum; dan

5. Diktum.

65
Frase Dengan Rahmat
Tuhan Yang Maha Esa

 Pada pembukaan tiap jenis Peraturan


Perundangundangan sebelum nama jabatan pembentuk
Peraturan Perundangundangan dicantumkan frase
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA;
 Frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan
di tengah marjin;
 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan
menyebutkan setiap Pembukaan Peraturan Perundang-
undangan wajib dicantumkan frase tersebut, baik
Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Pusat
maupun di Tingkat Daerah.

66
Jabatan Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan

 Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan


adalah penyebutan terhadap lembaga negara atau
pejabat yang berwenang untuk mengesahkan atau
menetapkan peraturan perundang-undangan
tersebut, misalnya Presiden Republik Indonesia
untuk pembukaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan lain-lain.
 Jabatan pembentuk Peraturan Perundangundangan
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang
diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan
tanda baca koma

67
Konsiderans

 Konsiderans diawali dengan kata MENIMBANG;

 Konsiderans memuat uraian singkat mengenai


pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang
dan alasan pembuatan Peraturan
Perundangundangan;

 Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-


Undang atau peraturan daerah memuat unsur
filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar
belakang pembuatannya;

68
Konsiderans

 Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa


Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk
dibuat adalah kurang tepat karena tidak
mencerminkan tentang latar belakang dan alasan
dibuatnya peraturan perundangundangan tersebut;
 Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok
pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam
rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan
pengertian;
 Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad,
dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali
dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca
titik koma.

69
Contoh :

Menimbang : a. bahwa….;
b. bahwa….;
c. bahwa….;

70
Dasar Hukum

 Dasar hukum diawali dengan kata MENGINGAT;

 Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan


Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Perundangundangan yang memerintahkan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan tersebut;

 Peraturan Perundang-undangan yang digunakan


sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-
undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi;

71
Dasar Hukum

 Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan


Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan
tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar
hukum;
 Jika jumlah Peraturan Perundangundangan yang dijadikan
dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu
memperhatikan tata urutan Peraturan Perundangundangan
dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis
berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya;
 Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam UUD
1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal
yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan
pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.

72
Contoh :

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20


Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

73
Catatan :

 Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu
mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan
nama judul Peraturan Perundang-undangan;

 Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis


dengan huruf kapital;

 Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan


Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan
di antara tanda baca kurung.

74
Contoh :

Mengingat : 1. …………………………………………..…. ;
2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik
Indonesia/LN RI Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan LN RI Tahun 4316);

75
Diktum

Diktum terdiri atas:


a. Kata
Memutuskan;
b. Kata
Menetapkan;
c. Nama Peraturan Perundangundangan.

76
Diktum

 Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf


kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri
dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah
marjin.

 Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan


dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama
daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (nama
daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
dan diletakkan di tengah marjin.

77
Contoh :

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
... (nama daerah)
dan
GUBERNUR ... (nama daerah)
MEMUTUSKAN:

78
Catatan :

Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata


Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan
kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata
Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda baca titik dua. Nama yang tercantum
dalam judul Peraturan Perundangundangan
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan
didahului dengan percantuman jenis Peraturan
Perundangundangan tanpa frase Republik
Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.

79
Contoh :

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PERIMBANGAN
KEUANGANANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN
DAERAH

80
Batang Tubuh

 Batang tubuh Peraturan Perundangundangan


memuat semua substansi Peraturan
Perundangundangan yang dirumuskan dalam pasal
(-pasal).
 Pada umumnya substansi dalam batang tubuh
dikelompokkan ke dalam :
(1) Ketentuan Umum;
(2) Materi Pokok yang Diatur;
(3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan);
(4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan);
(5) Ketentuan Penutup

81
Ketentuan Umum

 Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-


undang berbunyi : - Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksudkan dengan:
 Frase pembuka dalam ketentuan umum. Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
disesuaikan dengan jenis peraturannya.
 Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian
atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu,
maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut
dengan angka Arab dan diawali dengan huraf kapital
serta diakhiri dengan tanda baca titik.

82
Ketentuan Umum

 Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan


umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan
berulangulang di dalam pasal selanjutnya.

 Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu


kali, namun kata atau istilah itu diperlukan
pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau
paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah
itu diberi definisi.

83
Ketentuan Umum

 Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip


kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan
pelaksanaan, maka ramusan batasan pengertian atau
definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama
dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang
terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang
dilaksanakan tersebut.

 Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau


akronim berfungsi, untuk menjelaskan makna suatu kata
atau istilah maka batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan,
dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.

84
Materi Pokok yang Diatur

 Materi pokok yang diatur ditempatkan


langsung setelah bab ketentuan umum, dan
jika tidak ada pengelompokkan bab, materi
pokok yang diatur diletakkan setelah pasal (-
pasal) ketentuan umum.

 Pembagian materi pokok ke dalam kelompok


yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria
yang dijadikan dasar pembagian.

85
Ketentuan Pidana (Jika Diperlukan)

 Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan


penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap
ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.

 Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu


diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang
terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu
berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana
menurut Peraturan Perundangundangan lain, kecuali
jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

86
Ketentuan Pidana (Jika Diperlukan)

 Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya


denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang
ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta
unsur Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab
tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya
sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab
ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak
ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.

 Jika di dalam Peraturan Perandang-undangan tidak


diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana
ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung
sebelum pasal (-pasal) yang berisi ketentuan peralihan.
Jika tiidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan,
ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup.

87
Ketentuan Pidana (Jika Diperlukan)

 Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang


dan Peraturan Daerah.
 Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara
tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan
menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma
tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari:
a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan
Perundangundangan lain.
b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma
yang diacu tidak sama; atau
c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau
tidak terdapat di norma-norma yang diatur dalam
pasal (- pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang-
Undang tindak pidana khusus.
88
Ketentuan Pidana (Jika Diperlukan)

 Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun,


subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan
frase setiap orang.

 Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek


tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas,
misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi.

89
Ketentuan Peralihan (Jika Diperlukan)

 Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap


Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada
pada saat Peraturan Perundang-undangan baru
mulai berlaku, agar Peraturan Perundangundangan
tersebut dapat berjalan lancar dan tidak
menimbulkan permasalahan hukum.

 Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan


peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan
pidana dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam
Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan
pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan
peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat
ketentuan penutup.

90
Ketentuan Penutup

 Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir.


Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan
penutup ditempatkan dalam pasal (-pasal) terakhir.

 Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan


mengenai:
a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang
melaksanakan Peraturan Perundangandangan;
b. nama singkat;
c. status Peraturan Perundangundangan yang
sudah ada; dan
d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-
undangan.

91
Ketentuan Penutup

 Ketentuan penutup dapat memuat peraturan


pelaksanaan yang bersifat:
a. menjalankan (eksekutif), misalnya,
penunjukan pejabat tertentu yang diberi
kewenangan untuk memberikan izin,
mengangkat pegawai, dan lain-lain;
b. mengatur (legislatif), misalnya,
memberikan kewenangan untuk membuat
peraturan pelaksanaan.

92
Penutup

Penutup merupakan bagian akhir Peraturan


Perundang-undangan dan memuat:
a. rumusan perintah pengundangan dan
penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau
Berita Daerah;
b. penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundangundangan;
c. Pengundangan Peraturan Perundang-
undangan;
d. akhir bagian penutup.

93
Penutup

Rumusan perintah pengundangan dan penempatan


Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai
berikut :
Contoh
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan... (jenis
Peraturan Perundang- undangan) ... ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita
Daerah).

94
Penutup

Penandatanganan pengesahan atau penetapan


Peraturan Perundang-undangan memuat:
a. tempat dan tanggal pengesahan atau
penetapan;
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang mendatangani,
tanpa gelar dan pangkat.

95
Penutup

Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau


penetapan diletakkan di sebelah kanan. Nama jabatan
dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada
akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.

Contoh untuk pengesahan :

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK
INDONTESIA,
tanda tangan
NAMA

96
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
14-15

97
98
Naskah Akademik

 Definisi Naskah Akademik bisa dilihat pada Perpres


68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan
RUU, Rancangan Perpu, Rancangan PP, dan
Rancangan Perpres.

 Naskah Akademik adalah naskah yang dapat


dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan
lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan
Rancangan Undang-Undang. (Pasal 1 Angka 7
Perpres 68/2005)

99
Naskah Akademik

 Menurut Perpres 68/2005 Naskah Akademik bukanlah


suatu kewajiban, normanya adalah “dapat”. Dinyatakan
bahwa pemrakarsa dapat menyampaikan Naskah
Akademik. Artinya, instansi pemrakarsa boleh saja tidak
membuat Naskah Akademik, sepanjang ada konsepsi
yang jelas. Begitu pula, istilah Naskah Akademik hanya
muncul dalam pasal-pasal yang mengatur pengajuan
RUU di luar Prolegnas (Pasal 5 Perpres 68/2005).

 Namun di dalam praktek, kehadiran Naskah Akademik


memang seringkali diminta dalam pembahasan undang-
undang. Pada saat ini dalam pembahasan di DPR RI
hampir bisa dipastikan ada Naskah Akademik yang
melengkapi sebuah naskah RUU.

100
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

A. Landasan pengundangan
Landasan bagi perlunya pengundangan :
Setiap orang dianggap mengetahui UU (teori
fictie hukum = een ieder wordt geacht de wet te
kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio
proreo, latin). Alasannya adalah karena UU dibetuk
oleh atau dengan persetujuan wakil2 rakyat
maka rakyat dianggap mengetahui UU
Pengundangan : ialah pemberitahuan secara formal
suatu peraturan negara dengan penempatannya
dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk
maksud itu sesuai dengn ketentuan yang berlaku.

101
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

Dengan pengundangan maka :


Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip
pemberitahuan formal, Peraturan negara itu
telah memenuhi ketentuan sebagai peraturan
negara, Prosedur pembentukan yg disyaratkan
bagi peraturan negara itu sudah dicukupi Peraturan
negara itu sudah dpt dikenali (kenbaar)
sehingga dengan demikian peraturan negara
tersebut mempunyai kekuatan mengikat.

102
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

B. Tujuan pengundangan
Agar secara formal setiap orang dapat
dianggap mengenali peraturan negara, Agar
tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya,
Agar ketidak-tahuan seseorang akan peraturan
hukum tersebut tidak memaafkannya.

C. Tempat pengundangan
Tempat pengundangan dan jenis peraturan
yang diundangkan menurut UU No. 10 Tahun 2004 :
- Lembaran negara RI Berita Negara RI
- Lembaran Daerah
- Berita Daerah
- Tempat pengundangan (lihat pasal 45)

103
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

D. Tempat pengundangan dan jenis peraturan


yang diundangkan :
Dalam Lembaran Negara RI : UU/Perpu, PP,
Perpres mengenai : a) ratifikasi perjanjian
internasional, b) keadan bahaya Peraturan
perundang-undangan lain yang menurut
peraturan perUUan yg berlaku harus diundangkan
dalam lebaran negara RI dan peraturan perundang-
undangan lain yang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku harus diundangkan dalam
Berita Negara RI.

104
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

D. Tempat pengundangan dan jenis peraturan


yang diundangkan :
Peraturan perundang-undangan yang diundangkan
dalam lembaran daerah adalah Perda;
Peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota atau
peraturan lain dibawahnya dimuat dalam Berita Daerah;
Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dan
berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah;
Menurut penjelasan Pasal 49 (2) peraturan
perundang-undangan yang diundangkan dalam berita
daerah misalnya peraturan nagari, perdes atau
peraturan dilingkungan daerah yang
bersangkutan.

105
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

E. Hubungan pengundangan dan daya ikat :


Dengan adanya pengundangan bagi suatu
peraturan perundang-undangan yaitu dengan
penempatannya di dalam lembaran negara RI,
maka peraturan perundang-undangan tersebut
dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi
setiap orang.

106
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

Sehubungan dengan masalah pengundangan dan daya


ikat tersebut dapat dijumpai adanya tiga variasi yaitu :
1. Apabila dalam suatu peraturan dinyatakan berlaku
pada tanggal diundangkan, maka dalam hal ini
peraturan tersebut mempunyai daya ikat pada tanggal
yang sama dengan tanggal pengundangannya,
Contoh, apabila suatu UU diundangkan pada
tanggal 10 November 2006 dan dinyatakan
berlaku pada tanggal diundangkan maka pada
tanggal 10 November 2006 tersebut UU ini mulai
berdaya laku serta berdaya ikat (mengikat umum );

107
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

2. Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan;


Apabila dalam suatu peraturan dinyatakan berlaku
beberapa waktu setelah diundangkan maka dlm hal ini
peraturan tersebut mempunyai daya laku pada tanggal
diundangkan tersebut, akan tetapi daya ikatnya
setelah tanggal yang telah ditentukan tersebut. Contoh
apabila suatu UU diundangkan pada tanggal 10
Nopember 2006 dan dinyatakan berlaku 30 hari
kemudian, maka UU itu mempunyai daya laku pada sejak
tanggal 10 Nop 2006 akan tetapi UU tersebut baru
berdaya ikat (mengikat umum) pada tanggal 10 Desember
2006.

108
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN
3. Berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku surut sampai
tanggal yang tertentu;
Jika suatu peraturan telah ditentukan, maka peraturan mempunyai
daya laku sejak tanggal diundangkan. Namun, dalam hal-hal tertentu
ia mempunyai daya ikat yang berlaku surut sampai tanggal
yang ditetapkan. Jika suatu peraturan dinyatakan berlaku surut
maka ketentuan saat berlaku surutnya peraturan harus dinyatakan
secara pasti, misalnya berlaku surut hingga tanggal 1 Januari 2006,
karena ini berhubungan erat dengan adanya kepastian hukum.
Contoh : Jika suatu UU diundangkan pada tanggal 10 November
2006 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan serta
dinyatakan berlaku surut sampai tanggal 1 Januari 2006 maka
UU tersebut mempunyai daya laku dan daya ikat mulai tanggal 10
November 2006 serta berlaku surut hingga tanggal 1 Januari 2006.

109
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

F. Penyebarluasan
Penyebarluasan peraturan perundang-undangan
menurut UU No. 10 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 51
berbunyi pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan
perundang-undangan yang telah diundangkan dalam
Lembaran Negara RI atau Berita Negara. Dalam
penjelasan Pasal 51 berbunyi, yang dimaksud dengan
menyebarluaskan adalah agar khlayak ramai mengetahui
peraturan perundang- undangan tersebut dan
mengerti/memahami isi serta maksud yang terkandung di
dalamnya, misalnya dilakukan dengan melalui media
elektronik, Televisi, radio dan media cetak Didaerah
(Perda) dilakukan oleh pemda baik yang sudah
diundangkan dalam Lembaran daerah maupun berita
daerah.

110
PENGUNDANGAN, DAYA IKAT
DAN PENYEBARLUASAN

F. Penyebarluasan
Penyebarluasan peraturan perundang-
undangan menurut Perpres No. 1 Tahun 2007
diatur dalam Pasal 29 berbunyi “pemerintah wajib
menyebarluaskan peraturan perundang-
undangan yang telah diundangkan dalam LN
RI dan dalam berita negara RI, sedangkan pemda
wajib menyebarluaskan peraturan perundang-
undangan yaNg telah diundangkan dalam LD
dan peraturan dibawahnya yang telah diundangkan
dalam berita daerah. Misalnya, dilakukan
melalui media elektronik, Tv, radio dan media cetak .

111
MATA KULIAH
TEKNIK PEMBUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

MATERI PERTEMUAN
16
UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

112
Referensi

 Hamzah Halim dan Kemal Redindo, Cara Praktis Menyusun dan Merancang
Peraturan Daerah, (Jakarta: Kencana, 2009).
 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar
dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998).
 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Proses dan
Teknik Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2007).
 Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakhrullah, Legal Drafting berporos
Hukum Humanis Partisipatoris, (Jakarta: Perca, 2005).
 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
Baik, (Jakarta RajaGrafindo Persada, 2009).
 Zairin Harahap, Diktat Teori Perundang-undangan, Yogyakarta, Program
Magister Hukum BKU HTN.
 Tiar Ramon, Internet Posted Oktober 31, 2009 by tiarramon. The title Legal
Drafting.
 Resensi buku Proses dan Teknik Penyusunan Perundang-undangan karya
Nandang Alamsyah Deliarnoor, Ratna Nurhayati.

113
All The Best
Thank You

114

Anda mungkin juga menyukai