OLEH :
ELYA FADILLAH SARI
NIM. 02011381419326
FAKULTAS HUKUM
DOSEN PEMBIMBING : LAUREL HEYDIR, S.H.,MA.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT,karena berkat rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan tugas mengenai makalah IPU yang berjudul
Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan Sebagai Solusi Kebutuhan Hukum
Masyarakat.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Laurel Heydir, S.H.,MA, selaku dosen mata kuliah Ilmu Perundang-undangan.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam pembuatan tugas ini,
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis yang menyebabkan tugas ini jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna penyempurnaan tugas ini. Penulis berharap semoga Allah SWT
memberikan imbalan pahala yang berlipat ganda atas jasa dan amal baik yang telah diberikan
oleh semua pihak. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................................
ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................................
BAB II
1
1
2
PEMBAHASAN
1. Pengertian, batasan dan ciri-ciri peraturan perundangUndangan..............................................................................................
2. Landasan dan asas-asas peraturan perundang-undang..........................
3. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan...............................
4. Proses pembentukkan dan pengujian mengenai
Peraturan perundang-undangan............................................................
5. Bentuk-bentuk penyelewengan dan ketidakadilan hukum
di Indonesia...........................................................................................
3
5
10
15
22
Kesimpulan...............................................................................
Saran.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
27
27
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini tidak ada negara atau suatu bangsa di dunia yang tidak mempunyai hukum
sendiri. Apabila dalam pengartian bahasa kita sering mengenal dengan istilah tata hukum.
Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri, sedemikian juga dengan bangsa
indonesia yang mempunyai tata hukum dan pembentukan perundang-undangannya sendiri.
Indonesia dikenal sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law, yang prinsip
dasarnya adalah hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan
perundang-undangan yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
Sebagai sumber hukum utama dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law),
undang-undang yang dibentuk oleh badang legislatif dan dijadikan pegangan oleh lembaga
eksekutif yang berdasarkan kewenangan dan kebiasaan-kebiasan yang hidup dalam
masyarakat.
Undang-Undang
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan ciri dari peraturan perundang-undangan.
2. Agar pembaca dapat mengetaui landasan dan asas-asas dari peraturan perundangundangan.
3. Dapat mengetahui jenis-jenis dari peraturan perundang-undangan tersebut.
4. Untuk mengetahui proses dan pengujian tentang pembentukan peraturan perundangundangan.
5. Agar dapat tercapainya kebutuhan hukum masyarakat dalam upaya menggapai
keadilan, kedamaian dan kepastian hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
A.
Pengertian
Dalam kenyataan, baik naskah peraturan Perundang-undangan maupun dalam
berbagai literatur HTN Indonesia dikenal berbagai istilah yaitu perundangan, Perundangundangan, peraturan perundangan, peraturan Perundang-undangan dan peraturan negara.
Dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah wet, wetgeving, weewlijke regels atau
2
wettelijke regeling. Pengertian wet sendiri dibedakan antara wet in formale zin dan wet in
materiele zin. Istilah Perundang-undangan dan peraturan Perundang-undangan berasal dari
istilah wettelijke regels, sedangkan istilah staatsgeling (staat = negara, regeling =
peraturan).
Perundangan berasal dari istilah undang, bukan berasal dari kata undang-undang.
Kata undang tidak mempunyai konotasi dengan pengertian wet atau undang-undang,
karena istilah peraturan negara adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh
istansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun perjabat tertentu. Peraturan Pemerintah
penganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat Keputusan dan
Istruksi.
Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah peraturan mengenai
tata cara pembuatan negara. Soehino dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Negara :
Teknik Perundang-undangan, menggunakan istilah peraturan perundangan. Istilah tersebut
pernah pula digunakan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagaimana tercantum
pada Urutan Peraturan Perundangan RI.
Istilah perundangan lebih pendek dan oleh karenannya sangat ekonomis, selain itu
istilah tersebut pernah digunakan dalam Konstitusi RIS 1949 sebagaimna dimuat dalam pasal
5 ayat 3 dengan rumusan perundang-undangan federal. Dan dalam UUDS 1950
sebagaimna dimuat dalam Bagian II dengan judul Perundang-undangan dan dalam pasal 89
yang menyebut kekuasaan perudangan.
Istilah peraturan Perundang-undangan. Pengunaan istilah perundang-undangan
lebih berkaitan atau lebih relevan dalam pembicaraan mengenai jenis atau bentuk peraturan
(hukum). Dalam konteks lain lebih menggunakan istilah perundangan saja, misalnya istilah
Ilmu Perundang-undangan. Teoru Perundang-undangan. Dasar Perundang-undangan dsb.
Dalam hubungan dengan pengertian undang-undang dalam arti materil (wet in
materiele zin) dan undang-undang dalam arti formal (wet in formale zin), perlu di pahami
perbedaan anatara keduanya. Oleh karena itu dari segi tata hukum dikenal adanya undangundang formal yang tidak meterial, undang-undang formal yang material, undang-undang
tidak formal tetapi tidak material, dan undang-undang tidak formal dan juga tidak material.
Adapun yang dimaksud dengan undang-undang formal tidak material adalah peraturan yang
terbentuknya dengan persetujuan DPR dan pengesahan Pemerintah (Presiden), tetapi isinya
tidak langsung mengikat penghidupan rakyat.
Misalnya adalah undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang ratifikasi
penjanjian dengan negara lain. Undang-undang tidak formal tetapi material adalah ialah
peraturan yang terbentuk tidak dengan persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah, upama
yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah, akan tetapi isinya langsung mengikat penghidupan
rakyat. Ini termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan. Sedangkan Undangundang Formal yang material adalah undang-undang yang dibentuk atas persetujuan DPR
dan disahkan oleh Presiden, yang isinya mengikat rakyat. Dan undang-undang yang tidak
formal dan tidak material ialah isinya sama sekali tidak mengikat rakyat.
B.
undangan pun ada berbagai pendapat. Menurut PJP Tak dalam bukunya Rechtsvorming in
Nederland mengartikan peraturan perundang-undangan (undang-undang dalam arti materil)
adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan
tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar memberikan pengertian peraturan perundangundangan ilah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga
dan atau pejabat negara yang tidak mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai tata
cara yang berlaku. Sementara itu A. Hamid Attamimi memberikan batasan peraturan
perundang-undangan adlah peraturan negara, di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang
dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik yang bersifat atribusi maupun
bersifat delegasi. Kemudian menurut TJ Buys mengartikan peraturan perundang-undangan
sebagai peraturan yang mengikat secara umum (algemen bindende voorschriften).
Pendapat tersebut oleh Prof. JHA Logemann ditambah dengan naar buiten weerkende
voorshriften. Sehingga peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang mengikat
secara umum dan berdaya laku keluar (algemen bindende en naar buiten weerkende
voorshriften). Pengertian daya laku keluar adalah bahwa ditunjukkan ke dalam masyarakat
umum tidak ditunjukkan ke dalam pembentukkannya. Rasanya paling sulit menetapkan
batasan mana yang paling baik. Yang jelas bahwa dari batasan dan pengetian peraturan
2.
A.
Landasan Filosofis
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan folosofis ( filisofische
Landasan Sosiologis
Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis ( sociologische
Landasan Yudiris
5
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat
umum (lex generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota
harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama
juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga
keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah
Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan
yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti
dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak
berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist
yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat
Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup
disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Asas Legalitas tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya. (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een
daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).
(kejahatan, crimes), namun demi rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban di masyarakat MA
memutuskan bahwa perbuatan penyalahgunaan jabatan dalam kasus ini termasuk dalam
tindak pidana korupsi. Hukum bukan hanya undang-undang tertulis yang di sahkan oleh
pejabat yang berwenang namun hukum itu juga merupakan perilaku yang berkembang di
masyarakat. Karena keadaan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat tidak selalu
sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan.
Kasus lain yang bertentangan dengan asas legalitas: tindakan Menteri Hukum dan HAM
Amir Samsuddin dan wakilnya Denny Indrayana yang menunda penundaan permohonan
bebas bersyarat Paskah Suzetta melanggar hukum. Apa yang dilakukan Amir dan Denny
adalah jelas-jelas melanggar hukum, dan tidak sepatutnya dilakukan dalam sebuah negara
hukum negara hukum menjunjung tinggi asas legalitas: tidak ada tindakan dari aparatur
negara boleh dilakukan bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.
Kasus yang baru-baru ini bertentangan dengan asas legalitas : kakus prita mulyasari.
Aparat penegak hukum membidik Prita dengan pasal 27 mengenai pencemaran nama dalam
UU ITE yang ancaman maksimum penjara selama 6 tahun. Pasal ini, walaupun oleh MK
telah dinyatakan bersifat konstitusional, tetap saja ketentuan ini tidaklah diperlukan karena
pengaturan mengenai pencemaran nama sudah diatur dalam banyak pasal di KUHP. Adanya
Pengaturan pasal ini bagi penulis bersifat over-kriminalisasi, karena memang substansinya
telah diatur secara jelas dalam KUHP.
Sepertinya pembuat Undang-Undang perlu memperhatikan bahwa dalam tataran teoritik,
pengaturan di luar KUHP baru dimungkinkan apabila tidak ada delik genus dalam KUHP
yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut benar-benar kejahatan baru
yang tidak ada padanannya dalam KUHP. Jika ada ketentuan genus-nya dalam KUHP maka
cukup dilakukan dengan cara mengamandemen KUHP.
Perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar
KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari KUHP karena telah mengatur substansi
hukum yang secara diam-diam membentuk sistem hukum pidana sendiri yang berbeda
dengan dan tidak terkontrol atau tidak terkendali oleh asas-asas umum hukum pidana buku
satu KUHP, padahal sesuai dengan prinsip kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan
umum hukum pidana nasional yang semestinya menjadi dasar dan landasan dalam
mengembangkan hukum pidana dalam pengaturan perundang-undangan di luar KUHP.
3.
A.
tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.
Urutannya yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
UUD 1945;
Ketetapan MPR;
UU;
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Undang-
Undang.
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
UUD 1945;
Tap MPR;
UU;
Peraturan pemerintah pengganti UU;
PP;
Keppres;
Peraturan Daerah;
10
3.
undangan.
Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar
hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
UUD1945 mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949. Setelah itu
terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun melalui
dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku kembali sampai
dengan sekarang.
b.
c.
Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan DPR
(produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang
mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan
begitu pula sebaliknya.
Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk
konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka
mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara.
Contoh
d.
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
2.
3.
DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
12
4.
Contoh
e.
Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Contoh
f.
4.
A.
tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undangundang . Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang no 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa, Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan-perundang-undangan yang pada
dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Secara ringkas, pembentukan Undangundang dapat dijabarkan menjadi beberapa tahap di bawah ini.
1)
Tahap Perencanaan
Proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia,
Tahap Persiapan
Dalam tahap ini, Rancangan Undang-undang (RUU) disusun oleh pihak yang
mengajukan. RUU dapat diajukan oleh DPR, Presiden, maupun Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang disusun berdasarkan Prolegnas. Khusus untuk DPD hanya dapat mengajukan
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah . Penyusunan RUU yang berada dalam Prolegnas, diatur dalam Perpres no 68
tahun 2005. Penyusunan RUU yang didasarkan pada Prolegnas tidak memerlukan izin
prakarsa dari Presiden. Sedangkan dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU
di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada
Presiden .
15
undang
Meratifikasi konvensi atau perjanjian Internasional
Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam
Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU
yang dapat disetujui bersama oleh Baleg DPR dan Menteri
Dalam menyusun RUU, pemrakarsa dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik
mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang, yang merumuskan
antara lain tentang dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok, dan lingkup materi yang diatur.
Penyusunan tersebut dapat dilakukan bersama-sama dengan departemen yang ruang
lingkupnya dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan
kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang memiliki keahlian untuk itu . Setelah
selesai disusun, RUU diserahkan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan bersama.
3)
DPR, maupun DPD dibahas dengan cara yang ditentukan dalam Keputusan DPR RI no
08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, khususnya pasal 136,137, dan 138. Dalam pasal 136 dijelaskan bahwa
pembahasan RUU diakukan melalui 2 tingkat pembicaraan yaitu :
a) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi,
Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus
b) Pembicaraan Tingkat II, dilakukan dalam Rapat Paripurna Sebelum dilakukan
pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II, diadakan rapat fraksi. Fraksi-fraksi juga dapat
mengadakan rapat dengar pendapat dengan pakar-pakar atau kelompok masyarakat
yang berkepentingan untuk mencari masukan dalam membawakan aspirasi rakyat
atau fraksinya.
Setelah pembicaraan dalam tingkat II selesai, RUU yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden akan dikirimkan kepada Presiden untuk dimintakan pengesahan.
Sedangkan apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan DPR masa itu.
16
4)
Tahap Pengesahan
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, diserahkan pada Presiden
paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Pengesahan RUU yang telah
disetujui bersama dilakukan dengan pembubuhnan tanda tangan Presiden paling lambat 30
hari sejak RUU tersebut disetujui bersama. Setelah Presiden mengesahkan RUU yang telah
disetujui besama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka UU tersebut diundangkan oleh
Menteri yang tugasnya meliputi peraturan perundangan agar ketentuan tersebut dapat berlaku
dan mengikat untuk umum. Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani Presiden dalam
jangka waktu 30 hari, maka RUU tersebut menjadi sah dan wajib diundangkan dengan
rumusan kalimat yang berbunyi, Undang-undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan
pasal 20 ayat (5) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5)
Tahap Pengundangan
Pengundangan dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
1)
hukum global (global legal tradition), sehingga ada yang dikenal dengan istilah toetsingrecht
dan ada pula istilah judicial review. Bilamana diartikan secara etimologis dan terminologis,
toetsingrecht berarti hak menguji, sedangkan judicial review berarti meninjau oleh lembaga
pengadilan. Dari kedua istilah ini pada dasarnya mengandung pengertian yang sama, yaitu
kewenangan menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah
secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh sebuah lembaga
pengadilan. Tidak demikian dengan toetsingrecht yang dapat saja oleh otoritas lain diluar
lembaga peradilan.
Hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu:
17
a).
undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, (lex
superior derogate lex infriore), serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususankekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku
umum. Menurut Prof Harun Alrasid, hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan
undang-undang, dan hak menguji ialah mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah
isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
18
Seringkali dalam praktik terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah hak menguji
(toetsingrecht) dengan (judicial review) yang menganggap keduanya adalah identik.
Sesungguhnya keduanya terdapat perbedaan, yaitu :
1. hak menguji (totsingrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap UUD, sedangkan judicial review tidak hanya menilai peraturan
perundang-undang tetapi juga executive act, administrative action, dan judgement terhadap
UUD.
2. hak menguji (toetsingrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki
oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan judicial review hanya merupakan kewenangan
dari hakim pengadilan dalam kasus konkret dipengadilan.
2)
rasioning) masyarakat. Dapat diprediksi suatu saat (di masa-masa yang akan datang) MK
akan kerepotan dalam menguji UU yang bermasalah akibat gugatan masyarakat yang terkena
imbas lahirnya UU yang dimaksud.
Untuk itu, perlu ada konsep baru yang dapat mendukung agar UU yang akan
diundangkan seminimal mungkin untuk tidak diajukan ke MK. Antara lain yang dapat
dilakukan adalah memerankan secara maksimal BPHN (Badan Pembina Hukum Nasional)
dalam proses pembentukan UU terutama yang terkait dengan politik, karna dalam RUU
politik, sama sekali tidak bisa dilepaskan dengan pengaruh politik yang amat dominan,
terutama di dalam internal DPR.
Peran yang harus di isi BPHN adalah melalui beberapa pertanyaan-pertanyaan diantaranya :
Pada titik mana dari proses pembuatan peraturan perundang-undangan BPHN dapat
berperan ?
Apakah terbatas pada perumusan naskah akademik, perancangan pasal-pasal RUU,
atau juga bisa berlanjut hingga proses pembahasan RUU dengan DPR ?
Apakah BPHN akan berwenang untuk mengedit berbagai rancangan peraturan
perundang-undang yang diusulkan oleh lembaga diluar dirinya apabila rancangan itu
dipandang tidak sesuai dengan legal policy yang telah digariskan ?
Di luar persoalan itu, penyesuaian berbagai peraturan perundang-undangan dengan legal
policy yang telah digariskan merupakan dimensi penting dari pembangunan hukum nasional.
Hal ini harus diperjuangkan semua pihak yang mencita-citakan terwujudnya negara hukum.
3)
peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undang
dibawah Undang-Undang ini adalah Mahkamah Agung. Dasar hukumnya adalah norma yang
ada dalam pasal 24A UUD 1945 :
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan dibawah undang-undang terhadap Undang-Undang dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
20
Kewenangan MA ini kemudian lebih dijabarkan lagi ke dalam UU No. 5 tahun 2004, tentang
perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang MA , dalam pasal 31 menegaskan :
1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap Undang-Undang.
2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undang dibawah
Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada
tingkat kasasi maupun, berdasarkan permohonan langsung pada mahkamah agung.
4) Peraturan perundang-undang yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
5.
yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif
menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah
jaring laba laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat
yang kaya dan kuat.
Menurunnya kualitas sebagai negara hukum di Indonesia tidak lepas dari lemahnya
etika para profesional hukum. Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode
etik profesi karena beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota
masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, di samping sifat
manusia yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang
diberikan.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Negeri Medan (Pusham Unimed), Majda El Muhtaj bahwa hukum bisa dibeli dan dijadikan
tawar-menawar politik. Naif sekali. Indonesia benar-benar berduka dengan matinya hukum
dan keadilan. Korupsi politik adalah fakta keindonesiaan kita hari ini. Bebasnya Gayus
Tambunan, terdakwa kasus penggelapan pajak, melenggang keluar-masuk Rumah Tahanan
Mako Brimob bukanlah peristiwa baru. Ia masih cukup bebas menghirup udara segar setelah
divonis Mahkamah Agung. Ia masih sempat berjudi di kasino Marina Bay (Singapura),
Venetian (Macau), dan Los Angeles. Ia juga pernah tertangkap kamera wartawan ketika ia
menonton pertandingan tenis di Bali. Gayus juga menyebut mereka yang menjadi tahanan di
rutan Mako melakukan hal serupa. Selepas kejadian mengherankan itu, muncul indikasi
kecurigaan terhadap integritas pemerintah dan hukum di Indonesia. Konon dikatakan sipir
penjara disuap sebesar 50 juta rupiah, dalam sekali pelepasan tahanan.
Kasus lain ialah kasus Nazarudin. Tersangka kasus korupsi wisma atlet ASEAN
GAMES ini menghabiskan 6 triliun rupiah kas negara, namun belum diproses secara formal
hingga kini. Masih banyak nama-nama petinggi negara yang disebut, bahkan akhir-akhir ini
ia menyebut nama Presiden RI ikut andil dalam kasus KKN kelas wahid itu.
Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor
yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati
Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa
tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan
berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai
Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah
22
alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar,
Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan itu merupakan keputusan
MA dan pemerintah hanya menjalankannya.
Sedangkan kasus terbaru yang beda dari kasus diatas ialah kasus penabrakan pejalan
kaki ditrotoar oleh pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani Susanti. Setelah
diselidiki sebab-musabab ia melakukan penabrakan tersebut, diketahui bahwa sang
pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah
ia hanya dikenakan vonis 6 tahun penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda; membunuh
orang, merusak trotoar, mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol.
Ini hanya segelintir cerita dari praktik buruknya mekanisme penegakan hukum di Indonesia.
Sebuah fenomena menarik dapat kita simpulkan dari vonis masa tahanan yang
diberikan pada 3 pendosa besar diatas. Kesalahan mereka sangat berat dan merugikan banyak
orang. Namun, ketika uang disodorkan pada penegak hukum, segala perkara dapat selesai
dengan mudah, semua dapat diperingan. Bayangkan dengan kondisi kronis yang dialami
rakyat kecil.
Sebagai contoh, seorang pencuri buah kakao di perkebunan swasta, ia hanya
mengambil buah-buah yang jatuh dari pohon, kemudian hendak dijualnya untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Namun, pemilik kebun tidak terima dan melaporkan kejadian itu ke
polisi. Pencuri buah kakao ini pun divonis 1,5 bulan penjara, padahal pencuri ini adalah
seorang nenek berusia senja.
Saya setuju apapun namanya mencuri adalah kesalahan dan tidak dapat dibenarkan.
Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Apa mungkin
seorang nenek berusia lanjut dan buta huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan
keawamannya tentang hukum.
Sangat miris ketika melihat seorang nenek tua duduk di depan pengadilan dengan
wajah tuanya dan tatapan kosong. Bahkan untuk datang ke persidangan pun, nenek tersebut
harus meminjam uang sebesar Rp. 30.000,- untuk biaya transportasi karena jarak pengadilan
dari rumah yang memang cukup jauh.
Hal ini sangat ironis karena seorang nenek tua saja bisa menghadiri persidangannya
walaupun harus meminjam uang untuk biaya trasportasi sedangkan seorang pejabat yang
23
terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan
alasan sakit yang dibuat-buat atau alasan lainnya,seperti korupsi kelas kakap.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang
memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Saya sendiri merasa malu dengan
moral bangsa ini yang begitu naf. Ada pertanyaan besar yang timbul dari serangkaian kasus
di negeri ini, Apakah hukum di Indonesia bisa di beli dengan uang ? Jika bisa, konglomerat
tidak perlu takut melanggar hukum karena mereka dapat bernegoisasi di belakang pengadilan
agar mendapatkan keringanan hukum. Yang menjadi masalah adalah rakyat kecil yang
semakin tidak terlindungi dan semakin tertindas.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri
sedangkan hukumnya saja di kontrol dengan uang ? menurut saya, Indonesia bahkan belum
dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan
pemerintahannya sendiri. Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip
peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik
peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata
lain dari kata sulit dan susah untuk diharapkan.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang
lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat
diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang
berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum
tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada
pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini tidak akan pernah
memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. Sindiran yang sifatnya sarkatisme
mengatakan, berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan
undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik
dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini. Tapi agaknya para Penegak Hukum,
Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu
dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi
pekerjaan dan tanggungjawabnya.
24
maupun
di
tingkat
koordinasi
pengharmonisasian
yang
25
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari berbagai penyimpangan/penyelewengan hukum yang terjadi di Indonesia dapat
disimpulkan bahwa di Indonesia terjadi ketidakadilan hukum antara pihak yang lemah
dengan pihak yang kuat. Hal ini terjadi karena kurang tegasnya penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya, sehingga menyebabkan semakin lama kejahatan semakin meningkat
di indonesia dan pihak yang lemah selalu di rugikan.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang
memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Jika ini terus berlanjut, tidak
mengherankan bila dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan semakin terpuruk. Hukum
merupakan aspek terpenting dalam suatu negara, apabila hukum negara saja bisa di
permainkan dengan uang, bisa dibayangkan bagaimana keadaan Indonesia di masa yang akan
datang.
Dalam hal ini, masyarakatlah yang harus melawan atas ketidakadilan hukum yang
terjadi, rakyat selain sebagai pematuh dari pada peraturan tersebut juga perlu sebagai
pengawas atas keadilan yang akan diciptakan oleh peraturan perundang-undangan tersebut,
dan apabila tidak sesuai dengan harapan masyarakat, dan dinilai menyimpang dari rasa
keadilan, maka peran penting rakyatlah yang mampu menggugat atas ketidakadilan dari pada
26
Saran
Perlunya peran penting rakyat sebagai pelaksana dan pengawas atas jalannya
peraturan perundang-undang sesuai kebutuhan hukum masyarakat, dan harus ada keyakinan
dari dalam diri sendiri untuk berubah dan kembali menegakkan hukum sesuai koridornya,
demi terciptanya kehidupan yang selaras berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Naa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangundangan di Indonesia, Bandung : P.T Alumni (2012).
Aziz Syamsuddin, Proses dan Tehnik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta :
Sinar Grafika, (2013).
Yuliandri, Asas-asas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan yang baik,
Jakarta : Rajawali Pers, (2010).
27