UJI MATERIIL
i
ii
PENGANTAR
iii
Mahkamah Agung, serta mengelompokkan pertimbangan
dalam pemeriksaan Uji Materiil di Mahkamah Agung
sesuai topik permasalahan yaitu meliputi :
1. Asas-asas pemberntukan peraturan;
2. Asas Non-Retroaktif;
3. Cacat Prosedur;
4. Delegasi wewenang;
5. Asas Lex Superiot Derogat Legi Inferiori;
6. Landasan hukum – Faktor Parsialistik (Perintah Pasal);
7. Retribusi dan PNBP;
8. Asas dapat dilaksanan;
9. Kewajiban nasksh akademik;
10. Memperluas norma;
11. Pelibatan stake-holder;
12. Bertentangan dengan kaidah universal – Konstatering
Factum;
13. Opened legal policy.
iv
DAFTAR ISI
v
PEDOMAN LEGAL DRAFTING
BERDASAR PUTUSAN UJI MATERIIL
Pasal
5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan”
adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
yang berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara
1
jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai
dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
d. dapat dilaksanakan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas dapat
dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang- undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan
dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. kejelasan rumusan; dan
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan
rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang- undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. keterbukaan.
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan”
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
2
Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan.
7
96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
96 (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
96 (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan.
96 (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam
memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap Rancangan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat diakses dengan mudah
oleh masyarakat.
2. Peraturan Presiden
Pasal
24 (1) Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat
mengajukan usul Rancangan Undang-Undang
di luar Prolegnas.
24 (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup:
a.untuk mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik, dan bencana alam;
dan/atau
8
b.keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang-Undang yang dapat
disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.
11
131 (1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 melakukan klarifikasi Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Gubernur.
131 (2) Hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa hasil klarifikasi
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Gubernur yang:
a. tidak bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi; atau
b.bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
13
146 (1) Dalam hal Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota keberatan terhadap
keputusan pembatalan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 145, Bupati/Walikota dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung.
146 (2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung
menyatakan Peraturan Perundangundangan
yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut
menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
15
4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
16
c. Perma Nomor 01 Tahun 2011 tidak berlaku
surut. Oleh karenanya pengajuan HUM
terhadap peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang yang diterbitkan dan
pernah diajukan sebelum dikeluarkan Perma
tersebut, berlaku ketentuan Perma sebelumnya
yaitu Perma Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan
peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang yang diterbitkan sebelum
dikeluarkan Perma tersebut dan belum pernah
diajukan HUM diberlakukan Perma Nomor 1
Tahun 2011.
17
Pengajuan HUM terhadap Peraturan
perundang-undangan pada prinsipnya tidak ada
batas waktu, namun harus menggunakan tolok
ukur yang jelas (ada pembatasan), yaitu tidak
boleh melanggar asas retroaktif dan nebis in
idem. Oleh karenanya penerapan Perma Nomor
01 Tahun 2011 tentang HUM tidak boleh
berlaku surut, sehingga terhadap peraturan
perundangundangan yang terbit sebelum
Perma Nomor 01 Tahun 2011, dan belum
pernah diajukan berlaku Perma Nomor 01
Tahun 2004.
18
dengan peraturan perundang-undangan yang
baru tersebut, maka Keputusan Presiden a quo
telah kehilangan dasar hukum kekuatan
berlakunya, sehingga beralasan hukum obyek
permohonan HUM a quo dinyatakan tidak sah
dan tidak berlaku umum;
Menimbang, bahwa sehubungan dengan hal
tersebut, hendaknya Pemerintah ataupun
Pemerintah Daerah segera menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pengendalian dan pengawasan
minuman beralkohol, dengan mempertimbangkan
upaya untuk menjaga ketertiban dan ketentraman
masyarakat, meningkatkan derajat kesehatan
bagi masyarakat sebagai upaya kesehatan secara
terpadu dan menyeluruh serta dalam upaya
menyediakan pangan yang aman, bermutu,
bergizi sebagai prasyarat dalam
menyelenggarakan sistem pangan yang
memberikan perlindungan kesehatan bagi
masyarakat dan juga harus memperhatikan nilai-
nilai keagamaan, adat budaya, nilai-nilai
kearifan lokal serta kultur masyarakat Indonesia
yang luhur. Hal mana dalam pembentukannya
harus mendasarkan pada Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Yang Baik,
yang meliputi :
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
(vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
19
Perundang-undangan) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut terbukti bahwa Keputusan
Presiden RI Nomor 3 Tahun 1997, tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol
telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
22
Putusan MA No. 37 P/HUM/2018 tanggal 31 Juli
2018 Pertimbangan hlm. 101
Dengan demikian Pasal 7 ayat (2) Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017
harus dibatalkan karena telah bertentangan
dengan Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yang mengatur dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus menganut
azaz kejelasan rumusan, karena mencampur
adukan antar kewenangan penyidikan dengan
penuntutan;
- Bahwa selanjutnya terhadap Pasal 14
Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 13
Tahun 2017 terdapat frasa norma yang
mengatur “sampai dengan dihapusnya
pemblokiran oleh penyidik yang bersangkutan”
dan Pasal 16 ayat (1) huruf (b) “penyidik
mengajukan penghapusan catatan blokir”, pada
kedua pasal tersebut tidak jelas kapan penyidik
yang mengajukan catatan blokir harus mencabut
catatan blokir kepada Kepala Kantor
Pertanahan dimana blokir dicatat;
- Bahwa pada saat perkara pidananya telah
dihentikan penyidikannya atau penuntutan maka
pada saat terbit surat perintah penyidikan (SP3)-
nya maka cabut blokir berlaku, sementara untuk
perkara yang dilanjutkan ke Pengadilan, status
blokir yang diminta penyidik masih melekat pada
catatan Kantor Pertanahan;
... Bahwa norma Pasal 14 dan Pasal 16 objek
permohonan hak uji materiil (HUM), tidak
memberikan batasan objektif secara hukum
maupun tenggang waktu yang jelas, sehingga
ketidakjelasan rumusan dapat menimbulkan
pelanggaran berupa penyalahgunaan
23
kewenangan penyidik dalam proses hapusnya
blokir, dan secara kewenangan ketika penyidikan
telah dilimpahkan ke tahap penuntutan (P-21)
dan/atau sudah ada putusan Pengadilan, maka
tidak ada lagi kewenangan penyidik terhadap
perkara yang dahulunya diajukan blokir;
- Bahwa seharusnya oleh pembuat peraturan,
secara hukum diatur secara tegas persyaratan
batasan objektif hapusnya blokir sebagaimana
hapusnya sita pidana yang diatur dalam pasal-
pasal pada Bab IV tentang SITA Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017
objek hak uji materiil a quo;
- Bahwa Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1)
huruf b objek permohonan hak uji materiil a quo
telah bertentangan dengan Pasal 5 dan 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu
tidak terdapat kejelasan rumusan karena tidak
menjamin kepastian hukum dan dapat
menimbulkan penyalahgunaan wewenang;
b. Non-Retroaktif
c. Cacat prosedur
d. Delegasi wewenang
33
bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004 tentang
Hak Uji Materiil telah ditentukan bahwa dalam
hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan
Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan
tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan
tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum
peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum;
Menimbang, bahwa batal demi hukum tersebut
dapat dihindari apabila Termohon sebelum
habisnya batas tenggang waktu tersebut,
mencabut sendiri Peraturan a quo (spontane
vernietiging);
39
Putusan MA No. 61 P/HUM/2013 tanggal 22
Oktober 2013 Pertimbangan hlm. 17
bahwa Objek Sengketa dengan Judul
“Kepemilikan Tanah” merupakan penjabaran
Pasal 8 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah
No. 36 Tahun 2005 yaitu : “Status Hak atas
tanah”.
Menimbang, bahwa Objek Sengketa tidak
menentukan Putusan Pengadilan yang telah
Berkekuatan Hukum Tetap yang menyatakan sita
hak atas tanah sebagai bukti hak atas tanah.
Padahal sudah selayaknya Putusan Pengadilan
tersebut tercantum sebagai salah satu bukti yang
dapat digunakan sebagai syarat permohonan
IMB.
Menimbang bahwa dengan demikian, putusan
pengadilan dapat disamakan dengan bukti atas
kepemilikan tanah yang disebut didalam putusan
pengadilan tersebut dan oleh karena itu dapat
dipergunakan sebagai syarat untuk mengajukan
permohonan untuk mendapatkan IMB;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 3 Peraturan
Walikota Medan Nomor 41 Tahun 2012 Tentang
Petunjuk Teknis Atas Peraturan Daerah Kota
Medan Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi
Izin Mendirikan Bangunan, bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 Tentang Bangunan Gedung
40
Putusan MA No. 62 P/HUM/2013 Tgl 18 November
2013 Pertimbangan hlm. 58
Bahwa objek permohonan hak uji materiil
adalah pengaturan tentang Penggantian Nilai
Tegakan sebagai salah satu kewajiban selain
PSDH dan DR yang harus dibayar kepada
negara akibat dari izin pemanfaatan kayu,
penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam
pakai dan dari areal kawasan hutan yang telah
dilepas dan diberikan HGU yang masih terdapat
hasil hutan kayu dan pohon yang tumbuh secara
alami sebelum lahirnya HGU;
Bahwa permohonan ini identik dengan
permohonan hak uji materiil yang diputus oleh
Mahkamah Agung dalam Perkara Hak Uji
Materiil Nomor 41 P/HUM2011 dengan
mengabulkan permohonan hak uji materiil,
karena objek permohonan berupa ketentuan
mengenai kewajiban pembayaran Penggantian
Nilai Tegakan yang ditujukan kepada Pemegang
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), terbukti
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, dan karenanya telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Materi muatan dari
ketentuan yang telah dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut,
tidak dapat lagi dimuat kembali dalam peraturan
perundang-undangan yang setingkat;
Bahwa di samping itu, pada prinsipnya setiap
pungutan yang bersifat memaksa oleh negara
termasuk PNBP harus ditetapkan dengan
undang-undang atau peraturan pemerintah [vide
Pasal 23A UUDN RI Tahun 1945 dan Pasal 2
ayat (3), Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997].
41
Putusan MA No. 41 P/HUM/2012 tanggal 28
Februari 2013 Pertimbangan hlm. 21
bahwa Peraturan Bupati Sragen Nomor 4 Tahun
2009, Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Sragen Nomor 15 Tahun
2006 Tentang Perangkat Desa bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu
Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 15
Tahun 2006 Tentang Perangkat Desa dan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Tentang Desa (vide Bukti P.1) sehingga harus
dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan
keberatan hak uji materiil dari Pemohon harus
dikabulkan dan peraturan yang menjadi objek
dalam perkara uji materiil a quo harus
dibatalkan sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum
43
- Perbedaan parsialistik (perintah pasal)
tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011), yang menyatakan “Materi muatan
peraturan pemerintah harus berisi materi untuk
menjalankan perintah undang-undang
sebagaimana mestinya”
45
Putusan MA No. 05 P/HUM/2018 tanggal 3 Mei
2018 Pertimbangan hlm. 41
- Bahwa terbitnya PMK 252/PMK.011/2012
tanggal 28 Desember 2012 a quo in casu Pasal 1
ayat (2) huruf b yang menyatakan bahwa LNG
dikategorikan sebagai jenis hasil pertambangan
yang tidak dikenai PPN padahal LNG (Liquified
Natural Gas) tersebut bukanlah barang yang
diambil langsung dalam sumbernya (perut bumi)
telah bertentangan dengan asas kepastian hukum
dan asas keadilan karena ketentuan Pasal 1 ayat
(2) huruf b PMK 252/PMK.011/2012 tanggal 28
Desember 2012 a quo telah menyebabkan Wajib
Pajak in casu Pemohon Hak Uji Materiil
kehilangan hak untuk mengkreditkan Pajak
Masukan PPN atas perolehan barang atau jasa
untuk memproduksi LNG (Liquified Natural
Gas). Hal ini telah melanggar asas kemanfaatan
dari Sistem Kredit PPN dalam perhitungan PPN
terutang yang seharusnya bisa dimanfaatkan
oleh Wajib Pajak, sehingga juga menyebabkan
ketidakadilan karena telah memberatkan
cashflow Wajib Pajak;
-Bahwa oleh karenanya secara parsialistik
dalam kasus a quo terdapat pertentangan hukum
antara Pasal 1 ayat (2) huruf b PMK
252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 a
quo dengan Undang-Undang PPN karena
pembentukan PMK a quo telah menyalahi Pasal
7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan karena Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga
Pasal 1 ayat (2) huruf b PMK
252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 a
quo adalah cacat hukum dan karena tidak
46
mencerminkan bahkan melanggar asas hukum
yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan
asas kemanfaatan;
47
mengenai subjek dan objeknya serta tarif
sepanjang dalam ketentuan telah mengatur maka
Pemerintah tidak boleh memberlakukan sebaliknya;
b. Bahwa rumusan antara pajak dan bukan pajak
(baca PNBP) memiliki nilai-nilai dan asas-asas
yang hampir sama yaitu pungutan kepada
masyarakat untuk Negara dalam menjalankan
penyelenggaraan tugastugas pemerintahan tetapi
memiliki arti yang berbeda, dimana Pajak tidak
memiliki prestasi secara langsung yang dapat
ditunjuk, sedangkan pungutan lainnya
diantaranya berupa Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) pada hakekatnya merupakan
pungutan selain pajak yang berasal dari
berbagai pungutan yang dikelola oleh
kementerian/lembaga, sehubungan dengan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat,
dengan demikian terdapat tagen prestasi secara
langsung yang dapat ditunjuk perwujudan akan
adanya pelayanan berupa balas jasa yang
diberikan pemerintah;
c. Bahwa dalam teori-teori keuangan negara baik
mengenai pajak maupun bukan pajak,
dikedepankan bahwa diantaranya pemungutan
pajak menuju pada prinsip-prinsip perpajakan
yang universal yang diketengahkan oleh Adam
Smith dalam Musgrave, Richard A., and
Musgrave Peggy A, Finance in Theory and
Practice, Asian Studiest Edition, Singapore
National Printer (Pte), Singapore, 1983, hal 125-
132 dalam konsep the four canons of taxation
pengenaan pajak harus memenuhi prinsip-prinsip
: (1) Keadilan (equity), (2) Kepastian (certainty),
(3) Kecocokan (convenience) dan (4) Efisiensi
(efficiency), sedangkan alat pengukur secara
praktis dalam pandangan yang berbeda Smith,
Stigilts J.E dalam Taxation and The Burde of
Economic Development, Claredon Press, Oxford,
48
1992, halaman 73-78 diantaranya pemungutan
berorientasi pada hal-hal yang bersifat
kesederhanaan (simplicity), persamaan
(equality), keadilan (fairness) dan Kepastian
(certainty). Selanjutnya, Musgrave (ibid,
halaman 53-83) mengatakan bahwa campur
tangan pemerintah dalam kegiatan perekonomian
dapat dibagi 3 (tiga) kategori utama. Pertama,
untuk mengatasi inefisiensi sistem pasar bebas
dalam rangka mengalokasi sumber-sumber
ekonomi. Kedua, melakukan redistribusi
pendapatan dan kekayaan untuk mencapai
distribusi kekayaan dalam masyarakat yang lebih
adil. Ketiga, untuk menjamin kestabilan ekonomi
yang lebih mantap, pertumbuhan ekonomi yang
layak tanpa adanya pengangguran yang berarti
termasuk didalamnya pengendalian harga dan
inflasi. Oleh karenanya kegiatan pemerintah
dalam melakukan campur tangan tersebut yang
telah dikemas dalam PP Nomor 12 Tahun 2014
menuntut diantaranya sumber penerimaan
negara yang bersumber dari PNBP khususnya
yang berasal Sumber Daya Alam berupa Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana
Reboisasi (DR) serta Penggantian Nilai Tegakan
(PNT) harus semaksimal mungkin tetapi tidak
boleh tumpang tindih dengan objek yang serupa
serta Nilai Tarif yang ditetapkan, tidak boleh
maksimal 100% dari Harga Patokan yang dapat
menimbulkan pembebanan yang kurang adil dan
sangat mengganggu likuiditas keuangan bisnis
pada sektor privat yang akan berdampak negatif
dalam dunia usaha ...
Bahwa sesuai dengan kewenangan bebas dalam
urusan pemerintahan (discretionary power) yang
dilandasi asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AUPB) sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf b UU Peradilan Tata
49
Usaha Negara dengan tidak meninggalkan
objektivitas dan itikad baik (vide Pasal 21
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan) serta
mengedepankan kedudukan hukum dalam
menghargai dan menempatkan dirinya suatu asas
pemungutan sistem self assessment sebagai salah
satunya politik hukum pemungutan non pajak
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
diharapkan memiliki konsistensi dan harmonisasi
dalam pemungutan dalam artian objek yang
sama atau serupa tidak boleh dipungut berbagai
macam pungutan (double having) yang pada
akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi
(high cost economic). Oleh karena itu, padanan
hal yang serupa konsep pemungutan PNBP
secara formal, minimal dalam pembebanan harus
mewujudkan prinsip-prinsip keadilan (fairness)
dan Kepastian (certainty) hukum. Dalam prinsip
keadilan (fairness/equity) mengedepankan
pembebanan PNBP harus sesuai dengan
kemampuan relatif dari setiap Wajib Bayar dan
prinsip Kepastian (certainty) menekankan bahwa
PNBP berupa Penggantian Nilai Tegakan
sebagaimana tertuang dalam Lampiran XII PP
Nomor 12 Tahun 2014 hendaknya tegas, jelas
dan menjamin kepastian Wajib Bayar, sehingga
mudah dimengerti oleh Wajib Bayar dan jangan
tumpang tindih dengan pemungutan atas objek
yang serupa berupa hasil hutan kayu (PSDH dan
DR) yang menimbulkan double having
pembayaran sehingga memberatkan masyarakat,
dan diharapkan tetap berorientasi juga pada
prinsip kecocokan (convenience) yaitu
pemungutan PNBP jangan terlalu menekan
Wajib Bayar, sehingga Wajib Bayar akan dengan
50
senang hati melakukan pembayaran kepada
Pemerintah
h. Dapat dilaksanakan
56
j. Memperluas norma
61
Putusan MA No. 14 P/HUM/2018 tanggal 17 Mei
2018 Pertimbangan hlm. 19
Bahwa Ketentuan mekanisme Pengangkatan
Perangkat Desa telah ditetapkan berdasarkan
Pasal 66, Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa dan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83
Tahun 2015 tentang Pengangkatan,
Pemberhentian Perangkat Desa yang diubah dan
ditambah dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 67 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 83 Tahun 2015 tentang
Pengangkatan, Pemberhentian Perangkat Desa,
yang dalam ketentuan tersebut tidak mengatur
atau merekomendasikan agar dibentuknya Tim
Kabupaten, yang mana hubungan hukumnya
hanya bersifat konsultatif melalui camat dalam
penyelenggaraan pengisian perangkat desa
bukan sebagai fasilitator sebagaimana tugas Tim
Kabupaten
71
Begitu pula, terhadap adanya "Iarangan"
terhadap penjualan bijih mineral berupa Raw
material atau Ore ke luar negeri yang diatur
dalam Peraturan Menteri a quo adalah
bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1), ayat (2),
ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 yang pada pokoknya menentukan
bahwa mengenai pengutamaan mineral dan/atau
batubara untuk kepentingan dalam negeri dan
pengendalian produksi dan ekspor diatur dengan
peraturan pemerintah. Sehingga apabila ada
aturan-aturan hukum yang baru tentang larangan
penjualan bijih mineral ke luar negeri, tidak
benar kalau diatur dalam peraturan menteri,
karena undangundang dengan tegas
mengamanatkan bahwa tentang hal itu harus
diatur dalam peraturan pemerintah;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam
rangka tertib norma hukum pelaksanaan
pemerintahan, tanpa bermaksud mengintervensi
diskresi pemerintah dalam hal substansi yang
diatur, seharusnya pemerintah dalam melakukan
pengaturan mengenai larangan penjualan bijih
mineral Raw material atau Ore ke luar negeri
diatur dalam bentuk peraturan pemerintah dan
bukan diatur dalam peraturan menteri a quo,
sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5 ayat (1),
ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009;
Mengenai keberatan ke 1:
Bahwa Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07
Tahun 2012 telah bertentangan dengan Pasal 6
ayat (1) huruf I, Pasal 6 ayat (2), Pasal 37 dan
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,
dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri
72
Energi dan Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07
Tahun 2012, pada pokoknya mengatur bahwa
suatu rencana kerjasama untuk melakukan
pengolahan dan/atau pemurnian mineral yang
dilakukan oleh dan antar perusahaan
pertambangan mineral selaku pemegang IUP
Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi
dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi
Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian
diharuskan mendapatkan persetujuan dari
direktur jenderal atas nama menteri;
Bahwa ketentuan pasal ini melahirkan norma
hukum baru dengan menciptakan adanya suatu
"kewenangan baru" yang diberikan kepada
direktur jenderal atas nama menteri dengan cara
memberikan kewenangan yang sebelumnya sudah
diserahkan oleh Pemerintah Pusat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah kepada Pemerintah
Daerah;
Bahwa adanya kewenangan baru berupa
"keharusan untuk mendapatkan persetujuan dari
direktur jenderal atas nama menteri" tersebut
bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 maupun
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
yang merupakan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar diterbitkannya obyek
permohonan a quo, yang secara normatif telah
memberikan dasar hukum pembagian
kewenangan sebagai penerapan Asas
Desentralisasi dalam pemberian Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) sesuai dengan lokasi
"Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP)"
yang dimohonkan;
Bahwa apabila pemerintah berkeinginan akan
memberikan wewenang baru kepada direktur
jenderal atas nama menteri terhadap rencana
kerja sama dalam kegiatan pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, seharusnya
73
pemerintah tidak memuat dalam Peraturan
Menteri a quo yang tingkatannya lebih rendah
dari undang-undang, tetapi hendaknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang
setingkat, yaitu dimuat dalam bentuk undang-
undang dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
k. Pelibatan stake-holder
74
Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota, juga untuk memenuhi asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, terutama asas dapat dilaksanakan,
asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta
asas keterbukaan;
Bahwa menurut Majelis Mahkamah Agung,
prosedur penyusunan objek hak uji materiil a
quo tidak cukup melibatkan masyarakat (in casu
Para Pemohon) sebagai pihak yang berhak
melalui konsultasi publik. Padahal masyarakat
(in casu Para Pemohon) mempunyai hak untuk
memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan atau pembahasan
rancangan peraturan daerah. Dengan cara
demikian, diharapkan terbentuk peraturan
daerah dengan materi muatan yang baik dan
dapat menampung aspirasi masyarakat,
sehingga penerapannya tidak menimbulkan
permasalahan sosial;
76
(2), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1) huruf a dan
Pasal 21 ayat (1), (2), (3) pada Prepres Nomor 4
Tahun 2017 secara jelas dan terang
bertentangan dengan norma-norma yang
terkandung Pasal 1 butir 6 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan dalam bagian Umum Undang-
Undang Nomor 19 tahun 1999 Pengesahan
Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja
Paksa sebagaimana diuraikan diatas;
79
Putusan MA No. 19 P/HUM/2011 tanggal 20 Juni
2011 Pertimbangan hlm. 21
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 39/M-
DAG/PER/10/2010 tentang Ketentuan Impor
Barang Jadi Oleh Produsen bertentangan
dengan jiwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian, karena dalam
Konsideran “Menimbang” butir c Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1984 jo Pasal 3 angka
(3) undang-undang tersebut bercita-cita
“mengembangkan secara seimbang dan terpadu
dengan meningkatkan peran masyarakat secara
aktif serta mendayagunakan secara optimal
seluruh sumber daya alam, manusia dan dana
yang tersedia”. Sedangkan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2010
tentang Ketentuan Impor Barang Jadi Oleh
Produsen, dalam konsideran “Menimbang” butir
a hanya mempertimbangkan iklim usaha dan
percepatan investasi, tanpa mempertimbangkan
peran masyarakat secara aktif dan
pendayagunaan seluruh sumber daya alam,
manusia dan dana yang tersedia secara
maksimal, sehingga di lapangan akan terjadi
benturan antara produkproduk hasil peran serta
masyarakat (produk lokal) dengan barang jadi
untuk proses produksi (barang impor) ;
-Bahwa di samping itu secara substansi terbukti
Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 3
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 39/M-
DAG/PER/10/2010 a quo, di satu sisi
menunjukkan ketidak berdayaan akan hasil
produksi sendiri (dalam negeri) dalam
menghadapi persaingan global, di sisi lain juga
bertentangan dengan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1984 yang mengatur tentang
Tujuan Pembangunan Industri
80
Putusan MA No. 7 P/HUM/2020 tanggal 27
Februari 2020 Pertimbangan hlm. 64
(1) dalam perumusan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang dilaksanakan Dewan
Jaminan Sosial Nasional, dan (2)
penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
BPJS, yang terjadi dalam praktek selama ini
terdapat suatu persoalan. Persoalan dimaksud
meliputi:
1. Struktur hukum (legal structure), berupa
belum adanya koordinasi yang baik (ego
sektoral) antara satu kementerian dengan
kementerian lainnya dalam mengurus
penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial;
2. Substansi hukum (legal substance), berupa:
adanya overlapping aturan yang diterapkan dan
ketidakkonsistenan antara satu instansi dengan
instansi lainnya dalam proses penegakan hukum;
3. Budaya hukum (legal culture), berupa masih
banyaknya perilaku tercela dan tidak terpuji baik
dari kalangan pengambil kebijakan, stakeholder
maupun masyarakat di bidang jaminan sosial.
Bahwa dampak-dampak tersebut, menurut
Mahkamah Agung, adalah sebagai akibat dari
adanya;
1. Ketidakseriusan Kementerian-kementerian
terkait dalam berkoordinasi antara satu dengan
yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya masing-masing yang berhubungan
dengan penyelenggaraan program jaminan
sosial ini;
2. Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan
Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan
umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem
Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini
pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui
institusi apa itu;
81
3. Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud)
dalam pengelolaan dan pelaksanaan program
jaminan sosial oleh BPJS;
4. Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS
dalam melaksanakan pengawasan, sehingga
menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap
kecurangan-kecurangan yang terjadi;
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut,
menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan
kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan
pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS
yang menyebabkan terjadinya defisit Dana
Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh
dibebankan kepada masyarakat, dengan
menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan
Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75
Tahun 2019. Apalagi dalam kondisi ekonomi
global saat ini yang sedang tidak menentu.
Kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan
dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh
BPJS tersebut haruslah dicarikan jalan keluar
yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki
kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi
tanpa harus membebankan masyarakat untuk
menanggung kerugian yang ditimbulkan.
Pembiaran terhadap Kesalahan dan kecurangan
(fraud) yang terjadi justru pada akhirnya akan
merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama
berupa kehendak politik (political will) dari
Presiden beserta jajarannya selaku pemegang
kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good
will) dari masyarakat dan penyelenggara
program jaminan sosial, untuk bersama-sama
memperbaiki akar persoalan yang ada,
membenahi sistem sekaligus meningkatkan
kualitas pelayanan program jaminan kesehatan
82
yang sedang berjalan, agar tujuan untuk
memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dapat terwujud;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas, kenaikan Iuran bagi peserta PBPU dan
Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75
Tahun 2019 secara sosiologis adalah
bertentangan dengan kehendak masyarakat;
Aspek Filosofis
Bahwa dengan terbuktinya konsideran faktual
Perpres No. 75 Tahun 2019, yang tidak
mempertimbangkan suasana kebhatinan
masyarakat dalam bidang ekonomi saat ini,
maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 34 ayat
(1) dan (2) yang secara sepihak menaikkan Iuran
bagi Peserta PBPU dan Peserta BP guna
menutupi defisit dana BJPS, diaggap telah
melanggar asas pemberian pertimbangan secara
adil dan berimbang (audi et alterem partem);
sejalan dengan doktrin ilmu hukum sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli seperti John Rawls,
J.Stuart Mill dan Jeremy Bentham yang
menegaskan pada pokoknya bahwa Hukum harus
berpihak kepada masyarakat tak mampu dan
harus memberikan kemanfaatan yang sebesar-
besarnya kepada masyarakat terbanyak,
sehingga penerapan Perpres Nomor 75 Tahun
2019 tidak boleh membebankan masyarakat di
luar kemampuannya, melainkan justru
sebaliknya memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya kepada rakyat Indonesia;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
83
dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis
tersebut di atas, terdapat cacat yuridis secara
substansi pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan
(2) Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019,
karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 2
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang menggariskan
bahwa: “Sistem Jaminan Sosial Nasional
diselenggarakan berdasarkan asas kemanusian,
asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” dan bertentangan
Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang
menekankan bawa penyelenggaraan sistem
jaminan sosial nasional oleh BPJS harus
berdasarkan pada asas: a. Kemanusiaan, b.
manfaat; dan c. keadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia.
85
Putusan MA No. 4 P/HUM/2018 tanggal 29 Maret
2018 Pertimbangan hlm. 31
- Bahwa kewenangan pemerintah untuk
menetapkan status wilayah tertentu sebagai
wilayah Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota
(RTH-5) adalah salah satu bentuk penguasaan
negara atas bumi dan air yang dimungkinkan
berdasarkan konstitusi dengan ketentuan
penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat yang
terlebih dahulu ada di wilayah tersebut. Dalam
hal ini, apabila dalam wilayah tersebut terdapat
hak-hak masyarakat, termasuk hak masyarakat
tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya,
maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan
penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan
para pemegang hak;
- Bahwa apabila terhadap lokasi Blok 11-02-01
Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal
tetap dipertahankan sebagai Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Hutan Kota maka akan
mendatangkan konsekuensi berupa kerugian
yang lebih besar, mengingat pembangunan
sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat
akan terhambat karena Termohon akan tetap
melakukan penolakan atas izin pemanfaatan
ruang terhadap pemohon yang berkeinginan
melaksanakan kegiatan usahanya dalam rangka
memajukan dan mempercepat pembangunan di
daerah tersebut yang berdampak kepada
stagnasi perkembangan ekonomi di daerah
tersebut;
86
Putusan MA No. 03 P/HUM/2018 tanggal 6 Maret
2018 Pertimbangan hlm. 112
Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai Badan
Hukum Perdata yang dapat mengajukan
permohonan Hak Uji Materi kepada Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A
ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
dan terdapat hubungan kausalitas antara
kepentingan Pemohon yang dirugikan dengan
terbitnya objek Hak Uji Materi, karena telah
kehilangan haknya untuk memanfaatkan lahan
miliknya sebagai akibat terbitnya objek hak uji
materiil, oleh karenanya Pemohon mempunyai
legal standing untuk mengajukan permohonan
keberatan hak uji materi atas Peraturan Daerah
Kota Depok Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok
Tahun 2012–2032, dengan demikian merujuk
ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat
(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,
permohonan a quo secara formal dapat diterima
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka secara procedural penerbitan objek
permohonan hak uji materiil tidak
memperhatikan kepentingan Pemohon sebagai
pemegang hak atas tanah berupa Sertipikat Hak
Guna Bangunan yang masih berlaku. Padahal
ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan Pasal 3 dan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 telah mengatur adanya prinsip kepastian
dan perlindungan hukum bagi setiap pemegang
hak atas tanah yang sudah didaftarkan dan terbit
sertipikat. Oleh karenanya, Pemohon sebagai
pihak yang memegang Sertipikat Hak Guna
Bangunan di lokasi diundangkannya objek
87
permohonan hak uji materiil (HUM) dirugikan
hak normatifnya, sehingga penerbitan objek
permohonan hak uji materiil (HUM)
bertentangan dengan prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh
Pemohon, sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf
h, Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 65 ayat (1), (2) dan
(3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang;
88