Anda di halaman 1dari 30

Tugas Ilmu Perundang-undangan

MAKALAH MENGENAI PEMBENTUKAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANG SEBAGAI SOLUSI KEBUTUHAN HUKUM
MASYARAKAT

OLEH :
ELYA FADILLAH SARI
NIM. 02011381419326

FAKULTAS HUKUM
DOSEN PEMBIMBING : LAUREL HEYDIR, S.H.,MA.

JENJANG PENDIDIKAN SARJANA


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT,karena berkat rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan tugas mengenai makalah IPU yang berjudul
Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan Sebagai Solusi Kebutuhan Hukum
Masyarakat.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Laurel Heydir, S.H.,MA, selaku dosen mata kuliah Ilmu Perundang-undangan.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam pembuatan tugas ini,
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis yang menyebabkan tugas ini jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna penyempurnaan tugas ini. Penulis berharap semoga Allah SWT
memberikan imbalan pahala yang berlipat ganda atas jasa dan amal baik yang telah diberikan
oleh semua pihak. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya pembaca.

Palembang, 20 November 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...................................................................................................

KATA PENGANTAR.................................................................................................

ii

DAFTAR ISI...............................................................................................................

iii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................................

BAB II

1
1
2

PEMBAHASAN
1. Pengertian, batasan dan ciri-ciri peraturan perundangUndangan..............................................................................................
2. Landasan dan asas-asas peraturan perundang-undang..........................
3. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan...............................
4. Proses pembentukkan dan pengujian mengenai
Peraturan perundang-undangan............................................................
5. Bentuk-bentuk penyelewengan dan ketidakadilan hukum
di Indonesia...........................................................................................

3
5
10
15
22

BAB III PENUTUP


A.
B.

Kesimpulan...............................................................................
Saran.........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

27
27

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Dewasa ini tidak ada negara atau suatu bangsa di dunia yang tidak mempunyai hukum

sendiri. Apabila dalam pengartian bahasa kita sering mengenal dengan istilah tata hukum.
Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri, sedemikian juga dengan bangsa
indonesia yang mempunyai tata hukum dan pembentukan perundang-undangannya sendiri.
Indonesia dikenal sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law, yang prinsip
dasarnya adalah hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan
perundang-undangan yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
Sebagai sumber hukum utama dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law),
undang-undang yang dibentuk oleh badang legislatif dan dijadikan pegangan oleh lembaga
eksekutif yang berdasarkan kewenangan dan kebiasaan-kebiasan yang hidup dalam
masyarakat.

Undang-Undang

tentang

Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan

didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.


Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang
sesuai dengan sistem hukum nasional. Perkembangan peratuaran perundangan sangat flexible
mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja
Undang-Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
B.

Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.

Apa pengertian, batasan dan ciri-ciri dari peraturan perundang-undangan?


Apa landasan dan asas-asas peraturan perundang-undang?
Apa saja jenis dan hierarki peraturan perundang-undang?
Bagaimana proses pembentukan dan pengujian mengenai peraturan perundangundang?
1

5. Apa saja bentuk penyelewengan/ketidakadilan hukum di Indonesia?


C.

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan ciri dari peraturan perundang-undangan.
2. Agar pembaca dapat mengetaui landasan dan asas-asas dari peraturan perundangundangan.
3. Dapat mengetahui jenis-jenis dari peraturan perundang-undangan tersebut.
4. Untuk mengetahui proses dan pengujian tentang pembentukan peraturan perundangundangan.
5. Agar dapat tercapainya kebutuhan hukum masyarakat dalam upaya menggapai
keadilan, kedamaian dan kepastian hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
1.

Pengertian, batasan dan ciri-ciri peraturan perundang-undangan

A.

Pengertian
Dalam kenyataan, baik naskah peraturan Perundang-undangan maupun dalam

berbagai literatur HTN Indonesia dikenal berbagai istilah yaitu perundangan, Perundangundangan, peraturan perundangan, peraturan Perundang-undangan dan peraturan negara.
Dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah wet, wetgeving, weewlijke regels atau
2

wettelijke regeling. Pengertian wet sendiri dibedakan antara wet in formale zin dan wet in
materiele zin. Istilah Perundang-undangan dan peraturan Perundang-undangan berasal dari
istilah wettelijke regels, sedangkan istilah staatsgeling (staat = negara, regeling =
peraturan).
Perundangan berasal dari istilah undang, bukan berasal dari kata undang-undang.
Kata undang tidak mempunyai konotasi dengan pengertian wet atau undang-undang,
karena istilah peraturan negara adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh
istansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun perjabat tertentu. Peraturan Pemerintah
penganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat Keputusan dan
Istruksi.
Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah peraturan mengenai
tata cara pembuatan negara. Soehino dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Negara :
Teknik Perundang-undangan, menggunakan istilah peraturan perundangan. Istilah tersebut
pernah pula digunakan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagaimana tercantum
pada Urutan Peraturan Perundangan RI.
Istilah perundangan lebih pendek dan oleh karenannya sangat ekonomis, selain itu
istilah tersebut pernah digunakan dalam Konstitusi RIS 1949 sebagaimna dimuat dalam pasal
5 ayat 3 dengan rumusan perundang-undangan federal. Dan dalam UUDS 1950
sebagaimna dimuat dalam Bagian II dengan judul Perundang-undangan dan dalam pasal 89
yang menyebut kekuasaan perudangan.
Istilah peraturan Perundang-undangan. Pengunaan istilah perundang-undangan
lebih berkaitan atau lebih relevan dalam pembicaraan mengenai jenis atau bentuk peraturan
(hukum). Dalam konteks lain lebih menggunakan istilah perundangan saja, misalnya istilah
Ilmu Perundang-undangan. Teoru Perundang-undangan. Dasar Perundang-undangan dsb.
Dalam hubungan dengan pengertian undang-undang dalam arti materil (wet in
materiele zin) dan undang-undang dalam arti formal (wet in formale zin), perlu di pahami
perbedaan anatara keduanya. Oleh karena itu dari segi tata hukum dikenal adanya undangundang formal yang tidak meterial, undang-undang formal yang material, undang-undang
tidak formal tetapi tidak material, dan undang-undang tidak formal dan juga tidak material.
Adapun yang dimaksud dengan undang-undang formal tidak material adalah peraturan yang

terbentuknya dengan persetujuan DPR dan pengesahan Pemerintah (Presiden), tetapi isinya
tidak langsung mengikat penghidupan rakyat.
Misalnya adalah undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang ratifikasi
penjanjian dengan negara lain. Undang-undang tidak formal tetapi material adalah ialah
peraturan yang terbentuk tidak dengan persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah, upama
yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah, akan tetapi isinya langsung mengikat penghidupan
rakyat. Ini termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan. Sedangkan Undangundang Formal yang material adalah undang-undang yang dibentuk atas persetujuan DPR
dan disahkan oleh Presiden, yang isinya mengikat rakyat. Dan undang-undang yang tidak
formal dan tidak material ialah isinya sama sekali tidak mengikat rakyat.
B.

Batasan dan ciri-ciri peraturan perundang-undangan


Seperti halnya batasan tentang hukum, batasan mengenai peraturan perundang

undangan pun ada berbagai pendapat. Menurut PJP Tak dalam bukunya Rechtsvorming in
Nederland mengartikan peraturan perundang-undangan (undang-undang dalam arti materil)
adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan
tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar memberikan pengertian peraturan perundangundangan ilah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga
dan atau pejabat negara yang tidak mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai tata
cara yang berlaku. Sementara itu A. Hamid Attamimi memberikan batasan peraturan
perundang-undangan adlah peraturan negara, di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang
dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik yang bersifat atribusi maupun
bersifat delegasi. Kemudian menurut TJ Buys mengartikan peraturan perundang-undangan
sebagai peraturan yang mengikat secara umum (algemen bindende voorschriften).
Pendapat tersebut oleh Prof. JHA Logemann ditambah dengan naar buiten weerkende
voorshriften. Sehingga peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang mengikat
secara umum dan berdaya laku keluar (algemen bindende en naar buiten weerkende
voorshriften). Pengertian daya laku keluar adalah bahwa ditunjukkan ke dalam masyarakat
umum tidak ditunjukkan ke dalam pembentukkannya. Rasanya paling sulit menetapkan
batasan mana yang paling baik. Yang jelas bahwa dari batasan dan pengetian peraturan

perundang-undangan sebagaimna yang dirumuskan diatas, dapat didefinisikan sifat-sifat atau


ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan yaitu :
a) Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi emempunyai bentuk
dan format tertentu.
b) Dibentuk, ditetapkan atau dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik di tingkat
Pusat maupun tingkat Daerah. Yang dimakasud dengan pejabat yang berwenang
adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik berdasarkan
atribusi maupun delegasi.
c) Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi,
peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regulered), tidak bersifat sekali
jalan (einmahlig).
d) Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum karena ditunjukkan kepada
umum, artinya tidak ditunjukkan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak
bersifat individual).

2.

Landasan dan asas-asas peraturan perundang-undang

A.

Landasan peraturan perundang-undang

Peraturan perundang-undangan sekurang-kurangnya memuat:


A).

Landasan Filosofis
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan folosofis ( filisofische

grondslag ) apabila rumusannya atau normanya mendapatkan pembenaran dikaji secara


filosofis. Jadi mendapatkan alasan sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup manusia
dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan sesuai dengan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan
kehidupan ( way of life ), filsafat hidup bangsa, serta kesusilaan.
B).

Landasan Sosiologis
Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis ( sociologische

groundslag ) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran


hukum masyarakat., tata nilai, dan hukum yang hidup di masyarakat agar peraturan yang
dibuat dapat dijalankan.
C).

Landasan Yudiris
5

Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan yuridis (rechtsground)


apabila mempunyai dasar hukum, legalitas atau landasan yang terdapat dalam ketentuan
hukum yang lebih tinggi derajatnya. Disamping itu landasan yuridis mempertanyakan apakah
peraturan yang dibuat sudah dilakukan oleh atas dasar kewenganannya.
B.

Asas-asas peraturan perundang-undangan


Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan

bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu


yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas
adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat
dan bertindak. Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang
mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat
itu mengarah pada substansi yang sama.
Maka ada beberapa asas peraturan perundang-undangan yang kita kenal, diantaranya:
1. Asas lex superior derogat legi inferior ;
2. Asas lex specialis derogat legi generalis ;
3. Asas lex posterior derogat legi priori ;
4. Asas undang-undang tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif) / Asas Legalitas ;
maka dalam bagian ini penulis ingin menjelaskan tentang azas yang pertama yang dikenal
juga dengan azas hirarki.
Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori
Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai Teori Aquo). Hans Kelsen
dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah
hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara
Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undangundang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam
6

hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan


perundang-undangan.
Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut ketentuan
UU No.12 Tahun 2011 adalah ; Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;


Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat
umum (lex generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota
harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama
juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga
keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah
Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan
yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti
dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak
berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist
yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat
Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup
disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Asas Legalitas tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya. (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een
daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).

Asas legalitas yang mengandung tiga pengertian, yaitu:


1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak
terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Contoh yang berkenaan dengan Asas Legalitas: Keadilan bagi korban salah tangkap.
Mereka kembali bisa menghirup kebebasan. Namun, fenomena itu lagi-lagi memperlihatkan
betapa kerdilnya kedudukan warga di hadapan kekuasaan negara. Bagaimanapun, dalam
negara demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara wajib
melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga
yang menjadi korban salah tangkap.
Kasus yang bertentangan dengan asas legalitas: putusan Mahkamah Agung No. 275
K/Pid/1982 tanggal Desember 1983, dalam perkara korupsi Bank Bumi Daya dengan
terdakwa direktur Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa. Terdakwa ternyata
melakukan penyelewengan kewenangan dengan memberikan prioritas kredit kepada PT. Jawa
Building, bergerak dibidang real estate, yang mana dilarang oleh BI berdasarkan surat edaran
No. SE 6/22/UPK, tertanggal 30 juli 1983. Terdakwa ternyata menerima fasilitas yang
berlebihan dan keuntungan lain dari pemberian kredit tersebut dari A Tjai alias Endang
Wijaya.
Dalam kasus ini MA menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum secara materiil dalam
fungsi positif dalam putusannya No. 275 K/Pid/1982. Dalam putusan ini MA menyatakan
bahwa jika penyalahgunaan wewenang hanya dihubungkan dengan policy perkreditan
direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi
pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum,
seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang
bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Artinya walaupun tindakan
penyelewengan tersebut tidak memenuhi rumusan delik namun bertentangan dengan rasa
keadilan dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat, perbuatan penyelewengan ini dapat
dijatuhi pidana.
Walau pada dasarnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif ini
bertentangan dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa undang-undang harus
merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana
8

(kejahatan, crimes), namun demi rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban di masyarakat MA
memutuskan bahwa perbuatan penyalahgunaan jabatan dalam kasus ini termasuk dalam
tindak pidana korupsi. Hukum bukan hanya undang-undang tertulis yang di sahkan oleh
pejabat yang berwenang namun hukum itu juga merupakan perilaku yang berkembang di
masyarakat. Karena keadaan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat tidak selalu
sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan.
Kasus lain yang bertentangan dengan asas legalitas: tindakan Menteri Hukum dan HAM
Amir Samsuddin dan wakilnya Denny Indrayana yang menunda penundaan permohonan
bebas bersyarat Paskah Suzetta melanggar hukum. Apa yang dilakukan Amir dan Denny
adalah jelas-jelas melanggar hukum, dan tidak sepatutnya dilakukan dalam sebuah negara
hukum negara hukum menjunjung tinggi asas legalitas: tidak ada tindakan dari aparatur
negara boleh dilakukan bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.
Kasus yang baru-baru ini bertentangan dengan asas legalitas : kakus prita mulyasari.
Aparat penegak hukum membidik Prita dengan pasal 27 mengenai pencemaran nama dalam
UU ITE yang ancaman maksimum penjara selama 6 tahun. Pasal ini, walaupun oleh MK
telah dinyatakan bersifat konstitusional, tetap saja ketentuan ini tidaklah diperlukan karena
pengaturan mengenai pencemaran nama sudah diatur dalam banyak pasal di KUHP. Adanya
Pengaturan pasal ini bagi penulis bersifat over-kriminalisasi, karena memang substansinya
telah diatur secara jelas dalam KUHP.
Sepertinya pembuat Undang-Undang perlu memperhatikan bahwa dalam tataran teoritik,
pengaturan di luar KUHP baru dimungkinkan apabila tidak ada delik genus dalam KUHP
yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut benar-benar kejahatan baru
yang tidak ada padanannya dalam KUHP. Jika ada ketentuan genus-nya dalam KUHP maka
cukup dilakukan dengan cara mengamandemen KUHP.
Perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar
KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari KUHP karena telah mengatur substansi
hukum yang secara diam-diam membentuk sistem hukum pidana sendiri yang berbeda
dengan dan tidak terkontrol atau tidak terkendali oleh asas-asas umum hukum pidana buku
satu KUHP, padahal sesuai dengan prinsip kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan
umum hukum pidana nasional yang semestinya menjadi dasar dan landasan dalam
mengembangkan hukum pidana dalam pengaturan perundang-undangan di luar KUHP.

3.

Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

A.

Jenis dan Hierarki

Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sebelum menuju pada poin utama Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia
menurut UU No. 12 Tahun 2012, tak ada salahnya kita juga mengetahui perubahanperubahan yang telah terjadi sebelumnya. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Indonesia di masa sebelumnya.
Tata perundang-undangan diatur dalam :
1.

Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber

tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.
Urutannya yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

UUD 1945;
Ketetapan MPR;
UU;
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.

Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.


2.

Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Undang-

Undang.
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

UUD 1945;
Tap MPR;
UU;
Peraturan pemerintah pengganti UU;
PP;
Keppres;
Peraturan Daerah;

Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

10

3.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.
Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


UU/Perppu;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah.

Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.


4.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Ketetapan MPR;
UU/Perppu;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi;
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 7 ayat 1 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :


a.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara

Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar
hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
UUD1945 mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949. Setelah itu
terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun melalui
dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku kembali sampai
dengan sekarang.
b.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat


11

Merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban


kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada
masa sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang.
Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia.
Contoh

TAP MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER


HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000

c.

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


Yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan DPR
(produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang
mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan
begitu pula sebaliknya.
Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk
konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka
mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara.
Contoh

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32


TAHUN 2010 TENTANG LARANGAN MEROKOK

d.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
1.

Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR;

2.

Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;

3.

DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
12

4.

Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.

Contoh

bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti
dengan undang-undang yang baru; diganti dengan : UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI.

e.

Peraturan Presiden (PP)


Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Contoh

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR


10 TAHUN 1987 TENTANG SATUAN TURUNAN, SATUAN
TAMBAHAN, DAN SATUAN LAIN YANG BERLAKU DAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
48 TAHUN 1973 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN
KEUANGAN DAERAH.

f.

Peraturan Daerah Provinsi

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang
menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah
otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi menjadi daerah tingkat I dan
daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat
menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundangan diatasnya.
Contoh

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA


JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN
PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DI PROPINSI DAERAH
13

KHUSUS IBUKOTA JAKARTA dan PERDA NO. 10 TAHUN


2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR:
10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN
PROVINSI JAWA BARAT
g.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.
Contoh

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II


GRESIK NOMOR 01 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN
PERTAMA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH
TINGKAT II GRESIK NOMOR 01 TAHUN 1989 TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK TAHUN
ANGGARAN 1989/1990.

Perbedaan Hirarkhi Tata Urutan Perundang-undangan di dalam Undang-undang 12


tahun 2011 dan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ini mempunyai dampak hukum
terhadap Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangundangan dimana sesuai dengan asas bahwa ketika ada suatu peraturan perundang-undangan
yang sama, maka yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang baru. Hal ini
dipertegas dalam Pasal 102 dimana berbunyi :
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan
Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004. Perubahan yang
mencolok terdapat pada Hirarkhi Peraturan Perundang-undanganya dimana dalam UU No 10
tahun 2004.
14

4.

Proses pembentukan dan pengujian mengenai peraturan perundang-undang

A.

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan


Proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu

tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undangundang . Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang no 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa, Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan-perundang-undangan yang pada
dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Secara ringkas, pembentukan Undangundang dapat dijabarkan menjadi beberapa tahap di bawah ini.
1)

Tahap Perencanaan
Proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia,

dilaksanakan sesuai dengan Program Legislasi Nasional yang merupakan perencanaan


penyusunan Undang-undang yang disusun secara terpadu antara Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Pemerintah. Penyusunan Prolegnas dikorrdinasikan oleh alat kelengkapan DPR
yang menangani legislasi (Badan Legislasi) dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya
meliputi peraturan perundag-undangan (Menhukham). Tata cara penyusunan dan pengelolaan
Prolegnas selanjutnya diatur dalam Perpres no 61 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan
dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
2)

Tahap Persiapan
Dalam tahap ini, Rancangan Undang-undang (RUU) disusun oleh pihak yang

mengajukan. RUU dapat diajukan oleh DPR, Presiden, maupun Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang disusun berdasarkan Prolegnas. Khusus untuk DPD hanya dapat mengajukan
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah . Penyusunan RUU yang berada dalam Prolegnas, diatur dalam Perpres no 68
tahun 2005. Penyusunan RUU yang didasarkan pada Prolegnas tidak memerlukan izin
prakarsa dari Presiden. Sedangkan dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU
di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada
Presiden .
15

Keadaan tertentu untuk mengajukan RUU yang dimaksud adalah:


a) Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi Undangb)
c)
d)
e)

undang
Meratifikasi konvensi atau perjanjian Internasional
Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam
Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU
yang dapat disetujui bersama oleh Baleg DPR dan Menteri

Dalam menyusun RUU, pemrakarsa dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik
mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang, yang merumuskan
antara lain tentang dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok, dan lingkup materi yang diatur.
Penyusunan tersebut dapat dilakukan bersama-sama dengan departemen yang ruang
lingkupnya dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan
kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang memiliki keahlian untuk itu . Setelah
selesai disusun, RUU diserahkan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan bersama.
3)

Tahap Pembahasan di DPR


Dalam tingkat pembahasan di DPR, setiap RUU, baik yang berasal dari Pemerintah,

DPR, maupun DPD dibahas dengan cara yang ditentukan dalam Keputusan DPR RI no
08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, khususnya pasal 136,137, dan 138. Dalam pasal 136 dijelaskan bahwa
pembahasan RUU diakukan melalui 2 tingkat pembicaraan yaitu :
a) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi,
Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus
b) Pembicaraan Tingkat II, dilakukan dalam Rapat Paripurna Sebelum dilakukan
pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II, diadakan rapat fraksi. Fraksi-fraksi juga dapat
mengadakan rapat dengar pendapat dengan pakar-pakar atau kelompok masyarakat
yang berkepentingan untuk mencari masukan dalam membawakan aspirasi rakyat
atau fraksinya.
Setelah pembicaraan dalam tingkat II selesai, RUU yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden akan dikirimkan kepada Presiden untuk dimintakan pengesahan.
Sedangkan apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan DPR masa itu.
16

4)

Tahap Pengesahan
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, diserahkan pada Presiden

paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Pengesahan RUU yang telah
disetujui bersama dilakukan dengan pembubuhnan tanda tangan Presiden paling lambat 30
hari sejak RUU tersebut disetujui bersama. Setelah Presiden mengesahkan RUU yang telah
disetujui besama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka UU tersebut diundangkan oleh
Menteri yang tugasnya meliputi peraturan perundangan agar ketentuan tersebut dapat berlaku
dan mengikat untuk umum. Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani Presiden dalam
jangka waktu 30 hari, maka RUU tersebut menjadi sah dan wajib diundangkan dengan
rumusan kalimat yang berbunyi, Undang-undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan
pasal 20 ayat (5) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5)

Tahap Pengundangan
Pengundangan dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi

peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, undang-undang mulai berlaku untuk umum


dan memiliki kekuatan mengikat sejak pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang yang bersangkutan. Pengundangan dilakukan dengan memuat undangundang yang bersangkutan dalam lembaran negara. Dengan demikian, maka setiap orang
dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut.
B.

Pengujian peraturan perundang-undangan

1)

Toetsingrecht dan Judicial review


Pengujian peraturan perundang-undangan telah dikenal lama dalam berbagai tradisi

hukum global (global legal tradition), sehingga ada yang dikenal dengan istilah toetsingrecht
dan ada pula istilah judicial review. Bilamana diartikan secara etimologis dan terminologis,
toetsingrecht berarti hak menguji, sedangkan judicial review berarti meninjau oleh lembaga
pengadilan. Dari kedua istilah ini pada dasarnya mengandung pengertian yang sama, yaitu
kewenangan menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah
secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh sebuah lembaga
pengadilan. Tidak demikian dengan toetsingrecht yang dapat saja oleh otoritas lain diluar
lembaga peradilan.
Hak menguji tersebut terbagi dua, yaitu:
17

a).

Hak menguji formal (formele teotsingrecht) :


wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses

pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan


perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal terkait dengan masalah
prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Hak menguji formal adalah : wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif
seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah
ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.
Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo.
20 ayat (2) Amandemen UUD 1945).
Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula
dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas. Demikian pula
Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD
bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota. Suatu produk hukum tidak dapat disebut
Peraturan Daerah (Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh
DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya.
b).

Hak menguji material (materiele toestingrecht) :


suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-

undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, (lex
superior derogate lex infriore), serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususankekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku
umum. Menurut Prof Harun Alrasid, hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan
undang-undang, dan hak menguji ialah mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah
isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
18

Seringkali dalam praktik terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah hak menguji
(toetsingrecht) dengan (judicial review) yang menganggap keduanya adalah identik.
Sesungguhnya keduanya terdapat perbedaan, yaitu :
1. hak menguji (totsingrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap UUD, sedangkan judicial review tidak hanya menilai peraturan
perundang-undang tetapi juga executive act, administrative action, dan judgement terhadap
UUD.
2. hak menguji (toetsingrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki
oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan judicial review hanya merupakan kewenangan
dari hakim pengadilan dalam kasus konkret dipengadilan.
2)

Pengujian terhadap undang-undang

Menurut pasal 24C ayat (1) UUD 1945 :


Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan norma pasal dalam UUD 1945 di atas, lembaga negara yang berwenang
untuk menguji konstitusionalitas tidaknya suatu undang-undang adalah mahkamah konstitusi.
Proses dan sifat dari kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD 1945 dilakukan
sejak dari mengadili pada tingkat pertama hingga tingkat terakhir yang putusannya bersifat
final. Final artinya tidak ada upaya hukum lainnya terhadap/atas putusan itu. Kewenangan ini
juga telah dikonkretisasi pada norma setingkat UU, khususnya dalam undang-undang no. 4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang antara lain menegaskan bahwa :
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
dalam hal menguji UU terhadap UUD 1945.
Hanya saja terkadang pengujian terhadap undang-undang menjadi terlampau banyak
yang masuk ke MK, baik undang-undang yang sudah lama berlaku maupun yang baru
diundangkan. Hal ini tidak dapat dihindari kalau dalam proses pembentukannya tidak
menampilkan UU yang berkwalitas, sehingga dapat diterima oleh rasio hukum (legal
19

rasioning) masyarakat. Dapat diprediksi suatu saat (di masa-masa yang akan datang) MK
akan kerepotan dalam menguji UU yang bermasalah akibat gugatan masyarakat yang terkena
imbas lahirnya UU yang dimaksud.
Untuk itu, perlu ada konsep baru yang dapat mendukung agar UU yang akan
diundangkan seminimal mungkin untuk tidak diajukan ke MK. Antara lain yang dapat
dilakukan adalah memerankan secara maksimal BPHN (Badan Pembina Hukum Nasional)
dalam proses pembentukan UU terutama yang terkait dengan politik, karna dalam RUU
politik, sama sekali tidak bisa dilepaskan dengan pengaruh politik yang amat dominan,
terutama di dalam internal DPR.
Peran yang harus di isi BPHN adalah melalui beberapa pertanyaan-pertanyaan diantaranya :
Pada titik mana dari proses pembuatan peraturan perundang-undangan BPHN dapat
berperan ?
Apakah terbatas pada perumusan naskah akademik, perancangan pasal-pasal RUU,
atau juga bisa berlanjut hingga proses pembahasan RUU dengan DPR ?
Apakah BPHN akan berwenang untuk mengedit berbagai rancangan peraturan
perundang-undang yang diusulkan oleh lembaga diluar dirinya apabila rancangan itu
dipandang tidak sesuai dengan legal policy yang telah digariskan ?
Di luar persoalan itu, penyesuaian berbagai peraturan perundang-undangan dengan legal
policy yang telah digariskan merupakan dimensi penting dari pembangunan hukum nasional.
Hal ini harus diperjuangkan semua pihak yang mencita-citakan terwujudnya negara hukum.
3)

Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang


Peraturan perundang-undangdibawah Uudikenal dengan executive act, antara lain :

peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undang
dibawah Undang-Undang ini adalah Mahkamah Agung. Dasar hukumnya adalah norma yang
ada dalam pasal 24A UUD 1945 :
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan dibawah undang-undang terhadap Undang-Undang dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

20

Kewenangan MA ini kemudian lebih dijabarkan lagi ke dalam UU No. 5 tahun 2004, tentang
perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang MA , dalam pasal 31 menegaskan :
1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap Undang-Undang.
2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undang dibawah
Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada
tingkat kasasi maupun, berdasarkan permohonan langsung pada mahkamah agung.
4) Peraturan perundang-undang yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.

5.

Bentuk-bentuk penyelewengan dan ketidakadilan hukum di Indonesia


Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan

kelembagaan. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum-hukum Eropa,


hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun
pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah
masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda.
Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakanakan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia, rakyat Indonesia seolah tak lagi takut pada
hukum yang berlaku di negara ini.
Kebanyakan orang akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat di beli, yang
menang mereka yang mempunyai kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari
gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat
bahwa karena hukum dapat di beli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk
melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum, seperti mafia hukum dan
peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas
21

yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif
menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah
jaring laba laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat
yang kaya dan kuat.
Menurunnya kualitas sebagai negara hukum di Indonesia tidak lepas dari lemahnya
etika para profesional hukum. Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode
etik profesi karena beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota
masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, di samping sifat
manusia yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang
diberikan.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Negeri Medan (Pusham Unimed), Majda El Muhtaj bahwa hukum bisa dibeli dan dijadikan
tawar-menawar politik. Naif sekali. Indonesia benar-benar berduka dengan matinya hukum
dan keadilan. Korupsi politik adalah fakta keindonesiaan kita hari ini. Bebasnya Gayus
Tambunan, terdakwa kasus penggelapan pajak, melenggang keluar-masuk Rumah Tahanan
Mako Brimob bukanlah peristiwa baru. Ia masih cukup bebas menghirup udara segar setelah
divonis Mahkamah Agung. Ia masih sempat berjudi di kasino Marina Bay (Singapura),
Venetian (Macau), dan Los Angeles. Ia juga pernah tertangkap kamera wartawan ketika ia
menonton pertandingan tenis di Bali. Gayus juga menyebut mereka yang menjadi tahanan di
rutan Mako melakukan hal serupa. Selepas kejadian mengherankan itu, muncul indikasi
kecurigaan terhadap integritas pemerintah dan hukum di Indonesia. Konon dikatakan sipir
penjara disuap sebesar 50 juta rupiah, dalam sekali pelepasan tahanan.
Kasus lain ialah kasus Nazarudin. Tersangka kasus korupsi wisma atlet ASEAN
GAMES ini menghabiskan 6 triliun rupiah kas negara, namun belum diproses secara formal
hingga kini. Masih banyak nama-nama petinggi negara yang disebut, bahkan akhir-akhir ini
ia menyebut nama Presiden RI ikut andil dalam kasus KKN kelas wahid itu.
Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor
yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati
Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa
tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan
berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai
Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah
22

alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar,
Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan itu merupakan keputusan
MA dan pemerintah hanya menjalankannya.
Sedangkan kasus terbaru yang beda dari kasus diatas ialah kasus penabrakan pejalan
kaki ditrotoar oleh pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani Susanti. Setelah
diselidiki sebab-musabab ia melakukan penabrakan tersebut, diketahui bahwa sang
pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah
ia hanya dikenakan vonis 6 tahun penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda; membunuh
orang, merusak trotoar, mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol.
Ini hanya segelintir cerita dari praktik buruknya mekanisme penegakan hukum di Indonesia.
Sebuah fenomena menarik dapat kita simpulkan dari vonis masa tahanan yang
diberikan pada 3 pendosa besar diatas. Kesalahan mereka sangat berat dan merugikan banyak
orang. Namun, ketika uang disodorkan pada penegak hukum, segala perkara dapat selesai
dengan mudah, semua dapat diperingan. Bayangkan dengan kondisi kronis yang dialami
rakyat kecil.
Sebagai contoh, seorang pencuri buah kakao di perkebunan swasta, ia hanya
mengambil buah-buah yang jatuh dari pohon, kemudian hendak dijualnya untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Namun, pemilik kebun tidak terima dan melaporkan kejadian itu ke
polisi. Pencuri buah kakao ini pun divonis 1,5 bulan penjara, padahal pencuri ini adalah
seorang nenek berusia senja.
Saya setuju apapun namanya mencuri adalah kesalahan dan tidak dapat dibenarkan.
Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Apa mungkin
seorang nenek berusia lanjut dan buta huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan
keawamannya tentang hukum.
Sangat miris ketika melihat seorang nenek tua duduk di depan pengadilan dengan
wajah tuanya dan tatapan kosong. Bahkan untuk datang ke persidangan pun, nenek tersebut
harus meminjam uang sebesar Rp. 30.000,- untuk biaya transportasi karena jarak pengadilan
dari rumah yang memang cukup jauh.
Hal ini sangat ironis karena seorang nenek tua saja bisa menghadiri persidangannya
walaupun harus meminjam uang untuk biaya trasportasi sedangkan seorang pejabat yang

23

terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan
alasan sakit yang dibuat-buat atau alasan lainnya,seperti korupsi kelas kakap.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang
memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Saya sendiri merasa malu dengan
moral bangsa ini yang begitu naf. Ada pertanyaan besar yang timbul dari serangkaian kasus
di negeri ini, Apakah hukum di Indonesia bisa di beli dengan uang ? Jika bisa, konglomerat
tidak perlu takut melanggar hukum karena mereka dapat bernegoisasi di belakang pengadilan
agar mendapatkan keringanan hukum. Yang menjadi masalah adalah rakyat kecil yang
semakin tidak terlindungi dan semakin tertindas.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri
sedangkan hukumnya saja di kontrol dengan uang ? menurut saya, Indonesia bahkan belum
dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan
pemerintahannya sendiri. Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip
peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik
peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata
lain dari kata sulit dan susah untuk diharapkan.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang
lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat
diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang
berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum
tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada
pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini tidak akan pernah
memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. Sindiran yang sifatnya sarkatisme
mengatakan, berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan
undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik
dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini. Tapi agaknya para Penegak Hukum,
Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu
dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi
pekerjaan dan tanggungjawabnya.

24

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan


perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Di
antara rangkaian proses di atas ada proses yang tidak disebutkan secara tegas tetapi
mempunyai peran yang sangat penting, yaitu proses pengharmonisasian. Dengan demikian,
pengharmonisasian merupakan salah satu dari rangkaian proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar tidak terjadi atau
mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.
Karena tidak disebutkan secara tegas dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan, pertanyaannya adalah pada tahap apa proses pengharmonisasian itu
dilakukan? Sebetulnya proses pengharmonisasian bisa dilakukan di tingkat mana pun, sejak
dari tahap perencanaan hingga pada tahap pembahasan, baik di tingkat pembahasan
internal/antardepartemen

maupun

di

tingkat

koordinasi

pengharmonisasian

yang

diselenggarakan di Departemen Hukum dan HAM. Apabila proses pengharmonisasian sudah


dilakukan sejak awal, diharapkan ketika proses koordinasi pengharmonisasian di Departemen
Hukum dan HAM akan lebih mudah dan tidak memakan waktu lama. Untuk RUU, proses
pengharmonisasian bisa dilakukan sejak dari penyusunan Naskah Akademis, tidak harus
menunggu di ujung proses pengharmonisasian. Dengan Naskah Akademis, fakta yang
dianggap bermasalah dipecahkan secara bersama oleh Pemerintah dan DPR-RI, tanpa
mementingkan golongan atau kepentingan individu.
Jika Naskah Akademis selalu mendasarkan pada urgensi dan tujuan penyusunan,
sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur,
inventarisasi (informasi) peraturan perundang-undangan yang terkait, serta jangkauan dan
arah pengaturan yang memang dikehendaki oleh masyarakat, maka proses bottom up yang
selama ini diinginkan oleh masyarakat, akan terwujud. Jika suatu RUU dihasilkan melalui
proses bottom up, diharapkan undang-undang yang dihasilkan akan berlaku sesuai dengan
kehendak rakyat dan berlakunya langgeng. Sedangkan untuk rancangan peraturan perundangundangan di tingkat pusat di bawah UU, pengharmonisasian dilakukan sejak persiapan
sampai dengan pembahasan. Hal ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum
masyarkat dengan panduan dibuatnya peraturan perundang-undangan sebagai patokan hukum
masyarakat dan aspirasi mereka dapat dipenuhi.

25

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Dari berbagai penyimpangan/penyelewengan hukum yang terjadi di Indonesia dapat

disimpulkan bahwa di Indonesia terjadi ketidakadilan hukum antara pihak yang lemah
dengan pihak yang kuat. Hal ini terjadi karena kurang tegasnya penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya, sehingga menyebabkan semakin lama kejahatan semakin meningkat
di indonesia dan pihak yang lemah selalu di rugikan.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang
memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Jika ini terus berlanjut, tidak
mengherankan bila dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan semakin terpuruk. Hukum
merupakan aspek terpenting dalam suatu negara, apabila hukum negara saja bisa di
permainkan dengan uang, bisa dibayangkan bagaimana keadaan Indonesia di masa yang akan
datang.
Dalam hal ini, masyarakatlah yang harus melawan atas ketidakadilan hukum yang
terjadi, rakyat selain sebagai pematuh dari pada peraturan tersebut juga perlu sebagai
pengawas atas keadilan yang akan diciptakan oleh peraturan perundang-undangan tersebut,
dan apabila tidak sesuai dengan harapan masyarakat, dan dinilai menyimpang dari rasa
keadilan, maka peran penting rakyatlah yang mampu menggugat atas ketidakadilan dari pada
26

peraturan tersebut demi terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat melalui pembentukan


peraturan perundang-undangan.
B.

Saran
Perlunya peran penting rakyat sebagai pelaksana dan pengawas atas jalannya

peraturan perundang-undang sesuai kebutuhan hukum masyarakat, dan harus ada keyakinan
dari dalam diri sendiri untuk berubah dan kembali menegakkan hukum sesuai koridornya,
demi terciptanya kehidupan yang selaras berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Naa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangundangan di Indonesia, Bandung : P.T Alumni (2012).
Aziz Syamsuddin, Proses dan Tehnik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta :
Sinar Grafika, (2013).
Yuliandri, Asas-asas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan yang baik,
Jakarta : Rajawali Pers, (2010).

27

Anda mungkin juga menyukai