Anda di halaman 1dari 14

PROSES

PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG
Dosen Pembimbing: Vinny Octavia, SH, MH

M. YUSUF
2074201035
Undang-undang merupakan landasan hukum yang
yang menjadi dasar pelaksanaan dari keseluruhan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. “legal
policy” yang dituangkan dalam undang-undang,
menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang membuat
kebijaksanaan yang hendak dicapai pemerintah, untuk
mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru.
Didalam negara yang berdasarkan atas hukum
moderen (verzorgingsstaat), tujuan utama dari
pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan
kodipikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan
yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi
tujuan utama pembentukan undang-undang itu adalah
menciptakan modipikasi atau perubahan dalam
kehidupan masyarakat.
Saat ini undang-undang memberikan bentuk
yuridis terhadap campur tangan sosial yang dilakukan
oleh pembentuknya untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan negara. Undang-undang kini tidak lagi terutama
berfungsi memberi bentuk kristalisasi kepada nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat, melainkan memberikan
bentuk bagi tindakan politik yang menentukan arah
perkembangan nilai-nilai tersebut.
Teori dan Landasan
Pembentukan
Undang-Undang
Undang-undang (gezets) Undang-undang dipandang sebagai
adalah dasar dan batas bagi salah satu dari tiga fungsi utama
kegiatan pemerintah, yang pemerintahan yang berasal dari
menjamin tuntutan-tuntutan negara doktrin pemisahan kekuasaan.
berdasar atas hukum, dan adanya Kelompok yang memiliki kekuasaan
kepastian dalam hukum. formal untuk membuat legislasi
Menurut pendapat Peter disebut sebagai legislator (pembuat
Badura, dalam pengertian teknis undang-undang), sedangkan badan
ketatanegaraan Indonesia, undang- yudikatif pemerintah memiliki
undang ialah produk yang dibentuk kekuasaan formal untuk menafsirkan
bersama oleh Dewan Perwakilan legislasi, dan badan eksekutif
Rakyat dengan presiden, dalam pemerintahan hanya dapat bertindak
penyelengaraan pemerintahan dalam batas-batas kekuasaan yang
negara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal telah ditetapkan oleh hukum
20 UUD 1945 hasil perubahan perundangundangan.
pertama).
Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie),
dapat dikemukakan bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945,
Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunya Undang-
Undang Dasar, yaitu:

Undang-Undang Dasar 1945

Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Undang-Undang Dasar Sementara


Republik Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 yang diubah
(diamendemen) dengan empat kali perubahan
Undang-Undang dan Sistem Hukum

80%
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem
hukum. Karenanya, proses pembentukan undang-undang
akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut
oleh negara tempat undang-undang itu dibentuk.
Lawrence M. Friedman mengemukakan untuk memahami sistem
hukum dapat dilihat dari unsur yang melekat pada sistem hukum
itu sendiri, yakni: “sistem hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu:
struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal
substance), dan budaya hukum (legal culture)”.

Lebih lanjut dikemukakan, bahwa untuk mempermudahkan


pemahaman tentang sistem hukum, dapat dilakukan dengan:
“Mengambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan
mengibaratkan struktur hukum seperti mesin. Substansi adalah
apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh mesin. Budaya hukum
adalah siapa saja yang ingin mematikan dan menghidupkan
mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Satu saja komponen pendukung tidak berfungsi maka niscaya
sistem mengalami disfunction (kepincangan)”.
Bentuk Undang-Undang
01 Kepala Surat
(Struktur Naskah)
Kepala surat adalah bentuk formal penulisan
atau format kertas pengesahan suatu
undang-undang. Dari segi formatnya itu,
Undang-Undang Republik Indonesia selama
ini mempunyai kepala surat yang didahului
oleh lambang Bintang di antara lingkaran
Padi dan Kapas disertai dengan kata-kata
Presiden Republik Indonesia.
02 Judul 03 Pembukaan

Setiap undang-undang harus dirumuskan Judul dan panjangnya judul seringkali dipakai pula
dengan judul tertentu. Dalam rumusan judul sebagai pengganti pembukaan (preambule). Jika
itu dimuat keterangan mengenai jenis, nomor, naskah undang-undang dasar dan piagam biasanya
dimulai dengan “preambule” atau pembukaan, maka
tahun pengesahan, penetapan, atau
naskah undang-undang biasa dirumuskan tanpa
pengundangan, dan nama resmi undang- pembukaan. Namun, dalam hal pembukaan itu
undang yang bersangkutan. Dalam praktik di dirumuskan, seperti dalam undang-undang yang
berbagai negara, judul undang-undang bersifat khusus atau dalam undang-undang dasar,
kadang-kadang terdiri atas judul panjang maka pada pokoknya pembukaan itu adalah
(long title) dan judul singkat (short title). merupakan kalimat pengantar dimana objek, maksud
dan tujuan undang-undang yang bersangkutan
dibentuk diuraikan.
Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang,
pada pokoknya, berkaitan dengan 5 (lima) landasan pokok
bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam
undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang
diatur oleh undang-undang itu. Kelima landasan dimaksud
adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis, dan
landasan juridis, serta landasan yang bersifat administratif.
Empat landasan pertama, yaitu landasan filosofis,
sosiologis, politis, dan juridis bersifat mutlak, sedangkan satu
landasan terakhir, yaitu landasan administratif dapat bersifat
fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap
undang-undang. Sedangkan landasan administratif tidak
mutlak harus selalu ada. Dicantumkan tidaknya landasan
administratif itu tergantung kepada kebutuhan. Bahkan,
kadang-kadang landasan filosofis juga tidak dibutuhkan
secara mutlak.

04 KONSIDERAN
05 LANDASAN FILOSOFIS
Undang-undang selalu mengandung
norma-norma hukum yang di idealkan
(ideal norma) oleh suatu masyarakat ke
arah mana cita-cita luhur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara hendak
diarahkan. Karena itu, undang-undang
dapat digambarkan sebagai cermin dari
cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang
nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
melalui pelaksanaan undang-undang yang
bersangkutan dalam kenyataan. Karena itu,
cita- cita filosofis yang terkandung dalam
undang-undang itu hendaklah
mencerminkan cita-cita filosofis yang
dianut masyarakat bangsa yang
bersangkutan itu sendiri.
KETENTUAN UMUM
06 Dalam praktik di Indonesia, “Definition
Clause” atau “Interpretation Clause” biasanya
disebut dengan Ketentuan Umum. Dengan
sebutan demikian, seharusnya isi yang
terkandung di dalamnya tidak hanya terbatas
kepada pengertian-pengertian operasional
istilah-istilah yang dipakai seperti yang biasa
dipraktikkan selama ini.
Dalam istilah “Ketentuan Umum”
seharusnya termuat pula hal-hal lain yang
bersifat umum, seperti pengantar, pembukaan,
atau “preambule” undang-undang. Akan tetapi,
telah menjadi kelaziman atau kebiasaan sejak
dulu bahwa setiap undang-undang selalu
didahului oleh “Ketentuan Umum” yang berisi
pengertian atas istilah-istilah yang dipakai
dalam un-dang-undang yang bersangkutan.
Dengan demikian, fungsi ketentuan umum ini
persis seperti “definition clause” atau
10 “interpretation clause” yang dikenal di
berbagai negara lain.
07 KETENTUAN KHUSUS 08 KETENTUAN TAMBAHAN 09 KETENTUAN PERALIHAN

Di antara ketentuan pasal-pasal dalam Ketentuan Peralihan adalah


undang-undang, kadang-kadang terdapat ketentuan yang berisi norma
ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan Tambahan peralihan yang berfungsi
Pasal-pasal khusus itu biasanya (Additional Provisions) atau
dirumuskan dalam seksi atau sub-bab
mengatasi kemungkinan
Ketentuan Lain-Lain adalah terjadinya kekosongan hukum
tersendiri yang berisi norma kekecualian
terhadap ketentuan pokok dalam seksi atau
ketentuan yang berisi tambahan sebagai akibat peralihan normatif
sub-bab utama (the main section). Ketentuan norma terhadap substansi dari ketentuan lama ke ketentuan
pasal-pasal demikian itu biasa dinamakan pokok yang hendak diatur baru. Ketentuan peralihan ini
sebagai “provisio” yang dibedakan dari ke- dalam undang-undang. memuat penyesuaian terhadap
tentuan pada umumnya yang dalam bahasa Biasanya, Ketentuan Tambahan peraturan perundang-undangan
Inggeris disebut “provision”. Kata “provision” ini ditempatkan dalam bab yang
ini dalam bahasa Indonesia biasanya kita
yang sudah ada pada saat
tersendiri sebelum Ketentuan peraturan perundang-undangan
terjemahkan dengan “ketentuan”, sedangkan
“provisio” dapat saja kita terjemahkan dengan
Penutup atau bahkan sebelum yang baru mulai berlaku agar
istilah “ketentuan khusus” atau kita sebut Ketentuan Peralihan dan peraturan perundangundangan
“provisio” saja. Pada prinsipnya, ketentuan Ketentuan Penutup. Sesuai tersebut dapat berjalan lancar dan
yang disebut “provisio” tersebut merupakan dengan kebutuhan, kadang- tidak menimbulkan permasalahan
suatu kualifikasi tertentu terhadap norma kadang ketentuan tambahan ini hukum.
hukum yang bersifat umum yang terdapat dapat pula dimuat dalam
dalam suatu seksi atau subbab undang- Ketentuan Penutup.
undang.
10 KETENTUAN PENUTUP PENUTUP 11
Ketentuan Penutup berbeda Peraturan perundang-undangan dapat
dari Kalimat Penutup. Dalam dilengkapi dengan lampiran.
undang-undang, yang Lampiranlampiran itu merupakan bagian
biasanya dirumuskan yang tidak terpisahkan dari naskah
peraturan perundang-undangan yang
sebagai Ketentuan Penutup
bersangkutan. Dalam hal peraturan
adalah ketentuan yang perundang-undangan memerlukan lampiran,
berkenaan dengan maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas
pernyataan mulai berlakunya dalam batang tubuh disertai pernyataan
undang-undang atau mulai yang menegaskan bahwa lampiran tersebut
pelaksanaan suatu ketentuan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
undang-undang. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang
penutup dalam suatu bersangkutan. Pada akhir lampiran, harus
dicantumkan nama dan tanda tangan
undang-undang dapat pejabat yang mengesahkan/ menetapkan
memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang
pelaksanaan yang bersifat bersangkutan.
eksekutif atau legislatif.
Prosedur Pembentukan Undang-Undang

 Perencanaan Undang-Undang

 Penyusunan Undang-Undang

 Pembahasan Rancangan Undang-Undang

 Pengesahan Rancangan Undang-Undang

 Pengundangan

 Penyebarluasan
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai