Anda di halaman 1dari 21

LEGISLATIF DRAFTING

Menurut teori perundang-undangan, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok, yaitu Aspek materiil (substansial), yang memuat asas, kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku kongkrit dalam bentuk arturan-aturan hukum. Yang berkaitan pula dengan masalah pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundangundangan. Aspek formal (prosedural), yang berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu. Pembahasannya diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metoda, proses dan teknik perundang-undangan. Kedua aspek tersebut saling berkaitan secara timbal balik dan dinamis

Adapun tujuan teknik perancangan perundang-undangan adalah:


1. Agar mampu mengidentifikasi dan merumuskan pelbagai norma hukum berdasarkan struktur, sifat dan jenis-jenis kaidah hukum; 2. Mampu mengidentifikasi berbagai jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan kerangka dan substansinya. 3. Trampil dalam merancang dan merumuskan, baik bagian-bagian dari suatu peraturan perundang-undangan maupun seluruh bagian dari peraturan perundang-undangan secara utuh. STRUKTUR KAIDAH HUKUM Aturan hukum merupakan konkritisasi kaidah hukum yang dinyatakan dalam bantuk rumusan pasal-pasal yang menyebabkan kaidah hukum tersebut dapat dikenali, dipahami, dan diterapkan secara langsung untuk mengatur perilaku tertentu Setiap aturan hukum memiliki struktur dasar yang terdiri dari unsur-unsur sbb : 1. Subjek kaidah, menunjuk pada subjek hukum yang termasuk ke dalam sasaran penerapan sebuah pengaturan; 2. Objek kaidah, menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa saja yang hendak diatur dalam aturan hukum tersebut. 3. operator kaidah, menunjuk pada cara bagaimana objek kaidah diatur, misalnya menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku tertentu, memberikan suatu hak atau membebankan kewajiban tertentu, 4. kondisi kaidah, menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Keempat unsur kaidah ini bersifat konstitutif yang saling berkait satu sama lainnya, dan secara bersamaan akan menentukan isi dan wilayah penerapan/ jangkauan berlakunya suatu aturan hukum tertentu. Dalam praktek perumusan suatu aturan, susunan keempat unsur struktur kaidah tersebut tidak harus tersusun secara berurutan, namun keempatnya harus ada dan dapat diidentifikasi dalam setiap rumusan.

Contoh : Setip orang dapat memiliki atau menguasai benda cagar budaya tertentu dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya Subjek kaidah : setiap orang Objek kaidah : memiliki atau menguasai benda cagar budaya Operator kaidah : boleh memiliki atau menguasai Kondisi kaidah : fungsi sosial Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan/atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan dengan hukuman penjara Subjek kaidah : barang siapa, artinya setiap orang Objek kaidah : meniru, memalsukan uang kertas, menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu. Operator kaidah : diancam dengan hukuman penjara (berarti dilarang) Kondisi kaidah : dengan sengaja. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presidan berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang Kondisi kaidah : dalam hal ihwal kegentingan memaksa Subjek kaidah : Prasiden Operator kaidah : berhak menetapkan ( artinya boleh) Objek kaidah : melakukan pengaturan yang berkaitan dengan keadaan kegentingan yang sedang terjadi (dirumuskan dalam PERPU) SIFAT KAIDAH HUKUM Terdapat empat golongan sifat kaidah hukum dalam suatu paraturan perundamng-undangan, yaitu : Sifat umum-abstrak : Sifat umum kongkrit: Sifat individual abstrak: Sifat individual-kongkret: Keempatnya digunakan secara kombinatif, bergantung kepada isi/substansi dan wilayah penerapan/jangkauan berlakunya aturan hukum yang bersangkutan. Kombinasi ini sebagaian akan ditentukan pula oleh jenis peraturan yang terdapat dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Makin tinggi tingkat atau derajat suatu peraturan perundang-undangan, maka makin abstrak dan umum sifatnya, demikian pula sebaliknya. Contoh : Aturan umum abstrak : Setiap orang yang melalukan kegiatan usaha, wajib memelihara kelestarian, kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang Atuan Umum-Kongtret Semua kegiatan usaha yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan RKL dan RPL oleh instansi yang berwenang.

Aturan individual-Abstrak PT Kiani Kertas wajib mentaati baku mutu limbah cair sebagaimana yang ditentukan di dalam izin pembuangan limbah yang ditetapkan baginya Aturan individual-kongkret PT Kiani Kertas hanya dapat membuang limbah cair sesuai baku mutu limbah cair sebagai berikut : BOD 150 mg/L, COD 350 mg/L, Padatan Tersuspensi Total 150 mg/L dan pH 6-9

TEKNIK PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Legislative drafting)


A.

KERANGKA PERATURAN UNDANGAN.

PERUNDANG-

a. b.

Format perumusan peraturan perundangundanan memiliki beberapa unsur-unsur penting, yaitu : Penamaan judul. Pembukaan 1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundangundangan 3. Konsideran 4. Dasar Hukum 5. Diktum 1) Kata Memutuskan 2) Kata Menetapkan 3) Nama Peraturan Perundang-undangan Batang Tubuh 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok Yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan 5. Ketentuan Penutup Penutup Penjelasan (jika Diperlukan Lampiran (bila diperlukan).

c.

d. e.
f.

B.PENAMAAN/JUDUL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN a. Penamaan atau judul (sebagai identitas) adalah bagian awal dari peraturan perundang-undangan yang harus : 1. Memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan. 2. Dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. 3. Ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan di tengan margin dan tidak diakhiri tanda baca Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

b. Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai nama singkat (citeertitel), maka nama singkat harus diletakkan di bawah nama/judul lengkap, dan harus ditulis di antara tanda baca kurung (...). Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN .... TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI) c. Bila suatu peraturan perundang-undangan dibuat untuk merubah

isi peraturan perundang-undangan lain, maka pada judul perubahan ditambahan frase PERUBAHAN ATAS di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah

Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI d. Bila Perubahannya lebih dari satu kali, di antara kata perubahan dan atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan selanjutnya. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ---- TAHUN .... TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR ..... TAHUN ..... TENTANG e. Bila suatu peraturan perundang-undangan untuk mencabut suatu peraturan perundang-undangan lain, maka pada judul peraturan perundang-undangan pencabutan ini harus diSISIPKANkan kata PENCABUTAN di depan judul peraturan perundangundangan yang dicabut tersebut. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1985 TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

f. Bila untuk menetapkan Perpu menjadi UU, harus ditambahkan

kata PENETAPAN di depan nama perpu yang ditetapkan dan diakhiri frase MENJADI UNDANG-UNDANG Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG g. Jika dibuat untuk mensahkan suatu perjanjian internasional, harus dilengkapi dengan kata PENGESAHAN di depan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan. h. Jika Bahasa Indonesia dijadikan sebagai teks resmi, maka nama peraturan perundang-undangan pengesahan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti dengan teks bahasa asing yang diletakan diantara tanda baca kurung (...) dan ditulis dengan huruf miring. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)
i. Jika Bahasa Indonesia TIDAK dijadikan sebagai teks resmi,

maka nama peraturan perundang-undangan pengesahan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, yang diikuti terjemahannya dengan teks bahasa Indonesia yang diletakan di antara tanda baca kurung (...)

Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFICT IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROTROPIC SUBSTANCES, 1998 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998)

C.

P E M B U K A A N

Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Frase DenganRahmat Tuhan Yang Maha esa; b. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundangundangan; c. Konsideran; d. Dasar Hukum; e. Diktum Pembukaan pada undang-undang dan peraturan daerah berisi : perkataan DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan di tengah margin 2. Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan di tengan margin dan diakhiri dengan tanda baca koma (,); 3. Konsideran (menimbang), Konsideran harus diawali dengan kata Menimbang yang memuat uraian singkat mengenai : 1) Pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang pembuatan peraturan perundang-undangan; 2) Pokok-pokok pikiran pada UU atau Perda memuat unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya;

1.

3)

Tujuan dan asas dari peraturan perundang-

undangan. 4. Jika konsideran terdiri atas lebih satu pokok pikiran, maka tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan satu kesatuan pengertian. 5. Tiap-tiap pikiran diawali dengan huruf abjad ( a, b, c, dst) dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;) Contoh : Menimbang : a. bahwa...;(titik koma) b. bahwa...;(titik koma) c. bahwa...;(titik koma)
6.

Jika konsideran pertimbangan, rumusan berbunyi sebagai berikut Contoh :

memuat lebih dari satu butir pertimbangan terakhir

Menimbang : a. bahwa...; (titik koma) b. bahwa...; (titik koma) c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai mana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang-undang (Peraturan Daerah) tentang ...;
7.

Konsideran Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang isinya menunjuk pasal dari UU yang memerintahkan pembuatannya.

a.

D. Dasar Hukum diawali dengan kata Mengingat


b. Memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundangundangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundangundangan tersebut c. Yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang derajatnya sama atau yang lebih tinggi

Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut, yang akan dibentuk, atau yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sbg dasar hukum e. Jika peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan, dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan dan penetapannya. f. Dasar hukum dari pasal dalam UUD 1945, ditulis dengan menyebut pasal atau bebera pasal yang berkaitan dengan frase UUD 1945 Contoh :
d.

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 g. Dasar Hukum yang bukan UUD 1945, tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan ( Undang-Undang, PP Perpres), dilengkapi pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia diantara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat : Undang-Undang Nonor 43 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Rebublik Indonesia Nomor 4316) Jika berasal dari pperaturan zaman Hindia Belanda sampai tanggal 27 Desember 1949 ditulis terlebih dahulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul aslinya (Bhs Belanda) dilengkapi dg tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring diantara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandels, Staatsblad 1847: 23); 2.............;
h.

i. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan perundangundangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1,2,3 dst dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

E. Diktum
Diktum terdiri atas : Kata memutuskan, menetapkan, nama peraturan Perundang-undangan
a. 1. 2.

Kata Memutuskan

Kata memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi dan diletakkan di tengah margin Pada Undang-Undang sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakan ditengah margin. Contoh : Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

3.

Pada Peraturan Daerah, sebelum kata memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH....... (nama daerah) GUBERNUR/ BUPATI/WALIKOTA.... (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakan di tengah margin. Contoh : Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ................ (nama daerah) dan GUBERNUR ........... (nama daerah) MEMUTUSKAN : b. Kata Menetapkan

1.

Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang

dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. c. Nama Peraturan Perundang-undangan 1. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan pencantuman jenis Peraturan Perundangundangan tanpa frase Republik Indonesia, sera ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh : MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH. CATATAN : Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada undang-undang, seperti PP, Perpres Permen dan Peraturan Pejabat yang setingkat , secara mutatis dan mutandis berpedoman pada pembukaan UndangUndang.

d.

Batang Tubuh
Batang tubuh peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal. 2. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam. a. Ketentuan Umum; b. Materi Pokok Yang Diatur; c. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan); d. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan); e.Ketentuan Penutup
1.

3. Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan diupayakan masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula memuat

4.

5.

6.

7. 8.

9.

dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut, dirumuskan menjadi satu bagian (pasal dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. Jika norma tersebut lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau snaksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat snaksi pidana, saksi perdata dan sanksi administratif dalam satu bab. Sanksi administratif dapat berupa antara lain, pencabutan ijin, pembubaran, pengawasan, pemberentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. Pengelompokan materi muatan Paraturan Perundangundangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, Pasal2 tersebut dapat dikelompokan menjadi : Buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. Dilakukan atas dasar kesamaan materi. Urutan pengelompokkan adalah sbb : a. Bab dengan pasal tanpa bagian dan paragraf; b. Bab denggan Bagian dan pasal, tanpa paragraf; c. Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal-pasal.

10. Buku diberi nomor urut bilangan tingkat dan judul seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh : BUKU KETIGA PERIKATAN 11. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi, dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh : BAB I KETENTUAN UMUM 12. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul

13. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh : Bagian Kelima Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan 14. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. Huruf awal Paragraf termasuk judulnya ditulis dengan huruf kapital, kecuali awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase Contoh : Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
15. Pasal memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang

disusun secara singkat, jelas, dan lugas. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab. 16. Materi Peraturan perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yag singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 17. Huruf awal pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan uruf kapital. Contoh : Pasal 34 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
18. Pasal dapat dirinci dalam beberapa ayat. 19. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca

kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 20. Suatu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 21. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil. Contoh : Pasal 8 (1) Satu permintaan pendaftaran merk hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.

(2) Permintaan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa termasuk ke dalam kelas yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping

dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi. Contoh : Pasal 17 Yang diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika drumuskan sebagai berikut : Contoh rumusan tabulasi : Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang : a. Telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan b. Telah terdaftar pada daftar pemilih. 23. Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai slah satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka; b. setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik; c. setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma. e. Jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam. f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil yang diikuti tanda baca titik; angka arab diikuti tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab diberi tanda baca kurung tutup; h. pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain.

24. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian

kumulatif, ditambah kata dan yang diletakan di belakang rincian kedua dri rincian terakhir. 25. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang diletakkan diletakan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 26. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumilatif dan alternatif ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan diletakan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 27. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian Conton lebih lengkap : Pasal 22 (1) ........ (2) ........; a.......; b........; dan, atau, dan/atau) c........; a).......; b).......; (dan, atau, dan/atau) c)........ 1).........; 2)..........; (dan, atau, dan/atau) 3).......... Ketentuan Umum; 2. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokkan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal-pasal awal. 3. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal 4. Ketentuan umum berisi : a. Batasan pengertian atau definisi; b. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan; c. Hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan. 5. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi : - Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 6. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.

Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 8. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal selanjutnya. 9. Jika kata atau istilah digunakan hanya satu kali, namun diperlukan pengertiannya untuk satu bab, bagian atau paragraf terrtentu, dianjurkan agar kata tersebut diberi definisi. 10. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksana, maka rumusan batasan tersebut harus sama dg peraturan yang lebih tinggi. 11. Karena batasan pengertian atau definisi tersebut, singkatan atau akronim berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah, maka batasan tersebut tidak perlu diberi penjelasan sehingga menimbulkan pengertian ganda. 12. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. Pengertian yang mengatur lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. Pengertian yang terdapat terlebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur, ditempatkan dalam urutan yang lebih dulu; dan c. Pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
7.

b.Materi Pokok Yang Diatur; 1.Materi pokok ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang datur diletakan setelah pasal pasal ketentuan umum. 2. Pembagian materi ke daam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian Contoh : a. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam bab Undang-Undang Hukum Pidana: 1. Kejahatan tterhadap keamanan negara; 2. Kejahatan terhadap martabat presiden; 3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; 4. Kejahatan terhadap kewajiban dan hak negara; 5. Kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.

b. Pembagian berdasarkan

urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding , tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. c. Pembagian berdasarkan urutan jenjang, seperti jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.

d. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan);

1. Ketentuan pidana memuat ancaman atas pelanggaran terhadapketentuan yan berisi norma larangan dan perintah. 2. Ketentuan pidana perlu dibedakan dari ketentuan-ketentuan yang memuat Sanksi-sanksi Perdata atau Sanksiadministratif 3. Hal-hal yang terakhir ini sebaiknya diatur di dalam pasal tersendiri dan adakalanya diberi judul pasal tentang Penegakan Hukum 4. Perumusan Ketetuan pidana (Jika ada) harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam KUHP (Buku II) 5. Pada dasarnya hanya undang-undang yang dapat memuat Ketentuan Pidana. 6. Peraturan Daerah dapat memuat Ketentuan Pidana atau denda, sepanjang memenuhi ketentuan seperti diatur Undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah 7. Di samping ketentuan pidana, dikenal pula ketentuan sanksi administratif. Misalnya memuat pencabutan izin, pemberhentian sementara, denda administratif, paksaan pemerintahan, uang paksa. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan); Ketentuan peralihan dapat berwujud : 1. Peralihan Antar Waktu 2. Penundaan Masa Berlaku 3. Ketentuan untuk menghindarkan kekosongan Peraturan (Wetsvacuum) 4. Penerapan-penerapan khusus lainnya (seperti pemberlakuan diwilayah tertentu) Ketentuan Penutup; Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai : a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang diikutsertakan dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan. b. nama singkat
e.

F.

. .

c. pengaruh peraturan perundang-undangan yang baru terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada. d. saat mulai berlaku peraturan e. pencabutan ketentuan-ketentuan yang lama. 3. Ketentuan penutup kadangkala memuat pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berupa: a. menjalankan (eksekutif), misalnya menunjuk pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberi ijin, mengangkat pegawai, dll b. mengatur (legislatif), yaitu merupakan kewenangan pelaksanaan pendelegasian untuk membuat peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Catatan : Pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan dan diumumkan; Penyimpangan terhadap hal itu hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam peraturan yang bersangkuttan, yaitu dengan menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan mulai berlaku.

a.

Penutup
1. Penutup adalah bagian akhir suatu peraturan perundang-undangan yang memuat : a. Rumusan pengundangan atau pengumuman; b. Penandatanganan 2. Rumusan perintah pengundangan bagi peraturan perundangundangan yang harus dimuat dalam Lembaran Negara Berbunyi : Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan perundangundangan...(Jenis Peraturan Perundang-undangan)... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia 3. Untuk Peraturan perundang-undangan yang harus dimuat dalam Berita negara Republik Indonesia rumusannya berbunyi : Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman... (Jenis Peraturan Perundang-undangan)... ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia 4. Penandatanganan pengesahan (untuk undang-undang) atau penetapan (untuk PP, Keppres dsb) peraturanperundang-undangan memuat : a. Tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. Nama jabatan\; c. Tanda tangan pejabat

d. Nama lengkappejabat yang menandatangani tanpa gelar dan/atau pangkat 5. Akhir bagian penutup dicantumkan tahun dan nomor Lembaran Resmi atau lembaran tempat pemuatan peraturan perundangundangan

b.

Penjelasan (jika Diperlukan) 1. Setiap undang-undang memerlukan penjelasan, baik Penjelasan Umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. 2. Pada Bagian Penjelasan Umum biasanya dimuat Politik Hukum yang melatar belakangi penerbitan peraturan ybs. 3. Dalam menyususn penjelasan pasal, harus diperhatikan hal-hal sbb : a. Tidak boleh bertentangan dengan apa yang diatur dalam materi peraturan perundang-undangan b. Tidak boleh memperluas atau enambah norma yang sudah ada c. Tidak boleh sekedar pengulangan semata-mata dari materi peraturan perundang-undangan. d. Tidak boleh memuat istiah atau pengertian yang sudah dimuat dalam Ketentuan Umum 4. Beberapa pasal yang tidak memerlukan penjelasan, disatukan dan diberi keterangan Cukup jelas
c.

Lampiran (bila diperlukan) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/ menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan

B PENDELEGASIAN WEWENANG
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan yang mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. 2. Pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan tegas : 3. A. Jika tidak dibolehkan sub delegasi ke peraturan perundangundangan yag lebih rendah, gunakan kalimat : Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan ... 4. Sedapat mungkin hindari delegasi blangko Contoh : Pasal ... Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah 5. Hasil dari delegasi kewenangan, berupa Peraturan pelaksana 6. Kewenangan delegasi tidak diberikan, melainkan diwakilkan dan sifatnya sementara.

C. RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN


1. BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN a. Bahasa Peraturan perundang-undangan pada dasarnya hrs tunduk pada kaidah tata bahasa, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Bahasa tersebut bercorak sendiri, berciri kejernihan atau kejelasan penertian,kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai kebutuhan hukum. 2. untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi 3. Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari 2. PILIHAN KATA/ISTILAH 3. TEKNIK PENGACUAN

Anda mungkin juga menyukai