Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PSIKOLOGI HUKUM TENTANG PERSOALAN

YANG SEDANG VIRAL

Psikologi hukum

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

MUHAMMAD YUSUF : 2074201035


JHON HASNUL : 2074201016
WAHYU ASTUTI : 2074201041
SADIRA ADNI : 22074201018
AZIZUL HAKIM :
ZEFRI ARMAS : 2074201009
MIRDAS ADITYA
RESKI RESMAWAN : 2074201025
SUTAN SYAHRIL

Dosen pembimbing : Devitra Romiza S.H. MH

UNIVERSITAS PAHLAWAN
TUANKU TAMBUSAI
RIAU
2022
Tugas
KEJAHATAN SADIS OLEH REMAJA:
ANALISA KASUS BEGAL SEPEDA MOTOR DI KOTA
DEPOK

: Psikologi remaja adalah bagian dari cabang disiplin ilmu psikologi perkembangan yang membahas
tentang permasalahan remaja. Psikologi remaja sangat menarik karena bentuk tingkah yang
dimunculkan pada masa remaja adalah bentuk tingkah laku peralihan, antara tingkah laku anak-anak
dengan tingkah laku orang dewasa. Karena berada pada masa peralihan, sehingga biasanya remaja
mengalami masalah dalam menyesuaikan diri. Remaja tidak mau di sebut anak-anak, dan belum pula
bisa disebut sebagai orang dewasa.

Abstrak: Rentang usia remaja adalah 10 tahun sampai 21 tahun menurut beberapa ahli. Fase remaja adalah
fase peralihan dari fase anak-anak menuju masa dewasa. Karakteristik yang bisa dilihat adalah adanya banyak
perubahan yang terjadi baik itu perubahan fisik maupun psikis. Perubahan fisik yang dapat dilihat adalah
perubahan pada karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang untuk anak
perempuan sedangkan anak laki-laki tumbuhnya kumis, jenggot serta perubahan suara yang semakin dalam.
Perubahan mentalpun mengalami perkembangan. Pada fase ini pencapaian identitas diri
sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis. Periode ini disebut fase pubertas (puberty)
yaitu suatu periode dimana kematangan kerangka atau fisik tubuh seperti proporsi tubuh, berat dan tinggi badan
mengalami perubahan serta kematanagan fungsi seksual yang terjadi secara pesat terutama pada awal masa
remaja. Kebutuhan lain dari remaja adalah teman sebaya, dimana teman sebaya adalah sangat penting bagi
remaja untuk mengenal dunia diluar keluarga. Namun dalam interaksinya, remaja sering mengalami tekanan
untuk mengikuti teman sebaya atau yang disebut konformitas (conformity) yang sangat kuat. Konformitas ada
yang positif dan negatif. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap, atau tingkah laku orang lain
dikarenakan ada tekanan nyata maupun yang tidak nyata. Perilaku remaja yang menyimpang seperti berbuat
onar, mencuri dan lain lain perlu mendapat perhatian khusus bagi orangtua, guru dan pemerhati pendidikan.
Pertentangan dan pemberontakan adalah bagian alamiah dari kebutuhan para remaja untuk menjadi dewasa
yang mandiri dan peka secara
Kata kunci: Begal, kenakalan remaja, kejahatan sadis, remaja.
Pembegalan tidak hanya dilakukan oleh menghimpun dan menganalisa literatur yang
orang dewasa, tapi juga oleh remaja. Pada tahun terkait begal dan anak muda, baik dalam bentuk
2015, kasus pembegalan oleh remaja pertama literatur ilmiah maupun informasi dari media
kali mencuat di Depok. Pelaku D (19) dan IS (18) massa.
menodongkan pisau kepada seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang sedang duduk-duduk di Masa Remaja
pinggir jalan di pusat perbelanjaan Grand Depok Pada dasarnya tidak ada definisi standar
City. Kejadian itu tercatat pada tanggal 1 Februari mengenai remaja (American Psychological
2015. Selanjutnya, kasus pembegalan yang Association (APA) 2002:1). Meskipun banyak
dilakukan oleh APW (13) dan ARS (13) terhadap diterangkan dalam batasan usia, usia kronologis
tukang ojek bernama Suheri (54) pada tanggal 13 hanyalah salah satu cara untuk mendefinisikan
Maret 2015. Kedua bocah itu mengancam Suheri remaja. Remaja dapat juga diartikan dalam bentuk
dengan menggunakan senjata tajam berupa pisau lain, dengan memerhatikan faktor perkembangan
lipat dan gir besi yang mereka bawa. fisik, sosial, dan kognitif. Erikson menekankan
Pada Tahun 2022 Peristiwa pembegalan aspek perubahan sosial dan kognitif, sama seperti
terjadi lagi ada seorang bapak, ingin belanja Piaget (Manaster, 1989). Borring, dkk (Hurlock,
kepasar sekitar pukul 03.00 dini hari pas bapak 1990) mengatakan bahwa remaja adalah periode
tersebut sampai didepan gang rumah dia dihampiri atau periode perkembangan seseorang dalam
oleh belasan remaja dan bapak itu dianiaya transisi dari anak-anak yang bertumbuh terbalik,
motornya diambil dan sejumlah uang untuk mebeli meliputi semua perkembangan yang dialami untuk
barang dagangannya juga diambil diantara belasan mempersiapkan kedewasaan. Sedangkan Monks,
pemuda remaja itu ada seorang remaja perempuan dkk (Hurlock, 1990) menekankan bahwa remaja
setelah mengambil sepeda motor dan sejumlah adalah waktu dimana individu mengembangkan
uang mereka melarikan diri. Dan meninggalkan tanda-tanda penyalahgunaan seksual yang pertama
bapak itu dengan keadaan luka luka. Sampai polisi kali terlihat, perkembangan psikologis yang
melakukan pengejaran terhadap remaja yg diderita dan pengindentifikasian pola-pola kanak-
diketahui identitasnya.Pembegalan adalah kanak menuju masa dewasa, seiring dengan
kejahatan yang melampaui ruang perilaku normal perubahan dari ketergantungan sosial dan ekonomi
kenakalan remaja. Sistem sosial dan hukum penuh kepada keadaan kemandirian.
Indonesia masih rancu dalam membedakan Mengacu pada panduan American
kenakalan dan kejahatan. Batasan yang belum jelas Psychological Association (APA, 2002), maka
ini seringkali bersandar pada hati nurani dalam tulisan ini akan mendefinisikan remaja dengan
memutuskan hukuman atas pelanggaran norma. batasan umur 10 sampai 18 tahun. Konsep umur
Hal ini menyebabkan bervariasinya upaya ini dalam pengaturan hukum di Indonesia
pendisiplinan yang berakibat pada lemahnya dimasukkan dalam pengertian anak, sebagaimana
konsistensi dalam upaya mengubah perilaku yang tercatat dalam pasal 1 angka 1 Undang
remaja yang menyimpang. Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Akan tetapi, dapatkah kita memperlakukan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
pembegalan yang termasuk kejahatan dengan Tentang Perlindungan Anak, dimana berbunyi
kekerasan, bahkan tergolong kejahatan sadis, sebagai berikut:
sebagai suatu bentuk kenakalan remaja? “Anak adalah seseorang yang belum berusia
Bagaimana suatu kenakalan bergeser menjadi 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
kejahatan oleh remaja? Keterlibatan remaja dalam masih dalam kandungan.”
kejahatan sadis ini perlu menjadi perhatian, karena
menunjukkan perilaku menyimpang sejak dini. Kenakalan Remaja vs Kejahatan Remaja
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Kenakalan remaja secara historis berasal
kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dari konseptualisasi dan definisi legal-judicial
yakni dengan mendeskripsikan hubungan antara (Ollendick (Ed), 1989:197). Akan tetapi,
kasus-kasus pembegalan oleh remaja dengan pandangan hukum atas kenakalan tidak langsung
kondisi sosial budaya dan geografis di Kota terkait dengan kenakalan sebagai suatu patologi.
Depok. Penulis mencoba menggambarkan Alasannya adalah hakikat perilaku dan pola
peristiwa pembegalan dihubungkan dengan faktor- kenakalan yang heterogen, sebagaimana beriringan
faktor sosial yang berkaitan. dengan variasinya dalam pemaknaan sosial
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan dan psikologikal. Untuk menempatkan definisi
data adalah dengan studi kepustakaan, yaitu kenakalan sebagai psikopatologi dalam perspektif
yang tepat, telah tersedia beberapa deskripsi
kenakalan, dimulai dengan “perilaku kenakalan”
(Ollendick (Ed),1989:198).
Istilah perilaku kenakalan meliputi semua 1993, Elliot (Papalia, Old, & Feldman, 2008:622)
tindakan yang dilarang hukum. Bagi pelaku menulis bahwa remaja yang tidak melihat alternatif
remaja, perilaku nakal meliputi dua bentuk: positif lebih cenderung mengadopsi gaya hidup
(1) Pelanggaran status, yaitu yang menjadi antisosial secara permanen.
terlarang karena dibatasi usia pelaku, misalnya Akan tetapi, mereka yang terkait dengan
membolos, lari dari rumah, kepemilikan dan pelanggaran serius kemungkinan terpengaruh,
konsumsi alkohol, dan pelanggaran generik yang dan memperkuat perilaku-perilaku antisosialnya
lebih ambigu seperti perilaku “tidak dapat (Dishion, McCord, & Paulin, 1999, dalam APA,
diperbaiki” atau “di bawah pengawasan orang tua”. 2002:32). Hal ini dapat terjadi jika perilaku
(2) Pelanggaran nonstatus, disebut juga kejahatan tersebut dilakukan berulang-ulang. Dengan begitu,
indeks (index crimes), meliputi rangkaian perilaku perilaku menyimpang yang terus diperkuat akan
ilegal standar, mulai dari pelanggaran ringan menimbulkan pengaruh kepada remaja dan sulit
hingga pembunuhan tingkat satu. Pelanggaran dihilangkan ketika memasuki masa dewasa.
umum yang dilakukan remaja, misalnya: Di Amerika, perilaku kekerasan oleh remaja
penyerangan minor dan perampokan. Pelanggaran disebabkan pertama, ketidakdewasaan otak remaja,
yang lebih serius, misalnya: perampokan khususnya prefrontal cortex merupakan bagian
bersenjata, penyerangan yang menyebabkan luka, penting untuk melakukan penilaian dan memicu
pemerkosaan, dan pembunuhan. kekerasan. Kedua, akses kepada senjata dalam
Sementara itu, istilah resmi kenakalan kultur yang “meromantisasi permainan senjata”
mengacu pada fakta bahwa agen dan agensi (Papalia, Old & Feldman, 2008:624).
komunitas telah mengidentifikasikan secara Konsep kenakalan seringkali dikaitkan dengan
formal individu-individu yang melakukan perilaku upaya remaja untuk menemukan jati dirinya. Pada
kenakalan. Identifikasi ini biasanya melalui kebanyakan remaja yang bertingkah, perilaku
laporan polisi atau catatan pengadilan remaja. mereka merupakan cerminan jurang antara
Kenakalan resmi meliputi penyeleksian perilaku kedewasaan biologis dan sosialnya (APA,
kenakalan yang selektif, karena mengindikasikan 2002:32). Beberapa penelitian mengenai kenakalan
pelakunya ditangkap dan pelanggaran remaja menunjukkan adanya faktor internal
membutuhkan aksi formal semisal penangkapan. determinan, antara lain: konsep diri yang rendah
Dalam ilmu psikologi, Santrock (1995) (Yulianto, 2014:76), penyesuaian sosial, dan
mendefinisikan kenakalan remaja sebagai kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah
rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku (Setianingsih, Uvun, & Yuwono, 2006:33).
yang tidak dapat diterima secara sosial, sampai World Youth Report (United Nations,
pada perilaku-perilaku kriminal. Dijelaskan oleh 2003:191) mengingatkan bahwa meskipun
Moffit bahwa remaja melakukan tindak kenakalan kenakalan merupakan karakteristik umum pada
secara impulsif, jika ditangani dengan cara yang periode dan proses menuju dewasa, perlu diingat
mengurangi keinginan mereka untuk melakukan bahwa adakalanya remaja menciptakan kelompok
perilaku tersebut dan mengembalikannya pada kriminal yang stabil yang memiliki hubungan
jalur yang benar, kebanyakan bentuk perilaku subkultur dan mulai melakukan aktivitas kejahatan
kenakalan tersebut akan hilang pada saat dewasa orang dewasa. Scott dan Steinberg (2008:19)
(Moffit, 1993, dalam APA, 2002:32). Moffitt juga mencatat ciri-ciri yang membedakan pelaku
menambahkan pada tulisannya yang lain bahwa kejahatan remaja dengan orang dewasa, yaitu
pada awal usia 20-an, jumlah pelaku kriminal meliputi: kurangnya kemampuan mengambil
remaja aktif berkurang hampir 50%, dan pada usia keputusan, lebih rentan terhadap koersi eksternal,
28, sebanyak 85% remaja nakal berhenti dan karakter remaja yang relatif belum terbentuk.
melakukan tindakan kenakalan (Blumstein & United Nations (PBB/Persatuan Bangsa-
Cohen, 1987; Farrington, 1986, dalam Moffitt, Bangsa) merangkum 10 penyebab terbentuknya
1993). Senada dengan pendapat tersebut, Petersen jalur menuju kejahatan remaja (2003:193-198),
(Papalia, Old, & Feldman, 2008:622) menekankan yaitu:
bahwa kenakalan remaja mencapai puncaknya 1. Faktor Ekonomi dan Sosial
pada usia 15 tahun dan kemudian mereda. Kenakalan remaja didorong oleh konsekuensi
Sebagian besar remaja tidak menjadi penjahat negatif perkembangan sosial dan ekonomi,
ketika dewasa. Mereka berdamai dengan dorongan terutama krisis ekonomi, ketidakstabilan
pemberontakan ketika mencapai kesepakatan soal politik, dan melemahnya lembaga-lembaga
kebutuhan independensi anak muda. Akan tetapi, penting (negara, sistem pendidikan publik
dalam tulisannya pada tahun dan layanan umum, dan keluarga). Hal ini
berhubungan langsung dengan kurangnya Inkonsistesi orang tua menjadi akar upaya
lapangan pekerjaan dan rendahnya anak untuk menarik perhatian—sekaligus
penghasilan, sehingga meningkatkan menuntut kasih sayang—dengan cara-cara
kecenderungan untuk melakukan kejahatan. yang menyimpang. Anak-anak yang
2. Faktor Budaya “bermasalah” diasuh dengan cara yang tidak
Ketika norma perilaku yang semestinya efektif, yang sering kali mengarah kepada
mengarahkan moral telah dihancurkan, orang perilaku nakal pada masa remaja. Tanpa
cenderung merespons perubahan dramatis pengawasan melekat dan konsisten, seorang
dan destruktif dengan perilaku menyimpang. remaja rentan terhadap tekanan teman sebaya
Budaya kekerasan menjadi bagian yang tidak (Papalia, Old, & Feldman, 2008:615). Remaja
terlepaskan dari runtuhnya nilai moral. antisosial cenderung memiliki konflik dengan
3. Urbanisasi orang tua, yang biasanya disebabkan oleh
Analis geografi menyatakan bahwa negara faktor genetik (Papalia, Old, & Feldman,
dengan populasi urban lebih banyak memilki 2008:621).
tingkat kejahatan lebih tinggi dibandingkan 5. Migrasi
mereka memiliki gaya hidup dan komunitas Imigran sering berada pada ambang batas
perdesaan yang kuat. komunalisme dan status ekonomi, serta
Studi demografi menunjukkan bahwa memiliki sedikit peluang sukses. Migrasi yang
komunitas urban memiliki ciri: (1) tidak terkontrol menyebabkan perubahan
heterogenitas budaya bersamaan dengan insititusi sosial yang berperan dalam
perbedaan kepercayaan dan perilaku; (2) kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan
perbedaan antara anggota kelompok, dengan penduduk yang melebihi kemampuan
hubungan antar orang terbatas pada kebutuhan kota untuk menampung dan memberikan
tertentu; (3) meningkatnya mobilitas, sifat penghidupan hanya akan menyebabkan
umum dan anonimitas; dan (4) variasi usia, peningkatan area kumuh, penghuni liar dan
ras, etnisitas, norma dan nilai.4 Hal ini penjajah di trotoar5.
menyebabkan area perkotaan memiliki lebih 6. Media
banyak sudut yang memungkinkan terjadinya Media menyampaikan budaya kekerasan
kejahatan. kepada remaja melalui film yang bertema
4. Keluarga kekerasan, berita kekerasan sehari-hari, dan
Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang tampilan kekerasan yang tidak realistis.
memiliki supervisi orang tua yang cukup, Televisi dianggap mengubah nilai-nilai
akan lebih sedikit kemungkinannya untuk manusia dan mengarahkan anak-anak secara
melakukan aktivitas kriminal. Pengaturan tidak langsung untuk melihat kekerasan
keluarga yang disfungsi—dicirikan dengan sebagai cara berani dan diinginkan untuk
adanya konflik, kontrol orang tua tidak cukup, menegakkan keadilan (United Nations,
hubungan internal dan integrasi yang lemah, 2003:196).
dan otonomi terlalu dini—berasosiasi dengan 7. Eksklusi
kenakalan remaja (United Nations, 2003: Semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan
195). Kenakalan remaja memiliki akar di miskin telah menciptakan hambatan, rusaknya
awal masa kanak-kanak. Oleh karena itu, ikatan sosial, pengangguran dan krisis
orang tua sebagai pengasuh anak memiliki identitas. Sistem kesejahteraan cukup
peranan penting, bukan hanya memberikan membantu, meski tidak menghapus posisi
nutrisi kepada anak agar dapat tumbuh sosio-ekonomi sederhana untuk suatu
kembang sehat dan optimal, tapi juga kelompok tertentu.
memberikan nilai- nilai awal untuk 8. Pengaruh teman sebaya
membentuk moral. Teman sebaya dalam kelompok remaja
Komunikasi yang baik antara orang tua dan nakal memiliki pengaruh besar dalam proses
anak merupakan kunci untuk menjaga anak menuju masa dewasa. Banyak penelitian
dari kenakalan remaja, apalagi kejahatan yang menunjukkan bahwa anggota komplotan
sadis. remaja menganggap kelompoknya sebagai
4
Celia V. Sanidad-Leones. tt. “The Current Situation keluarga. Menjadi bagian suatu kelompok
of Crime Associated with Urbanization: Problems telah memberikan rasa aman kepada
Experience and Countermeasures Initiated in the anggotanya.
Phillipines,” www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No68/ Anak-anak yang nakal saling tertarik dengan
sesama mereka. Remaja juga lebih mudah
mengubah keputusan dan menyesuaikan
No68_13VE_Leones1.pdf, diakses tanggal 4 November
2015. 5
Op.Cit
perilakunya sebagai respons terhadap tekanan Kata sadisme diperkenalkan oleh Krafft-
rekan sebayanya (Scott & Steinberg, 2008). Ebing pada akhir abad ke-19, awalnya berasal
Mereka yang berperilaku buruk di sekolah dan dari kesenangan seksual yang didapat dari
tidak betah bersama teman-teman sekelasnya menimbulkan sakit dan penderitaan pada orang
yang sopan, mereka yang tidak populer dan lain. Seiring berjalannya waktu, istilah ini meluas
berprestasi rendah saling tertarik satu dengan dan meliputi kesenangan yang berasal dari perilaku
yang lain dan saling menguatkan perilaku sadistis di luar konteks seksual (Myers, Burket,
yang salah (G.R. Patterson, Reid, & Dishion, & Husted, 2006:61). Dulu Sadistic Personality
1992; Vitaro, Tremblay, Kerr, Pagani, & Disorder (SPD) diberikan sebuah klasifikasi
Bukowsko, 1997, dalam Papalia, Old, & sendiri dalam Diagnostic and Statistical Manualof
Feldman, 2008:621). Mental Disorder (DSM) untuk membedakan
Berperilaku buruk tidak selalu memberikan dengan Antisocial Personality Disorder (APD)
konsekuensi sosial yang buruk. Berbeda atau Psikopati. Sadistik menjadi terminologi
dengan bayangan orang, ternyata mereka psikologi yang diasosiasikan dengan gangguan
yang melakukan kekerasan tidak mengalami kejiwaan. SPD terakhir terdata di DSM III-TR dan
kesulitan berteman. Remaja dengan perilaku dihilangkan dari versi DSM berikutnya. Beberapa
kekerasan sering dipandang sebagai individu ahli, seperti Theodore Millon menganggap
yang lebih dewasa. Remaja yang terus penghapusan ini sebagai kesalahan dan berharap
berkelakuan nakal terlihat melompati jarak agar dimasukkan kembali dalam DSM mendatang.
kedewasaan, dengan begitu sebayanya SPD dicirikan dengan pola kekejaman
memandang mereka sebagai subjek populer serampangan, agresi, dan perilaku merendahkan,
dan patut dicontoh, meskipun mereka tidak yang mengindikasikan adanya penghinaan
perlu berteman dengan remaja nakal ini mendalam terhadap orang lain dan rendahnya
untuk dapat dipengaruhi (Rulison, Kreager, & empati. Beberapa pelaku sadis adalah “utilitarian”:
Osgood, 2014). mereka melakukan kekerasan yang eksplosif
9. Identitas Nakal untuk membangun posisi dominasi yang tidak
Remaja yang bergabung dengan kelompok terbantahkan dalam hubungan.
nakal dilatari oleh kemungkinan peningkatan Mereka yang mengalami SPD merasakan
sosial dan ekonomi. Dalam teori Identitas kepuasan dengan melihat penderitaan orang
Sosial yang dikembangkan Henri Tajfel lain. Mereka juga senang mempermalukan orang
pada tahun 1957, dijelaskan bahwa identitas lain di depan khalayak. Dengan begitu, mereka
sosial dibentuk berdasarkan keanggotaan merasa memiliki kekuasaan terhadap korban yang
seseorang dalam suatu kelompok sosial, dipermalukan. Penderita gangguan ini menekankan
yang menyangkut nilai-nilai dan hubungan kekuasaannya atas orang-orang terdekat: bawahan,
emosionalnya. Oleh karena itu, remaja yang anak, murid, narapidana, pasien atau pasangan;
bergabung dalam kelompok kriminal tertentu karena mereka gila akan kontrol dan mengganggap
akan ikut melakukan tindakan kriminal, dirinya melakukan upaya pendisiplinan. Dalam
karena merasa bagian dari kelompok. beberapa kasus, mereka melakukan banyak cara
10. Pelaku dan Korban untuk menyakiti orang lain, termasuk berbohong,
Orang-orang yang menjadi korban kejahatan menipu, melakukan kejahatan, bahkan berkorban
memiliki karakteristik yang memprovokasi hanya agar mereka dapat menikmati penderitaan
atau memfasilitasi terjadinya hal tersebut, orang lain. Oleh karena itu, para penderita SPD
seperti status individu atau keluarga, menguasai teknik penganiayaan dan initimidasi.
kesejahteraan finansial, dan keselamatan, juga Para pembunuh sadis melakukan pembunuhan
waktu dan tempat yang mendukung. berantai dan belajar dari pembunuh sadis lainnya.
Sadistic Crime Psikolog forensik Park Dietz menggambarkan
Sifat sadis merupakan pembeda antara psikologi sadisme sebagai suatu dorongan penting
tindakan kriminalitas pencurian motor dengan untuk menguasai orang lain secara penuh, untuk
begal. Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat membuatnya menjadi objek yang tak berdaya atas
pengertian sadis sebagai berikut: keinginan pelaku, untuk benar-benar mengontrol,
sa.dis menjadi Tuhan bagi korban, dan memperlakukan
[a] tidak mengenal belas kasihan; kejam; korban semau pelaku (Hickey, 2015:190).
buas; ganas; kasar: dng-- mereka menghukum Roger J. R. Levesque mengutip DSM II-R
tawanannya; (2) n orang yg sadis. yang mendeskripsikan SPD sebagai awal dari
dewasa muda dan sebagai tampilan pola perilaku
kekejaman, merendahkan, dan agresif yang Lebih jauh, Sarjana Capelli membagi tipe
pervasif. Manual juga menuliskan bahwa untuk penjahat sebagai berikut (Kartono, 2009:150-151):
dapat didiagnosis sebagai gangguan, maka 1. Penjahat yang melakukan kejahatan didorong
setidaknya harus memenuhi 4 kejadian berulang oleh faktor psikopatologis, dengan pelaku-
dalam daftar karakteristiknya (Levesque, 2011). pelakunya:
Meskipun diagnosisnya kurang diterima, a. Orang yang sakit jiwa
penelitian tentang gangguan kepribadian sadistik b. Berjiwa abnormal, namun tidak sakit jiwa;
terus berkembang dan melibatkan sampel 2. Penjahat yang melakukan tindak pidana oleh
remaja. Penelitian menemukan tingginya tingkat cacat badan-rohani, dan kemunduran jiwa
gangguan atau sifat kepribadian sadistik yang raganya:
pada pasien psikiatri remaja (Myers et al. 2006, a. Orang-orang dengan gangguan jasmani-
dalam Levesque, 2011:2445) dan remaja pelaku rohani sejak lahir dan pada usia muda,
pembunuhan seksual (dengan 4 dari 14 orang sehingga sukar dididik dan tidak mampu
mengalami SPD) (Myers and Monaco 2000, dalam menyesuaikan diri terhadap pola hidup
Levesque, 2011: 2445). Studi yang lain mengambil masyarakat umum.
sampel mahasiswa dan menemukan tingkat SPD b. Orang-orang dengan gangguan jasmani-
mencapai 5,7% (Coolidge dkk., 2001). Yang rohani sejak lahir dan pada usia lanjut
paling penting, meskipun penelitian-penelitian (dementia senilitas), cacat/invalid oleh
terakhir tidak melaporkan diagnosa dan tidak suatu kecelakaaan, dan lain-lain.
mewakili sampel, tapi menunjukkan bahwa 3. Penjahat karena faktor-faktor sosial, yaitu:
tendensi sadisme dapat dianggap prevalen a. Penjahat kebiasaan;
(Levesque, 2011). b. Penjahat kesempatan oleh kesulitan
SPD jelas berkaitan erat dengan kejahatan. ekonomi atau kesulitan fisik;
Melitta Schmideberg membedakan tindakan c. Penjahat kebetulan, yang pertama
kejahatan menjadi 5 tipe, yaitu (Schmideberg, kali melakukan kejahatan kecil secara
1946-1947: 458): kebetulan; kemudian berkembang lebih
1. Orang biasa yang terdorong berbuat sering lagi, lalu melakukan kejahatan-
jahat karena kondisi eksternal yang tidak kejahatan besar;
tertahankan; d. Penjahat-penjahat berkelompok seperti
2. Orang yang tampak normal yang terbawa melakukan penebangan kayu dan
impuls; pencurian kayu di hutan-hutan, pencurian
3. Kriminal neurotik yang dipengaruhi dorongan massal di pabrik-pabrik, pembantaian
luar dan dorongan tidak sadar secara secara bersama-sama, penggarongan,
seimbang. Ia menganggap tendensi perampokan, dan sebagainya.
kriminalnya sebagai sesuatu yang asing dan
berusaha melawannya; Kontribusi gangguan jiwa dalam kejahatan
4. Kriminal asli yang bangga mengeksploitasi dijelaskan dalam teori penyakit jiwa, yang
kejahatan sebagai cara mengekspresikan sikap menyatakan bahwa kejahatan dilakukan oleh
anti sosialnya. Tipe ini merupakan penjahat individu-individu yang berkelainan. Penyakit jiwa
yang paling berbahaya karena ia menyadari tersebut berupa psikopat dan defek moral. Dr.
betul kejahatan yang dilakukannya dan tidak Kartini Kartono menjelaskan psikopat sebagai
mengalami konflik batin karenanya; bentuk kekalutan mental yang ditandai dengan
5. Kelompok kriminal yang perilakunya berasal tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian
dari kekurangan mental atau penyakit organik. pribadi; orangnya tidak pernah bisa bertanggung
jawab secara moral dan selalu berkonflik dengan
Schmideberg melihat perlunya motif internal norma-norma sosial serta hukum, dan biasanya
dan eksternal untuk melabeli seseorang sebagai juga bersifat immoral (Kartono, 2009:160).
kriminal. Orang yang mencuri karena kelaparan Mereka yang menderita kelainan ini memiliki pola
jarang dianggap kriminal, meskipun perbuatannya tingkah laku dan relasi sosial yang bersifat asosial,
melanggar hukum. Untuk kasus ini, masyarakat eksentrik, kurang memiliki kesadaran sosial dan
cenderung menyalahkan perbuatan, bukan intelejensi sosial. Fanatisme dan egosentris juga
orangnya. Oleh karenanya permasalahan ini lebih terlihat dalam gaya berperilakunya.
dikategorikan masalah sosial. Begitu juga dengan Sedangkan efek moral dicirikan dengan
kelompok kelima yang melakukan kejahatan individu yang hidupnya jahat, selalu melakukan
karena adanya permasalahan kesehatan, dapat kejahatan kedurjanaan, dan bertingkah laku asosial
dikategorikan sebagai problem medis.
atau anti sosial, walaupun dirinya tidak terdapat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama
penyimpangan atau gangguan intelektual (tapi sembilan tahun pencurian yang didahului,
ada disfungsi atau tidak berfungsinya intelegensi) disertai atau diikuti dengan kekerasan atau
(Kartono, 2009:161). Mereka ini tidak memiliki ancaman kekerasan, terhadap orang dengan
kemampuan untuk mengenal, memahami, maksud untuk mempersiapkan atau pencurian,
mengendalikan, dan mengatur tingkah laku yang atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
salah dan jahat. memungkinkan melarikan diri sendiri atau
Defisiensi moral menyebabkan orang peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai
kehilangan rasa belas kasihan. Meskipun tidak barang yang dicuri.
selalu menikmati, seperti para penderita sadistik, (2) Diancam dengan pidana penjara paling lama
namun mereka tidak memiliki kemampuan untuk dua belas tahun:
menahan diri dari menyakiti orang lain. Jumlah 1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu
pembunuh kejam dengan defisiensi moral dua malam dalam sebuah rumah atau
kali lipat dari pembunuh normal, begitu juga pekarangan tertutup yang ada rumahnya,
piromaniak (pembakar) dan pedofil. Menurut di jalan umum, atau dalam kereta api atau
Kartono (2009:162), penjahat habitual tidak lebih trem yang sedang berjalan.
besar tubuhnya, bahkan sering mengalami kelainan 2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang
jasmani. Adanya disposisi dan konstitusi psikis atau lebih dengan bersekutu.
yang abnormal lebih menentukan pertumbuhan 3. Jika masuk ke tempat melakukan
menjadi defek moral. kejahatan dengan merusak atau memanjat
Orang dengan SDP kehilangan kemampuan atau dengan memakai anak kunci palsu,
untuk merasakan rasa sakit orang lain. perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Sebagaimana yang ditulis Sam Vaknin, para 4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka
psikopat kekurangan perlengkapan untuk berat.
menggunakan berbagai variasi abstrak dan (3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka
psikologis untuk menghubungkan dengan orang diancam dengan pidana penjara paling lama
lain. Mereka hanya mengerti satu bahasa: minat- lima belas tahun.
pribadi (Vaknin). Dialog inner dan bahasa (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana
pribadinya berkisar di antara pengukuran kegunaan penjara seumur hidup atau selama waktu
semata. Mereka melihat orang lain hanya sebagai tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
objek, instrumen gratifikasi, dan representasi perbuatan mengakibatkan luka berat atau
fungsi-fungsi. kematian dan dilakukan oleh dua orang atau
Sam melanjutkan bahwa empati hanya sedikit lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh
berhubungan dengan orang yang kita empatikan. salah satu hal yang diterangkan dalam no.1
Ini hanyalah hasil dari pengkondisian dan dan 3.
sosialisasi. Ketika seseorang menyakiti orang lain,
ia tidak merasakan sakit itu. Meskipun demikian, Akan tetapi, untuk kejahatan yang dilakukan
kita merasakan sakit sendiri akibat menyakiti oleh anak berlaku ketentuan UU Nomor 11 Tahun
orang lain (Vaknin, tt). Reaksi atas rasa sakit 2012, yaitu dengan diversi sebagaimana yang
itulah yang diprovokasi oleh diri kita sendiri, tercantum dalam Pasal 7:
karena kita diajarkan bahwa menyakiti orang lain (1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
membuat kita merasa sakit (atau merasa bersalah). pemeriksaan perkara Anak di pengadilan
Akan tetapi, mereka yang menderita gangguan di negeri wajib diupayakan Diversi.
atas tidak mengindahkan perasaan tersebut. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Kejahatan dengan kekerasan menunjukkan dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain. dilakukan:
Selain merupakan indikasi adanya gangguan a. diancam dengan pidana penjara di bawah
kejiwaan, dalam konteks yang lebih umum 7 (tujuh) tahun; dan
kejahatan begal merupakan bentuk ketidakpuasan. b. bukan merupakan pengulangan tindak
pidana.
Pengaturan Pembegalan Remaja Pengecualian dicantumkan dalam penjelasan
Pembegalan merupakan salah satu tindak Pasal 9 UU Nomor 11 Tahun 2012 ini bahwa
kejahatan yang diatur dalam Pasal 365 Kitab untuk tindak pidana serius, misalnya pembunuhan,
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme,
berbunyi: yang diancam pidana di atas 7 tahun tidak dapat
dilakukan Diversi. Oleh karena itu, pembegal
remaja yang menyebabkan korbannya terbunuh
tidak dapat memperoleh keringanan hukuman.
Permasalahannya hukuman penjara belum tepat
untuk mengoreksi penyimpangan perilaku remaja
ini. Penyimpangan perilaku yang dilakukan di
masa muda harus segera diperbaiki dan
pengurungan tidak dapat diandalkan untuk
melakukan tugas tersebut.
Media juga berperan besar untuk membentuk menjadi tidak puas, ketika yang diterima orang
persepsi kenakalan remaja. Depok sebagai kota lain lebih baik daripada dirinya. Selain itu,
digital memiliki akses dan fasilitas yang sama remaja yang membegal untuk mendapatkan
terdepannya dengan ibukota dalam hal teknologi motor menunjukkan keinginan memperoleh
informasi dan komunikasi. Pengguna internet di hasil secara cepat dan instan.
Depok menempati peringkat ke-3 se-Indonesia. B. “Balas dendam karena pernah dibegal”
Ketergantungan masyarakat terhadap internet merefleksikan pola pikir remaja yang mentah
menyebabkan tingginya tingkat keterpaparan dan ingin menyelesaikan permasalahan tanpa
informasi negatif. Di zaman kebebasan pers ini, berpikir panjang. Adanya ketidakdewasaan
setiap media massa harus berlomba mencari otak remaja yang menyebabkan hambatan
pembaca. Akibatnya tren sensasi yang dulu hanya dalam melakukan penilaian dan memicu
digunakan jurnalisme kuning (semacam Harian kekerasan. Ditambah pula mudahnya akses
Umum Pos Kota, Lampu Hijau, dsb) pun terhadap senjata tajam, meskipun yang
digunakan oleh media nasional yang selama ini digunakan bukan senjata tajam profesional.
dianggap “elegan”. Teknik sensasi banyak
digunakan untuk menarik minat pembaca terhadap Kedua kasus di atas merefleksikan cara pikir
berita kriminal. Permasalahannya adalah membaca remaja yang belum matang, impulsif dan menyukai
berita kriminal dapat memberikan dorongan bagi hal-hal instan. Tindak kejahatan begal yang
tindakan kriminalitas berikutnya. Apalagi jika mereka lakukan memenuhi ciri tipe 2 tindak
dalam berita itu tidak menghasilkan efek kejahatan yang dibagi oleh Melitta Schmideberg,
menakutkan yang membuat jera pelakunya, yaitu orang yang tampak normal yang terbawa
misalnya dengan penyelesaian yang mudah, atau impuls.
pelaku tidak tertangkap. Sepanjang tahun 2015, Setidaknya ada 3 aspek psikologi yang dapat
dari 22 kasus hanya 17 kasus begal yang diulas untuk menjelaskan fenomena ini, yakni:
diselesaikan Polresta Depok. Kasus yang penerimaan diri, penguatan perilaku, dan sistem
melibatkan anak-anak dan remaja tidak dilanjutkan pendukung sosial.
beritanya. Penerimaan Diri
Pelaku begal memilih korban ketika berada Remaja yang tidak mendapat pengawasan
di tempat yang sepi, seperti malam hari atau di dan arahan yang tepat dari orang dewasa
jalanan yang lengang. Dengan adanya kebijakan cenderung berpaling kepada teman sebaya. Mereka
untuk membatasi waktu operasional minimarket memengaruhi gaya komunikasi, gaya berperilaku
di Depok, suasana tengah malam di kota tersebut di masyarakat sebagai bentuk upaya bertahan
menjadi rawan. hidup secara sosial. Tidak jarang remaja menjadi
Dari penulusuran data yang berasal dari patuh dan mengikuti pola perilaku teman
media massa, ditemukan alasan pembegal remaja sebayanya. Remaja menjadi bagian dari tindakan
melakukan aksinya, yaitu sebagai berikut: kriminal, karena dorongan untuk menjadi seperti
A. “Uang jajan tambahan“ dan “ingin orang lain. Mereka ingin diperlakukan sama,
mendapatkan motor” menunjukkan adanya dihargai dan melihat bahwa kepemilikan materi
keinginan untuk mendapatkan akses finansial menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan status
lebih dari yang sudah dimiliki. Remaja sering tertentu.
terjerumus dalam tindakan melanggar hukum, Penguatan Perilaku
karena ingin mendapatkan kesenangan sesaat Berita kriminalitas begal menjadi marak dan
seperti yang dimiliki orang lain. Mereka menimbulkan kesan bahwa kejahatan itu sulit
membandingkan diri dengan orang lain dan untuk diberantas. Hal ini memberikan motivasi
bagi pelaku begal untuk terus melancarkan
aksinya. Bahkan meskipun tertangkap, pelaku
begal remaja tidak mendapat hukuman yang
membuat jera.
Akan tetapi, ketika pembegalan dilakukan
oleh anak, maka berlakulah Undang Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Undang-undang ini mengedepankan
pendekatan keadilan restoratif dan diversi.
Pengaturan secara tegas mengenai Keadilan
Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan disini
adalah untuk menghindari dan menjauhkan anak
dari proses peradilan, sehingga dapat
menghindari stigmatisasi terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum. Anak program berbasis keluarga yang bekerja dengan
diharapkan dapat kembali ke dalam lingkungan remaja, keluarga, dan mungkin orang lain dalam
sosial secara wajar. komunitas telah terbukti efektif. Kedua, bagi
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses remaja dalam situasi institusional, perlakuan
diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam berbasis terapi dalam hal mempelajari tujuan-
suatu tindak pidana tertentu bersama-sama tujuan hidup remaja dan kemudian membantu
mengatasi masalah. Semua pihak kemudian mereka mencapai tujuan-tujuan tersebut, ternyata
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat memiliki rekam jejak yang baik. Ketiga, program
segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan yang terlalu keras atau bersifat menghukum tidak
melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam memiliki efek atau efek iatrogenik. Keempat,
mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, penahanan menghabiskan banyak biaya dan hanya
dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan menghasilkan sedikit (jika ada) keuntungan selain
pembalasan. kecacatan jangka pendek. Kelima, bahkan
Elizabeth Scott dan Laurence Steinberg program-program berbasis bukti harus dilakukan
menyelami pengaturan pidana anak di Amerika. secara keseluruhan dan sungguh- sungguh agar
Menurut keduanya, penelitian perkembangan telah mendapatkan hasil.
mengklarifikasi bahwa remaja –yang disebabkan Oleh karena itu, selain bentuk kerja sosial
karena kekurangdewasaannya– seharusnya tidak yang diusulkan sebagai alternatif hukuman
dianggap sama bersalahnya seperti orang dewasa. penjara, pelaku begal remaja dan lingkungannya
Akan tetapi, mereka juga bukan anak-anak tanpa harus mengikuti konseling dan pelatihan untuk
dosa yang kejahatannya dapat dimaklumi (Scott & memperbaiki perilakunya.
Steinberg, 2008:19). Hal yang penting untuk diperhatikan dalam
Selama ini, belum ada kasus begal remaja upaya penanganan kejahatan sadis oleh remaja
yang sampai ke putusan pengadilan. Pada kasus adalah keterlibatan pihak-pihak yang diharapkan
pembegalan tukang ojek di Sawangan, Depok, dapat memberikan perhatian kepada remaja.
kedua pelaku yang berusia 13 tahun tidak Sebagaimana yang diingatkan oleh Dmann, dkk
menjalani proses hukum, dan diselesaikan secara (2015), perilaku kenakalan sangat berkaitan
damai dengan korban10. Selain itu, kelompok begal dengan pencarian sensasi, ketika berada di antara
yang anggotanya terdapat remaja, diancam dengan teman sebaya yang menyimpang dan rendahnya
ketentuan KUHP, yaitu: 12 tahun penjara. Bagi pengawasan orang tua (Mann, Kretsch, Tackett,
mereka yang masih masuk kategori anak-anak, Harden, & Tucker-Drob, 2015:133).
diberlakukan diversi.
Psikolog seperti Prof Kwartarini Wahyu Sistem Pendukung Sosial
Yuniarti11 tidak menyetujui hukuman penjara Dalam kehidupan bermasyarakat, dibutuhkan
bagi anak-anak pelaku kejahatan, karena penjara alat untuk menjaga agar semua orang berfungsi
terbukti tidak membuat orang menjadi lebih optimal dan tidak saling merugikan orang lain.
baik. Sebaliknya, masyarakat mungkin tidak Sistem pendukung sosial bagi remaja adalah
bersedia hidup berdampingan dengan pelaku keluarga dan lingkungan sosial terdekat.
kejahatan sadis. Harus ada intervensi yang tegas Permasalahan pengasuhan menjadi lebih rumit
dan nyata yang melibatkan semua pihak yang untuk mereka yang tinggal di kota besar, karena
memengaruhi perilaku kenakalan remaja tersebut. kebanyakan orang tua memilih untuk menyerahkan
Keluarga, sekolah dan lingkungan sebaya harus pengasuhan anak kepada asisten rumah tangga,
ikut bertanggung jawab dan bekerja sama untuk orang tuanya (kakek/nenek), dan petugas penitipan
memperbaiki perilaku. anak. Orang tua dari anak dengan kenakalan kronis
Adalah Greenwood (Steinberg & Haskins, biasanya gagal menegakkan perilaku yang baik
2008:5) yang mengulas beberapa perlakuan yang pada awal masa kanak-kanak dan bersikap keras
efektif terhadap kriminal remaja. Pertama, bagi atau tidak konsisten, atau kedua-duanya, dalam hal
remaja yang bermasalah dalam seting komunitas, menghukum perilaku yang tidak patut.
Selain keluarga, sistem pendidikan seringkali
10
“Begal Motor Tukang Ojek Depok Dibebaskan”, http:// menjadi faktor penentu perilaku remaja. Di
www.tribunnews.com/metropolitan/2015/03/29/begal- Indonesia, sistem pendidikan mendukung
motor-tukang-ojek-depok-dibebaskan?page=3, diakses
optimalisasi keterlibatan anak dalam sistem
tanggal 19 Oktober 2015.
11
Psikolog: pelaku begal remaja butuh penyaluran positif,” belajar. Kurikulum yang padat, tingkat persaingan
http://www.antaranews.com/berita/485825/psikolog- menukik menyebabkan anak-anak (tua mereka)
pelaku-begal-remaja-butuh-penyaluran-positif, diakses menambah waktu belajar mereka di luar sekolah.
tanggal 19 Oktober 2015. Banyak yang sudah menyadari adanya batasan
yang nyata antara pihak sekolah, murid, dan orang dirinya sendiri.
tua. Tugas-tugas pendidikan berfokus pada transfer
materi, meskipun sering kali melupakan transfer
nilai. Akibatnya, guru terlalu disibukkan dengan
materi ajar, sehingga tidak sempat mengoreksi
perilaku menyimpang murid.
Sekolah juga tidak mau mengambil tanggung
jawab ketika peserta didik terlibat masalah di luar
sekolah. Dengan mudahnya sekolah mengeluarkan
anak yang bermasalah untuk menjaga citra.
Padahal, tindakan tersebut tidak menyelesaikan
masalah, bahkan memindahkan permasalahan
perilaku ke lingkungan yang lebih luas, dimana
tidak ada satu institusi pun yang memiliki
kewenangan untuk meredamnya. Sikap acuh tak
acuh sekolah ini, memperkuat perilaku negatif
remaja yang merasa tidak diperhatikan dan tidak
diberitahukan kesalahannya.

Apakah Pembegalan adalah Bentuk Kenakalan


Remaja?
Kenakalan remaja merupakan sebuah fase
yang dialami kebanyakan anak-anak menjelang
masa dewasa muda, sehingga para ahli perilaku
menganggapnya sebagai sebuah proses yang
lumrah. Disebutkan bahwa dalam proses mencari
jati dirinya, remaja membenturkan ide dan nilai-
nilai untuk menemukan identitasnya.
Salah satu mekanisme penting untuk
membentuk perilaku adalah dengan imitasi. Remaja
yang terpapar contoh-contoh perilaku agresif dan
menyimpang memiliki kecenderungan untuk
menirunya. Dalam kasus begal remaja, pelaku
mendapatkan inspirasi dari kasus-kasus begal yang
sulit terpecahkan oleh pihak berwenang. Bahkan
meskipun tertangkap, begal hanya mendapat
hukuman ringan. Padahal untuk membekuk
kawanan penjahat ini, petugas harus
mempertaruhkan nyawa. Adanya kesenjangan
konsekuensi inilah yang menjadi penguat tindakan
begal.
Oleh karena itu, penulis memandang
kenakalan remaja merupakan sebuah pembelajaran
sosial, yaitu refleksi dari bagaimana orang lain
memperlakukan remaja itu. Artinya jika remaja
berada di lingkungan yang mendukung perilaku
negatif, maka tindakan buruklah yang akan
diperbuatnya.
Untuk itu, kasus pembegalan oleh remaja
perlu ditangani secara sistematis dan
komprehensif. Perlu diutamakan konsistensi dari
berbagai pihak terkait, baik dalam hal pencegahan
maupun penyelesaian. Upaya pencegahan
dilakukan dengan memberikan pendidikan moral
kepada remaja mengenai kasih sayang, teladan
cara berperilaku, dan kemampuan menghargai
Konsep ini harus ditanamkan di setiap layar Simpulan
kehidupan sosialnya, yaitu di keluarga, sekolah Kejahatan sadis pembegalan yang dilakukan
dan masyarakat umum, baik melalui pendidikan remaja sebagai bagian dari proses pendewasaan,
formal maupun keteladanan perilaku masyarakat.
Secara sistem, perlu ditekankan pelaksanaa
kurikulum berbasis pendidikan karakter. Selain
itu, sosialisasi melalui berbagai media massa,
baik cetak maupun elektronik, ditambah dengan
pesan-pesan positif di sosial media merupakan
bentuk nyata yang harus disebarkan setiap
anggota masyarakat. Setiap individu sejatinya
bertanggung jawab untuk menyebarkan nilai-nilai
positif dalam kehidupan nyata dan dalam
jaringan. Orang tua dan guru perlu saling
melengkapi dan bekerja sama untuk mengawasi
remaja yang berpotensi mengalami defisiensi
moral. Pemerintah melalui aparat juga perlu
menciptakan suasana yang kondusif, demi
terwujudnya refleksi moral yang diajarkan di
rumah dan sekolah. Dengan begitu, teori yang
diterima anak dapat diperkuat dengan bukti.
Kontrol dan pengawasan menjadi penting
pada masa remaja. Keluarga yang menerapkan
pola pengasuhan permisif, bahkan tidak
memedulikan tumbuh kembang anak, perlu
diperingatkan dengan program-progam
pemerintah, baik dari Kementerian Pendidikan
Dasar dan Menengah, maupun Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak. Selain itu, perlu ada upaya aktif Dinas
Sosial Kabupaten/Kota untuk menjaring remaja
yang berada di jalan dan mengembalikan ke
institusi pendidikan atau memasukkan ke lembaga
pelatihan kerja.
Dalam proses penyelesaian perkara begal
oleh remaja perlu dipertimbangkan kondisi
psikologisnya. Mesti diingat bahwa pembegal
remaja bukan korban, sehingga harus
mendapatkan ganjaran yang sepadan untuk
menekan dorongan melakukan tindakan kejahatan
serupa di masa depan.
Hukuman penjara tidak tepat bagi remaja,
karena insitusi itu memungkinkan mereka
terpapar ide-ide kejahatan dari para narapidana.
Akibatnya, perilaku negatif yang diharapkan
luntur akan sulit diubah. Oleh karena itu,
sebaiknya pelaku begal remaja diberikan sanksi
kerja sosial. Ini memberikan keuntungan bagi
masyarakat dan memberi beban fisik kepada
pelaku, sehingga lebih sulit melupakannya.
Intervensi psikologi berupa konseling juga perlu
dijadikan program pendamping bagi pelaku begal,
untuk membantu mereka mengatasi masalah-
masalah psikologisnya.

Penutup
menunjukkan rendahnya kemampuan kontrol DAFTAR PUSTAKA
sosial terhadap remaja, sehingga membiarkan
penyimpangan perilaku terjadi. Pembegalan
oleh remaja telah melewati batasan kenakalan
remaja, sehingga harus diperlakukan sebagai Buku
sebuah permasalahan kriminal dewasa. Jika tidak berhubungan dengan narapidana lain. Lembaga
ditangani secara tepat, remaja yang melakukan pemasyarakatan seringkali menjadi tempat untuk
kejahatan sadis ini akan belajar bahwa kejahatan menumbuhkan bibit-bibit kejahatan, dikarenakan
adalah norma yang diperbolehkan. para narapidana memiliki banyak waktu luang untuk
Keluarga, sekolah, dan lingkungan sebaya saling memengaruhi.
tidak bisa lepas tangan dari permasalahan
kejahatan sadis yang dilakukan remaja. Jika tidak
segera diluruskan, besar kemungkinan perilaku ini
akan terus berulang di masa mendatang. Kejahatan
sadis tidak boleh diabaikan dan dianggap sebagai
bentuk kenakalan remaja biasa, karena perilaku
menyimpang yang menyakiti orang lain sudah bisa
digolongkan sebuah patologi.

Saran
Solusi untuk menghindari prilaku psikologi
A. remaja yang menyimpang
B. Memerhatikan perkembangan sosial dan
C. emosional anak sesuai usianya.
D. Peka terhadap perubahan mood anak
E. Mendeteksi dini masalah psikologis yang
mungkin anak alami.
F. Memerhatikan interaksi anak di sekolah
ataupun di lingkungan sekitar rumah.
G. Mempersiapkan fasilitas perawatan sejak
dini, seperti terapi dengan psikolog anak.
H. Menyediakan makanan dengan gizi

Rekomendasi
Menurut aturan UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Peradilan Tindak Pidana Anak, remaja
yang melakukan tindak pidana harus tetap
dilindungi dan diupayakan agar tindakan
penanganannya, tidak mengganggu perkembangan
mentalnya di masa mendatang. Akan tetapi,
kejahatan sadis yang dilakukan remaja telah
mengganggu kesehatan mental masyarakat, oleh
karena itu sebaiknya tidak begitu saja diampuni
hanya karena masih berusia belia. Meskipun
begitu, pidana penjara bukan merupakan intervensi
yang tepat untuk memperbaiki perilaku
menyimpang ini. Diperlukan hukuman yang
bersifat mengajarkan nilai-nilai, sekaligus
melibatkan aspek lingkungan yang memengaruhi
kenakalan remaja, misalnya: kerja sosial dalam
waktu yang ditentukan dan mengikuti konseling
dengan psikolog.
Hukuman penjara juga masih perlu dengan
syarat pelaku begal remaja ditempatkan di lembaga
khusus yang tidak memungkinkannya
APA. 2002. A Reference for Proffesional: Developing
Adolescents.Washington: American
Psychological Association.
Hickey, E. H. 2015. Serial Murderers and Their
Victims (7th edition). Boston: Cengage Learning.
Hurlock, E. B. 1990. Developmental Psychology: A
Life- Span Approach. Boston: McGraw-Hill.
Kartono, K. 2009. Patologi Sosial (Jilid 1). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Levesque, R. J. 2011. Encyclopedia of Adolescence.
(R. J. Levesque, Ed.) Springer Science+Business
Media.
Manaster, G. J. 1989. Adolescent Development: a
Psychological Interpretation. Australia: F.E.
Peacock Publishers.
Papalia, D. E., Old, S. W., & Feldman, R. D. 2008.
Human Development (Psikologi Perkembangan,
Edisi Kesembilan). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Saifuloh, A. A. 2011. Urbanisasi, Kesempatan Kerja
dan Kebijakan Ekonomi Terpadu. In A. A.
Saifuloh,
D. Wahyuni, L. F. Nola, S. Susiana, H. Wangke, &
D. Cahyaningrum, Tenaga Kerja Indonesia:
Antara Kesempatan Kerja, Kualitas dan
Perlindungan (Ed. Sali Susiana) (pp. 1-39).
Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
Santrock, J. 1995. Life-Span Development:
Perkembangan Masa Hidup (Jilid 2). Jakarta:
Erlangga.
Steinberg, L., & Haskins, R. 2008. Keeping
Adolescents Out of Prison. The Future of
Children. Princeton - Brokings.
United Nations. 2004.World Youth Report 2003: The
Global Situation of Young People. United
Nations: New York.

Jurnal
Bassiouny, D. H., & Hackley, C. 2013. “Does Early
Exposure to Digital Media Harm Children’s
Development? A Cross-Disciplinary Review.”
The School of Management Working Paper
Series.
Mann, F. D., Kretsch, N., Tackett, J. L., Harden, K. P.,
& Tucker-Drob, l. M. 2015. “Person Environment
Interactions on Adolescent Delinquency:
Sensation Seeking, Peer Deviance and Parental
Monitoring.” Personality and Individual
Differences, 76(2015), 129-134.
Moffitt, T. E. 1993. “Adolescence-Limited and Life-
Course-Persistent Antisocial Behavior: A
Developmental Taxonomy.” Psychological
Review, 100(4), 674-701.
Myers, W. C., Burket, R. C., & Husted, D. S. 2006.
“Sadistic Personality Disorder and Comorbid
Mental Illness in Adolescent Psychiatric
Inpatients.” J Am Acad Psychiatry Law, 34, 61–7.
Rulison, K. L., Kreager, D. A., && Osgood, D. W.
2014. “Delinquency and Peer Acceptance in
Adolescence: A Within-Person Test of Moffitt’s
Hypotheses.” Dev School, 50(11), 2437-2448.
Schmideberg, M. 1946-1947. “Psychological Factors
Underlying Criminal Behavior.” Journal of
Criminal Law and Criminology, 37(6), 458-476.
Scott, E. S., & Steinberg, L. 2008. “Adolescent
Development and the Regulation of Youth Crime.”
The Future of Children, 18(2), 15-33.
Setianingsih, E., Uvun, Z., & Yuwono, S. 2006.
“Hubungan Antara Penyesuaian Sosial dan
Kemampuan Menyelesaikan Masalah dengan
Kecenderungan Perilaku Delinkuen Pada Remaja.”
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 3(1), 29-
35.
Sitanala, Frans. 2005. “Pergerakan Penduduk Kota
Depok Menuju ke Tempat Bekerja Tahun 2001.”
Makara, Sains, Vol. 9, No. 1, April 2005: 41-44.
Suhayati, M. 2014. “Vonis Pidana Terhadap Anak Usia
Di Bawah 12 Tahun.” Info Singkat, V(12), pp. 1-4.
Yulianto, D. 2014. “Hubungan antara Konsep Diri dan
Kecerdasan Emosi dengan Kenakalan Remaja.”
Nusantara or Research, 1(1), 76-82.

Dokumen
Badan Pusat Statistik Kota Depok. 2014. Kota Depok
Dalam Angka 2013/2014. Depok: Badan Pusat
Statistik Kota Depok.
Badan Pusat Statistik Kota Depok. 2015. Statistik
Daerah Kota Depok. Depok: Badan Pusat Statistik
Kota Depok.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia 2015.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Pemerintah Kota Depok. 2014. Laporan Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP) Kota Depok. Pemerintah
Kota Depok.

Peraturan Perundang-Undangan
Kementerian Hukum dan HAM. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.

Anda mungkin juga menyukai