Anda di halaman 1dari 10

ASAS KEPASTIAN HUKUM SEBAGAI POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Teori dan Metode Perancangan Perundang-Undangan

Dosen Pengampu:

DR. INDAH DWI QURBANI, S.H., M.H.

Oleh:
Nur Rizkiya Muhlas
216010100111005
KELAS A

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022
A. Pendahuluan
Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia secara normatif
diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah melalui Undang-undang Nomor
15 tahun 2011 tentang perubahan atas dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam undang-
undang a quo mengamanatkan sejumlah asas yang harus dipatuhi oleh pembentuk
Undang-undang yang akan memproduk satu regulasi, misalnya dalam ketentuan pasal
5 mengatur tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Berikut diuraikan penafsiran dari asas-asas tersebut:
a) Asas Kejelasan Tujuan1
Pengertian dari “asas kejelasan tujuan” yaitu dalam hal
ikhwal proses penyusunan hingga pengundangan suatu regulasi
wajib untuk memiliki maksud yang terperinci dan akan
diwujudkan.
b) Asas Kelembagaan dan Pejabat Pembentuk yang teoat2
Pengertian dari “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat” yaitu segala bentuk Per-UU-an wajib disusun dan
dibentuk oleh organ atau suatu lembaga Negara dalam hal ini
adalah pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk membentuk regulasi. Biasanya disebut sebagai lembaga
legislative. Regulasi yang telah diundangkan bisa dibatalkan
maupun batal demi hukum jika regulasi yang dimaksudkan
tidak disusun atau dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat
yang tidak memiliki kewenangan.
c) Asas Keserasian di antara Hierarki, Materi Muatan3
Pengertian dari “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” yakni proses “rule making” dalam hal ini yakni
menyusun regulasi wajib untuk memerhatikan substansi yang
paling tepat dan berkesesuaian dengan tata urutan regulasi
1
Lihat penjelasan pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2
Lihat penjelasan pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
3
Lihat penjelasan pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana diamantkan dalam Undang-undang a quo juga
jenis dan bentuknya.
d) Asas Bisa dilaksanakan4
Pengertian dari “asas dapat dilaksanakan” yakni dalam
proses membentuk suatu regulasi yang sesuai dengan tata
urutan regulasi wajib untuk memerhatikan tingkat efeisiensi
aturan tersebut di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat
ditinjau dari sudut pandang secara filosofis, yuridis, juga
sosiologis. Sehingga dalam pembentukan regulasi terdapat
naskah akademik.
e) Asas Memiliki Daya Guna dan Kehasilgunaan5
Pengertian dari “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
yakni segala peraturan perundangundnagan dibentuk sebab
memiliki alasan tertentu. Salah satu alas an utama adalah aturan
dimaksud memiliki manfaat untuk memberikan pengaturan
terhadap kehidupan warga negara.
f) Asas Kejelasan Rumusan6
Pengertian dari “asas kejelasan rumusan” yaitu segala aturan
wajib telah mempunya kualifikasi yang mematuhi syarat dalam
proses penyusunan hingga pengundangan dalam artian
memberlakukan suatu regulasi sesuai dengan ketetapan dalam
undang-undang a quo dilihat dari sistematika penulisan, jenis
frasa yang tidak boleh multitafsir karena harus menjamin
kepastian hukum, serta “legal language” yang jelas dan mudah
dipahami sehingga tidak ada macam-macam penafsiran dalam
melaksanakan aturan tersebut.
g) Asas Keterbukaan7
Pengertian dari “asas keterbukaan” yaitu proses “rule
making” dalam artian pembentukan suatu regulasi harus
berkesesuaian dengan tahapan yang di atur dalam hukum positif
baik dimulai dari tahap merencanakan, menyusun, membahas,
mengesahkan, menetapkan, dan mengundangkan melalui
lembaran Negara harus memiliki keterbukaan dan meberikan
ruang yang besar bagi warga Negara Indonesia untuk
menyampaikan kritikan membangun dalam proses membentuk
regulasi.

4
Lihat penjelasan pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
5
Lihat penjelasan pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
6
Lihat penjelasan pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
7
Lihat penjelasan pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Adapun ketentuan Pasal 6 ayat (1). Bahwa materi muatan Peraturan
Perundang- undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Penjelasan terkait asas tersebut sebagaimana tercantum dalam undang- undang No.
12 tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yaitu:

a. Asas Pengayoman, adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang


undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang
undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesi
d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Asas Bhineka Tunggal Ika, adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
g. Asas keadilan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.

B. Pembahasan

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi “Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Bunyi pasal tersebut menjadi refleksi sekaligus jaminan secara
konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan atas hukum yang mengatur
dalam hal ini yaitu aturan tertulis (supremacy of law)8. Untuk menjamin supremasi
hukum perlu didukung dengan penataan regulasi yang berkualitas, tetapi realitanya
masih terdapat regulasi yang tumpang tindih, tidak konsisten, multitafsir, tidak
mengacu pada prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang
mengakibatkan inefisensi anggaran dalam penyusunan dan implementasi penegakan
hukum, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtzagerheid) yang
berakibat pada lemahnya supremasi hukum.
Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik
Indonesia menyatakan bahwa Indonesia memiliki 8.451 peraturan pusat dan 15.965
peraturan daerah yang menunjukan adanya pembengkakan regulasi di Indonesia.9
Data yang di maksud menggambarkan bahwa begitu banyak bentuk regulasi yang
berlaku di Indonesia. Dalam hal pembangunan hukum yang mengedepankan
kesejahteraan maka regulasi yang ada harus memberi ruang untuk hal yang bersifat
empiris, sehingga perkembangan hukum tidak menjadi kaku. Hal ini selaras dengan
pendapat Philip Nonet dan Selznick mengatakan, in the ideal of responsive law, law is
faciliator of response of social needs and aspirations.10 Tatanan hukum baru tersebut
(responsive law requires the development of new legal instituions) harus
mendelegitimasi tatanan hukum lama, yang hanya bersifat prosedural semata.11
Berdasakan kompleksitas permasalahan tumpang tindih regulasi di atas maka
diperlukan upaya penataan regulasi dan tata kelola peraturan perundang-undangan di
Indonesia, omnibus law yang dalam bahasa lain dikenal dengan istilah omnibus bill,

8
Jimly Asshiddiqe, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Gafika, Jakarta,
2010, hlm. 128
9
Lihat PPT Penjelasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Oleh Kementrian Koordinator
Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Jakarta 29 Januari 2020.
10
FX. Adji Samekerto, 2012, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post
Modernisme, Bandar Lampung: Indepth Publishing, hlm. 106
11
Ibid
hadir sebagai metode yang patut dipertimbangkan sebagai solusi dari penyederhanaan
regulasi. Secara sederhana, omnibus law dalam konteks dan sejarah tradisi hukum
common law ditafsirkan sebagai ikhtiar reformasi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan untuk mengubah, menolak dan kemudian memunculkan norma
hukum baru dan menegasikan norma hukum sebelumnya dalam beberapa undang-
undang melalui satu undang-undang ("… to amend, repeal or enact several acts, and
is characterized by the fact that it has a number of relate but separate iinitiatives")12.
Gluck dan Connell13 menasirkan omnibus law dari aspek tujuannya yaitu untuk
"package together several measures into one or combines diverse subjects into single
law". Sehingga omnibus law disebut sebagai konsep .undang-undang "sapu jagad"
yang bisa dipergunakan untuk mengubah .beberapa aturan hukum dalam sejumlah
.undang-undang. menjadi satu undang-undang. Mekanisme ini dianggap efisien dan
efektif untuk meminimalisir disharmonisasi peraturan perundangan-undangan di
Indonesia.
Dalam perkembangannya konsep penyederhanaan regulasi omnibus law tumbuh
dan berkembang di sejumlah negara yang menggunakan tradisi sistem hukum Anglo
Saxon akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi Indonesia untuk
mengadopsi dan mentransplantasikan omnibus law dalam pembentukan .undang-
undang. mengingat Indonesia menganut sistem hukum prismatik yang
menggabungkan nilai-nilai baik dari sistem hukum common law dan civil law.14
Sebagaimana ditegaskan bahwa
"… the omnibus legislative technique may apply to all areas of law.
The application of the omnibus legislative technique should not only
limited to the WTO legal implementation objectives, but also (even
more importantly) be used widely to meet the pressing needs of the
current development period for better reforms and improvements of
the whole legal system and building the rule of law." 15
"… teknik pembentukan peraturan dengan konsep omnibus law dapat
berlaku untuk semua bidang hukum. Penerapan teknik omnibus law
tidak hanya terbatas pada tujuan pelaksanaan hukum tetapi juga
digunakan secara luas untuk memenuhi kebutuhan mendesak dari
periode pembangunan saat ini untuk reformasi dan perbaikan yang
lebih baik dari seluruh sistem hukum guna membangun supremasi
hukum."

12
Louis M assicotte, 2013, Omnibus Law in Theory and Practice, Canadian Parliamentary
Review, hlm. 13-17
13
A Gluck, A J O'connell and R Po, 2015, Unortodox Law Making, Unorthodox Rulemaking,
Columbia Law Review hlm. 115
14
Mahfud M.D, 2016, Politik Hukum di Indonesia, Depok, Raja Grafindo, hlm 5
15
Institute of Law Science, Possible Use Of The Omnibus Legislative Technique For
Implemetation Of Vietnam's Wto Obligations And Commitments, diakses pada
http://siteresources.worldbank.org, tertanggal 1 Maret 2020
Hiperegulasi yang terjadi di Indonesia berdampak pada tumpang tindih
regulasi sehingga konsekuensi yuridisnya tidak tercapainya tujuan hukum yakni
kepastian hukum yang mana apabila kepastian hukum tidak tercapai maka tidak
ada kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat. Padahal hukum hadir untuk
mencipatakan kebahagian bagi rakyat sebagaimana di kemukakan oleh Jeremy
Bentham dalam Teori Utilitarinisme16 bahwa “the greatest happiness of the
greatest number” (kebahagiaan yang sangat besar dari semua manusia). Hal
tersebut selaras dengan yang disampaikan Satcipto Raharjo bahwa hadirnya suatu
aturan ditujukan untuk masyarakat tidak sebaliknya masyarakat yang hadir untuk
aturan.17 Pakar hukum tata Negara Bagir Manan mendudukan bahwa konsep
Negara hukum kesejahteraan memposisikan pemegang otoritas bukan hanya
sebatas membuat regulasi dan memberikan proteksi terhadap warga negaranya
melainkan juga memiliki responsibility yang mampu menciptakan social welfare
bagi lapisan masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari dianutnya
paham tersebut yang diamanatkan dalam konstitusi.18
Sehingga perlu untuk dilakukan harmonisasi regulasi agar tujuan hukum
tersebut dapat tercapai. Namun dalam upaya melakukan harmonisasi regulasi
ditemukan sejumlah tantangan dari segi prosedur dan tidak efesienya waktu.
Dengan adanya “omnibus law” hambatan dimaksud dapat diselesaikan dengan
cepat. Hal ini dikarenakan “omnibus law” adalah konsep sekaligus metodologi
yang digunakan untuk membuat regulasi yang multi sektor namun masih berada
dalam satu garis.19 Keunggulann lainnya metode “omnibus law” dapat mengubah
hingga menghilangkan aturan yang terdapat pada undang-undang lain. Hal ini
dibuktikan dengan adanya sejumlah Negara yang telah mengimplementasikan
“omnibus law” yang dianggap paling efisien untuk meminimalisir masalah
antinomy hukum di negaranya.
Salah satu Negara yang cukup berhasil dalam mengatasi masalah regulasi
dengan menggunakan konsep Omnibus Law adalah Selandia Baru. Metode ini telah
digunakan oleh Selandia Baru sejak tahun 1990. Meskipun demikian, terdapat
beberapa hambatan di awal penerapan konsep Omnibus Law yaitu adanya beberapa
materi muatan regulasi yang tidak sesuai dengan judul dari regulasi tersebut
sebagaimana termaktub dalam Finance Bill.20 Namun dalam hal meminimalisir
praktek yang tidak sesuai dengan “Standing Orders”21 seribu Sembilan ratus
Sembilan pukuh lima memberikan penetapan batasan yang jelas dan tegas terkait
kualifikasi aturan yang bisa memakasih metode “omnibus law” serta situasi yang

16
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Buku Kompas, hlm.188
17
Ibid
18
Syauqi dan Habibullah, 2016, Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2, No.
01, hlm. 20
19
Eko Nur Kristiyanto, 2020, Urgensi Omnibus Law dalam Percepatan Reformasi Regulasi
dalam Perspektif Hukum Progresif, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 20, No. 2, hlm. 237
20
Claudia Geiringer, et al., 2011, What’s the Hurry?: Urgency in the New Zealand Legislative
Process 1986-2010, Wellington: Victoria University Press, hlm. 62.
21
Standing Orders adalah peraturan prosedural untuk the House beserta komite-komitenya.
mengharuskan menyusun aturan dengan metode “omnibus law”.22 Dalam hal ini
“omnibus law” dizinkan untuk “mengintegrasikan beberapa topic yang bisa
diimplemmentasikan dalam satu kebijakan yang dibuat oleh pemegang otoritas
dalam hal ini diaratikan sebagai UU yang berada dalam sektor yang sama”23
(tema yang bertautan satu sama lain dan bisa disebut penerapan satu ketetapan
besar dan mengatur hal yang serupa).
Selandia Baru dalam menerapkan konsep omnibus law memiliki cara
tersendiri agar konsep ini dapat berhasil yaitu “Cognate bills” digunakan sebagal
salah satu bagian dari cara “omnibus”. Konsepnya adalah terdapat lebih dari
beberapa aturan yang bertautan satu sama lain dengan parameter mengatur subyek
yang serupa, nantinya aturan tersebut akan di berikan kepada pihak parleman dan
dijadikan dalam satu kesatuan guna diatur secara bersamaan akan tetapi wujudnya
tetap terpisah dalam sejumlah regulasi. Adanya hal tersebut menjadikan pihak
parlemen memilik cara pandang tersendiri dalam memandag keterpautan diantara
regulasi satu dan regulasi yang lain, maka ruang lingkup bahasannya bisa
bermanfaat sebagai sarana guna mengharmoniskan regulasi. 24
Berbeda halnya dengan konsep Omnibus Law yang diterapkan di Jerman.
“Omnibus law” yang diimplemetasikan di Negara tersebut selain dipergunakan
sebagai cara untuk melakukan revisi terhadap suatu regulasi juga dipergunakan
untuk merevisi aturan pelaksanaan yang berkaitan dengan aturan yang hendak
direvisi. 25 Negara ini turut mengimplementasikan metode aturan subyek tunggal.
Aturan tersebut diatur oleh teknik penyusunan aturan secara manual tahun 2008
yang merupakan UU di Negara tersebut. Aturan ini ditetapkan oleh kementerian
kehakiman yang mendudukan “harus ada hubungannya yang linear dan cukup
dekat antara masing-masing bagian yang nantinya akan disatukan melalui metode
omnibus law”. Terkait implementasi omnibus di Jerman sekedar memberikan
pengaturan hanya dalam satu subyek dan dimungkinkan untuk merevisi aturan
yang berada di bawahnya jika memerlukan, subyek yang dimaksudkan tertuang
pada teknik penyusunan aturan secara manual tahun 2008.
Berdasarkan uraian penerapan konsep Omnibus law yang memberikan dampak
positif diimplementasikan di Jerman adalah konsep yang ideal dan menangani
permasalahan regulasi. Menurut penulis konsep Omnibus Law adalah reformasi
hukum paling baik untuk meleraikan problematika antinomy hukum di Negara
Indonesia, salah satu ujungnya bisa dilihat UUP3 dan hasil perubahannya. Garis
diantara cara untum mengharomiskan regulasi yang tertuang dalam UUP3 dan
konsep omnibus law memiliki 2 prinsip utama yang perlu diperhatikan, yaitu:
pertama, tata urutan dalam regulasi yang berjenjang; kedua, pengelompokan

22
David McGee QC, 2007, Concerning Legislative Process, Otago Law Review 417, hlm. 428.
23
New Zealand Parliament, Standing Orders 2008, Article 258
24
Stepanie Juana dkk, 2020, Sistem dan Praktik Omnibus Law di berbagai Negara dan Analisis
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making, Indonesia Ocean
Justice Inisiative, hlm. 23, diakses pada https://oceanjusticeinitiative.org/, tertanggal 1 Januari 2021
25
Ibid, hlm. 24
regulasi yang berada dalam satu sektor dan mengatur subyek maupun obyek yang
serupa untuk mewujudkan implementasi yang baik dari “omnibus law”.26

26
Omnibus Law dalam Lintasan Undang-Undang P3, diakes pada https://bahasan.id/omnibus-
law-dalam-lintasan-uup3/, tertanggal 1 Januari 2021
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adji Samekerto, 2012, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post
Modernisme, Bandar Lampung: Indepth Publishing

Claudia Geiringer, et al., 2011, What’s the Hurry?: Urgency in the New Zealand Legislative
Process 1986-2010, Wellington: Victoria University Press.

Jimly Asshiddiqe, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Gafika: Jakarta

Louis M assicotte, 2013, Omnibus Law in Theory and Practice, Canadian Parliamentary
Review.

Mahfud M.D, 2016, Politik Hukum di Indonesia, Depok: Raja Grafindo

Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Buku Kompas

Jurnal

Eko Nur Kristiyanto, 2020, Urgensi Omnibus Law dalam Percepatan Reformasi Regulasi
dalam Perspektif Hukum Progresif, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 20, No. 2,
hlm. 237

Syauqi dan Habibullah, 2016, Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio
Informa Vol. 2, No. 01, hlm. 20

Undang-undang

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Internet

Omnibus Law dalam Lintasan Undang-Undang P3, diakes pada https://bahasan.id/omnibus-


law-dalam-lintasan-uup3/

Stepanie Juana dkk, 2020, Sistem dan Praktik Omnibus Law di berbagai Negara dan Analisis
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making,
Indonesia Ocean Justice Inisiative, hlm. 23, diakses pada
https://oceanjusticeinitiative.org/

Anda mungkin juga menyukai