Anda di halaman 1dari 8

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA TERHADAP

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO.23 TAHUN


2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH

Disusun oleh
Nama (npm)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

Semester Genap 2020/2021

KATA PENGANTAR

Satu hari setelah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja diketuk palu oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI, banyak terjadi protes yang datang datang sejumlah kepala
daerah. Tercatat ada enam gubernur, sepuluh walikota/bupati yang secara terbuka, baik
tertulis melalui surat resmi maupun secara lisan, menyampaikan aspirasi penolakan. Beberapa
seperti gubernur Kalimantan Timur bahkan secara tegas menyatakan penolakannya terhadap
UU kontroversial ini.
Penolakan ini bisa dipahami karena beberapa hal. Pertama, sebagaimana yang juga
menjadi salah satu pokok penolakan beberapa elemen masyarakat, proses sejak pengusulan
hingga pengesahan sangat terbatas dan tidak melibatkan partisipasi publik secara luas, serta
terburu-buru dan mengalahkan prioritas UU lainnya. Termasuk yang tidak dilibatkan oleh
presiden dan DPR adalah otoritas daerah. Walikota Bogor, Bima Arya, misalnya, yang juga
adalah Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Seluruh Kota Indonesia (APEKSI) menyatakan
bahwa legislasi sama sekali tidak melibatkan APEKSI meskipun banyak aturan di UU
tersebut melibatkan peran dan kewenangan Pemerintah Kota.

Kedua, penolakan para kepala daerah ini sangat bisa kita pahami karena UU Cipta
Kerja secara signifikan mengubah peran dan fungsi pemerintahan daerah, terutama dari sisi
kewenangan. Meskipun tidak mudah melacak ketentuan tentang kewenangan daerah dalam
UU baru ini karena simpang siur naskah akhir UU, tapi jika kita melihat pada naskah yang
diketok palu tertanggal 5 Oktober 2020 (berjumlah 905 halaman), sejumlah hal krusial patut
menjadi perhatian pemerintah daerah. Beberapa pasal seperti pasal 17 memangkas
kewenangan pemda dalam hal tata ruang. Dalam pasal 8 (2) disebutkan sejumlah
kewenangan pemerintah pusat yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan
penetapan ruang wilayah nasional. Sedangkan wewenang pemerintah daerah, sesuai norma,
standar, prosedur dan kriteria (yang ditetapkan oleh pemerintah pusat) adalah pengaturan,
pelaksanaan, dan kerjasama antar provinsi.

Tentu saja konsekuensi yang paling penting adalah aturan-aturan di dalam UU Cipta
Kerja ini fakta bahwa ia mengangkangi semangat otonomi daerah yang dimandatkan dalam
konstitusi dengan sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat dan pemda sebagai pelaksana.
UU ini juga mengubah secara mendasar pemahaman terhadap urusan pemerintahan konkuren
(urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan Daerah) sebagaimana diatur dalam UU No.
23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. UU Cipta Kerja mensyaratkan bahwa hal-hal yang
diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) harus disesuaikan dengan intensi dari UU ini.

PERMASALAHAN

1. mengubah peran dan fungsi pemerintahan daerah, terutama dari sisi kewenangan.
2. aturan-aturan di dalam UU Cipta Kerja ini fakta bahwa ia mengangkangi semangat
otonomi daerah yang dimandatkan dalam konstitusi dengan sentralisasi kewenangan
ke pemerintah pusat dan pemda sebagai pelaksana
3. UU ini juga mengubah secara mendasar pemahaman terhadap urusan pemerintahan
konkuren (urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan Daerah) sebagaimana
diatur dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah
4. UU Cipta Kerja mensyaratkan bahwa hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah
(Perda) harus disesuaikan dengan intensi dari UU ini.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Otonomi Daerah

a. Pengertian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangga sendiri sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut seorang ahli bernama Kansil,
otonomi daerah adalah suatu bentuk hak dan wewenang berikut kewajiban dari sebuah daerah
untuk dapat mengatur serta mengurus urusan daerah sendiri berdasaran peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

b. Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah adalah sebagai berikut:

• Dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.


• Dapat mengembangkan kehidupan yang berasaskan demokrasi.
• Dapat mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
• Dapat mewujudkan pemerataan daerah.
• Dapat memelihara hubungan yang serasi dan baik antara pusat dan daerah serta
antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
• Dapat mendorong upaya pemberdayaan masyarakat.
• Dapat menumbuhkan prakarsa sekaligus kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
serta mengembangkan peran dan fungsi dari pihak DPRD.
c. Prinsip Otonomi Daerah

Terdapat tiga prinsip dalam penyelenggaraan otonomi daerah, yakni:

• Prinsip otonomi seluas-luasnya. Berdasarkan prinsip ini, suatu daerah akan diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri berikut
pemerintahannya, kecuali jika terdapat wewenang yang menurut peraturan
perundang-undangan memang menjadi kewenangan dari pemerintah pusat.
• Prinsip otonomi nyata. Berdasarkan prinsip ini, suatu daerah diberi kewenangan untuk
menangani urusan pemerintahan yang didasarkan atas tugas, wewenang, dan
kewajiban yang secara nyata sudah ada serta mempunyai potensi untuk dapat terus
tumbuh, berkembang, sekaligus hidup sesuai potensi suatu daerah tertentu.
• Prinsip otonomi yang bertanggung jawab. Prinsip ini bermakna dalam suatu sistem
penyelenggaraan pemerintahan, harus pula disesuaikan dan diperhatikan tentang
adanya tujuan dan maksud dari pemberian otonomi. Tujuan yang ingin dicapai
menurut prinsip ini adalah mampu memberdayakan masing-masing daerahnya dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan di masyarakat luas.

d. Asas Otonomi Daerah

Asas-asas untuk menyelenggarakan otonomi daerah pada dasarnya ada tiga, yaitu:

 Asas desentralisasi. Asas ini bermakna adanya penyerahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada daerah-daerah otonomi berdasarkan struktur Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
 Asas dekonsentrasi. Asas ini bermakna adanya pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepadagubernur sebagai representasinya di tingkat daerah.
 Asas tugas pembantuan. Asas ini bermakna bahwa terdapat sebuah penugasan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat kepada suatu daerah otonomi dan oleh kepala daerah
kepada kepala desa dalam rangka melaksanakan tugas tertentu yang disertai adanya
ketentuan tentang pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia.

3. Cipta Kerja
a. Pengertian

Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatanm ekosistem
investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek
strategis nasional. Terbentuknya Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan telah ada politik
hukum dari eksekutif untuk dilanjutkan melalui proses legislasi. Saat ini pemerintah sedang
melakukan aktivitas untuk menentukan pola atau cara membentuk hukum dan memperbarui
hukum melalui proses legislasi, sehingga terbentuk suatu legal policy yang bersifat sebagai
hukum yang akan diberlakukan untuk penciptaan lapangan kerja. Ini berarti politik hukum
dari Undang-Undang Cipta Kerja adalah pembentukan hukum dengan menerapkan Omnibus
Law dalam perumusan hukum untuk peningkatan investasi sehingga terciptanya lapangan
kerja.

PEMBAHASAN

Tentu saja konsekuensi yang paling penting adalah aturan-aturan di dalam UU Cipta
Kerja ini fakta bahwa ia mengangkangi semangat otonomi daerah yang dimandatkan dalam
konstitusi dengan sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat dan pemda sebagai pelaksana.
UU ini juga mengubah secara mendasar pemahaman terhadap urusan pemerintahan konkuren
(urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan Daerah) sebagaimana diatur dalam UU No.
23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. UU Cipta Kerja mensyaratkan bahwa hal-hal yang
diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) harus disesuaikan dengan intensi dari UU ini.

Intensi terbesar tentu saja adalah memastikan investasi masuk tanpa hambatan, meski
dalam kenyataan di banyak tempat, intensi ini memunculkan bentuk-bentuk penggusuran dan
pemaksaan disertai kekerasan terhadap masyarakat. Bentuk sentralisasi kekuasaan seperti ini,
sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR (TAP MPR) X tahun 1998, “menghambat
penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab”.

Tentu perlu diapresiasi adanya keinginan untuk menyederhanakan berbagai


kemacetan perizinan dan birokrasi yang menghambat usaha di berbagai daerah. Beberapa
studi pernah dilakukan oleh sejumlah elemen tentang hal ini. Misalnya saja yang pernah
dilakukan KPPOD (2016), yang menekankan pada perlunya reformasi birokrasi dan
transparansi serta penghapusan korupsi. Studi-studi ini menempatkan masalah utama pada
regulasi nasional yang memayungi perizinan di daerah yang tidak sinkron antar institusi.
Solusi sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat yang ditawarkan UU Ciptaker tidak
merespons masalah tersebut, malah berpotensi semakin memperumit terutama karena UU ini
harus diturunkan dalam banyak Peraturan Pemerintah (PP).

Nasi sudah menjadi bubur. Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah disahkan, meskipun
cacat prosedur karena bukan draf akhir yang diketok palu. Penolakan masih terus terjadi dan
semakin meluas. Presiden Joko Widodo sudah menulis surat kepada seluruh pemimpin
daerah agar ikut mensosialisasikan UU ini. Namun belum ada pemerintah daerah yang
menyatakan dukungan terhadap UU Cipta Kerja, kecuali pemimpin daerah dari partai
pemenang Pemilu 2019. Pemerintah nampaknya akan memastikan UU ini mendapat
dukungan dari semua kepala daerah karena daerah menjadi ujung tombak investasi-investasi
besar dari luar negeri.

Ada dua opsi yang mungkin dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Pertama,
membatalkan UU baru tersebut dan mencoba mengakomodasi aspirasi atau masukan dari
pemda. Mengingat keinginan yang sangat besar yang sudah diutarakan presiden sejak
November tahun lalu, bahkan sebelum pandemi melanda, opsi ini tak ubahnya menjilat ludah
sendiri sehingga tidak mungkin dipilih.Pilihan lainnya memastikan dukungan dari pemda
menguat. Tapi, ada peluang besar jika pilkada nanti bisa memenangkan banyak calon
pemimpin dari partai-partai pemenang pemilu, termasuk pemenangan kandidat-kandidat yang
masih keluarga atau kerabat dekat baik eksekutif maupun legislatif yang berkuasa hari ini. Ini
berarti, pilkada menjadi penting untuk memastikan agenda UU ini terpenuhi. Risiko akan
adanya klaster COVID-19 baru sepertinya bukan pertimbangan utama bagi pemerintah untuk
tetap menyelenggarakan pilkada. Bukan tidak mungkin, agenda pilkada ini menjadi bagian
untuk memuluskan implementasi Omnibus Law UU Cipta Kerja mengingat pembahasannya
yang terburu-buru dan tetap berkerasnya Pemerintah menyelenggarakan Pilkada.

Dilihat dari sisi yang lain, bagi kontestan pilkada, menang atau kalah tidak berarti
banyak karena peran dan wewenang kepala daerah tidak lagi signifikan pasca UU Cipta Kerja
ini. Ada 270 posisi kepala daerah di 9 propinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang akan
berkompetisi dalam pilkada nanti. Para pemenang pun harus cukup puas berhadapan dengan
kesulitan serta keterbatasan yang muncul dari UU Cipta Kerja ini.

Bagi masyarakat secara umum, risiko yang akan dihadapi bukan saja soal COVID-19,
tetapi juga risiko melegitimasi sebuah sistem yang akan membuka jalan kembalinya
sentralisme. Dana pemilu tentu saja menjadi pemborosan besar, mengingat saat ini Indonesia
belum keluar dari situasi pandemi dengan angka penderita yang masih tinggi. Kerusakan
jangka panjang tentu bukan saja untuk kesehatan warga, tetapi juga untuk bagi kesehatan
sistem demokrasi kita.

KESIMPULAN

Tentu saja konsekuensi yang paling penting adalah aturan-aturan di dalam UU


Cipta Kerja ini fakta bahwa ia mengangkangi semangat otonomi daerah yang
dimandatkan dalam konstitusi dengan sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat
dan pemda sebagai pelaksana. UU ini juga mengubah secara mendasar pemahaman
terhadap urusan pemerintahan konkuren sebagaimana diatur dalam UU No. 23 tahun
2014 tentang pemerintah daerah. UU Cipta Kerja mensyaratkan bahwa hal-hal yang
diatur dalam Peraturan Daerah harus disesuaikan dengan intensi dari UU ini. ntensi
terbesar tentu saja adalah memastikan investasi masuk tanpa hambatan, meski dalam
kenyataan di banyak tempat, intensi ini memunculkan bentuk-bentuk penggusuran
dan pemaksaan disertai kekerasan terhadap masyarakat. Solusi sentralisasi
kewenangan ke pemerintah pusat yang ditawarkan UU Ciptaker tidak merespons
masalah tersebut, malah berpotensi semakin memperumit terutama karena UU ini
harus diturunkan dalam banyak Peraturan Pemerintah .
Nasi sudah menjadi bubur. Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah disahkan, meskipun
cacat prosedur karena bukan draf akhir yang diketok palu. Penolakan masih terus
terjadi dan semakin meluas. Presiden Joko Widodo sudah menulis surat kepada
seluruh pemimpin daerah agar ikut mensosialisasikan UU ini. Namun belum ada
pemerintah daerah yang menyatakan dukungan terhadap UU Cipta Kerja, kecuali
pemimpin daerah dari partai pemenang Pemilu 2019. Tapi, ada peluang besar jika
pilkada nanti bisa memenangkan banyak calon pemimpin dari partai-partai pemenang
pemilu, termasuk pemenangan kandidat-kandidat yang masih keluarga atau kerabat
dekat baik eksekutif maupun legislatif yang berkuasa hari ini. Ini berarti, pilkada
menjadi penting untuk memastikan agenda UU ini terpenuhi. Risiko akan adanya
klaster COVID-19 baru sepertinya bukan pertimbangan utama bagi pemerintah untuk
tetap menyelenggarakan pilkada. Bukan tidak mungkin, agenda pilkada ini menjadi
bagian untuk memuluskan implementasi Omnibus Law UU Cipta Kerja mengingat
pembahasannya yang terburu-buru dan tetap berkerasnya Pemerintah
menyelenggarakan Pilkada. Dilihat dari sisi yang lain, bagi kontestan pilkada, menang
atau kalah tidak berarti banyak karena peran dan wewenang kepala daerah tidak lagi
signifikan pasca UU Cipta Kerja ini.

Anda mungkin juga menyukai