Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun “ Makalah Perancangan

Peraturan Perundang-Undangan ” ini dapat terselesaikan dengan penuh kesabaran dan

tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan,

olehnya itu saran dan kritik yang sifat membangun dari pihak pembaca, sangat

penulis harapkan dalam kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah Perancangan

Peraturan Perundang-Undangan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Kendari, Maret 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mengingat akan pentingnya arti sebuah pengaturan yang merupakan dasar
dari pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mengatur hubungan antar
Negara dan warga Negara. peraturan perundang-undangan juga dapat dipahami
sebagai bagian dari social contrct (kontrak social) yang memuat aturan main dalam
berbangsa dan bernegara.serta satu-satunya peraturan yang di buat untuk memberikan
batasan-batasan tertentu terhadaap jalananya pemerintahan.sehingga dengan hal itu
merupkan hal yang penting kiranya bagi kita untuk mempelajari dan memahami
semua hal yang berhubungan dengan konstitusi dan perundang-undangan.
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat
dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau
sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar
dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Memahami ilmu perundang-undangan sangatlah penting, seperti salah satunya
memahami asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, karena
didalamnya terdapat acuan bagaimana cara melahirkan sebuah produk hukum dalam
hal ini undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan public pada saat itu. Jika tidak
berpedoman pada asas-asas tersebut kemungkinan besar kita akan mendapatkan
banyak kekeliruan dalam penetapan sebuah hukum, seperti halnya salah satu asasnya
adalah peraturan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan yang bersifat
umum.1
Dan sesungguhnya orang-orang yang telah melahirkan asas-asas tersebut
sangat membantu sekalidalam penetapan peraturan hukum dikemudian hari.banyak
pakar yang melahirkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang
pada hakikatnya tujuannya sama yang menginginkan melahirkan produk hukum yang
efisien dan efektif.2

1
Rudy, Hukum pemerintahan Daerah, Bandar Lampung. PKKPU Unila 2013.
2
Tim pengajar Hukum Tata Negara, HTN, Fakultas Hukum Unila, Justice Publisher, 2014
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang
mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam
pendapat itu mengarah pada substansi yang sama.
Maka ada beberapa asas peraturan perundang-undangan yang kita kenal,
diantaranya: Asas lex superior derogat legi inferior, Asas lex specialis derogat legi
generalis, Asas lex posterior derogat legi priori, Asas undang-undang tidak boleh
berlaku surut (non-retroaktif)/ Asas Legalitas, asas lex neminem cogit ad
impossobilia, asas lex perfecta.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana implementasi asas perundang-undangan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas lex superior derogat legi inferiori

Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih
tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka berfikir
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas
dalam benak kita menganai Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya
disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai
jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.Yaitu
digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah
hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara
Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah
Undang-undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin
diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut
ketentuan UU No.12 Tahun 2011 adalah ; ” Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah Provinsi; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Asas lex superior derogat legi inferiori yaitu peraturan yang lebih tinggi
akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada suatu peraturan yang
lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang digunakan
adalah peraturan yang lebih tinggi tersebut. Bagi peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan Judicial
Review (uji material) yang diajukan melalui gugatan dan keberatan kepada
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Kasus yang bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferior:
Episode kejatuhan Bank Tripanca memunculkan suatu sisi permasalahan hukum
dalam pengelolaan keuangan daerah. Pemkab Lampung Timur berdasarkan
Permendagri No. 13 Tahun 2006 bersikeras bahwa penyimpanan dana APBD di Bank
Tripanca tidak bertentangan dengan hukum. Peraturan Perundang-Undangan yang
melandasi pengelolaan pemerintahan daerah adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; Kedua peraturan perundang-undangan ini
menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah
memberikan hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri namun tetap dalam koridor sistem hukum
dalam pengertian dilaksanakan berdasarkan hukum. Oleh karena itu, ketika
dihadapkan kepada konflik antara UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, tentunya sesuai dengan teori hirarki hukum kita harus mendahulukan U No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Permendagri No. 13 Tahun
2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Disini kemudian timbul pertanyaan
sejauh mana Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
dapat dijadikan dasar keberlakukan suatu kebijakan pengelolaan keuangan daerah,
tentunya berdasarkan teori hirarki hukum, kita harus mendasarkan jawaban kita.
Pasal 193 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
menjelaskan dana APBD tidak boleh disimpan atau didepositokan di bank
nonpemerintah. Pasal ini secara jelas memberikan norma larangan untuk menyimpan
atau mendepositokan dana APBD di bank nonpemerintah, dengan kata lain dana
APBD hanya dapat disimpan atau didepositokan di bank pemerintah. Sementara itu
Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang
menyebutkan bupati dapat membuka rekening kas daerah di lebih dari satu bank yang
sehat merupakan suatu ketentuan lanjutan dari ketentuan UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah dalam artian bank yang sehat ini haruslah masuk ke
dalam kategori bank pemerintah sesuai teori hirarki hukum. Perlu dipertanyakan lagi
apakah Bank Tripanca termasuk kategori bank pemerintah atau nonpemerintah. Kalau
memang Bank Tripanca bukan merupakan Bank pemerintah, berarti Pemkap
Lampung Timur telah melanggar Pasal 193 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah (bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori).

B. Asas lex specialis derogat legi generalis

Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan
hukum yang bersifat umum (lex generalis). Menurut Bagir Manan dalam bukunya
yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari artikel
yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-
undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis
derogat legi generalis, yaitu:
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,
kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim)
yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum
keperdataan..
Dalam hukum terdapat suatu asas penting yang dikenal dengan “specialis
derogat legi generali”. Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus
(specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali), maka aturan
yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat
khusus. Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan
mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa
konkrit. Contoh/kasus yang berkenaan dengan asas lex specialis derogat legi
generali :

 Pemberlakuan KUHD terhadap KUHPerdata dalam hal perdagangan.

Apabila ada suatu perbuatan dibidang perdagangan, maka yang hukum yang
digunakan adalah KUHD meskipun pebuatan tersebut diatur didalam KUHPerdata.
Hal ini dikarenakan KUHD merupakan ketentuan yang lebih khusus sedangkan
KUHPerdata masih bersifat umum.
Kasus Bank Global Tbk. (Kasus yang bertentangan dengan asas lex specialis
derogat legi generali). Dalam kasus Bank Gobal, pengurus dan sekaligus pemilik
bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir
(Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian
praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari
tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada
Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen
sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA
SELATAN, membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan
korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang
kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti
perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi.
Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah
mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische. Dengan keputusan ini
Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang
Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi
merupakan ketentuan yang lebih khusus. Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe,
penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam
penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische
specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini,
Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan,
karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum
yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .

Seharusnya MA menjerat terdakwa dengan UU Perbankan, karena aturan


hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali. Jadi bisa dikatakan UU
Perbankan merupakan ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU Korupsi
merupakan ketentuan yang lebih umum, bukan sebaliknya.

 Kasus yang terjadi di tengah masyarakat

Seorang yang dengan sengaja tidak membayar bea masuk / cukai, tidak
membayar pajak, ataupun mencuri kayu di hutan milik negara. Sudah jelas perbuatan
mereka tersebut dilakukan dengan sengaja secara melawan hukum / bertentangan
dengan hukum, dapat merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi. Unsur-unsur perbuatan mereka tersebut ternyata
memenuhi seluruh unsur yang ada dalam ketentuan pidana Pasal 2 UU Tipikor.
Dalam aturan hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali.
Dengan demikian apabila ada seseorang yang secara sengaja melakukan suatu
perbuatan mencuri kayu di hutan negara, atau memiliki, membawa dan mengangkut
kayu tanpa dilengkapi SKSHH ( Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan ), menurut
pembentuk undang-undang kepada mereka tersebut sebagai perbuatan illegal loging
dan melanggar UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, dan bukan sebagai
perbuatan yang koruptif, walaupun perbuatan mereka tersebut memenuhi unsur Pasal
2 UU Tipikor. Begitu pula bagi masyarakat yang dengan sengaja tidak membayar
pajak seperti tidak membayar PBB atau tidak membayar Pajak kendaraan bermotor,
maka harus dijerat dengan UU perpajakan dan bukan UU Tipikor, karena secara
yuridis pembentuk UU telah menghendaki atau bermaksud untuk memberlakukan
ketentuan perpajakan bagi mereka yang tidak membayar pajak walaupun perbuatan
mereka memenuhi unsur - unsur yang termuat dalam Pasal 2 UU Tipikor
 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan Undang-
undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya
mempunyai materi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang berbeda
dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi
generali).

 Perkara korupsi yang telah diatur dengan UU No. 35 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengalahkan ketentuan dalam
KUHP yang mengatur mengenai pencurian.
 UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai
lex generalis (hukum yang umum). Dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan diatur perihal diperbolehkannya aborsi atas indikasi
medis, yaitu dalam keadaan darurat yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau
janinnya. Berbeda dengan UU Kesehatan, KUHP sama sekali tidak
memperkenankan tindakan aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam
hal ini, jika terjadi suatu kasus aborsi atas indikasi medis (seperti diatas),
berdasarkan asas Lex Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah
UU Kesehatan dan bukan KUHP.

C. Asas lex posterior derogat legi priori

Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat,
peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang
telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan
yang lama tidak berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan
ditegaskan secara ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan
dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003
tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa Pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang
Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor
2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat,
peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang
telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan
yang lama tidak berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan
ditegaskan secara
ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex
Posterior Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas
dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-
undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan
dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Kasus yang bertentangan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi
Priori: Seorang TNI bernama Wisnu di Jakarta, menemukan permasalahan berkaitan
dengan peraturan yang ada. Saat bergabung dengan TNI disampaikan bahwa salah
satu syarat untuk menjadi anggota adalah sanggup untuk melaksanakan Ikatan Dinas
Pertama sekurang-kurangnya 10 tahun dan menandatangani perjanjian Ikatan Dinas
Pertama.
Saat ini Wisnu telah selesai melaksanakan Ikatan Dinas Pertama dan tidak
ingin melanjutkan pengabdian di dalam TNI karena berbagai macam pertimbangan.
Namun pada prosesnya dihambat dan kemudian diterbitkan suatu peraturan baru yang
berlaku surut untuk menahan seorang prajurit yang ingin mengakhiri masa dinas
setelah ikatan dinas pertama. Dengan peraturan baru ini, mustahil seorang prajurit
dapat mengakhiri ikatan dinas pertama karena secara otomatis diperpanjang dalam
Ikatan Dinas Khusus karena mengikuti pendidikan kejuruan.
Dalam PP No.39 Tahun 2010 pada pasal 1 No.13 sangat jelas bahwa yang
dimaksud dengan Ikatan Dinas Khusus adalah Ikatan Dinas dalam jangka waktu
paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun sebagai tambahan yang
dikenakan bagi Prajurit TNI yang mengikuti pendidikan dalam rangka penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu di luar lembaga pendidikan TNI dengan
biaya negara. Hal ini bertentangan dengan Buku Petunjuk Pelaksanaan TNI AU
tentang Pemisahan Prajurit yang dengan semena-mena memasukkan komponen
pendidikan dasar kejuruan sebagai salah satu pendidikan yang akan menambah Ikatan
Dinas sampai dengan 8 (delapan) tahun. Padahal semua prajurit pasti akan mengikuti
pendidikan tersebut dan tidak mungkin dapat berdinas tanpa pendidikan itu. Di PP
No.39 Tahun 2010 juga dijelaskan bahwa semua Ikatan Dinas harus dimulai dengan
penandatanganan Surat Perjanjian sebelumnya. Kasus ini memberikan gambaran
bahwa peraturan bertentangan dengan peraturan diatasnya

D. Asas undang-undang tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif) / Asas Legalitas

Asas Legalitas
Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-
undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een
daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). asas legalitas yang mengandung tiga
pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak
terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

 Contoh yang berkenaan dengan Asas Legalitas: Keadilan bagi korban salah
tangkap. Mereka kembali bisa menghirup kebebasan. Namun, fenomena itu lagi-
lagi memperlihatkan betapa kerdilnya kedudukan warga di hadapan kekuasaan
negara. Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah
terbuka untuk setiap warga. Negara wajib melaksanakan asas legalitas, yaitu
memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga yang menjadi korban
salah tangkap.
 Kasus yang bertentangan dengan asas legalitas: putusan Mahkamah Agung No.
275 K/Pid/1982 tanggal Desember 1983, dalam perkara korupsi Bank Bumi Daya
dengan terdakwa direktur Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa. Terdakwa
ternyata melakukan penyelewengan kewenangan dengan memberikan prioritas
kredit kepada PT. Jawa Building, bergerak dibidang real estate, yang mana
dilarang oleh BI berdasarkan surat edaran No. SE 6/22/UPK, tertanggal 30 juli
1983. Terdakwa ternyata menerima fasilitas yang berlebihan dan keuntungan lain
dari pemberian kredit tersebut dari A Tjai alias Endang Wijaya.
Dalam kasus ini MA menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum secara
materiil dalam fungsi positif dalam putusannya No. 275 K/Pid/1982. Dalam putusan
ini MA menyatakan bahwa “jika penyalahgunaan wewenang hanya dihubungkan
dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar
peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah
berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas
hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam
masyarakat”. Artinya walaupun tindakan penyelewengan tersebut tidak memenuhi
rumusan delik namun bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban
dalam masyarakat, perbuatan penyelewengan ini dapat dijatuhi pidana. Walau pada
dasarnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif ini bertentangan
dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa undang-undang harus merumuskan
secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana
(kejahatan, crimes), namun demi rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban di
masyarakat MA memutuskan bahwa perbuatan penyalahgunaan jabatan dalam kasus
ini termasuk dalam tindak pidana korupsi. Hukum bukan hanya undang-undang
tertulis yang di sahkan oleh pejabat yang berwenang namun hukum itu juga
merupakan perilaku yang berkembang di masyarakat. Karena keadaan dan
perkembangan yang terjadi di masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang telah
dirumuskan dalam perundang-undangan.
 Kasus lain yang bertentangan dengan asas legalitas: tindakan Menteri Hukum dan
HAM Amir Samsuddin dan wakilnya Denny Indrayana yang menunda penundaan
permohonan bebas bersyarat Paskah Suzetta melanggar hukum. Apa yang
dilakukan Amir dan Denny adalah jelas-jelas melanggar hukum, dan tidak
sepatutnya dilakukan dalam sebuah negara hukum negara hukum menjunjung
tinggi asas legalitas: tidak ada tindakan dari aparatur negara boleh dilakukan
bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.
 Kasus yang baru-baru ini bertentangan dengan asas legalitas : kakus prita
mulyasari. Aparat penegak hukum membidik Prita dengan pasal 27 mengenai
pencemaran nama dalam UU ITE yang ancaman maksimum penjara selama 6
tahun. Pasal ini, walaupun oleh MK telah dinyatakan bersifat konstitusional, tetap
saja ketentuan ini tidaklah diperlukan karena pengaturan mengenai pencemaran
nama sudah diatur dalam banyak pasal di KUHP. Adanya Pengaturan pasal ini bagi
penulis bersifat over-kriminalisasi, karena memang substansinya telah diatur
secara jelas dalam KUHP.
Sepertinya pembuat Undang-Undang perlu memperhatikan bahwa dalam
tataran teoritik, pengaturan di luar KUHP baru dimungkinkan apabila tidak ada delik
genus dalam KUHP yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut
benar-benar kejahatan baru yang tidak ada padanannya dalam KUHP. Jika ada
ketentuan genus-nya dalam KUHP maka cukup dilakukan dengan cara
mengamandemen KUHP. Perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan
perundang-undangan di luar KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari
KUHP karena telah mengatur substansi hukum yang secara diam-diam membentuk
sistem hukum pidana sendiri yang berbeda dengan dan tidak terkontrol atau tidak
terkendali oleh asas-asas umum hukum pidana buku satu KUHP, padahal sesuai
dengan prinsip kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan umum hukum pidana
nasional yang semestinya menjadi dasar dan landasan dalam mengembangkan hukum
pidana dalam pengaturan perundang-undangan di luar KUHP. Pengulangan
pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum
dan kejelasan rumusan atau asas legalitas.
E. Asas lex neminem cogit ad impossobilia

Asas lex neminem cogit ad impossobilia undag-undang tidak memaksa


seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin
Contoh: Pasal 44 KUHP “seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit.”
Pasal 48 KUHP “barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh dayapaksa
tidak terpidana”
Contoh yang berkenaan dengan asas lex neminem cogit ad impossibilia:

F. Asas lex perfecta.


Asas lex perfecta Undang-undang tidak saja melarang suatu tindakan tetapi
juga menyatakan tindakan terlarang itu batal
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat
dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau
sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar
dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Asas peraturan perundang-undangan adalah asas formal tentang bagaimana
peraturan perundang-undangan lahir dari asas Negara hukum, yang berarti suatu
penetapan penggunaan kekuasaan yang secara formal dibatasi dalam dan berdasarkan
hukum dasar (konstitusi tertulis). Semua peraturan perundang-undangan dibawah
UUD 1945 harus merupakan penjabaran dari system dan asas-asas ideologi, politik,
ekonomi, social, budaya, dan hukum yang ada dalam UUD 1945 sehingga sebagai
penjabaran dari UUD 1945 maka peraturan perundang-undangan memiliki aspek
formil dan aspek materil, landasan peraturan perundang-undangan pada dasarnya
meliputi, landasan filosofis, sosiologis, politis, dan yuridis.
DAFTAR PUSTAKA
Farida, Maria. 1998. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta : kanisius.
http://jokopas.Blogspot.com/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang-
undangan. html?m=1

Anda mungkin juga menyukai