Anda di halaman 1dari 96

KANTOR PENGACARA NEGARA

PEDOMAN LEGAL DRAFTING


BERDASAR PUTUSAN PILIHAN

UJI MATERIIL

KHUSUS UNTUK INTERNAL

Quality - Integrity - No Fees


JAKSA AGUNG MUDA BIDANG PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN LEGAL DRAFTING


BERDASAR PUTUSAN PILIHAN
TENTANG
UJI MATERIIL

i
ii
PENGANTAR

Buku ‘Pedoman Legal Drafting Perdasar Putusan


Pilihan Tentang Uji Materiil’ ini disusun sebagai panduan
bagi Pengacara Negara dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, salah satu pedoman pendampingan
penyusunan peraturan perundang-undangan, untuk
memperkuat kapasitas pejabat penyusun peraturan dan
kualitas materi peraturan perundang-undangan yang
disusun, setelah memperhatikan banyaknya peraturan
perundang-undangan yang mengalami kegagalan saat
dilakukan Uji Materiil di Mahkamah Agung R.I., baik
peraturan yang dibuat Lembaga/Kementerian di Tingkat
Pusat maupun Daerah.
Pedoman ini menitikberatkan pada pertimbangan
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan Uji Materiil,
khususnya yang membatalkan peraturan perundang -
undangan yang dibuat, sehingga dapat menjadi
pembelajaran dalam penyusunan peraturan ( legal
drafting). Penguatan kualitas legal drafting diperlukan,
apabila mempertimbangkan bahwa suatu peraturan yang
telah diberlakukan dengan melibatkan segenap sistem
administrasi yang ada, dan terlaksana bagi para stake-
holder, akan menimbulkan implikasi dan permasalahan
hukum yang luas serta kerugian finasnsial, apabila di
kemudian hari dinyatakan batal.
Sebagai pelengkap dari ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2014, Pedoman ini berisi ketentuan peraturan perundang -
undangan, Peraturan Mahkamah Agung dan Sur at edaran

iii
Mahkamah Agung, serta mengelompokkan pertimbangan
dalam pemeriksaan Uji Materiil di Mahkamah Agung
sesuai topik permasalahan yaitu meliputi :
1. Asas-asas pemberntukan peraturan;
2. Asas Non-Retroaktif;
3. Cacat Prosedur;
4. Delegasi wewenang;
5. Asas Lex Superiot Derogat Legi Inferiori;
6. Landasan hukum – Faktor Parsialistik (Perintah Pasal);
7. Retribusi dan PNBP;
8. Asas dapat dilaksanan;
9. Kewajiban nasksh akademik;
10. Memperluas norma;
11. Pelibatan stake-holder;
12. Bertentangan dengan kaidah universal – Konstatering
Factum;
13. Opened legal policy.

Semoga Pedoman materi ini dapat memberi


manfaat.

Jakarta, 17 Agustus 2020

iv
DAFTAR ISI

1. Pengantar ........................................................................... iii


2. Undang-Undang (ketentuan terkait) ................................ 1
3. Peraturan Presiden ......................................................... 8
4. Peraturan Mahkamah Agung ........................................... 14
5. Surat Edaran Mahkamah Agung ..................................... 16
6. Putusan Pilihan Uji Materiil ............................................. 18
a. Asas-asas pemberntukan peraturan ........................... 18
b. Asas Non-Retroaktif .................................................... 25
c. Cacat Prosedur ............................................................ 27
d. Delegasi wewenang ..................................................... 28
e. Lex Superiot Derogat Legi Inferiori............................... 30
f. Landasan hukum – Faktor Parsialistik .......................... 43
g. Retribusi dan PNBP ..................................................... 47
h. Asas dapat dilaksanan ................................................. 51
i. Kewajiban nasksh akademik ........................................ 53
j. Memperluas norma ....................................................... 57
k. Pelibatan stake-holder ................................................. 74
l. Bertentangan dengan kaidah universal ......................... 76
i. Opened legal policy ....................................................... 88

v
PEDOMAN LEGAL DRAFTING
BERDASAR PUTUSAN UJI MATERIIL

1. Undang-Undang (ketentuan terkait)

UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 15 Tahun 2019

Pasal
5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan”
adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
yang berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara
1
jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai
dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
d. dapat dilaksanakan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas dapat
dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang- undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan
dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. kejelasan rumusan; dan
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan
rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang- undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. keterbukaan.
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan”
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
2
Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan.

6 (1) Materi muatan Peraturan Perundang-


undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
b. kemanusiaan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. kebangsaan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. kekeluargaan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan”
3
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
e. kenusantaraan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
f. bhinneka tunggal ika;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal
ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
g. keadilan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
4
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan
kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang- undangan harus
dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
j. keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu, masyarakat dan kepentingan bangsa
dan negara.
6 (2) Selain mencerminkan asas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi
asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.

12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi


materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya” adalah
penetapan Peraturan Pemerintah untuk
melaksanakan perintah Undang-Undang atau
untuk menjalankan Undang- Undang sepanjang
diperlukan dengan tidak menyimpang dari
5
materi yang diatur dalam Undang-Undang yang
bersangkutan.

13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi


materi yang diperintahkan oleh Undang-
Undang, materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah, atau materi untuk
melaksanakan penyelenggaraan kekuasa an
pemerintahan.
Penjelasan :
Peraturan Presiden dibentuk untuk
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
perintah Undang-Undang atau Peraturan
Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya.

14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan


Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.

15 (1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana


hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
15 (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa
ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
15 (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda
6
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan lainnya.

23 (2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden


dapat mengajukan Rancangan Undang-
Undang di luar Prolegnas mencakup:
a.untuk mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang-Undang yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang
legislasi dan menteri atau kepala lembaga
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar


kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi.
38 (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau
Gubernur dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda
Provinsi:
a.untuk mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik, atau bencana alam;
b.akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c.keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi atas suatu Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani
bidang legislasi dan biro hukum.

7
96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
96 (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
96 (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan.
96 (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam
memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap Rancangan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat diakses dengan mudah
oleh masyarakat.

2. Peraturan Presiden

Perpres Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan


Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011

Pasal
24 (1) Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat
mengajukan usul Rancangan Undang-Undang
di luar Prolegnas.
24 (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup:
a.untuk mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik, dan bencana alam;
dan/atau
8
b.keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang-Undang yang dapat
disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.

25 (1) Dalam menyusun Rancangan Undang-


Undang di luar Prolegnas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24, Pemrakarsa harus
terlebih dahulu mengajukan permohonan izin
prakarsa kepada Presiden.
25 (2) Permohonan izin prakarsa kepada Presiden
disertai penjelasan mengenai konsepsi
pengaturan Rancangan Undang-Undang,
yang meliputi:
a. urgensi dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan
diatur; dan
d. jangkauan serta arah pengaturan.
25 (3) Dalam hal Presiden memberikan izin prakarsa
penyusunan Rancangan Undang-Undang di
luar Prolegnas, Pemrakarsa menyusun
Rancangan Undang-Undang tersebut.
25 (4) Pemrakarsa menyampaikan usulan
Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
Menteri dengan melampirkan dokumen
kesiapan teknis yang meliputi:
a. izin prakarsa dari Presiden;
b. Naskah Akademik;
c. surat keterangan penyelarasan Naskah
Akademik dari Menteri;
d. Rancangan Undang-Undang;
e.surat keterangan telah selesai pelaksanaan
rapat panitia antar kementerian/antar non
kementerian dari Pemrakarsa; dan
f.surat keterangan telah selesai
pengharmonisasian, pembulatan dan
9
pemantapan konsepsi Rancangan Undang-
Undang dari Menteri.

41 (1) Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat


mengajukan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi di luar Prolegda Provinsi berdasarkan
izin prakarsa dari Gubernur.
41 (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a.untuk mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik, atau bencana alam;
b.akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c.keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi atas suatu Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang dapat
disetujui bersama oleh Balegda dan biro
hukum.

70 (1) Gubernur memerintahkan Pemrakarsa untuk


menyusun Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi berdasarkan Prolegda Provinsi.
70 (2) Dalam menyusun Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi, Gubernur membentuk tim
penyusun Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur.
70 (3) Keanggotaan tim penyusun sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Gubernur;
b. Sekretaris Daerah;
c. Pemrakarsa;
d. Biro Hukum;
e. Satuan kerja perangkat daerah terkait; dan
f.Perancang Peraturan Perundang- undangan.
70 (4) Gubernur dapat mengikutsertakan instansi
vertikal yang terkait dan/atau akademisi dalam
keanggotaan tim penyusun sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
10
70 (5) Tim penyusun sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dipimpin oleh seorang ketua yang
ditunjuk oleh
Pemrakarsa.

121 (1) Gubernur menyampaikan Rancangan


Peraturan Daerah Provinsi yang berkaitan
dengan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan
tata ruang daerah sebelum diundangkan
dalam Lembaran Daerah Provinsi kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri untuk
dievaluasi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
121 (2) Selain Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Gubernur juga menyampaikan Rancangan
Peraturan Gubernur tentang:
a. penjabaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
b.penjabaran perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah; atau
c.penjabaran pertanggungjawaban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.

131 (1) Gubernur menyampaikan Peraturan Daerah


Provinsi dan Peraturan Gubernur kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal ditetapkan untuk
mendapatkan klarifikasi.
131 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku juga terhadap Peraturan Daerah
Provinsi yang sudah dilakukan evaluasi.

11
131 (1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 melakukan klarifikasi Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Gubernur.
131 (2) Hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa hasil klarifikasi
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Gubernur yang:
a. tidak bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi; atau
b.bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.

133 (1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 132 melakukan klarifikasi Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Gubernur.
133 (2) Hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa hasil klarifikasi
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Gubernur yang:
a. tidak bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi; atau
b. bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.

134 (2) Dalam hal hasil klarifikasi Peraturan Daerah


Provinsi dan Peraturan Gubernur
bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 133 ayat (2) huruf b, menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang dalam negeri menerbitkan surat
kepada Gubernur yang berisi rekomendasi
agar Pemerintah Daerah Provinsi melakukan
12
penyempurnaan Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Gubernur atau melakukan
pencabutan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Gubernur.
134 (3) Dalam hal Pemerintah Daerah Provinsi tidak
melaksanakan hasil klarifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Gubernur dibatalkan.

135 (1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 134 ayat (3) terhadap sebagian atau
seluruh materi Peraturan Daerah Provinsi
ditetapkan dengan produk hukum sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.

137 Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari


terhitung sejak tanggal diterimanya
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 134 ayat (3) Gubernur harus
menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah
Provinsi dan selanjutnya Peraturan Daerah
tersebut dicabut dengan Peraturan Daerah.

138 (1) Dalam hal Pemerintah Daerah Provinsi


keberatan terhadap pembatalan Peraturan
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 137, Gubernur dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung.
138 (2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung
menyatakan Peraturan Perundangundangan
yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut
menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.

13
146 (1) Dalam hal Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota keberatan terhadap
keputusan pembatalan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 145, Bupati/Walikota dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung.
146 (2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung
menyatakan Peraturan Perundangundangan
yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut
menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.

188 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan


secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
188 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dalam rangka melaksanakan
konsultasi publik.
188 (3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
konsultasi publik diatur dengan Peraturan
Menteri.

3. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)

PERMA No. 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil


Pasal
1 (4) Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat
atau perorangan ....

2 (1) Permohonan Keberatan diajukan kepada


Mahkamah Agung dengan cara:
Langsung ke Mahkamah Agung; atau
Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi
wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon;
14
2 (3) Permohonan keberatan ... dengan menebutkan
secara jelas alasan-alasan sebagai dasar
keberatan ....

6 (1) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa


permohonan kebertan itu beralasan, karena
Peraturan Perundang-undangan tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang atau
Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih
tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan keberatan tersebut;

6 (2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan


bahwa Peraturan Perundang-undangan yang
dimohonkan kebertaan tersebut sebagai tidak sah
atau tidak berlaku untuk umum, serta
memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan
segera pencabutannya;

8 (2) Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan


Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan
tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan
tidak mempunyai kekuatan hukum.

9 Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan


tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali.

15
4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

SEMA Nomor 7 Tahun 2012

TENTANG PERMOHONAN HUM


a. Apakah terhadap permohonan HUM yang telah
diputus “NO” karena telah lewat waktu dapat diajukan
kembali ?
b. Bagaimana jika diajukan permohonan HUM oleh
beberapa Pemohon dalam perkara yang berbeda atas
suatu peraturan yang sama, apakah harus diputus
semua atau terhadap perkara berikutnya cukup
dinyatakan “NO” ?
c. Apakah terhadap peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan sebelum Perma Nomor 01 Tahun
2011 diterbitkan dapat diajukan HUM?
a. Permohonan HUM yang telah diputus “NO”
karena telah lewat waktu, apabila diajukan
kembali maka harus dinyatakan tidak dapat
diterima (“NO”), karena nebis in idem.

b. Apabila terdapat permohonan HUM diajukan


oleh beberapa Pemohon dengan nomor
perkara yang berbeda terhadap peraturan
perundangundang yang sama (obyek HUMnya
sama), maka :
1) Beberapa perkara dengan nomor yang
berbeda tersebut harus diputus secara
bersamaan pada hari dan tanggal yang
sama dengan amar putusan yang sama.
2) Jika diputus tidak secara bersamaan pada
hari dan tanggal yang sama, namun ada
yang diputus lebih dahulu, maka terhadap
perkara HUM yang diputus pada hari dan
tanggal berikutnya harus dinyatakan “NO”.

16
c. Perma Nomor 01 Tahun 2011 tidak berlaku
surut. Oleh karenanya pengajuan HUM
terhadap peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang yang diterbitkan dan
pernah diajukan sebelum dikeluarkan Perma
tersebut, berlaku ketentuan Perma sebelumnya
yaitu Perma Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan
peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang yang diterbitkan sebelum
dikeluarkan Perma tersebut dan belum pernah
diajukan HUM diberlakukan Perma Nomor 1
Tahun 2011.

SEMA Nomor 4 Tahun 2014

Tentang Putusan MA yang inkonsistensi dalam


perkara HUM.
Hasil Rapat Pleno Kamar TUN sebelumnya tanggal
11-13 April 2012 telah merumuskan bahwa Perma
Nomor 01 Tahun 2011 tidak berlaku surut. Oleh
karenanya pengajuan HUM terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang
diterbitkan dan pernah diajukan sebelum dikeluarkan
Perma tersebut (Perma Nomor 01 Tahun 2011)
diberlakukan Perma Nomor 01 Tahun 2004.
Sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah
undangundang yang diterbitkan sebelum dikeluarkan
Perma tersebut (Perma Nomor 01 Tahun 2011) dan
belum pernah diajukan HUM diberlakukan Perma
Nomor 01 Tahun 2011;
Namun inconcreto terdapat penerapan hukum yang
berbeda, khususnya terhadap peraturan perundang-
undangan yang diterbitkan sebelum Perma No. 1
Tahun 2004, ada yang menerapkan aturan tenggang
waktu sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun
2004 dan ada yang menerapkan Perma No. 1 Tahun
2011 yang tidak mengenal tenggang waktu;

17
Pengajuan HUM terhadap Peraturan
perundang-undangan pada prinsipnya tidak ada
batas waktu, namun harus menggunakan tolok
ukur yang jelas (ada pembatasan), yaitu tidak
boleh melanggar asas retroaktif dan nebis in
idem. Oleh karenanya penerapan Perma Nomor
01 Tahun 2011 tentang HUM tidak boleh
berlaku surut, sehingga terhadap peraturan
perundangundangan yang terbit sebelum
Perma Nomor 01 Tahun 2011, dan belum
pernah diajukan berlaku Perma Nomor 01
Tahun 2004.

SEMA Nomor 3 Tahun 2018

Kewenangan Mahkamah Agung dalam uji materiil

Mahkamah Agung berwenang melakukan hak uji


materiil, meskipun Undang-undang yang menjadi
dasar pengujian hak uji materiil di Mahkamah Agung
masih diuji oleh Mahkamah Konstitusi, sepanjang bab,
materi muatan pasal atau ayat yang sedang diuji di
Mahkamah Konstitusi tidak menjadi dasar pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
undang di Mahkamah Agung.

5. Putusan Pilihan Uji Materiil

a. Asas pembentukan peraturan

Putusan MA No. 42 P/HUM/2012tanggal 18 Juni


2013 Pertimbangan hlm. 55
oleh karena peraturan perundang-undangan
yang dipergunakan dasar penerbitan obyek
permohonan HUM a quo telah diubah,
dinyatakan tidak berlaku dan atau dicabut

18
dengan peraturan perundang-undangan yang
baru tersebut, maka Keputusan Presiden a quo
telah kehilangan dasar hukum kekuatan
berlakunya, sehingga beralasan hukum obyek
permohonan HUM a quo dinyatakan tidak sah
dan tidak berlaku umum;
Menimbang, bahwa sehubungan dengan hal
tersebut, hendaknya Pemerintah ataupun
Pemerintah Daerah segera menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pengendalian dan pengawasan
minuman beralkohol, dengan mempertimbangkan
upaya untuk menjaga ketertiban dan ketentraman
masyarakat, meningkatkan derajat kesehatan
bagi masyarakat sebagai upaya kesehatan secara
terpadu dan menyeluruh serta dalam upaya
menyediakan pangan yang aman, bermutu,
bergizi sebagai prasyarat dalam
menyelenggarakan sistem pangan yang
memberikan perlindungan kesehatan bagi
masyarakat dan juga harus memperhatikan nilai-
nilai keagamaan, adat budaya, nilai-nilai
kearifan lokal serta kultur masyarakat Indonesia
yang luhur. Hal mana dalam pembentukannya
harus mendasarkan pada Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Yang Baik,
yang meliputi :
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
(vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
19
Perundang-undangan) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut terbukti bahwa Keputusan
Presiden RI Nomor 3 Tahun 1997, tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol
telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi

Putusan MA No. 57 P/HUM/2017 Tgl 21 November


2017 Pertimbangan hlm. 25
materi muatan objek keberatan HUM aquo tidak
mencerminkan asas keadilan dan asas
persamaan dalam hukum dan pemerintahan serta
tidak berdasar pada asas kejelasan tujuan,
khususnya asas ke lima, yaitu kedayagunaan dan
kehasilgunaan, Bahwa pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan in casu
Peraturan Gubernur obyek keberatan HUM a
quo adalah dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum secara sama
dan setara bagi segenap warga negara, sehingga
tidak hanya melindungi serta memberikan
keistimewaan bagi sebagian orang khusus
tertentu sehingga bertentangan dengan ketentuan
Pasal 5 dan 6 Undang undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Perundang-undangan;

Putusan MA No. 58 P/HUM/2018 tanggal 18


Oktober 2018 Pertimbangan hlm. 62
objek permohonan keberatan a quo diterbitkan
oleh Termohon dalam rangka melaksanakan
wewenang BPJS sebagai badan hukum publik
secara kolektif-kolegial, Mahkamah Agung
berpendapat peraturan objek permohonan
keberatan hak uji materiil yang diterbitkan
tersebut bukan diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang, karena secara kelembagaan
seharusnya setiap peraturan, baik yang
menambah hak maupun mengurangi hak
20
masyarakat yang diatur dalam derajat peraturan
perundang-undangan harus diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang, dalam hal ini secara
kelembagaan yang berwenang menerbitkan
adalah Direktur Utama Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)
dan prosedur pengundangannya dicantumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut maka penerbitan Peraturan Direktur
Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Nomor 03 Tahun 2018 tentang Penjaminan
Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir
Sehat dalam Program Jaminan Kesehatan,
bertentangan dengan asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik,
khususnya asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat dan prosedur
pengundangannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b dan Pasal 81 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Putusan MA No. 74 P/HUM/2018 Tgl 18


Desember 2018 Pertimbangan hlm. 55
bahwa syarat pembatasan usia bagi Eks Tenaga
Honorer Kategori II dalam penetapan kebutuhan
(formasi) khusus seleksi CPNS Tahun 2018
sebagaimana dimuat dalam objek permohonan a
quo tidak mencerminkan rasa keadilan, karena
terkait pembatasan Usia Paling tinggi 35 tahun
adalah kategori pembatasan usia untuk
pelamaran PNS pada Umumnya sebagaimana
yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 23 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang
21
mana ketentuan tersebut diberlakukan sama
antara tenaga pendidik eks tenaga honorer tanpa
mempertimbangkan Asas Keadilan secara
proporsional bagi setiap warga Negara dalam
materi muatan peraturan perundang-undangan
dan Asas Kemanfaatan mengingat pengabdian
dan jasa tenaga Pendidik eks tenaga honorer
yang telah berperan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa dalam rentang waktu yang
cukup panjang.

Putusan MA No. 38 P/HUM/2012 Pertimbangan


hlm. 42
bahwa dari alasan-alasan keberatan Pemohon
yang kemudian dihubungkan dengan bukti-bukti
yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa alasan-alasan keberatan
Pemohon dapat dibenarkan, karena Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor
22/PER/M.KOMINFO/11/2011 yang menjadi
objek permohonan keberatan, secara relevansi
idealistik hukum (kesesuaian terjemahan
Peraturan Menteri terhadap Peraturan
Pemerintah dan Undang-Undang) tidak selaras
... Sedangkan objek HUM (Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika RI Nomor
22/PER/M.KOMINFO/11/2011) dalam penerapan
perubahan teknologi penyiaran multipleksing
menempuh jalan radikal, yang dapat berakibat
hilangnya hak-hak lembaga penyiaran swasta
berikut konsumennya (Ex pasal 14 ayat (6),
sehingga sesungguhnya perubahan terhadap
relevansi idealistik hukum seperti ini harus
diakomodir dalam peraturan perundang-
undangan yang pembentukannya melalui Wakil
Rakyat (DPR);

22
Putusan MA No. 37 P/HUM/2018 tanggal 31 Juli
2018 Pertimbangan hlm. 101
Dengan demikian Pasal 7 ayat (2) Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017
harus dibatalkan karena telah bertentangan
dengan Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yang mengatur dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus menganut
azaz kejelasan rumusan, karena mencampur
adukan antar kewenangan penyidikan dengan
penuntutan;
- Bahwa selanjutnya terhadap Pasal 14
Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 13
Tahun 2017 terdapat frasa norma yang
mengatur “sampai dengan dihapusnya
pemblokiran oleh penyidik yang bersangkutan”
dan Pasal 16 ayat (1) huruf (b) “penyidik
mengajukan penghapusan catatan blokir”, pada
kedua pasal tersebut tidak jelas kapan penyidik
yang mengajukan catatan blokir harus mencabut
catatan blokir kepada Kepala Kantor
Pertanahan dimana blokir dicatat;
- Bahwa pada saat perkara pidananya telah
dihentikan penyidikannya atau penuntutan maka
pada saat terbit surat perintah penyidikan (SP3)-
nya maka cabut blokir berlaku, sementara untuk
perkara yang dilanjutkan ke Pengadilan, status
blokir yang diminta penyidik masih melekat pada
catatan Kantor Pertanahan;
... Bahwa norma Pasal 14 dan Pasal 16 objek
permohonan hak uji materiil (HUM), tidak
memberikan batasan objektif secara hukum
maupun tenggang waktu yang jelas, sehingga
ketidakjelasan rumusan dapat menimbulkan
pelanggaran berupa penyalahgunaan
23
kewenangan penyidik dalam proses hapusnya
blokir, dan secara kewenangan ketika penyidikan
telah dilimpahkan ke tahap penuntutan (P-21)
dan/atau sudah ada putusan Pengadilan, maka
tidak ada lagi kewenangan penyidik terhadap
perkara yang dahulunya diajukan blokir;
- Bahwa seharusnya oleh pembuat peraturan,
secara hukum diatur secara tegas persyaratan
batasan objektif hapusnya blokir sebagaimana
hapusnya sita pidana yang diatur dalam pasal-
pasal pada Bab IV tentang SITA Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017
objek hak uji materiil a quo;
- Bahwa Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1)
huruf b objek permohonan hak uji materiil a quo
telah bertentangan dengan Pasal 5 dan 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu
tidak terdapat kejelasan rumusan karena tidak
menjamin kepastian hukum dan dapat
menimbulkan penyalahgunaan wewenang;

Putusan MA No. 13 P/HUM/2018 tanggal 31 Mei


2018 Pertimbangan hlm. 61
Bahwa senyatanya pada Pasal 10 ayat (2)
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10
Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya terdapat frasa yang berbunyi:
“pengelolaan bahan tambang berat yang ada di
dalam wilayah tanah ulayat dilakukan…..”
Sesungguhnya frasa bahan tambang berat tidak
dikenal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara ataupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sehingga
akan menimbulkan multi tafsir dalam penerapan
pasal tersebut yang dapat mengakibatkan
terbukanya kesempatan kepada siapapun, baik
24
itu badan usaha, koperasi maupun perorangan
yang telah memperoleh izin dari instansi
pemerintah untuk membuka pertambangan di
atas tanah milik masyarakat adat;

Pertimbangan hlm. 79 Putusan MA No. 11


P/HUM/2014 tanggal 28 April 2014
Bahwa redaksional ketentuan Pasal 2 huruf b
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2011
tentang Jabatan yang Tidak Boleh Dirangkap
oleh Hakim Agung dan Hakim jelas berpotensi
mengurangi kewenangan konstitusional Hakim
sebagai pelaku kekuasan kehakiman, karena di
dalam ketentuan pasal yang menjadi objek hak
uji materil tersebut telah mengandung multi
tafsir dan ketidak-pastian hukum, sehingga
sebagai peraturan perundang-undangan tidak
memenuhi ketentuan Pasal 5 huruf f Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 ...;

b. Non-Retroaktif

Putusan MA No. 22 P/HUM/2009 Tgl 9 Desember


2009 Pertimbangan hlm. 34
bahwa substansi permohonan keberatan Hak Uji
Materiil dari para Pemohon terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tersebut
adalah penetapan besarnya pajak penghasilan
yang diterima dari transaksi derivatif berupa
kontrak berjangka yang diperdagangkan dibursa
yang ditetapkan pajaknya sebesar 2,5 % (dua
koma lima persen) dari margin awal, dan
pemberlakuan peraturan in litis berlaku surut
yaitu mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2009, sementara peraturan in litis ditetapkan
pada tanggal 9 Februari 2009, sehingga
bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) dan (2)
huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ;
25
Putusan MA No. 20 P/HUM/2017 tanggal 29 Maret
2017 Pertimbangan hlm. 32
- Bahwa pada hakikatnya pengabdian setiap
negarawan, termasuk anggota DPD, pada
tingkat tertinggi adalah kepada bangsa dan
negara. Anggota DPD yang terpilih menjadi
pimpinan DPD, memimpin lembaga yang tugas
utamanya adalah menyerap dan
mengartikulasikan aspirasi daerah, sehingga
dengan jabatan tersebut saluran aspirasi dari
daerah dapat terwakili dalam proses
pengambilan keputusan nasional. Namun
demikian, tidak seperti MPR/DPR, DPD tidak
dicalonkan melalui Partai Politik. Oleh sebab
itu, tidak terdapat pengelompokan kekuatan
politik didalamnya. Menjadi pimpinan lembaga
bukanlah untuk mewakili kelompok tertentu,
melainkan untuk institusi DPD itu sendiri,
sehingga tidak sepatutnya apabila jabatan
pimpinan DPD tersebut dipergilirkan yang dapat
menimbulkan kesan berbagi kekuasaan;
- Bahwa Lampiran II Huruf C5, nomor 155
Ketentuan Peralihan Undang- Undang Nomor 12
Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan, pada
dasarnya mulai berlakunya Peraturan
Perundang-undangan tidak dapat ditentukan
lebih awal daripada saat pengundangannya,
dengan demikian Lampiran II Huruf C5, nomor
155 Ketentuan Peralihan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tersebut menegaskan
tentang larangan asas non retroaktif. Hal
tersebut selaras dengan kaidah normatif yang
termuat di dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,
yang secara tegas menyatakan bahwa hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun;
26
- Dengan demikian ketentuan Pasal 47 ayat (2)
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21
Februari 2017 Tentang Tata Tertib tersebut telah
melanggar Lampiran II Huruf C5, nomor 155
Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;

Putusan MA No. 14 P/HUM/2007 Tgl 23 Nopember


2009 Pertimbangan hlm. 17
bahwa kedua Keputusan yang menjadi obyek
keberatan a quo mempunyai daya laku surut
(diberlakukan secara surut) yaitu sejak tanggal 2
Januari 2007, hal ini menimbulkan kerugian
materiil bagi Pemohon karena harus membayar
selisih Upah Minimum Sektoral Provinsi
(UMSP) yang berlaku surut sejak tanggal 2
Januari 2007, dan ditetapkannya Keputusan
Gubernur in litis dengan menerapkan asas
Retroaktif bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi karena
tidak ada kepastian hukum, dan dari segi
pembentukannya tidak berdasarkan usulan dan
kesepakatan asosiasi perusahaan dan serikat
pekerja yang dicapai dalam perundingan ;

c. Cacat prosedur

Putusan MA No. 75 P/HUM/2018 Tgl 18 Desember


2018 Pertimbangan hlm. 61
Bahwa di dalam tahap persiapan dokumen
haruslah dituangkan dalam berita acara dan
ditandatangani oleh para pihak, yang disepakati
oleh kedua daerah, yang dalam faktanya telah
ada kesepakatan batas desa tahun 2004 dan
kesepakatan batas kecamatan tahun 2008.
Namun Termohon telah mengesampingkan
27
dokumen-dokumen tersebut, sehingga dalam
konsideran objek permohonan tidak dijadikan
dasar, oleh karenanya penerbitan objek
permohonan memiliki cacat formal;

Putusan MA No. 38 P/HUM/2016 tanggal 20


Februari 2017 Pertimbangan hlm. 81
Bahwa dalam Sidang Paripurna Luar biasa ke-3
tanggal 15 Januari 2016 telah mengambil
Keputusan dan menetapkan Peraturan DPD RI
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Tata Tertib dan
berdasarkan Risalah sementara sidang
paripurna luar biasa ke-3 masa sidang III tahun
sidang 2015-2016, ternyata Voting dilakukan
oleh 63 (enam puluh tiga) orang anggota DPD
RI, (Bukti P-11 = Bukti T-10), sehingga jumlah
tersebut kurang dari Kuorum yang ditentukan
pasal 297 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
MD3. Selain itu tidak terdapat pelaksanaan
prosedur lanjutan yang ditentukan Pasal 297
ayat (3) dan (4). Dengan demikian prosedur
pembentukan Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Tata Tertib cacat prosedur;

d. Delegasi wewenang

Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 tanggal 02


Oktober 2017 Pertimbangan hlm. 65
Bahwa syarat pendelegasian kewenangan
pemerintahan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan (kewenangan legislasi)
terdapat dalam lampiran Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan pada Bab II
Hal-Hal Khusus, huruf A. Pendelegasian
Wewenang, angka 198 yang menyatakan:
“Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat mendelegasikan kewenangan
28
mengatur lebih lanjut kepada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah”;
- Bahwa salah satu ciri adanya pendelegasian
kewenangan mengatur adalah dimuat dalam satu
pasal atau ayat tertentu yang dimulai dengan
frasa “ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur
dengan …”;
Bahwa dengan mencermati ketentuan Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007 beserta penjelasannya, dapat
diketahui bahwa ketentuan-ketentuan tersebut
sudah bersifat imperatif, yang tidak
membutuhkan pengaturan dan/atau penafsiran
lebih lanjut, dan sudah bisa langsung
dilaksanakan, oleh karenanya tidak ditemukan
adanya ketentuan pelimpahan kewenangan
mengatur lebih lanjut (opened legal policy)
kepada Menteri Keuangan dalam ketentuan a
quo;

Putusan MA No. 64 P/HUM/2019 tanggal 3


Oktober 2019 Pertimbangan hlm. 48
Bahwa berdasarkan ketentuan perundang-
undangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
penambahan norma dalam Pasal 21 ayat (3)
huruf a, b dan c Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
07/PRT/M/2019 Tentang Standar dan Pedoman
Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia,
yang tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan terkait, yaitu Undang-Undang No. 2
Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah dan Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah;
29
- Bahwa selain itu tidak ada delegasi dari
Undang – Undang Jasa Konstruksi kepada
Menteri PUPR untuk mengatur materi muatan
tentang segmentasi Pasar Jasa Konstruksi dalam
bentuk Peraturan Menteri PUPR. Wewenang
untuk membuat pengaturan tentang
“segmentasi” adalah wewenang Presiden dalam
bentuk Peraturan Pemerintah bukan wewenang
Menteri;
- Bahwa dengan demikian, pengaturan
segmentasi Pasar Jasa Konstruksi dalam bentuk
Peraturan Menteri PUPR, nyata-nyata tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 UU
No. 12 Tahun 2011 yang mengatur bahwa:
“Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan adalah materi yang dimuat dalam
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan”, dan Pasal 12-nya yang menegaskan
bahwa: “Materi muatan Peraturan Pemerintah
berisi materi untuk menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya”.

e. Lex Superior Derogate Legi Inferiori

Putusan MA No. 01 P/HUM/2001. tanggal 4


Oktober 2006 Pertimbangan hlm. 17
bahwa permohonan para Pemohon diajukan
dalam enggang waktu 180 hari sejak
ditetapkannya Keputusan Bupati Kabupaten
Barito Utara No.06 Tahun 2000 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten
Barito Utara No.04 Tahun 2000 tentang
Sumbangan Pembangunan Daerah Dari Hasil
Hutan Kayu, Hasil Hutan Bukan Kayu, Hasil
Perkebunan Dan Hasil Pertambangan dan
diajukan langsung ke Mahkamah Agung ;
Menimbang, bahwa oleh karenanya Permohonan
30
Hak Uji Materiil yang diajukan oleh para
Pemohon telah sesuai dengan Pasal 1 butir ke 4
dan ke 7 serta Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan
Mahkamah Agung No.1 Tahun 1999 tersebut
diatas, maka secara formal/prosedural
Permohonan Hak Uji Materiil yang diajukan
oleh para Pemohon dapat diterima, sehingga
pemeriksaan dapat dilanjutkan pada
pertimbangan-pertimbangan hukum yang
substansial materiil ;
Menimbang, bahwa tentang permasalahan
kwalitas atau standing tersebut berkaitan erat
dengan pertanyaan tentang apakah para
Pemohon mempunyai kepentingan (Interest)
langsung ataupun tidak langsung dengan objek
Permohonan Hak Uji Materiil yang diajukan
dalam perkara ini yaitu Keputusan Bupati
Kabupaten Barito Utara No.06 Tahun 2000
Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Barito Utara No.04 Tahun 2000
Tentang Sumbangan Pembangunan Daerah Dari
Hasil Hutan Kayu, Hasil Hutan Bukan Kayu,
Hasil Perkebunan Dan Hasil Pertambangan
yang dimohonkan untuk dinyatakan tidak sah,
Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung
R.I. berpendapat sebagai berikut :
1. Keberatan ad. 14 dapat dibenarkan, karena
Perda Kabupaten Barito Utara No.4/2000 dan
Keputusan Bupati No.06/2000 (selanjutnya
disebut obyek permohonan) bertentangan dengan
Undang-Undang No.18/1997 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.34/2000,
karena :
a. Berdasarkan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang
No.18/1997, yang dimaksud dengan Pajak
Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau Badan Hukum tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
31
berdasarkan peraturan perundang-undangan
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 b Undang-Undang
No.18/1997 yang dimaksud Retribusi Daerah
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran
atas jasa dan pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan atau diberikan oleh
Pemda untuk kepentingan orang pribadi atau
badan ;
b. Dalam Perda aquo diatur mengenai
sumbangan-sumbangan tetapi
substansi/materinya adalah bersifat Pajak
Daerah karena pelaksanaannya dengan paksa,
antara lain adanya sanksi administrasi dan
ketentuan pidana (Vide Pasal 10 dan Pasal 12) ;
c. Bahwa dalam Undang-Undang No.18/1997
telah ditetapkan jenis-jenis pajak dan jenis-jenis
Retribusi Daerah, sedangkan sumbangan seperti
diatur dalam Perda tersebut tidak termasuk
didalamnya ;
2. Keberatan ad. 15 dan ad. 16 dapat
dibenarkan, karena peraturan obyek permohonan
bertentangan dengan Undang-Undang
No.41/1999 tentang Kehutanan jo. PP
No.6/1999, karena :
a. Pungutan atas pemanfaatan hutan sudah
ditentukan dalam Pasal 35 Undang-Undang
No.41/1999, yakni bahwa setiap pemegang izin
usaha, pemanfaatan hutan dikenakan ijin usaha,
posisi dana reboisasi dan dana jaminan kerja ;
b. Berdasarkan Pasal 25 PP No.6/1999 diatur
sebagai berikut :
1. Setiap pemegang Hak Pungutan Hasil Hutan
untuk kayu wajib membayar Provisi Sumber
Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) ;
2. Setiap pemegang Hak Pungutan Hasil Hutan
untuk non kayu wajib membayar Provisi Sumber
Daya Hutan (PSDH) ;
c. Bahwa sumbangan yang diatur dalam Perda
32
dan Keputusan aquo tersebut tidak termasuk
dalam pungutan yang diatur dalam Undang-
Undang No.41/1999 maupun PP No.6/1999 ;
Menimbang, bahwa berdasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
maka permohonan Hak Uji Materiil yang
diajukan oleh para Pemohon dapat dikabulkan
untuk sebahagian yaitu hanya Keputusan Bupati
No.06 Tahun 2000 dan Perda No.04 Tahun 2000

Putusan MA No. 03 P/HUM/2010 tanggal 27


September 2010 Pertimbangan hlm. 32
Para Pemohon mempunyai kepentingan
sedemikian rupa terhadap obyek permohonan
keberatan Hak Uji Materiil. Oleh karena itu
secara yuridis Pemohon mempunyai kualitas
atau standing untuk mengajukan keberatan Hak
Uji Materiil in casu vide Pasal 1 ayat (4)
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2004);
berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004
ditentukan bahwa permohonan keberatan
diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus
delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan
berkaitan dengan ketentuan mengenai jurnal
internasional angka 1 (satu) yang berbunyi :
"Jurnal dalam bahasa asing yang diterbitkan di
dalam negeri yang terakreditasi yang editornya
sekurang-kurangnya 3 pakar dari tiga negara
yang berbeda", tidak terdapat dalam peraturan-
peraturan yang menjadi sumbernya dan
bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, khususnya Pasal 6 ayat (4) Keputusan
Mendiknas No. 36/D/O/2001 tanggal 4 Mei
2001;

33
bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004 tentang
Hak Uji Materiil telah ditentukan bahwa dalam
hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan
Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan
tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan
tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum
peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum;
Menimbang, bahwa batal demi hukum tersebut
dapat dihindari apabila Termohon sebelum
habisnya batas tenggang waktu tersebut,
mencabut sendiri Peraturan a quo (spontane
vernietiging);

Putusan Nomor 13 P/HUM/2012 tanggal 3 April


2013 Pertimbangan hlm. 18.
Bahwa terdapat pertentangan “Faktor
Parsialistik” (Perintah Pasal) dalam objek Hak
Uji Materiil in litis, karena dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-
Undang Minerba) menentukan jatuh tempo
kewajiban melakukan pengolahan dan
pemurnian bagi barang-barang tambang
sebelum dapat diekspor adalah pada tanggal 12
Januari 2014. Namun Pasal 21 Permen ESDM
Nomor 7 Tahun 2012 Tanggal 6 Februari 2012
menetapkan larangan tersebut harus sudah
dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
setelah Peraturan Menteri tersebut ditetapkan
Tanggal 6 Mei 2012;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
34
Mineral Nomor 07 Tahun 2012 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral
(khususnya Pasal 21) bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (khususnya
Pasal 170) sehingga harus dibatalkan

Putusan MA No. 20.P/HUM/TH.2002 tanggal 3 Mei


2006 Pertimbangan hlm. 6
bahwa pasal 3 ayat (1) Keppres RI No. 3 Tahun
1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian
Minuman beralkohol menentukan minuman keras
menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Minuman beralkohol golongan A adalah
minuman beralkohol dengan kadar ethanol
(C2H5OH) 1 % sampai dengan 5 % ;
b. Minuman beralkohol golongan B adalah
minuman beralkohol dengan kadar ethanol lebih
dari 5 % sampai dengan 20 % ;
c. Minuman beralkohol golongan C adalah
minuman beralkohol dengan kadar ethanol lebih
dari 20 % sampai dengan 55 % ;
Bahwa pasal 3 ayat (2) Keppres tersebut
mengatur bahwa minuman beralkohol golongan
B dan C baik produksi, pengedaran dan
penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam
pengawasan ;
Menimbang, bahwa rumusan dan pengaturan
pasal 3 ayat (2) Keppres No. 3 Tahun 1997
tersebut bersifat limitatif dan hanya berlaku bagi
minuman beralkohol golongan B dan golongan C
saja, sedangkan minuman beralkohol golongan A
merupakan pengecualian dan tidak dapat
dimasukkan sebagai golongan B atau golongan
C. Oleh karena itu minuman beralkohol
golongan A adalah minuman beralkohol bebas
35
dari pengawasan baik produksi, pengedaran
maupun penjualannya ;
Menimbang, bahwa pasal 3 Peraturan Daerah
Kabupaten Kuningan No. 29 Tahun 2001 dalam
ayat (1) mengatur bahwa dilarang memproduksi,
meracik, menyimpan, mengedarkan,
memperdagangkan/ menjual, membagikan secara
gratis dan mengkonsumsi minuman keras dalam
bentuk dan golongan apapun di daerah ;
Bahwa pasal 4 Peraturan Daerah tersebut
menentukan bahwa minuman keras golongan A,
B dan C hanya dapat dijual di hotel berbintang ;
Menimbang, bahwa dengan demikian pasal 3
ayat (1) dan pasal 4 Peraturan Daerah
Kabupaten Kuningan No. 29 Tahun 2001
tersebut tidak sesuai dan bahkan bertentangan
dengan pasal 3 ayat (2) Keppres No. 3 Tahun
1997

Putusan MA No. 22 P/HUM/2018 tanggal 31 Mei


2018 Pertimbangan hlm. 27
Pasal 11 dan Pasal 12 objek permohonan hak uji
materiil (HUM) (red. Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 01 Tahun
2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian
Bantuan Hukum) memuat norma yang
memberikan ruang dan kewenangan kepada
Paralegal untuk dapat beracara dalam proses
pemeriksaan persidangan di pengadilan.
Ketentuan tersebut dapat dimaknai Paralegal
menjalankan sendiri proses pemeriksaan
persidangan di pengadilan, dan bukan hanya
mendampingi atau membantu advokat.
Ketentuan normatif mengenai siapa yang dapat
beracara dalam proses pemeriksaan
persidangan di pengadilan telah diatur di dalam
Pasal 4 juncto Pasal 31 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang pada
36
pokoknya hanya advokat yang telah bersumpah
di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang dapat
menjalankan profesi advokat untuk dapat
beracara dalam proses pemeriksaan
persidangan di pengadilan;
- Bahwa dengan demikian muatan materi Pasal
11 dan Pasal 12 objek HUM bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, sehingga dengan demikian
melanggar asas lex superior derogate legi
inferior, sehingga bertentangan dengan Pasal 5,
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan;

Putusan MA No. 32 P/HUM/2018tanggal 8 Agustus


2018 Pertimbangan hlm. 52
Bahwa oleh karena dalam hierarki peraturan
perundang-undangan, kedudukan Peraturan
Pemerintah lebih tinggi daripada Peraturan
Menteri Keuangan objek Hak Uji Materiil a quo,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 5 huruf c
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi: c.
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan”; dan berdasarkan asas lex superior
derogat legi inferior, objek Hak Uji Materiil
yang tidak memasukkan komoditi ikan sebagai
jenis barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak sehingga dikenai
Pajak Pertambahan Nilai bertentangan dengan
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 81
Tahun 2015 tentang Impor dan atau Penyerahan
BKP Tertentu yang Bersifat Strategis Yang
37
Dibebaskan Dari Pengenaan PPN dan Pasal 5
huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan serta asas lex superior derogat legi
inferior

Putusan MA No. 37 P/HUM/2008 tanggal 18 Maret


2009 Pertimbangan hlm. 9
bahwa kedua Surat Keputusan a quo (obyek
permohonan Hak Uji Materiil ini) dari segi
pembentukannya ternyata tidak mengikuti
ketentuan lebih tinggi yang mengaturnya, yaitu
Peraturan Pemerintah R.I. No. 69 Tahun 2001
tentang Kepelabuhanan (Vide bukti P.HUM No.
2), terutama Pasal 50 ayat 2 yang pada
pokoknya menentukan bahwa :
"Besaran tarif jasa kepelabuhanan pada
Pelabuhan Umum yang diselenggarakan oleh
Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan
Usaha Pelabuhan setelah dikonsultasikan
dengan Menteri”; Demikian pula bertentangan
dengan Keputusan Menteri Perhubungan R.I.
No. 39 Tahun 2004 tentang Mekanisme
Penetapan Tarif dan Formulasi Perhitungan
Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan pada
Pelabuhan yang diselenggarakan oleh Badan
Usaha Pelabuhan (Vide bukti P.HUM No. 3),
terutama Pasal 2 huruf (b);

Putusan MA No. 42 P/HUM/2018 Tgl 18 Desember


2018 Pertimbangan hlm. 56
Bahwa materi muatan Pasal 127 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
memperbolehkan penggunaan jalan diluar
fungsinya hanya untuk 4 kegiatan yaitu
keagamaan, kenegaraan, olahraga dan budaya,
sedangkan Pasal 25 ayat (1) Peraturan Daerah
38
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum ( objek
Hak Uji Materiil ) materi muatannya
membolehkan di luar ke-4 kegiatan yang diatur
Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, yaitu bagian jalan/trotoar sebagai tempat
usaha Pedagang Kaki Lima, sehingga materi
muatan objek Hak Uji Materiil tersebut terdapat
ketidaksesuaian materi muatan maka harus
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 127 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Putusan MA No. 56 P/HUM/2014 tanggal 12


Februari 2015 Pertimbangan hlm. 31
Bahwa Objek Hak Uji Materiil bertentangan
dengan asas lex superiori derogate lex inferiori
karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kewenangan Gubernur untuk melantik Bupati
dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil
Walikota tidak ada perintah pasal untuk
didelegasikan kepada Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk oleh Presiden, demikian pula
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf h Peraturan
Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang serta Kedudukan
Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
di Wilayah Provinsi, secara jelas pada intinya
menyebutkan: “Gubernur sebagai wakil
pemerintah memiliki wewenang meliputi
melantik Bupati/Walikota”;

39
Putusan MA No. 61 P/HUM/2013 tanggal 22
Oktober 2013 Pertimbangan hlm. 17
bahwa Objek Sengketa dengan Judul
“Kepemilikan Tanah” merupakan penjabaran
Pasal 8 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah
No. 36 Tahun 2005 yaitu : “Status Hak atas
tanah”.
Menimbang, bahwa Objek Sengketa tidak
menentukan Putusan Pengadilan yang telah
Berkekuatan Hukum Tetap yang menyatakan sita
hak atas tanah sebagai bukti hak atas tanah.
Padahal sudah selayaknya Putusan Pengadilan
tersebut tercantum sebagai salah satu bukti yang
dapat digunakan sebagai syarat permohonan
IMB.
Menimbang bahwa dengan demikian, putusan
pengadilan dapat disamakan dengan bukti atas
kepemilikan tanah yang disebut didalam putusan
pengadilan tersebut dan oleh karena itu dapat
dipergunakan sebagai syarat untuk mengajukan
permohonan untuk mendapatkan IMB;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 3 Peraturan
Walikota Medan Nomor 41 Tahun 2012 Tentang
Petunjuk Teknis Atas Peraturan Daerah Kota
Medan Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi
Izin Mendirikan Bangunan, bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 Tentang Bangunan Gedung

40
Putusan MA No. 62 P/HUM/2013 Tgl 18 November
2013 Pertimbangan hlm. 58
Bahwa objek permohonan hak uji materiil
adalah pengaturan tentang Penggantian Nilai
Tegakan sebagai salah satu kewajiban selain
PSDH dan DR yang harus dibayar kepada
negara akibat dari izin pemanfaatan kayu,
penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam
pakai dan dari areal kawasan hutan yang telah
dilepas dan diberikan HGU yang masih terdapat
hasil hutan kayu dan pohon yang tumbuh secara
alami sebelum lahirnya HGU;
Bahwa permohonan ini identik dengan
permohonan hak uji materiil yang diputus oleh
Mahkamah Agung dalam Perkara Hak Uji
Materiil Nomor 41 P/HUM2011 dengan
mengabulkan permohonan hak uji materiil,
karena objek permohonan berupa ketentuan
mengenai kewajiban pembayaran Penggantian
Nilai Tegakan yang ditujukan kepada Pemegang
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), terbukti
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, dan karenanya telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Materi muatan dari
ketentuan yang telah dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut,
tidak dapat lagi dimuat kembali dalam peraturan
perundang-undangan yang setingkat;
Bahwa di samping itu, pada prinsipnya setiap
pungutan yang bersifat memaksa oleh negara
termasuk PNBP harus ditetapkan dengan
undang-undang atau peraturan pemerintah [vide
Pasal 23A UUDN RI Tahun 1945 dan Pasal 2
ayat (3), Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997].

41
Putusan MA No. 41 P/HUM/2012 tanggal 28
Februari 2013 Pertimbangan hlm. 21
bahwa Peraturan Bupati Sragen Nomor 4 Tahun
2009, Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Sragen Nomor 15 Tahun
2006 Tentang Perangkat Desa bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu
Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 15
Tahun 2006 Tentang Perangkat Desa dan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Tentang Desa (vide Bukti P.1) sehingga harus
dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan
keberatan hak uji materiil dari Pemohon harus
dikabulkan dan peraturan yang menjadi objek
dalam perkara uji materiil a quo harus
dibatalkan sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum

Putusan MA No. 17 P/HUM2005. tanggal 25 Juli


2008 Pertimbangan hlm. 13
1. Bahwa berdasarkan Pasal 145 ayat (3)
Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004
dinyatakan bahwa “keputusan pembatalan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden ..
dst ;
2. Bahwa berdasarkan Pasal 5 Undang-undang
Nomor. 10 Tahun 2004 dinyatakan “Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus berdasarkan pada azas pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik
meliputi :
a. … dst ;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang
tetap ;
c. s/d g … dst ;
dengan demikian Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor. 20 Tahun 2005,
42
bertentangan dengan Pasal 145 ayat (3)
Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 dan
Pasal 5 Undang-undang Nomor. 10 Tahun 2004,
oleh karenanya harus dibatalkan ;

f. Landasan hukum - Faktor Parsialistik (Perintah


Pasal)

Putusan MA No. 47 P/HUM/2011tanggal 2 Mei


2012 Pertimbangan hlm. 35
Bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011, tanggal 21
Februari 2012 yang menyatakan frasa ditunjuk
dan atau dalam Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 dan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka
Faktor Parsialistik (Perintah Pasal) objek Hak
Uji Materiil in litis “Frasa Penunjukan Kawasan
Hutan dalam SK.44/Menhut-II/2005 tidak
mempunyai kekuatan hukum ;

Putusan MA No. 70 P/HUM/2013 tanggal 25


Februari 2014 Pertimbangan hlm. 95
objek permohonan keberatan hak uji materiil
memiliki materi muatan yang berbeda dengan
materi yang diatur dalam UU PPN, yaitu:
- Dalam UU PPN Tahun 2000 telah jelas
menginstruksikan kepada Pemerintah untuk
mengenakan PPN kepada semua barang hasil
pertanian (kecuali pertambangan);
- Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2007 (objek permohonan) mengatur barang-
barang hasil pertanian tidak dikenakan PPN
karena dikualifikasi sebagai barang strategis;

43
- Perbedaan parsialistik (perintah pasal)
tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011), yang menyatakan “Materi muatan
peraturan pemerintah harus berisi materi untuk
menjalankan perintah undang-undang
sebagaimana mestinya”

Putusan MA No. 73 P/HUM/2013 tanggal 30 Juni


2014 Pertimbangan hlm. 70
Bahwa terlepas dari kewenangan hukum dan
otoritas kebijakan fiskal yang prudent dimiliki
oleh Pemerintah dalam bentuk atribusi
sebagaimana yang diamanatkan baik dalam
ketentuan Pasal 37 maupun Pasal 48 UU KUP
maka kewenangan tersebut berfungsi mengatur
(regulurend) yaitu berupa prosedur dan
kewenangan berikut substansi terhadap
pelaksanaan yang berkaitan dengan
implementasi atas pasal-pasal dalam UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP) yang terbangun dalam hukum acara untuk
menempatkan sistem self assessment sebagai
politik hukum pemungutan pajak, sehingga
penyimpangan hukum acara merupakan
beleeidsregels dapat dibenarkan manakala
kaidah kebijaksanaan yang berkonotasi "dalil"
atau "hukum" memiliki dasar pijak yang nyata di
dalam "teks" Undang-undang yang ditetapkan
dalam tugas pemerintahan, oleh karenanya
seyogyanya perkara a quo tidak boleh
bertentangan dan wajib mematuhi norma-norma
yang terkandung pada idealistik hukum apa yang
menjadikan hak dan pemenuhan kewajiban
perpajakan secara equelbrium, dengan demikian
perkara a quo tidak boleh bertentangan dengan
44
Undangundang yang lebih tinggi dalam artian
bahwa pada asasnya Negara mempunyai hak
mutlak untuk meningkatkan pemungutan pajak
karena kewajiban warga negara
(Staatsburgerplicht), tetapi kewajiban itu bukan
semata-mata tanpa hak, melainkan kewajiban itu
timbul justru karena adanya "hak warga negara"
(Staatsburgerrech)nya maka perwujudan
penyelesaian pemenuhan dan penunaian hak dan
kewajibannya harus mencerminkan keadilan
yang bersendikan pada hukum dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik .
c. Bahwa dalil-dalil perrnohonan Pemohon HUM
sangat beralasan karena secara normatif hukum
perkara a quo tidak terdapat dan memiliki
relevansi idealistik hukum ....

Putusan MA No. 40 P/HUM/2015 Tgl 04


September 2015 Pertimbangan hlm. 29
Bahwa oleh karena materi muatan ketentuan
Pasal 4 angka (11) huruf d Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 dan
Angka 2 huruf b Surat Edaran Komisi Pemilihan
Umum Nomor 280/KPU/VI/2015, tanggal 03
Juni 2015 (objek hak uji materiil), adalah
pelaksanaan dari materi muatan Pasal 7 huruf r
beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015, yang oleh
Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
dengan demikian objek hak uji materiil a quo
telah kehilangan pijakan hukumnya;

45
Putusan MA No. 05 P/HUM/2018 tanggal 3 Mei
2018 Pertimbangan hlm. 41
- Bahwa terbitnya PMK 252/PMK.011/2012
tanggal 28 Desember 2012 a quo in casu Pasal 1
ayat (2) huruf b yang menyatakan bahwa LNG
dikategorikan sebagai jenis hasil pertambangan
yang tidak dikenai PPN padahal LNG (Liquified
Natural Gas) tersebut bukanlah barang yang
diambil langsung dalam sumbernya (perut bumi)
telah bertentangan dengan asas kepastian hukum
dan asas keadilan karena ketentuan Pasal 1 ayat
(2) huruf b PMK 252/PMK.011/2012 tanggal 28
Desember 2012 a quo telah menyebabkan Wajib
Pajak in casu Pemohon Hak Uji Materiil
kehilangan hak untuk mengkreditkan Pajak
Masukan PPN atas perolehan barang atau jasa
untuk memproduksi LNG (Liquified Natural
Gas). Hal ini telah melanggar asas kemanfaatan
dari Sistem Kredit PPN dalam perhitungan PPN
terutang yang seharusnya bisa dimanfaatkan
oleh Wajib Pajak, sehingga juga menyebabkan
ketidakadilan karena telah memberatkan
cashflow Wajib Pajak;
-Bahwa oleh karenanya secara parsialistik
dalam kasus a quo terdapat pertentangan hukum
antara Pasal 1 ayat (2) huruf b PMK
252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 a
quo dengan Undang-Undang PPN karena
pembentukan PMK a quo telah menyalahi Pasal
7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan karena Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga
Pasal 1 ayat (2) huruf b PMK
252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 a
quo adalah cacat hukum dan karena tidak
46
mencerminkan bahkan melanggar asas hukum
yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan
asas kemanfaatan;

g. Retribusi dan PNBP

Putusan MA No. 49 P/HUM/2014tanggal 9


September 2014 Pertimbangan hlm. 13
Bahwa ketentuan pengenaan/pungutan biaya
parkir berlangganan, dikenakan/dipungut di
depan dan dilakukan “secara paksa” bersamaan
dengan pemilik kendaraan bermotor pada waktu
membayar pajak kendaraan bermotor itu adalah
bertentangan dengan prinsip retribusi itu sendiri,
yaitu Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Pada pokoknya Retribusi
adalah pembayaran atas jasa atau prestasi
tertentu langsung yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau badan
yang didasarkan kepada kehendak bebas
penerima jasa, akan menggunakan atau tidak;

Putusan MA No. 12 P/HUM/2015 tanggal 29 Mei


2015 Pertimbangan hlm. 89
a. Bahwa dalam Konstitusi Negara Republik
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23A UUD
Negara RI Tahun 1945 : "Pajak dan Pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara diatur dengan Undang-Undang” Dalam
rumusan tersebut mengandung makna bahwa
Pajak dan Pungutan lain (baca PNBP) harus
diatur dengan undang-undang, kemudian
undang-undang diantaranya akan memberikan
diskresi dan kewenangan atribusi kepada
Pemerintah untuk mengatur secara jelas

47
mengenai subjek dan objeknya serta tarif
sepanjang dalam ketentuan telah mengatur maka
Pemerintah tidak boleh memberlakukan sebaliknya;
b. Bahwa rumusan antara pajak dan bukan pajak
(baca PNBP) memiliki nilai-nilai dan asas-asas
yang hampir sama yaitu pungutan kepada
masyarakat untuk Negara dalam menjalankan
penyelenggaraan tugastugas pemerintahan tetapi
memiliki arti yang berbeda, dimana Pajak tidak
memiliki prestasi secara langsung yang dapat
ditunjuk, sedangkan pungutan lainnya
diantaranya berupa Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) pada hakekatnya merupakan
pungutan selain pajak yang berasal dari
berbagai pungutan yang dikelola oleh
kementerian/lembaga, sehubungan dengan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat,
dengan demikian terdapat tagen prestasi secara
langsung yang dapat ditunjuk perwujudan akan
adanya pelayanan berupa balas jasa yang
diberikan pemerintah;
c. Bahwa dalam teori-teori keuangan negara baik
mengenai pajak maupun bukan pajak,
dikedepankan bahwa diantaranya pemungutan
pajak menuju pada prinsip-prinsip perpajakan
yang universal yang diketengahkan oleh Adam
Smith dalam Musgrave, Richard A., and
Musgrave Peggy A, Finance in Theory and
Practice, Asian Studiest Edition, Singapore
National Printer (Pte), Singapore, 1983, hal 125-
132 dalam konsep the four canons of taxation
pengenaan pajak harus memenuhi prinsip-prinsip
: (1) Keadilan (equity), (2) Kepastian (certainty),
(3) Kecocokan (convenience) dan (4) Efisiensi
(efficiency), sedangkan alat pengukur secara
praktis dalam pandangan yang berbeda Smith,
Stigilts J.E dalam Taxation and The Burde of
Economic Development, Claredon Press, Oxford,
48
1992, halaman 73-78 diantaranya pemungutan
berorientasi pada hal-hal yang bersifat
kesederhanaan (simplicity), persamaan
(equality), keadilan (fairness) dan Kepastian
(certainty). Selanjutnya, Musgrave (ibid,
halaman 53-83) mengatakan bahwa campur
tangan pemerintah dalam kegiatan perekonomian
dapat dibagi 3 (tiga) kategori utama. Pertama,
untuk mengatasi inefisiensi sistem pasar bebas
dalam rangka mengalokasi sumber-sumber
ekonomi. Kedua, melakukan redistribusi
pendapatan dan kekayaan untuk mencapai
distribusi kekayaan dalam masyarakat yang lebih
adil. Ketiga, untuk menjamin kestabilan ekonomi
yang lebih mantap, pertumbuhan ekonomi yang
layak tanpa adanya pengangguran yang berarti
termasuk didalamnya pengendalian harga dan
inflasi. Oleh karenanya kegiatan pemerintah
dalam melakukan campur tangan tersebut yang
telah dikemas dalam PP Nomor 12 Tahun 2014
menuntut diantaranya sumber penerimaan
negara yang bersumber dari PNBP khususnya
yang berasal Sumber Daya Alam berupa Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana
Reboisasi (DR) serta Penggantian Nilai Tegakan
(PNT) harus semaksimal mungkin tetapi tidak
boleh tumpang tindih dengan objek yang serupa
serta Nilai Tarif yang ditetapkan, tidak boleh
maksimal 100% dari Harga Patokan yang dapat
menimbulkan pembebanan yang kurang adil dan
sangat mengganggu likuiditas keuangan bisnis
pada sektor privat yang akan berdampak negatif
dalam dunia usaha ...
Bahwa sesuai dengan kewenangan bebas dalam
urusan pemerintahan (discretionary power) yang
dilandasi asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AUPB) sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf b UU Peradilan Tata
49
Usaha Negara dengan tidak meninggalkan
objektivitas dan itikad baik (vide Pasal 21
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan) serta
mengedepankan kedudukan hukum dalam
menghargai dan menempatkan dirinya suatu asas
pemungutan sistem self assessment sebagai salah
satunya politik hukum pemungutan non pajak
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
diharapkan memiliki konsistensi dan harmonisasi
dalam pemungutan dalam artian objek yang
sama atau serupa tidak boleh dipungut berbagai
macam pungutan (double having) yang pada
akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi
(high cost economic). Oleh karena itu, padanan
hal yang serupa konsep pemungutan PNBP
secara formal, minimal dalam pembebanan harus
mewujudkan prinsip-prinsip keadilan (fairness)
dan Kepastian (certainty) hukum. Dalam prinsip
keadilan (fairness/equity) mengedepankan
pembebanan PNBP harus sesuai dengan
kemampuan relatif dari setiap Wajib Bayar dan
prinsip Kepastian (certainty) menekankan bahwa
PNBP berupa Penggantian Nilai Tegakan
sebagaimana tertuang dalam Lampiran XII PP
Nomor 12 Tahun 2014 hendaknya tegas, jelas
dan menjamin kepastian Wajib Bayar, sehingga
mudah dimengerti oleh Wajib Bayar dan jangan
tumpang tindih dengan pemungutan atas objek
yang serupa berupa hasil hutan kayu (PSDH dan
DR) yang menimbulkan double having
pembayaran sehingga memberatkan masyarakat,
dan diharapkan tetap berorientasi juga pada
prinsip kecocokan (convenience) yaitu
pemungutan PNBP jangan terlalu menekan
Wajib Bayar, sehingga Wajib Bayar akan dengan
50
senang hati melakukan pembayaran kepada
Pemerintah

Putusan MA No. 07 P /HUM/2000 17 September


2008 Pertimbangan hlm. 19
Bahwa dalam Undang-undang No. 18 Tahun
1997 dinyatakan:
- Retribusi daerah adalah Pungutan Derah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan ( Pasal 1
butir 26) Bahwa dalam Peraturan Daerah
Kotawaringin Timur Nomor 14 Tahun 2000
tersebut tidak ada ketentuan/pasal yang
menegaskan adanya prestasi Pemerintah Daerah
berupa jasa dan izin tertentu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Undangundang No. 18 Tahun 1997 diatas.

h. Dapat dilaksanakan

Putusan MA No. 65P/HUM/2018 tanggal 25


Oktober 2018 Pertimbangan hlm. 44
bahwa oleh karena pemberlakuan Ketentuan
Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun
2018 tidak mengikuti prinsip Putusan Mahkamah
Konstitusi yang berlaku prospektif ke depan
sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal
47 UU MK, menurut Mahkamah Ketentuan a quo
nyata-nyata bertentangan dengan asas-asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, sebagaimana termuat dalam
ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, khususnya huruf d, yang
berbunyi: Dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan
51
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
d. dapat dilaksanakan, yang dalam
Penjelasannya disebutkan bahwa “asas dapat
dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis, dan juga bertentangan dengan
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, khususnya huruf i, yang
berbunyi: Materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan asas: i.
ketertiban dan kepastian hukum, yang dalam
Penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.

Putusan Nomor 27 P/HUM/2016tanggal 2


November 2016 Pertimbangan hlm. 137
Bahwa objek permohonan keberatan hak uji
materiil bertentangan dengan Pasal 5 huruf d
dan e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengenai asas dapat dilaksanakan,
karena objek hak uji materiil a quo yang
berpotensi residu pembakaran yang berbahaya
bagi kesehatan ditujukan justru pada beberapa
kota besar yang justru padat penduduknya,
seperti : Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang,
Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta,
Kota Surabaya, dan Kota Makassar, dengan
demikian ketentuan tersebut tidak dapat
52
dilaksanakan;

Putusan MA No. 27 P/HUM/2012 Tgl 6 September


2012 Pertimbangan hlm. 13
agar pengecualian terhadap larangan ekspor
tersebut dapat dilaksanakan, maka poin c Pasal
21A ayat (2) Permen ESDM No. 11 Tahun 2012
yaitu: ”menyampaikan rencana kerja dan/atau
kerjasama dalam pengolahan dan/atau
pemurnian mineral di dalam negeri”, perlu
ditinjau ulang, karena adalah ketentuan yang
tidak bisa diterapkan disebabkan hingga saat ini
belum ada perusahaan pengolahan dan
pemurnian bauksit di dalam negeri.

i. Kewajiban naskah akademik

Putusan MA No. 49P/HUM/2017 tanggal 2 Oktober


2017 Pertimbangan hlm. 46
bahwa berdasarkan uraian point 1 dan point 2 di
atas, dapat disimpulkan bahwa Fungsi ekosistem
gambut dalam ketentuan pasal 1 angka 15 d
Permen P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017
adalah bertentangan dengan Pasal 6 ayat 1 UU
Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Perluasan fungsi hutan dalam ketentuan tersebut
tidak sesuai dengan prinsip Lex Superior Derogate
Legi Inferiori, yaitu suatu perundangundangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Selain itu bertentangan pula dengan prinsip
hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip
Lex Certa, suatu materi dalam peraturan
perundang-undangan tidak dapat diperluas atau
ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam
peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan
kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-
undangan tidak dapat diberikan perluasan selain
53
ditentukan secara tegas dan jelas menurut
peraturan perundang-undangan.
Bahwa perluasan makna fungsi pokok hutan
sebagai ekosistem gambut dalam pasal 1 angka 15
d Permen P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017
pada hakekatnya akan menimbulkan implikasi
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan
menimbulkan persoalan dalam implementasinya.
Bahwa atas dasar pemikiran yang demikian, UU
No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa setiap
Perencanaan penyusunan peraturan
perundangundangan atau Peraturan Perundang-
undangan di bawahnya (termasuk dalam hal ini
Peraturan Menteri) harus melalui pengkajian dan
penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian
atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan peraturan perundangundangan
sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hokum masyarakat.
Bahwa konsekuensi jika tidak dilakukannya
penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan
pembentukan peraturan perundang-undangan atau
Peraturan Perundang-undangan di bawahnya
(termasuk dalam hal ini Peraturan Menteri) di
bawahnya adalah sebagai berikut:
1. Perumusan permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat serta cara-cara mengatasi
permasalahan menjadi tidak akurat;
2. Permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan pembentukan
peraturan sebagai dasar hukum penyelesaian atau
solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat menjadi tidak
54
lengkap;
3. Perumusan pertimbangan atau landasan
filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
peraturan menjadi tidak komprehensif;
4. Perumusan sasaran yang akan diwujudkan,
ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan dalam rancangan peraturan menjadi
tidak komprehensif.
Bahwa dengan demikian, dapat dipahami bahwa
dengan naskah akademik akan menghasilkan suatu
peraturan perundang-undangan yang baik karena:
(1) memuat kondisi hukum yang ada atau
peraturan perundangundangan yang mengatur
mengenai substansi atau materi yang akan diatur,
(2) keterkaitan peraturan perundang-undangan
baru dengan Peraturan Perundangundangan lain,
harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta
status dari Peraturan Perundang-undangan yang
ada, termasuk Peraturan Perundangundangan
yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta
Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap
berlaku karena tidak bertentangan dengan
Peraturan yang baru, sehingga terjadinya tumpang
tindih pengaturan dapat dihindari.

Putusan MA No. 51 P/HUM/2019 tanggal 3


Oktober 2019 Pertimbangan hlm. 82
Pengundangan adalah tindakan hukum yang
bersifat administrasi agar tercantum dalam
lembaran negara sehingga dapat berkekuatan
hukum mengikat bagi masyarakat umum, tidak
berkenaan dengan pemeriksaan substansi atau
sinkronisasi peraturan perundangan yang telah
disahkan secara procedural dan substansi dari
masing-masing lembaga yang berwenang
membentuk peraturan yang akan diundangkan;
Bahwa sebelum tahapan pengundangan harus
dilalui proses harmonisasi: Pengertian proses
55
harmonisasi diatur Pasal 1 angka 2 Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
23 Tahun 2018 yaitu “Pengharmonisasian
Rancangan Peraturan Perundang-undangan
yang selanjutnya disebut Pengharmonisasian
adalah proses penyelarasan substansi rancangan
peraturan perundang-undangan dan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan,
sehingga menjadi peraturan perundang-
undangan yang merupakan satu kesatuan yang
utuh dalam kerangka sistem hukum nasional;
Bahwa proses penelitian sebagaimana diatur
pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (3), Pasal 11A
objek HUM sebenarnya juga telah dilakukan
dalam tahapan harmonisasi sebagaimana
ketentuan pasal-pasal tahap harmonisasi tersebut
diatas, dan bahkan jauh sebelumnya yaitu pada
tahapan persiapan dan pembahasan peraturan
sebelum pengesahan peraturan yang akan
diundangkan;
Bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b, Pasal
8 ayat (3), Pasal 9 ayat (3), Pasal 11A, Pasal 13
objek HUM telah menambah atau melebihi ruang
lingkup norma yang ada pada saat tahapan
Pengundangan, sehingga telah menegasikan
tahapan pembahasan dan pengesahan suatu
peraturan perundang-undangan, Peraturan yang
telah disahkan lembaga yang berwenang menjadi
mentah lagi padahal tinggal diundangkan saja,
sebagaimana maksud tahapan Pengundangan
yang diatur Pasal 1 angka 12 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011;

56
j. Memperluas norma

Putusan MA No. 50P/HUM/2018 Tgl 20 September


2018 Pertimbangan hlm. 58
menyangkut persyaratan tambahan berupa
kelengkapan dokumen sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 dan Permenkumham Nomor 62
Tahun 2016, haruslah sejalan dengan maksud
(intent) pembentuk undang-undang maupun
konteks materi yang diatur oleh undang-undang
a quo secara keseluruhan (sistematis-
kontekstual), serta tidak boleh bertentangan
dengan materi muatan yang terkandung dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.
Bahwa jika dilihat secara gramatikal,
persyaratan dan kelengkapan dokumen yang
diatur oleh Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
Permenkumham Nomor 62 Tahun 2016 secara
umum hanyalah dokumen pendukung yang
bersifat teknis administratif belaka, namun yang
perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan
secara mendalam adalah fotokopi tanda
kelulusan ujian pengangkatan notaris yang
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, sebagaimana yang
termuat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf j
Permenkumham Nomor 62 Tahun 2016.
Bahwa dengan bunyi pasal yang demikian,
menurut Mahkamah Agung, ketentuan tersebut
nyata-nyata telah memperluas norma yang
terkandung dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014, karena Penyelenggaraan
ujian pengangkatan notaris oleh Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum tidak
pernah diperintahkan oleh Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014. penyelenggaraan ujian
pengangkatan notaris oleh Direktorat Jenderal
57
Administrasi Hukum Umum, menurut Mahkamah
Agung adalah tidak tepat, karena hal tersebut
dapat dipastikan sebagai Intervensi Pemerintah
melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum untuk ikut campur menentukan kelulusan
calon notaris menjadi notaris. Lahirnya UU
Jabatan Notaris secara tegas menunjukkan
bahwa dengan pengaturan Organisasi Notaris
dalam Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 2
Tahun 2014, maka dengan sendirinya
pengangkatan notaris dilakukan oleh Organisasi
Notaris. Hal tersebut dilakukan guna menjamin
profesi jabatan notaris memiliki independensi
dan kemandirian dalam melaksanakan fungsi
atau wewenangnya, yang menuntut notaris harus
bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum. Hal demikian
tidak mungkin tercapai jika pemerintah ikut
campur dalam urusan ujian pengangkatan notaris

Putusan MA No. 64 P/HUM/2013 tanggal 25


Februari 2014 Pertimbangan hlm. 56
Bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Pasal 12 mengamanatkan “Materi
muatan peraturan pemerintah berisi materi
muatan untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya”. Jadi, peraturan
pemerintah adalah semata-mata memberikan
pengaturan lebih lanjut dan tidak dibenarkan
untuk memunculkan pungutan baru yang tidak
diatur oleh undang-undang. Perbedaan tersebut
mempengaruhi pengaturan dalam pasal-pasal
objek permohonan keberatan hak uji materiil
lainnya, yaitu Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4),
dan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2012;
58
Bahwa dengan demikian terdapat perbedaan
faktor relevansi idealistik hukum (tidak relevan
terjemahan peraturan pemerintah terhadap
undangundang) dan perbedaan faktor
parsialistik (perintah pasal) dalam objek
permohonan keberatan hak uji materiil;

Putusan MA No. 38 P/HUM/2015 Tgl 23 Desember


2015 Pertimbangan hlm. 54
Mahkamah Agung berpendapat objek
permohonan hak uji materiil berupa Lampiran II,
bagian II, angka 1, huruf f, kolom keterangan
angka 3 dan 4, Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan
Pengaturan Pertanahan, bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang lebih tinggi,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena secara
substansi terbukti telah menambah suatu beban
kewajiban baru yang menyimpang dari ketentuan
peraturan perundang-undangan di atasnya;

Putusan MA No. 30 P/HUM/2016 Tgl 24 November


2016 Pertimbangan hlm. 12
Bahwa pengaturan dalam objek permohonan
merupakan norma baru yang berbeda dengan
maksud dari norma yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, sehingga mempunyai konsekuensi hukum
yang berbeda dari peraturan dasarnya tersebut;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa
materi muatan Pasal 24 ayat (1) huruf o beserta
Penjelasannya dan Pasal 106 ayat (2) beserta
Penjelasannya Peraturan Daerah Kabupaten
Demak Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kepala
Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Demak
59
Tahun 2015 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Demak Nomor 5)
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi

Putusan MA No. 23 P/HUM/2010 Tgl 27


September 2010 Pertimbangan hlm. 23
Bahwa Keputusan Termohon I/Gubernur
Sulawesi Utara No. 85 Tahun 2010 tentang
Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten
Minahasa Tenggara No. 19 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Perda Kabupaten Minahasa
Tenggara No. 3 Tahun 2007 tentang Bentuk dan
Penggunaan Lambang Daerah yang menjadi
obyek Permohonan HUM bertentangan dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
tinggi karena :
- Pasal 145 ayat 3 Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 menentukan bahwa Pembatalan
Perda harus dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya
Perda dimaksud;
- Termohon membatalkan Perda dengan
mengacu kepada Pasal 186 dan 189 serta
Penjelasan Umum angka 9 Undang-Undang No.
32 Tahun 2004;
- Bahwa peraturan perundang-undangan yang
dijadikan dasar oleh Termohon I adalah keliru,
karena kewenangan untuk membatalkan Perda
Kabupaten/Kota ada pada Presiden melalui
Peraturan Presiden yang diatur secara eksplisit
dan limitif dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 limitatif;
- Penjelasan umum atau penjelasan pasal demi
pasal dari peraturan perundang-undangan tidak
boleh melahirkan norma hukum baru di pasal
yang yang diberi penjelasan dan apa lagi
penjelasan tidak boleh menyimpang maksudnya
60
dari pasal yang dijelaskan;
- Penjelasan Umum angka 9 Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 yang dijadikan dasar oleh
Termohon I untuk membatalkan Perda
Kabupaten Minahasa Tenggara No. 19 Tahun
2009 dalam sengketa ini, secara eksplisit tidak
memberikan kewenangan kepada Termohon I
dan juga tidak mendelegasikan kewenangan
Presiden kepada Termohon I;

Putusan MA No. 15 P/HUM/2018 Pertimbangan


hlm. 143
Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam
Trayek, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, karena
merupakan pemuatan ulang materi muatan
norma yang telah dibatalkan oleh Putusan
Nomor 37 P/HUM/2017, tanggal 20 Juni 2017,
sehingga harus dibatalkan;
Sedangkan pasal-pasal sebagai berikut, yaitu:
1. Pasal 27 ayat (1) huruf d
2. Pasal 27 ayat (2)
3. Pasal 72 ayat (5) huruf c;
Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam
Trayek, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu
Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, sehingga harus dibatalkan;

61
Putusan MA No. 14 P/HUM/2018 tanggal 17 Mei
2018 Pertimbangan hlm. 19
Bahwa Ketentuan mekanisme Pengangkatan
Perangkat Desa telah ditetapkan berdasarkan
Pasal 66, Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa dan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83
Tahun 2015 tentang Pengangkatan,
Pemberhentian Perangkat Desa yang diubah dan
ditambah dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 67 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 83 Tahun 2015 tentang
Pengangkatan, Pemberhentian Perangkat Desa,
yang dalam ketentuan tersebut tidak mengatur
atau merekomendasikan agar dibentuknya Tim
Kabupaten, yang mana hubungan hukumnya
hanya bersifat konsultatif melalui camat dalam
penyelenggaraan pengisian perangkat desa
bukan sebagai fasilitator sebagaimana tugas Tim
Kabupaten

Putusan MA No. 09 P/HUM/2012 Tanggal 12


September 2012 Pertimbangan hlm. 103 dan
Putusan MA No. 10 P/HUM/2012
Bahwa Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07
Tahun 2012, pada pokoknya mengatur bahwa
suatu rencana kerjasama untuk melakukan
pengolahan dan/atau pemurnian mineral yang
dilakukan oleh dan antar perusahaan
pertambangan mineral selaku pemegang IUP
Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi
dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi
Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian
diharuskan mendapatkan persetujuan dari
62
direktur jenderal atas nama menteri.
Bahwa ketentuan pasal ini melahirkan norma
hukum baru dengan menciptakan adanya suatu
"kewenangan baru" yang diberikan kepada
direktur jenderal atas nama menteri dengan cara
memberikan kewenangan yang sebelumnya sudah
diserahkan oleh Pemerintah Pusat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah kepada Pemerintah
Daerah;
Bahwa adanya kewenangan baru berupa
"keharusan untuk mendapatkan persetujuan dari
direktur jenderal atas nama menteri" tersebut
bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 maupun
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
yang merupakan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar diterbitkannya obyek
permohonan a quo, yang secara normatif telah
memberikan dasar hukum pembagian
kewenangan sebagai penerapan Asas
Desentralisasi dalam pemberian Ijin Usaha
Pertambangan (IUP), sesuai dengan lokasi
"Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP)"
yang dimohonkan.
Bahwa apabila pemerintah berkeinginan akan
memberikan wewenang baru kepada direktur
jenderal atas nama menteri terhadap rencana
kerja sama dalam kegiatan pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, seharusnya
pemerintah tidak memuat dalam peraturan
menteri a quo yang tingkatannya lebih rendah
dari undang-undang, tetapi hendaknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang
setingkat, yaitu dimuat dalam bentuk undang-
undang dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
Bahwa Pasal 8 ayat (3) tersebut juga
bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf I,
63
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, karena dalam peraturan menteri a quo
telah memberikan kewenangan kepada direktur
jenderal atas nama menteri dalam membuat
penetapan kebijakan kerjasama dalam
pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara, sedangkan sesuai dengan Pasal 6 ayat
(1) huruf I, Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 telah memberikan
ketentuan bahwa pemerintah dalam membuat
kebijakan kerjasama dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan,
sehingga pemerintah hendaknya harus
mendasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur pengelolaan
pertambangan mineral dan/atau batubara,
khususnya Pasal 37 dan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009;
Pasal 8 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07 Tahun 2012
tidak bertentangan dengan Pasal 37, Pasal 48
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dengan
pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa rumusan Pasal 8 ayat (4) Peraturan
Menteri tersebut telah menentukan : “IUP
Operasi Produksi khusus untuk pengolahan
dan/atau pemurnian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c diberikan oleh direktur jenderal
atan nama menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan".
Sedangkan Pasal 8 ayat (1) huruf c tersebut
menentukan : “Dalam hal pemegang IUP
Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak
ekonomis untuk melakukan sendiri pengolahan
dan/atau pemurnian mineral, dapat melakukan
64
kerjasama pengolahan dan/atau pemurnian
dengan pihak lain yang memiliki :
a IUP Operasi Produksi;
b IUPK Operasi Produksi; atau
c IUP Operasi Produksi khusus untuk
pengolahan dan/atau pemurnian”.
Berdasarkan hal di atas, ketentuan Pasal 8 ayat
(4) tersebut harus diartikan dan ditafsirkan
secara sistematis dengan ketantuan Pasal 37 dan
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
dalam melakukan kerjasama pengolahan
dan/atau pemurnian dengan pihak lain.
Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07 Tahun 2012
telah bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, khususnya Pasal 6 ayat
(1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 48, dengan
pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa pemegang IUP Operasi Produksi Mineral
dan IUPK Operasi Produksi Mineral dalam
melakukan pengolahan dan atau pemurnian hasil
penambangan di dalam negari dapat bermitra
dengan badan usaha lain untuk membangun
fasilitas pengolahan dan atau pemurnian harus
mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal
atas nama menteri.
Bahwa ketentuan pasal ini melahirkan norma
hukum baru dengan menciptakan adanya suatu
"kewenangan baru" yang diberikan kepada
direktur jenderal atas nama menteri terhadap
pemegang IUP Operasi Produksi Mineral dan
IUPK Operasi Produksi mineral agar dapat
bermitra dengan badan usaha lain untuk
membangun fasilitas pengolahan dan atau
pemurnian dalam melakukan pengolahan dan
atau pemurnian hasil penambangan di dalam
negari;
65
Bahwa apabila pemerintah berkeinginan
memberikan wewenang baru kepada direktur
jenderal atas nama menteri terhadap pemegang
IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi
dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi
khusus agar dapat bermitra dengan badan usaha
lain untuk membangun fasilitas pengolahan dan
atau pemurnian dalam melakukan pengolahan
dan atau pemurnian hasil penambangan di dalam
negari, seharusnya pemerintah tidak memuat
dalam peraturan menteri a quo yang
tingkatannya lebih rendah dari undang-undang,
tetapi hendaknya diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang setingkat, yaitu
dimuat dalam bentuk undangundang dengan
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara;
Bahwa adanya keharusan yang bersifat imperatif
untuk mendapatkan persetujuan dari Direktur
Jenderal atas nama menteri tersebut
bertentangan dengan ketentuan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang
merupakan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar diterbitkannya obyek permohonan
a quo, yang secara normatif telah memberikan
legalitas dalam pembagian kewenangan
pemerintah sebagai penerapan asas
desentralisasi dalam pemberian Ijin Usaha
Pertambangan (IUP), sesuai dengan lokasi
"Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP)"
yang dimohonkan.
Bahwa Pasal 9 ayat (3) telah bertentangan
dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, karena dalam peraturan
menteri a quo telah memberikan kewenangan
kepada direktur jenderal atas nama menteri
66
dalam membuat penetapan kebijakan kemitraan
dalam pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara, sedangkan sesuai dengan Pasal 6 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 telah memberikan ketentuan bahwa
pemerintah dalam membuat kebijakan kemitraan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, sehingga meskipun dalam
menerbitkan kebijakan kemitraaan merupakan
kewenangan pemerintah, namun Pemerintah
hendaknya harus mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur
pengelolaan pertambangan mineral dan/atau
batubara, khususnya Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009;
Mengenai keberatan ke 4 dan 5 :
Pasal 10 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07
Tahun 2012 telah bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya Pasal 3
huruf a dan f, Pasal 6 ayat (1) huruf i, k, I dan
ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf b dan c, Pasal 8
ayat (1) huruf b dan c, Pasal 36 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 37, Pasal 48, Pasal 74 ayat (1), dan
Pasal 76 ayat (1), dengan pertimbangan sebagai
berikut :
Bahwa sesuai dengan rumusan Pasal 10 ayat (1)
Peraturan Menteri a quo, dalam hal pemegang
IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi
berdasarkan hasil studi kelayakan, tidak
ekonomis untuk melakukan pengolahan dan/atau
pemurnian atau tidak dapat melakukan
kerjasama atau kemitraan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, harus
berkonsultasi dengan direktur jenderal untuk
melaksanakan peraturan menteri ini".
Pasal di atas telah memberikan kewenangan
kepada pemerintah pusat dengan mengambil alih
67
kekuasaan/kewenangan dari pemerintah daerah
(gubernur dan bupati/walikota) terhadap para
pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi
berdasarkan hasil studi kelayakan, kegiatan
pengolahan dan/atau pemurnian tidak ekonomis
atau tidak dapat melakukan kerjasama atau
kemitraan, diharuskan berkonsultasi dengan
Direktur Jenderal;
Bahwa Pasal 10 ayat 1 tersebut juga mempunyai
implikasi yuridis terkait dengan ketentuan Pasal
10 ayat (2) yang menentukan bahwa dari hasil
konsultasi dimaksud, direktur jenderal antara
lain dapat menunjuk pemegang IUP Operasi
Produksi lainnya, IUPK Operasi Produksi
dan/atau IUP Operasi Produksi khusus untuk
melakukan pengolahan dan/atau pemurnian
komoditas tambangnya sepanjang memenuhi
spesifikasi sesuai dengan kapasitas fasilitas
pengolahan dan/atau pemurnian".
Bahwa dalam hal pemegang IUP Eksplorasi,
yang merupakan kewenangan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten berdasarkan ketentuan
Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009, dapat
menimbulkan adanya tumpang tindih
kewenangan serta adanya ketidakjelasan
penyelenggaraan administrasi pertambangan
antara pemerintah dengan pemerintah daerah
yang secara normatif telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dengan demikian
adanya frasa "harus berkonsultasi dengan
direktur jenderal maupun pemberian kewenangan
kepada Direktur Jenderal untuk menunjuk
pemegang IUP Operasi Produksi lainnya, IUPK
Operasi Produksi dan/atau IUP Operasi
Produksi khusus sebagaimana termuat dalam
Pasal 10 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri a
quo telah bertentangan dengan Undang-Undang
68
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, khususnya Pasal 3 huruf
a dan f, Pasal 6 ayat (1) huruf i, k, I dan ayat (2),
Pasal 7 ayat (1) huruf b dan c, Pasal 8 ayat (1)
huruf b dan c, Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 37, Pasal 48, Pasal 74 ayat (1), dan Pasal
76 ayat (1);
Bahwa norma “harus berkonsultasi dengan
direktur jenderal” sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 ayat (1) maupun terkait dengan
ketentuan Pasal 10 ayat (2) yang menentukan
bahwa dari hasil konsultasi dimaksud, direktur
jenderal antara lain dapat menunjuk pemegang
IUP Operasi Produksi lainnya, IUPK Operasi
Produksi dan/atau IUP Operasi Produksi khusus
untuk melakukan pengolahan dan/atau
pemurnian komoditas tambangnya sepanjang
memenuhi spesifikasi sesuai dengan kapasitas
fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009, sehingga seharusnya pemerintah
tidak memuat norma dimaksud dalam peraturan
menteri a quo yang tingkatannya lebih rendah
dari undang-undang, tetapi hendaknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang
setingkat, yaitu dimuat dalam bentuk undang-
undang dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
Mengenai keberatan ke 6 dan 7 :
Ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3), Pasal 23
ayat (2) dan (3), Pasal 24 ayat (2) dan (3), dan
Pasal 25 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07
Tahun 2012 tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya Pasal 6
ayat (1) huruf e, i dan l, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7
ayat (1) huruf b, c, e, f dan g, Pasal 7 ayat (2),
69
Pasal 8 ayat (1) huruf b, c, e, f dan g, Pasal 8
ayat (2), Pasal 37, Pasal 48, Pasal 110, Pasal
111 ayat (1) dan ayat (2), dengan pertimbangan :
... Bahwa pasal-pasal tersebut pada dasarnya
merupakan mekanisme yang ditentukan oleh
pemerintah dalam rangka untuk melindungi
mineral dan batubara yang terkandung dalam
wilayah hukum pertambangan Indonesia dan
merupakan kekayaan alam yang dikuasai Negara
yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945,
sehingga mekanisme pelaporan sebagaimana
Pasal 22 ayat (2) dan (3), Pasal 23 ayat (2) dan
(3), Pasal 24 ayat (2) dan (3), dan Pasal 25 ayat
(2) dan (3) Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07 Tahun 2012
bertujuan untuk menjamin efektifitas pelaksanaan
dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara secara berdaya guna,
berhasil guna, berkelanjutan serta berwawasan
lingkungan hidup yang dapat memberikan
kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Mengenai keberatan ke 8 :
Bahwa Pasal 21 Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07 Tahun 2012
telah bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009, khususnya ketentuan Pasal
3 huruf e, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan
ayat (5), Pasal 6 ayat (1) huruf a, b dan k, Pasal
6 ayat (2), Pasal 103 dan Pasal 170, dengan
pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa sesuai ketentuan Pasal 21 Peraturan
Menteri a quo yang berisi tentang larangan
penjualan bijih (Raw material atau ore) mineral
ke luar negeri sebagaimana rumusan yang secara
lengkap adalah sebagai berikut : "Pada saat
Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Pemegang
IUP Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini
70
dilarang untuk menjual bijih (raw material atau
ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya
Peraturan Menteri ini".
Bahwa sesuai dengan konsideran menimbang
dalam peraturan menteri tersebut, yang
menyatakan untuk melaksanakan ketentuan Pasal
96 dan Pasal 111 Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan
dan Pemurnian Mineral.
Selanjutnya dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 96 dan Pasal 111 Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 secara normatif tidak
mengatur ketentuan mengenai adanya
"Iarangan" terhadap penjualan bijih mineral
berupa Raw material atau Ore ke luar negeri.
Sehingga pencantuman adanya "Iarangan
penjualan bijih mineral berupa Raw material
atau Ore ke luar negeri" dalam ketentuan Pasal
21 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral R.I. Nomor 07 Tahun 2012 telah
melampaui kewenangan yang diberikan oleh
ketentuan Pasal 96 dan Pasal 111 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, yang menjadi
dasar pertimbangan diterbitkannya Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral R.I.
Nomor 07 Tahun 2012, sehingga hal tersebut
secara mutatis mutandis bertentangan juga
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
khususnya Pasal 3 huruf e, Pasal 6 ayat (1) huruf
a, b dan k, Pasal 6 ayat (2), Pasal 103 dan Pasal
170;

71
Begitu pula, terhadap adanya "Iarangan"
terhadap penjualan bijih mineral berupa Raw
material atau Ore ke luar negeri yang diatur
dalam Peraturan Menteri a quo adalah
bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1), ayat (2),
ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 yang pada pokoknya menentukan
bahwa mengenai pengutamaan mineral dan/atau
batubara untuk kepentingan dalam negeri dan
pengendalian produksi dan ekspor diatur dengan
peraturan pemerintah. Sehingga apabila ada
aturan-aturan hukum yang baru tentang larangan
penjualan bijih mineral ke luar negeri, tidak
benar kalau diatur dalam peraturan menteri,
karena undangundang dengan tegas
mengamanatkan bahwa tentang hal itu harus
diatur dalam peraturan pemerintah;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam
rangka tertib norma hukum pelaksanaan
pemerintahan, tanpa bermaksud mengintervensi
diskresi pemerintah dalam hal substansi yang
diatur, seharusnya pemerintah dalam melakukan
pengaturan mengenai larangan penjualan bijih
mineral Raw material atau Ore ke luar negeri
diatur dalam bentuk peraturan pemerintah dan
bukan diatur dalam peraturan menteri a quo,
sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5 ayat (1),
ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009;

Mengenai keberatan ke 1:
Bahwa Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07
Tahun 2012 telah bertentangan dengan Pasal 6
ayat (1) huruf I, Pasal 6 ayat (2), Pasal 37 dan
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,
dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri
72
Energi dan Sumber Daya Mineral R.I. Nomor 07
Tahun 2012, pada pokoknya mengatur bahwa
suatu rencana kerjasama untuk melakukan
pengolahan dan/atau pemurnian mineral yang
dilakukan oleh dan antar perusahaan
pertambangan mineral selaku pemegang IUP
Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi
dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi
Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian
diharuskan mendapatkan persetujuan dari
direktur jenderal atas nama menteri;
Bahwa ketentuan pasal ini melahirkan norma
hukum baru dengan menciptakan adanya suatu
"kewenangan baru" yang diberikan kepada
direktur jenderal atas nama menteri dengan cara
memberikan kewenangan yang sebelumnya sudah
diserahkan oleh Pemerintah Pusat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah kepada Pemerintah
Daerah;
Bahwa adanya kewenangan baru berupa
"keharusan untuk mendapatkan persetujuan dari
direktur jenderal atas nama menteri" tersebut
bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 maupun
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
yang merupakan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar diterbitkannya obyek
permohonan a quo, yang secara normatif telah
memberikan dasar hukum pembagian
kewenangan sebagai penerapan Asas
Desentralisasi dalam pemberian Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) sesuai dengan lokasi
"Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP)"
yang dimohonkan;
Bahwa apabila pemerintah berkeinginan akan
memberikan wewenang baru kepada direktur
jenderal atas nama menteri terhadap rencana
kerja sama dalam kegiatan pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, seharusnya
73
pemerintah tidak memuat dalam Peraturan
Menteri a quo yang tingkatannya lebih rendah
dari undang-undang, tetapi hendaknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang
setingkat, yaitu dimuat dalam bentuk undang-
undang dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;

k. Pelibatan stake-holder

Putusan MA No. 37 P/HUM/2017tanggal 20 Juni


2017 Pertimbangan hlm. 75
Bahwa penyusunan regulasi di bidang
transportasi berbasis teknologi dan informasi
seharusnya didasarkan pada asas musyawarah
mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di
bidang jasa transportasi sehingga secara
bersama dapat menumbuh-kembangkan usaha
ekonomi mikro, kecil dan menengah, tanpa
meninggalkan asas kekeluargaan;

Putusan MA No. 32 P/HUM/2015 Tgl 10


September 2015 Pertimbangan hlm. 22
Bahwa peran serta masyarakat (in casu Para
Pemohon) dalam rangka pembentukan peraturan
daerah objek hak uji materiil selain dilakukan
untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 96
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang junctis
Pasal 159 Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang, dan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2011
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail

74
Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota, juga untuk memenuhi asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, terutama asas dapat dilaksanakan,
asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta
asas keterbukaan;
Bahwa menurut Majelis Mahkamah Agung,
prosedur penyusunan objek hak uji materiil a
quo tidak cukup melibatkan masyarakat (in casu
Para Pemohon) sebagai pihak yang berhak
melalui konsultasi publik. Padahal masyarakat
(in casu Para Pemohon) mempunyai hak untuk
memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan atau pembahasan
rancangan peraturan daerah. Dengan cara
demikian, diharapkan terbentuk peraturan
daerah dengan materi muatan yang baik dan
dapat menampung aspirasi masyarakat,
sehingga penerapannya tidak menimbulkan
permasalahan sosial;

Pertimbangan hlm. 24 Putusan MA No. 11


P/HUM/2010 tanggal 05 Agustus 2010
keberatan dikarenakan penerbitan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tidak pernah di
konsultasikan dengan masyarakat Jasa
Konstruksi dan tidak pernah disosialisasikan
penerapannya kepada masyarakat jasa
konstruksi di seluruh Indonesia, hal tersebut
adalah bukan merupakan alasan untuk
mengajukan Hak Uji Materiil mempertentangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2000 bukan merupakan alasan untuk mencabut
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010
Pasal 8A ayat 5, Pasal 8B ayat 3 dan pasal 8C
ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2010 substansi yang diatur didalamnya tidak
75
bertentangan dengan pasal 31, 32 dan 33
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, tetapi
sesuai dengan ketentuan pasal 34 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1999, hal mengenai
Forum dan Lembaga ini harus diatur dengan
Peraturan Pemerintah bukan dengan Peraturan
Menteri

l. Bertentangan dengan kaidah universal -


Konstatering Factum

Putusan MA No. 62 P/HUM/2018 Tgl 18 Desember


2018 Pertimbangan hlm. 65
Bahwa ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Presiden Nomor 04 tahun 2017 tentang Wajib
Kerja Dokter Spesialis yang mengatur mengenai
pemberlakuan Wajib Kerja Dokter Spesialis
termasuk bagi dokter sepesialis lulusan program
pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang biaya
pendidikannya ditanggung secara pribadi
(mandiri) maupun dari bantuan biaya
pendidikan pihak swasta/yayasan, juga memuat
ancaman sanksi bilamana tidak menjalaninya,
serta batas waktu pelaksanaan Wajib Kerja
Dokter Spesialis yang tidak jelas, dan tidak
memberikan kesempatan kepada dokter spesialis
lulusan program pendidikan dokter spesialis
(PPDS) khususnya yang biaya pendidikannya
ditanggung secara pribadi (mandiri) maupun
dari bantuan biaya pendidikan pihak
swasta/yayasan, untuk menentukan pilihan dan
kesediaannya ditempatkan pada rumah sakit di
daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan
atau rumah sakit rujukan regional/provinsi
secara sukarela (tanpa paksaan dan ancaman
hukum/sanksi) sebagaimana tertera dalam Pasal
7 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1),

76
(2), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1) huruf a dan
Pasal 21 ayat (1), (2), (3) pada Prepres Nomor 4
Tahun 2017 secara jelas dan terang
bertentangan dengan norma-norma yang
terkandung Pasal 1 butir 6 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan dalam bagian Umum Undang-
Undang Nomor 19 tahun 1999 Pengesahan
Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja
Paksa sebagaimana diuraikan diatas;

Putusan MA No. 69 P/HUM/2018 Tgl 29 November


2018 Pertimbangan hlm. 68
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
menegaskan bahwa dalam rangka mendukung
pembangunan nasional berkelanjutan dan
meningkatkan ketahanan energi nasional, maka
sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala
besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara
dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hal tersebut juga sejalan
dengan bagian konsideran faktual huruf b
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi yang mensyaratkan bahwa
Migas merupakan sumber daya energi strategis
yang dikuasai oleh negara, karena menguasai
hajat hidup orang banyak sehingga
pengelolaannya harus dapat secara maksimal
memberikan kesejahteraan rakyat. Dengan
demikian, sebagai wujud dari salah satu fungsi
hak menguasai negara adalah pengelolaan, yang
berfungsi sebagai pelaksanaan penguasaan
negara atas aset kekayaaan negara dan mandat
Konstitusi untuk memberi prioritas pertama
dalam pelaksanaan penguasaan negara melalui
pengelolaan langsung oleh BUMN, karena
konsepsi penguasaan oleh Negara merupakan
77
konsepsi yang berkaitan dengan prinsip
kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang diakui
sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara.
Dalam pengertian sumber-sumber kekayaan
negara adalah milik rakyat secara bersama,
sehingga seharusnya dalam pengelolaan wilayah
kerja Migas mendahulukan BUMN in casu PT
Pertamina (Persero) sebagai wujud penguasaan
negara demi mendukung kedaulatan dan
kemandirian Migas nasional, yang merupakan
perwujudan amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun
1945 dan juga sejalan dengan ketentuan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara, yang menentukan
maksud dan tujuan pendirian
BUMN adalah memberikan sumbangan bagi
perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada
khususnya, mengejar keuntungan dan
menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu
tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian
pertimbangan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) Permen
ESDM Nomor 23 Tahun 2018 (objek HUM) yang
menempatkan/mengurutkan kesempatan terlebih
dahulu kepada perpanjangan kontrak kepada
kontraktor yang akan berakhir masa kontraknya
untuk mengelola wilayah kerja Migas tersebut
dan tidak menempatkan/mengurutkan kesempatan
terlebih dahulu (voorrecht) kepada BUMN dalam
hal ini PT Pertamina (Persero) sebagai wujud
penguasaan negara bertentangan dengan Pasal
33 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 2 dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang
78
Energi, serta Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
sepanjang urutan pilihan dimaknai sebagai opsi
prioritas;
Menimbang, bahwa oleh karenanya materi
muatan peraturan perundang-undangan objek
HUM dinilai tidak mempedomani kaidah yang
sesuai dengan ketentuan lebih tinggi sebagai
acuannya sebagaimana ketentuan yang dimaksud
di atas

Putusan MA No. 24 P/HUM/2012 tanggal 16 April


2013 Pertimbangan hlm. 29
2 Bahwa setelah membaca jawaban Termohon
Hak Uji Materiil, ternyata profesi “Tukang
Gigi” adalah profesi turun temurun yang telah
didaftar berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan lama, tetapi tidak memiliki standard
operasional prosedur maupun standar
kompetensi;
3 Bahwa ketiadaan kualifikasi tersebut angka 2.
tersebut tidak berarti harus menutup profesi
“tukang gigi” tetapi menjadi kewajiban
Termohon agar Profesi “Tukang Gigi”
mendapat sarana standard kompetensi dan SOP
dalam legalitasnya;
4 Bahwa terdapat kelemahan “Konstatering
Factum” (Pertimbangan terhadap fakta-fakta
yang relevant) dalam Peraturan Menteri
Kesehatan objek Hak Uji Materiil sehingga
bertentangan terhadap Pasal 61 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;

79
Putusan MA No. 19 P/HUM/2011 tanggal 20 Juni
2011 Pertimbangan hlm. 21
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 39/M-
DAG/PER/10/2010 tentang Ketentuan Impor
Barang Jadi Oleh Produsen bertentangan
dengan jiwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian, karena dalam
Konsideran “Menimbang” butir c Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1984 jo Pasal 3 angka
(3) undang-undang tersebut bercita-cita
“mengembangkan secara seimbang dan terpadu
dengan meningkatkan peran masyarakat secara
aktif serta mendayagunakan secara optimal
seluruh sumber daya alam, manusia dan dana
yang tersedia”. Sedangkan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2010
tentang Ketentuan Impor Barang Jadi Oleh
Produsen, dalam konsideran “Menimbang” butir
a hanya mempertimbangkan iklim usaha dan
percepatan investasi, tanpa mempertimbangkan
peran masyarakat secara aktif dan
pendayagunaan seluruh sumber daya alam,
manusia dan dana yang tersedia secara
maksimal, sehingga di lapangan akan terjadi
benturan antara produkproduk hasil peran serta
masyarakat (produk lokal) dengan barang jadi
untuk proses produksi (barang impor) ;
-Bahwa di samping itu secara substansi terbukti
Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 3
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 39/M-
DAG/PER/10/2010 a quo, di satu sisi
menunjukkan ketidak berdayaan akan hasil
produksi sendiri (dalam negeri) dalam
menghadapi persaingan global, di sisi lain juga
bertentangan dengan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1984 yang mengatur tentang
Tujuan Pembangunan Industri

80
Putusan MA No. 7 P/HUM/2020 tanggal 27
Februari 2020 Pertimbangan hlm. 64
(1) dalam perumusan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang dilaksanakan Dewan
Jaminan Sosial Nasional, dan (2)
penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
BPJS, yang terjadi dalam praktek selama ini
terdapat suatu persoalan. Persoalan dimaksud
meliputi:
1. Struktur hukum (legal structure), berupa
belum adanya koordinasi yang baik (ego
sektoral) antara satu kementerian dengan
kementerian lainnya dalam mengurus
penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial;
2. Substansi hukum (legal substance), berupa:
adanya overlapping aturan yang diterapkan dan
ketidakkonsistenan antara satu instansi dengan
instansi lainnya dalam proses penegakan hukum;
3. Budaya hukum (legal culture), berupa masih
banyaknya perilaku tercela dan tidak terpuji baik
dari kalangan pengambil kebijakan, stakeholder
maupun masyarakat di bidang jaminan sosial.
Bahwa dampak-dampak tersebut, menurut
Mahkamah Agung, adalah sebagai akibat dari
adanya;
1. Ketidakseriusan Kementerian-kementerian
terkait dalam berkoordinasi antara satu dengan
yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya masing-masing yang berhubungan
dengan penyelenggaraan program jaminan
sosial ini;
2. Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan
Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan
umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem
Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini
pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui
institusi apa itu;
81
3. Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud)
dalam pengelolaan dan pelaksanaan program
jaminan sosial oleh BPJS;
4. Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS
dalam melaksanakan pengawasan, sehingga
menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap
kecurangan-kecurangan yang terjadi;
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut,
menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan
kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan
pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS
yang menyebabkan terjadinya defisit Dana
Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh
dibebankan kepada masyarakat, dengan
menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan
Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75
Tahun 2019. Apalagi dalam kondisi ekonomi
global saat ini yang sedang tidak menentu.
Kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan
dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh
BPJS tersebut haruslah dicarikan jalan keluar
yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki
kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi
tanpa harus membebankan masyarakat untuk
menanggung kerugian yang ditimbulkan.
Pembiaran terhadap Kesalahan dan kecurangan
(fraud) yang terjadi justru pada akhirnya akan
merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama
berupa kehendak politik (political will) dari
Presiden beserta jajarannya selaku pemegang
kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good
will) dari masyarakat dan penyelenggara
program jaminan sosial, untuk bersama-sama
memperbaiki akar persoalan yang ada,
membenahi sistem sekaligus meningkatkan
kualitas pelayanan program jaminan kesehatan
82
yang sedang berjalan, agar tujuan untuk
memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dapat terwujud;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas, kenaikan Iuran bagi peserta PBPU dan
Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75
Tahun 2019 secara sosiologis adalah
bertentangan dengan kehendak masyarakat;

Aspek Filosofis
Bahwa dengan terbuktinya konsideran faktual
Perpres No. 75 Tahun 2019, yang tidak
mempertimbangkan suasana kebhatinan
masyarakat dalam bidang ekonomi saat ini,
maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 34 ayat
(1) dan (2) yang secara sepihak menaikkan Iuran
bagi Peserta PBPU dan Peserta BP guna
menutupi defisit dana BJPS, diaggap telah
melanggar asas pemberian pertimbangan secara
adil dan berimbang (audi et alterem partem);
sejalan dengan doktrin ilmu hukum sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli seperti John Rawls,
J.Stuart Mill dan Jeremy Bentham yang
menegaskan pada pokoknya bahwa Hukum harus
berpihak kepada masyarakat tak mampu dan
harus memberikan kemanfaatan yang sebesar-
besarnya kepada masyarakat terbanyak,
sehingga penerapan Perpres Nomor 75 Tahun
2019 tidak boleh membebankan masyarakat di
luar kemampuannya, melainkan justru
sebaliknya memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya kepada rakyat Indonesia;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
83
dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis
tersebut di atas, terdapat cacat yuridis secara
substansi pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan
(2) Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019,
karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 2
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang menggariskan
bahwa: “Sistem Jaminan Sosial Nasional
diselenggarakan berdasarkan asas kemanusian,
asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” dan bertentangan
Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang
menekankan bawa penyelenggaraan sistem
jaminan sosial nasional oleh BPJS harus
berdasarkan pada asas: a. Kemanusiaan, b.
manfaat; dan c. keadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Putusan MA No. 6 P/HUM/2020 tanggal 30 Januari


2020 Pertimbangan hlm. 43
Menimbang, bahwa Pasal 31A ayat (2) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyatakan
bahwa permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang
hanya dapat dilakukan oleh pihak yang
menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya
peraturan tersebut, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang
diatur dalam undang-undang; atau
c. badan hukum publik atau badan hukum privat;
Bahwa pengaturan dalam objek Hak Uji materiil
a quo merupakan materi muatan terhadap
larangan/pembatasan hak politik warga negara
untuk mencalonkan diri pada pemilihan umum
84
Kepala Daerah yang dijamin oleh Pasal 28 J
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
sehingga materi muatannya harus dimuat dalam
undang-undang, bukan diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang
in casu Peraturan Komisi Pemilihan Umum
sebagaimana juga ditegaskan pada Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Juncto Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan “
(1) materi muatan yang harus diatur dengan
undang-undang berisi:
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” (Vide Bukti P-4 dan
Bukti P-5);
-Bahwa adanya ketidaksesuaian materi muatan
dalam objek Hak Uji Meteriil a quo, karena
materi muatannya adalah materi muatan
undangundang, oleh karenanya bertentangan
dengan ketentuan Pasal 5 huruf c Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang menegaskan
membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, yang meliputi: c. kesesuaian antara
jenis, hierarki, dan materi muatan (Vide Bukti P-
5);

85
Putusan MA No. 4 P/HUM/2018 tanggal 29 Maret
2018 Pertimbangan hlm. 31
- Bahwa kewenangan pemerintah untuk
menetapkan status wilayah tertentu sebagai
wilayah Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota
(RTH-5) adalah salah satu bentuk penguasaan
negara atas bumi dan air yang dimungkinkan
berdasarkan konstitusi dengan ketentuan
penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat yang
terlebih dahulu ada di wilayah tersebut. Dalam
hal ini, apabila dalam wilayah tersebut terdapat
hak-hak masyarakat, termasuk hak masyarakat
tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya,
maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan
penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan
para pemegang hak;
- Bahwa apabila terhadap lokasi Blok 11-02-01
Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal
tetap dipertahankan sebagai Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Hutan Kota maka akan
mendatangkan konsekuensi berupa kerugian
yang lebih besar, mengingat pembangunan
sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat
akan terhambat karena Termohon akan tetap
melakukan penolakan atas izin pemanfaatan
ruang terhadap pemohon yang berkeinginan
melaksanakan kegiatan usahanya dalam rangka
memajukan dan mempercepat pembangunan di
daerah tersebut yang berdampak kepada
stagnasi perkembangan ekonomi di daerah
tersebut;

86
Putusan MA No. 03 P/HUM/2018 tanggal 6 Maret
2018 Pertimbangan hlm. 112
Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai Badan
Hukum Perdata yang dapat mengajukan
permohonan Hak Uji Materi kepada Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A
ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
dan terdapat hubungan kausalitas antara
kepentingan Pemohon yang dirugikan dengan
terbitnya objek Hak Uji Materi, karena telah
kehilangan haknya untuk memanfaatkan lahan
miliknya sebagai akibat terbitnya objek hak uji
materiil, oleh karenanya Pemohon mempunyai
legal standing untuk mengajukan permohonan
keberatan hak uji materi atas Peraturan Daerah
Kota Depok Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok
Tahun 2012–2032, dengan demikian merujuk
ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat
(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,
permohonan a quo secara formal dapat diterima
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka secara procedural penerbitan objek
permohonan hak uji materiil tidak
memperhatikan kepentingan Pemohon sebagai
pemegang hak atas tanah berupa Sertipikat Hak
Guna Bangunan yang masih berlaku. Padahal
ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan Pasal 3 dan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 telah mengatur adanya prinsip kepastian
dan perlindungan hukum bagi setiap pemegang
hak atas tanah yang sudah didaftarkan dan terbit
sertipikat. Oleh karenanya, Pemohon sebagai
pihak yang memegang Sertipikat Hak Guna
Bangunan di lokasi diundangkannya objek
87
permohonan hak uji materiil (HUM) dirugikan
hak normatifnya, sehingga penerbitan objek
permohonan hak uji materiil (HUM)
bertentangan dengan prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh
Pemohon, sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf
h, Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 65 ayat (1), (2) dan
(3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang;

m. Opened legal policy

Putusan MA No. 23 P/HUM/2018 Tgl 10 Desember


2018 Pertimbangan hlm. 63
Bahwa kata “dapat” dan frasa “sesuai dengan
kemampuan keuangan negara” sebagaimana
diatur dalam Objek Permohonan II, serta
pengaturan Zona 1 pada Lampiran III
sebagaimana dituangkan dalam Objek
Permohonan IV, merupakan kebijakan hukum
terbuka (opened legal policy) yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, karena penentuan
kondisi kemampuan keuangan negara dan
penentuan Zona pada Lampiran III sesuai
dengan tingkat kemahalan di setiap wilayah
provinsi di Indonesia merupakan kewenangan
Termohon tanpa boleh dicampuri oleh lembaga
yudisial selama tidak bertentangan dengan
rasionalitas;

88

Anda mungkin juga menyukai