Anda di halaman 1dari 24

POLITIK HUKUM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

DILIHAT DARI TEORI KEWENANGAN

Dosen Pegampu :
Dr. Isharyanto, SH. MHum
(Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNS)

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Tugas Mata Kuliah : Politik Hukum
Konsentrasi : Hukum Pidana Ekonomi

oleh :
SUDARTO
NIM.S.331508011

PROGRAM MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNS
SURAKARTA
2016

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya berupa makalah
POLITIK HUKUM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
DILIHAT DARI TEORI KEWENANGANyang sederhana ini. Tugas ini
merupakan tugas terstruktur mata kuliah Politik Hukum pada Program Magister
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Konsentrasi
Hukum Pidana Ekonomi.

Pada kesempatan ini tidak lupa saya sampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen Pengampu Mata Politik
Hukum, atas ilmu yang telah diberikan. Semoga Apa yang telah diberikan kepada
kami selaku mahasiswa, bermanfaat bagi kami serta beliau selalu mendapatkan
balasan dari Allah atas amal baiknya kepada kami. Terima kasih kami ucapkan
kepada : Dr. Isharyanto, SH. MS (Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
UNS) Beliau merupakan salah satu Pakar Hukum yang telah memberikan ilmu
demi perkembangan hukum, khususnya Hukum Tata Negara di Indonesia.

Kami menyadari makalah ini tentu masih banyak kekuarangannya, tentunya


sumbang saran selalu kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat bagi yang membacanya... amin

Surakarta, Juli 2016

2
POLITIK HUKUM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
DILIHAT DARI TEORI KEWENANGAN

A. Pendahuluan

Pembatalan Perda merupakan salah satu hasil dari pelaksanaan


wewenang Pengujian suatu Perda. Kewenangan pengujian berasal dari bahasa
Belanda ”toetsingrecht”. Menurut Jimly Asshiddiqie ”toetsingrecht”
diartikan sebagai hak atau kewenangan untuk menguji atau hak uji. Kata
”menguji” juga dapat dipadankan dengan kata review dalam bahasa Inggris
yang berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari
kata ”re” dan ”view”.

Pada umumnya kita sering mendengar istilah Judicial Review Perda,


yaitu pengujian terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
karena diduga bertentangan dengan Undang-Undang. Sedangkan, pengujian
terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk Perda
Provinsi dan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat untuk pengujian
Perda Kabupaten/Kota disebut dengan istilah Executive Review. Selain
Executive Review pada lingkup pengujian suatu Perda, dikenal pula istilah
Executive Preview yang sering dipadankan dengan istilah “Evaluasi” karena
obyek yang diuji masih dalam bentuk Rancangan Perda, yang berdasarkan
Pasal 245 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
diubah terakhir dengan UU No. 9 Tahun 2015 (selanjutnya disebut dengan
UU Pemda yang baru) ditujukan untuk Rancangan Perda berkenaan dengan
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah.

Berbeda halnya dengan Executive Preview, konsep Executive Review


sering dipadankan dengan istilah “Klarifikasi” dan yang menjadi obyek
pengujian adalah Perda yang telah ditetapkan. Istilah klarifikasi pertama kali
muncul dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3
(selajutnya disebut dengan UU Pemda sebelumnya). Hanya saja, dalam UU
Pemda yang baru istilah “Klarifikasi” tidak lagi disebutkan. Hal ini tentu saja
janganlah dimaknai bahwa pelaksanaan Executive Review dalam bentuk
pengujian terhadap suatu Perda tidak ada lagi pengaturannya dalam UU
Pemda yang baru.

Dengan telah ditetapkannya UU N0. 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa hal baru yang diatur didalamnya.
Salah satunya adalah pendelegasian kewenangan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota.Seperti yang diketahui, dalam Pasal 145 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa pembatalan Perda
Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Akan tetapi dalam UU N0. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah yang mencabut UU Pemerintahan Daerah sebelumnya, disebutkan
bahwa kewenangan Pembatalan Perda Kabupaten/Kota didelegasikan kepada
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dan pembatalannya ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 251 ayat
(2) dan ayat (4) UU Pemerintahan Daerah yang baru. Selanjutnya dalam Pasal
251 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah diatur pula bahwa apabila Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi,kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, Menteri Dalam Negeri
mengambil alih kewenangan membatalkan Perda Kabupaten/Kota.

Ada beberapa konsekuensi yang kemudian muncul terkait pengaturan


tersebut, antara lain :

4
1. Sejak adanya Keputusan Pembatalan, maka paling lama 7 (tujuh) Hari
setelah keputusan pembatalan diterbitkan, Bupati/Walikota harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama
kepala daerah mencabut Perda dimaksud (Pasal 251 ayat (5)).
2. Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan, Bupati/WaliKota dapat mengajukan keberatan kepada
Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota (Pasal 251 ayat (8)).
3. Apabila penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota masih
memberlakukan Perda yang oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat, maka dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi penundaan
evaluasi rancangan Perda (Pasal 252 ayat (1) dan ayat (2)). Sanksi
administratif yang dikenakan kepada kepala Daerah dan anggota
DPRD berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan(Pasal
252 ayat (3)). Sanksi juga tidak diterapkan pada saat penyelenggara
Pemerintahan Daerah masih mengajukan keberatan kepada kepada
Menteri untuk Perda Kabupaten/Kota (Pasal 252 ayat (4)).
4. Khusus berkenaan sanksi terhadap pemberlakuan Perda Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, maka dalam hal penyelenggara Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai pajak
daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri atau
dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, dikenai
sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah
bersangkutan (Pasal 252 ayat (5)).

B. Permasalahan
Dalam makalah in i pokok kajian yang akan di bahas adalah Pembatalan
Peraturan daerah dilihat dari Teori Kewenangan.

5
C. Pembahasan
Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu akan dibahas masalah
teori kewenangan.
1. Politik Hukum
Definisi atau pengertian politik hukum juga bervariasi. Namun
dengan menyakini adanya persamaan substansif antar berbagai pengertian
yang ada. Politik hukum, menurut Padmo Wahyono, merupakan kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk . Politik hukum berkaitan dengan hukum yang diharapkan (ius
constituendum) Selanjutnya juga, menurut Satjipto Rahardjo, politik
hukum diartikan seagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai
untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Selanjutnya bahwa politik hukum yang sesungguhnya memiliki
tujuan mulia yang ingin dicapai masyarakat, bangsa, dan negara. Politik
hukum memiliki beban sosial suatu masyarakat, bangsa, dan negara untuk
mewujudkan cita-cita bersama. Kebijakan hukum yang dikeluarkan tidak
boleh ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu untuk mengabdi pada
kepentingannya sendiri.
Berdasarkan pengertian diatas, maka Abdul Hakim Garuda
Nusantara, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai
kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan
secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum
Nasional meliputi1 :
a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten.

b. Pembangunan hukum yang intinya adalh pembaharuan terhdap


ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan
penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi
tuntutan perkembangn yang terjadi dalam masyarakat.

1
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, Jakarta, Gramedia, hlm. 77

6
c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan
pembinaan anggotanya.

d. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi


kelompok elit pengambil kebijakan.

Identintifikasi terhadap suatu produk hukum akan memperlihatkan


kebijakan hukum itu sendiri. Kebijakan hukum itulah, yang oleh beberapa
ahli kemudian disebut sebagai politik hukum. Moh. Mahfud MD, Politik
Hukum merupakan kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau
telah dilaksanakan pemerintah secara nasional. Hal ini mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pemuatan dan
penegakan hukum. Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-
pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das
sollen (keinginan, keharusan), melainkan harus dipandang sebagai
subsistem yang dalam das sein (kenyataan) bukan tidak mungkin sangat
ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya
maupun dalam implementasiya dan penegakannya.
Berdasarkan pengertian politik hukum diatas, maka yag menjadi
ruang lingkup politik hukum, yaitu :
a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam
masyrakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan
politik hukum.
b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke
dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh
penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
c. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan
politik hukum.
d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik
hukum, baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan.

7
f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan
implementasi dari politik hukum suatu negara.

2. Teori Kewenangan
Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara 2. Pemerintahan
(administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang
yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar
wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet
beginselen)3. Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau
tindakan pemerintahan, menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan
kewenangan,
“Yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy marking)yaitu kekuasaan yang
menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintahan atau kekuasaan
yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy
exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik
negara yang telah di tentukan (verwezeblikking van de taak)4”.
Ateng syafrudin menerangkan kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang
diberikan oleh undang–undang, sedangkan wewenang hanya mengenai
suatu “onderdeel”(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Dalam beberapa
sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan
dengan Bevoegheid dalam istilah Belanda. Menurut Philipus M. Hadjon
bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 (tiga)

2
HM Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, h 61

3
Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok HukumAadmiistrasi, Laksbang
Presindo, Yogyakarta. h. 49

4
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara,
Jakarta, h.30

8
komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas
hukum5”.Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum
dimaksudkan, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum,
sedangkan komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang
itu haruslah mempunyai standar.
Menurut Philipus M. Hadjon6,ruang lingkup keabsahan tindakan
pemerintahan dan Keputusan Tata Usaha Negara meliputi: wewenang,
substansi dan prosedur. Wewenang dan substansi merupakan landasan
bagilegalitas formal.
Bagir Manan menyatakan : Di bidang otonomi Perda dapat
mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang
tidak diatur oleh pusat. Di bidang tugas pembantuan Perda tidak mengatur
substansi urusan pemerintahan atau kepentingan masyarakat. Perda di
bidang tugas pembantuan hanya mengatur tata cara melaksanakan
substansi urusan pemerintahan atau suatu kepentingan masyarakat.
Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara
mengenai keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno
Mertokusumo bahwa hukum ada karena kekuasaan yang sah.Kekuasaan
yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak
berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum, jadi
hukum bersumber pada kekuasaan yang sah7. Sementara itu Bagir Manan
menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
5
Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi
tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga”, Surabaya, h. 2. (Selanjutnya disebut
Philipus M. Hadjon I)

6
Philipus M. Hadjon,dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan
ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta h.1.(Philipus M. Hadjon II)

7
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Pusat
StudiHukum (PSH) Fak Hukum UII, Yogyakarta h.185-186. (Selnajutnya disebut Bagir Manan II)

9
atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban (rechten en plichten).
Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri
(zelfhestuten)8,sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan
untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal
berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib
ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan9.
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi,
delegasi, dan mandat10.Kewenangan yang sumbernya dari peraturan
perundang-undangan disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang
merupakan sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis
untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga negara11.
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :
a. Atribusi adalah kewenangan yang diperoleh oleh organ pemerintahan
secara langsung dari peraturan perundang-undangan
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya12.
Pada Atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang
baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini
8
Philipus M. Hadjon I).op.cit, hlm.7

9
Ridwan, HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
73.

10
Ibid, hlm. 104

11
Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka
Publisher. hlm.11.

12
Ridwan HR II,op.cit, lmh. 105

10
dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Dapat
diberi uraian bahwa ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkannya
keputusan yang disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan
atau Pejabat Tata Usaha negara (TUN) yang diberi wewenang pemerintah,
jadi dasar wewenang tersebut dinamakan bersifat atributif13.
Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang
yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah
memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan
atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Dengan demikian, suatu delegasi
selalu di dahului oleh adanya atribusi wewenang, adalah sangat penting
untuk mengetahui apakah suatu Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu
pada waktu mengeluarkan suatu keputusan yang berisi suatu pendelegasian
wewenang berdasarkan suatu wewenang pemerintah atributif yang sah
atau tidak. Dalam hal mandat, maka tidak terjadi perubahan apa-apa
mengenai distribusi wewenang yang telah ada, yang ada hanya suatu
hubungan intern, pemberi mandat (mandans) menugaskan penerima
mandat (mandataris) untuk atas nama mandans melakukan suatu tindakan
hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan Tata
Usaha Negara tertentu. Jadi pada mandat, wewenang pemerintahan
tersebut dilakukan oleh mandataris atas nama dan tanggung jawab
mandans.
Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara
kekuasaan diperoleh, yaitu pertama, kekuasaan diperoleh melalui
attributie. Setelah itu dilakukan pelimpahan dan dilakukan dalam dua
bentuk yaitu delegatie dan mandaat. Di sisi lain pelimpahan wewenang
pusat kepada daerah didasarkan pada teori kewenangan, yaitu pertama
kekuasaan diperoleh melalui atribusi oleh lembaga negara sebagai akibat
dari pilihan sistem pemerintahan, setelah menerima kewenangan atribusi

13
A. Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama,
Bandung, hlm. 4

11
berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 untuk kemudian dilakukan pelimpahan
(afgeleid) yang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu delegasi dan
mandat, delegasi dapat diturunkan kembali hanya sampai pada sub-sub
delegasi14.
Dalam hal atribusi tanggung jawab wewenang ada pada penerima
wewenang tersebut (atributaris), pada delegasi tanggung jawab wewenang
ada pada penerima wewenang (delegans)dan bukan pada pemberi
wewenang (delegataris), sementara pada mandat tanggung jawab
wewenang ada pada pemberi mandat (mandans) bukan penerima mandat
(mandataris). Jika dilihat dari sifatnya wewenang itu dapat dibedakan
menjadi tiga yakni :
1) Wewenang yang sifatnya terikat yakni terjadi apabila telah dirumuskan
secara jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus
dilaksanakan serta telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya
diambil.
2) Wewenang fakultatif yakni wewenang tersebut tidak wajib
dilaksanakan karena masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat
dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan
pada peraturan dasarnya.
3) Wewenang bebas yakni wewenang yang dapat dilakukan ketika
peraturan dasarnya memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata
usaha negara untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan
diambilnya15.
Kewenangan pembentukan Perda merupakan sumber kewenangan
atribusi, karena pembentukan Perda merupakan pemberian atribusi untuk
mengatur daerahnya sesuai dengan Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004, di
samping itu pembentukan Perda merupakan suatu pelimpahan

14
I Ketut Suardita, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Pajak
daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, hlm. 23

15
Ridwan HR II, loc.cit

12
wewenangan (delegasi) dari suatu peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Serta pendelegasian kewenangan Pemerintah (Presiden) kepada
pembantunya yakni Mendagri dalam rangka melaksanakan urusan
pemerintahan daerah. Karena jika kita lihat pada Pasal 145 ayat (2) perda
dibatalkan oleh pemerintah, jika kita menafsirkan Pasal 1 angka 1 yang
disebut Pemerintahan Pusat adalah Pemerintah pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah PresidenRepublik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sehingga yang membatalkan perda adalah Presiden dan bukan
Mendagri.

3. Pembatalan Peraturan Daerah


Telah banyak peraturan daerah yang dibatalkan, pembatalan ini
dikarenakan seperti yang tertuang dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32
Thn 2004, Perda sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undanganyang lebih tinggi.Mengenai bertentangan dengan peraturan
perundang-undngan yang lebih tinggi seperti Undang-undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden. Berkaitan dengan bertentangan dengan kepentingan
umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004
adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga
masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan
kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum
serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam
perspektif kajian pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi
melalui Peraturan Mendagri juga merupakan suatu upaya pembangunan
atau pembinaan hukum di Negara Indonesia. Pembinaan hukum bahkan

13
harus diawali dengan adanya suatu kajian mengenai konsep pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, hal ini ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo,
yang menegaskan bahwa:”Apabila kita ingin berbicara mengenai
pembinaan hukum dalam arti yang lengkap, masalah pembuatan hukum
pun termasuk di dalamnya. Tentulah tidak dapat diharapkan berbicara
tentang pembinaan hukum secara bersungguh-sungguh, apabila hanya
mempersoalkan tentang bagaimana meningkatkan efisisensi suatu
peraturan yang ada serta meningkatkan efisiensi kerja dari lembaga-
lembaga hukum. Pada suatu ketika, usaha untuk meningkatkan efisiensi
hukum juga dimulai dari pembuatan peraturannya sendiri. Dengan
demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah tempat kaitan antara
pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum tersebut bertemu”.
Menurut Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004. Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)yang bertentangan
dengankepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, sertaPasal 145 ayat (3)
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkandengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Hal ini diperjelas kembali dengan PP79 Tahun 2005. Pasal 37 ayat
(4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden
berdasarkan usulan Menteri. Pada Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004
Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan
DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan rancangan Peraturan
Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan
Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan
Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun
sebelumnya, dan denganPasal 40 ayat (2) PP 75 Tahun 2005. Apabila

14
Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1) dan tetap
menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah,
Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri. Jika melihat Pasal 158
ayat (4) dan (5) UU PDRD pada ayat (4) berdasarkan rekomendasi
pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam
Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud
kepada Presiden, ayat (5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden
Paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya peraturan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sehingga dapat kita teliti produk
hukum pembatalan Perda yakni pada UU No. 32 Thn 2004:
a. Peraturan Presiden terhadap seluruh Perda kecuali Perda APBD, pajak
daerah, dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda APBD, pajak daerah,
dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang
Pembatalan Perda tersebut merupakan bagian dari kewenangan
pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah.
Sehingga dalam asas desentralisasi Pemerintah Daerah tidak lepas dari
Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Daerah masih tetap dalam kontrol dari
Pemerintah Pusat. Karena asas desentralisasi tidak berarti daerah dapat
bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri tetapi tetap pada koridor Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ketika terjadi permasalahn berkaitan dengan
Pembatalan Perda ini yang melibatkan Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Pusat yang masing-masing meiliki penafsiran berbeda akan sebuah Perda
serta untuk menemukan suatu kejelasan maksud daripada suatu Perda.
Diberikan suatu upaya penyelesaian dengan mengajukan hak uji materiil
kepada Mahkamah Agung.
Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota, tidak dapat menerima keputusan
pembatalan perda yang dimaksud dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan kepala daerah dapat mengajukan keberatan

15
kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan itu dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa peraturan
presiden menjadi batal dan tidak memiliki kekuatan hukum. Demikian pula
apabila pemerintah tidak mengeluarkan peraturan presiden untuk
membatalkan perda yang dimaksud, perda dinyatakan tetap berlaku.

4. Konskwensi Hukum terhadap Pembatalan Perda Provinsi

Keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah provinsi melalui


Peraturan Presiden dan Permendagri, dapat dilihat dari ketentuan yang
mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah itu sendiri, yaitu pada
Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004, yang intinya
menegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan daerah ditetapkan
dengan Peraturan Presiden dan terhadap Perda APBD, Pajak daerah dan
Retribusi daerah dan RTRW dibatalkan dengan Permendagri. Dari kedua
instrumen hukum di atas yang paling tepat dalam membatalkan Perda akan
dibahas selanjutnya.

Tindakan pemerintah pada hakekatnya ditentukan oleh 3 (tiga)


unsur utama, yaitu wewenang, prosedur dan substansi, dengan
menggunakan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan
tindakan pemerintah sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka
dijabarkan lebih lanjut:

a. Wewenang, Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan


suatu tindakan haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik
atributif maupun delegatif.
b. Prosedur, Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur
sebagaimana ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan
pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya.

16
c. Substansi, Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh
bertentangan dengan segala bentuk peraturan perundangan, konsepsi
Hak Asasi Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di
masyarakat.Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat
diukur dengan tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan
maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dengan demikian
setiap unsur dari tindakan pemerintah disatu sisi tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di sisi lain
harusmemenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah
terbukti bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka
keabsahan suatu tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga
apabila tindakan pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan
AAUPB, maka keabsahan tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.
Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),
AAUPB haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis,
yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, yang meskipun arti yang
tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat
dijabarkan dengan teliti. Dapat dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas
hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan tertentu dapat ditarik
aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”.
Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang
mengasumsikan bahwa norma tersebut memiliki kekuatan mengikat
(binding forces) terhadap orang yang perilakunya diatur. Suatu aturan
adalah hukum dan hukum yang valid adalah norma oleh karenanya hukum
adalah norma yang memberikan sanksi. Bahasan mengenai keabsahan itu
sendiri setara jika berbicara mengenai keberadaan hukum,sebagaimana
pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa hukum ada karena kekuasaan yang
sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-
ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya
bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.

17
Di dalam ketentuan Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004disebutkan
bahwa Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkanoleh Pemerintah.Vernietigbaar Menurut E. Utrecht suatu
peraturan yang dapat dibatalkan berarti bagi hukum perbuatan yang
dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh
hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten. Mengenai
dapat dibatalkannya suatu perda, pengertian mengenai batal, batal demi
hukum, dan dapat dibatalkan penjelasannya sebagai berikut :
a. Batal (nienig) berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan
tidak ada. Jadi, bagi hukum, akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah
ada.
b. Batal karena hukum (nietig van rechtswege)berarti akibat sesuatu
perbuatan untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya, bagi hukum
dianggap keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompetensi
untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya akibat itu.
c. Dapat dibatalkan (vernietigbaar)adalah bahwa bagi hukum perbuatan
yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan
oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten
(pembatalan itu dilakukan karena perbuatan tersebut mengandung
sesuatu kekurangan). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai
waktu pembatalannya dan oleh sebab itu segala akibat yang
ditimbulkan antara waktu mengadakannya sampai waktu
pembatalannya menjadi sah (terkecuali dalam hal Undang-undang
menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah).
Kewenangan Mendagritentang pembatalan Perda, yang seolah-olah
bertentangan dengan perintah Undang-Undang, adalah termasuk aturan
kebijakan untuk mengatasi kemacetan pelaksanaan pemerintahandalam
rangka pelayanan umum kepada masyarakat. Berdasarkan asaspraesumptio
iustae causa (asas praduga rechtmatigheid), maka Keputusan Menteri
Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda melalui klarifikasi adalahsah

18
sepanjang belum ada pembatalan. Pasal 145 UU No. 32 Thn
2004mengatur konsekuensi dari pembatalan Peraturan Daerah oleh
Pemerintah, yaitu pemerintah daerah yang menerima pembatalan Peraturan
Daerahnya harus mencabut Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut
yang sebelumnya didahului dengan penghentian pelaksanaan Peraturan
Daerah paling lama 7 hari setelah pembatalan.
Pemerintah Daerah yang tidak dapat menerima pembatalan
Peraturan Daerahnya dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung. Jika kita cermati pengaturan pembatalan Perda yang
ada pada Permendagri 1Tahun 2014 yang merupakan pengaturan lebih
jauh dari peraturan yang memberikan amanat berkaitan dengan pembatalan
Perda yakni UU No. 32 Thn 2004 dan PP. No. 79 Tahun 2005 yang
merupakan dasar pengawasan dari pemerintah pusat kepada daerah
terhadap pelaksanaan otonomi daerah sebagai buah hasil dari desentralisasi
pada akhirnya muara pembatalan suatu perda adalah pada tangan Presiden
dengan instrumen Peraturan Presidennya.
Seperti halnya pengaturan pada Pasal 145 UU No. 32 Thn
2004bahwa pembatalan perda baik perda Provinsi maupun Perda
Kabupaten/Kota merupakan kewenangan dari Presiden untuk
membatalkannya. Begitu juga sebaliknya pada UU PDRD bahwa yang
membatalkan Perda PDRD sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 158
adalah Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden. Pada UU No. 32
Thn 2004 kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda hanya pada
Raperda Pemerintah Provinsi dan kabupaten/Kota hanya pada tahap
evaluasi sebagai bagianpengawasan preventif dan hasil dari tindakan
klarifikasi semata. Apabila daerah tidak mematuhi pembatalan yang
didasarkan pada hasil klarifikasi Mendagriharus mengajukan permohonan
pembatalan kepada Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda. Begitu juga pada UU PDRD kewenangan
Mendagridalam pembatalan perda hanya sebatas pada hasil evaluasi

19
Raperda dan hasil klarifikasi apabila Perda PDRD dinyatakan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan
dengan kepentingan umum. Akan tetapi apabila daerah tidak menerima
pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri,
Mendagr iharus mengajukan usulan pembatalan Kepada Presiden
untuk melakukanpembatalan terhadap Perda PDRD tersebut.Apabila
Pemerintah Daerah tetap memberlakukan Perda yang telah dibatalakan
oleh Presiden tindakan Pemerintah Daerah yang tetap memberlakukan
Peraturan Daerah yang telah dibatalkan seluruh tindakan dan akibatnya
sejak pembatalan mempunyai kekuatan hukum mengikat dianggap tidak
pernah ada. Masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh tindakan
Pemerintahan yang tidak didasarkan kepada hukum yang sah dapat
menuntutnya ke Pengadilan dengan alasan bahwa Pemerintah Daerah telah
bertindak sewenang-wenang.
Agar Pemerintah Daerah dan masyarakat tidak dirugikan,
seyogyanya pelaksanaan Peraturan Daerah tidak diberhentikan ketika
Kepala Daerah masih mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung.Presiden dapat memberikan mandat kepada Mendagri selaku
pembantu Presiden untuk melakukan pembatalan terhadap Peraturan
Daerah diluar substansi yang Rancangan Peraturan Daerah yang
dipaksakan penetapannya oleh Gubernur. Apabila Menteri Dalam Negari
mendapatkan mandat dari Presiden untuk melakukan pembatalan
Peraturan Daerah maka secara redaksional Keputusan pembatalan
Peraturan Daerah dicantumkan Atas Nama Presiden, tetapi yang
menandatangani keputusan pembatalan Peraturan Daerah itu adalah
Mendagri.
Tetapi faktanya Keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang
dilakukan oleh Mendagritidak satupun Keputusan Pembatalan Peraturan
Daerah mengunakan redaksional Atas Nama Presiden.Itu berarti Presiden
tidak memberikan mandat kepada Mendagri untuk melakukan pembatalan
terhadap Peraturan Daerah tersebut. Dengan demikian tindakan

20
pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri terhadap Peraturan Daerah
merupakan “tindakan melanggar wewenang” (onbevoegdheid), yang oleh
Walinedisebutkan sebagai onbevoegdheid ratione materiae (organ
administrasi negara melakukan tindakan dalam bidang yang tidak
termasuk wewenangnya). Dengan demikian pembatalan yang dilakukan
oleh Mendagritersebut adalah tidak sah.
Untuk itu konsekwensi hukum dari keputusan pembatalan
Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Mendagri dianggap tidak pernah
ada tanpa perlu adanya suatu keputusan yang membatalkan tindakan
pembatalan yang dilakukan oleh Mendagritersebut. Berdasarkan hal
tersebut maka dapat dimaksudkan bahwa para menteri negara tunduk dan
bertanggung jawab kepada presidensebagai satu kesatuan institusi. Prinsip
yang bersifat umum adalah administrasi pemerintahn pusat pada umumnya
ditempatkan di bawah kewenangan menteri atau diorganisasikan sebagai
kementerian atau departemen.
Menteri dan kementerian negara dibedakan. Menteri adalah jabatan
politik, sedangkan kementerian negara diisi oleh pegawai negeri sipil
dengan jabatan-jabatan yang diisi melalui pengangkatan dan
pemberhentian secara administrati. Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan
esensi keteraturan dalam administrasi akan tampak pada hubungan
pemerintahan yang berlangsung secara fungsional yang diciptakan oleh
para subjek administrasi sebagai pemerintah dengan para subjek yang
diatur sebagai pihak yang diperintah.
Dengan melihat akibat huum yang ditimbulkan terhadap perda
yang dibatalkan tersebut maka akan menimbulkan konskwensi harus
dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya Perda yang dibatalakan oleh
Presiden tersebut. Apabila pemerintah daerah bersikukuh untuk tetap
memberlakukan perda yang dibatalkan tersebut danmengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung maka perda tersebut belum dapat dicabut dan
masih memiliki kekuatan hukum mengikat sampai ada putusan yang

21
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung apakah mengabulkan keberatan atau
menolak keberatan yang diajukan oleh pemerintah daerah.
Jika Mahkamah Agung mengabulkan keberatan yang diajukan oleh
pemerintah daerah maka Perda yang dibatalkan oleh Presiden tersebut
tetap berlaku. Tetapi jika keberatan Pemerintah daerah tersebut ditolak
maka Perda tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dilihat dari sisi Politik Hukum, Pembatalan Peraturan Daerah
Provinsi merupakan suatu kebijakan politik yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Mau tidak mau suka tidak suka keputusan ini harus dijalankan
meskupun ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sehingga Pembatalan
Suatu peraturan daerah ini tidak menimbulkan kegalauan pemerintah
daerah.
D. Penutup
1. Simpulan

Bahwa kewenangan pengaturan pembatalan Perda Provinsi ada


pada Presiden dengan bentuk hukum Peraturan Presiden dan bukan dengan
Peraturan Mendagri. Mendagri hanya berwenangan membatalkan
Rancangan Peraturan Daerah terbatas hanya pada APBD, PDRD dan
RTRW dengan bentuk hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri
sebagaimana yang diatur pada UU 32 Thn 2004, PP 79 Thn 2005 dan
Permendagri 1 Thn 2014. Diundangkannya UU 23 Thn 2014 telah
menjawab dualisme pembatalan perda provinsi tersebut karena pada UU
ini Presiden tidak lagi memiliki kewenangan pembatalan perda karena
semua kewenangan pembatalan perda yang dimilikinya didelegasikan
kepada Mendagri untuk membatalkan Ranperda RPJPD, RPJMD, APBD,
PDRD, dan RTRW serta pembatalan seluruh Perda tanpa terkecuali
dengan bentuk hukum Keputusan Menteri Dalam Negeri.

2. Saran

22
Agar terdapat penegasan kewenangan Mendagrihanya terbatas
pada proses preventif melalui tahap evaluasi dan pada proses represif tetap
menjadi kewenangan Presiden selaku pemerintahan pusat dan pemegang
kekuasaan Pemerintahan, atau Presiden tidak lagi memiliki kewenangan
pembatalan Perda dan melimpahkan kepada Mendagri dengan
pendelegasian kewenangan yang jelas sehingga Mendagri tidak dianggap
melakukan penyaalhgunaan kewenangan.

DAFTAR PUSTAKA

A.Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung,
Refika Aditama,

Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III,


Yogyakarta, Pusat StudiHukum (PSH) Fak Hukum UII

Hans Kelsen. 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung:
Nusamedia

HM Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam
Negara Kesatuan RI, Jakarta, Prestasi Pustaka

I Ketut Suardita, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan


Pajak daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undang-
undang No. 32 Tahun 2004. Jakarta, Gramedia

Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Jakarta, Prestasi
Pustaka Publisher.

Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik
Penyusunan), Yogyakarta, Kansius, Yogyakarta

Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok HukumAadmiistrasi,


Yogyakarta, Laksbang Presindo, Yogyakarta.

Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Jakarta Bima


Aksara

23
Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum
Administrasi tahun 1997/1998, Surabaya, Fakultas Hukum Universita
Airlangga”

Philipus M. Hadjon,dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan


ketiga, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

Ridwan, HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok HukumAadmiistrasi,


Yogyakarta, Laksbang Presindo, Yogyakarta

24

Anda mungkin juga menyukai