Dosen Pengampu :
Ervina Ahsanti, S.H.,M.H
Disusun Oleh :
1. Ayu Suwandari (2021102034)
2. Habib Fitrotul Qolbi A. (2021102020)
3. Serley Oktaviana Sari (2021102024)
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan berkah, rahmat, karunia serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Hukum Perburuan Kemaritiman
Pada saat ini penting bagi siapapun untuk mempelajari Hukum Perburuan
Kemaritiman.. Bagi mahasiswa yang memang sedang mengambil mata kuliah Hukum
Perburuan Kemaritiman bagi para praktisi di dunia maritim, dan bagi siapa saja yang
membutuhkan materi ini. Pada kesempatan ini akan sedikit kami paparkan tentang
“Hubungan kerja dan perjanjian kerja".
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah menuntut setiap daerah otonom dituntut untuk
dapat mengembangkan pola kebijakan sebagai upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu masyarakat
diikutsertakan dan berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Hal tersebut dihadapkan
pada kendala keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan
fasilitas tempat berusaha di sektor formal, disisi lain masyarakat berharap
mendapatkan peluang usaha yang disediakan oleh Pemerintah daerah, sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara fasilitas yang tersedia. Oleh karena itu, perlu diciptakan
iklim usaha, yang dapat mendorong kegiatan usaha dengan tetap memperhatikan
hubungan saling menguntungkan dengan usaha lainnya serta untuk mencegah
persaingan yang tidak sehat.
Fenomena yang berkembang adalah tidak seimbangnya jumlah tenaga kerja
dengan lapangan pekerjaan yang tersedia mengakibatkan tingginya angka
pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung maka
diketahui bahwa pada Tahun 2013 jumlah pengangguran di Provinsi Lampung
mencapai 213.765 dan Kota Bandar Lampung merupakan daerah dengan jumlah
pengangguran tertinggi yaitu sebesar 47.825 orang (Sumber: BPS Provinsi Lampung
Tahun 2013).
Data di atas menunjukkan bahwa tingginya angka pengangguran menjadi
suatu masalah yang harus segera dicarikan solusinya secara nyata oleh Pemerintah
Kota Bandar Lampung. Komitmen Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam
mengurangi angka pengangguran tersebut dituangkan ke dalam visi pembangunan
jangka panjang yaitu menjadikan Kota Bandar Lampung sebagai Kota Perdagangan
dan Jasa. Maksud perdagangan dalam visi ini adalah aktivitas penjualan dan
pembelian barang atau jasa, diprediksi sampai tahun 2025 kondisi perdagangan dan
jasa di Bandar Lampung akan meningkat pesat dan menjadi pusat perdagangan jasa
regional, nasional dan internasional serta mendorong pertumbuhan sector ekonomi
kecil menengah termasuk sektor informal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu otonomi daerah dan implikasinya terhadap bidang ketenagakerjaan?
2. Apa itu Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam BidangKetenagakerjaan ?
3. Apa itu Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi
BeberapaPasal Undang-Undang Bidang Ketenagakerjaan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetauhi apa itu otonomi daerah dan implikasinya terhadap bidang
ketenagakerjaan.
2. Untuk mengetauhi apa itu kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dalam bidang ketenagakerjaan.
3. Untuk mengetauhi apa itu mahkamah konstitusi atas uji materi dan dalam pasal
undang-undang bidang ketenagakerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
KETENAGAKERJAAN
Penataan kembali setelah sistem pemerintahan yang carut-marut selama masa Orde
Baru dilakukan dengan penerapan pemerintahan otonomi daerah sebagai paradigma dalam
pemberdayaan masyarakat. Pemerintahan otonomi daerah berlaku setelah adanya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan perubahan keduanya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008. Selanjutnya berlaku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan mencabut undang-undang mengenai pemerintahan daerah yang
berlaku sebelumnya.
Pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan Dengan tata pemerintahan otonomi daerah maka
perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan/pengendalian pembangunan di daerah harus
melibatkan rakyat melalui sistem keterwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Oleh karena itu, dalam merumuskan peraturan daerah, DPRD serta gubernur atau
bupati wali kota harus benar-benar cermat dengan memformulasikan kepentingan daerah dan
kepentingan nasional, yaitu memodifikasi kepentingan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
setempat dan kepentingan nasional dalam menjaga tegak dan utuhnya wilayah NKRI.
A. Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam
Bidang Ketenagakerjaan
Dari kelima sub bidang di atas telah menjadikan klasifikasi penjabaran yang rinci
mengenai pembagian urusan pemerintahan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota dalam bidang ketenagakerjaan. Namun, bila ditarik kembali
secara umum terkait kewenangan pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah maka kewenangan pemerintah pusat adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang ketenagakerjaan dalam skala nasional, dan kewenangan pemerintah daerah ialah
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan dalam skala atau tingkat
daerah yakni dalam skala provinsi untuk pemerintah daerah provinsi dan dalam skala
kabupaten/kota untuk pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pemberdayaan rakyat merupakan fokus utama dalam otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah
berupa pembagian kewenangan diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang memberikan pembagian
kewenangan dengan jelas sehingga overlapping kewenangan antara pemerintah kabupaten/kota
dan pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat dapat dihindari. Dalam hal pengaturan
terkait otonomi daerah maka perlu adanya peraturan daerah yang dirumuskan dengan cermat
dan tepat yang dapat mengatur kepentingan daerah tanpa mengesampingkan kepentingan
nasional Berkaitan dengan ketenagakerjaan maka kedudukan peraturan daerah tentang
ketenagakerjaan merupakan suatu produk hukum yang menjadi satu kesatuan dalam hierarki
peraturan perundang-undangan.
"Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini."
Dengan demikian, keseluruhan peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan harus
selaras dan disesuaikan sehingga menjadi produk hukum dari pusat dan daerah berada dalam
satu sistem yang tertib dan sinkron. Kedua, kedudukan keputusan menteri adalah bagian dari
jenis peraturan perundang-undangan yang tetap dapat dibuat oleh setiap menteri sebagai
pembantu presiden dengan dasar hukum :
2. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
3. Surat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.UM.01.06-
27 tanggal 23 Feruari 2001.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah yang kemudian diterbitkan peraturan daerah menyangkut
bidang ketenagakerjaan, dimungkinkan timbul persoalan apakah perda tersebut aspiratif dan
mendukung terciptanya hubungan industrial yang harmonis dan dinamis? Hal ini bergantung
pada pembuat perda dan perlunya partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat termasuk
perguruan tinggi, LSM, asosiasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh di daerah.
C. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi Beberapa Pasal Undang-Undang Bidang
Ketenaga- kerjaan
Sejak tahun pertama pembentukan menerima permohonan uji materi terhadap sejumlah MK.
lembaga itu sudah UU, di antaranya UU No.13 tahun 2003 Mahkamah tentang
Ketenagakerjaan. Konstitusi sejauh ini telah memutus tujuh materi terkait UU permohonan uji
Ketenagakerj enam permohonan dikabulkan sebagian, dan satu permohonan ditolak
seluruhnya. Ke enam putusan yang dikabulkan itu, antara lain (Direktorat Pencegahan dan
PPHI)
Bertindak sebagai pemohon judicial review adalah 37 federasi dan serikat pekerja/serikat buruh
tingkat nasional Dalam putusan itu MK menyatakan ketentuan Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160
ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat "...bukan atas pengaduan pengusaha...", Pasal 170
sepanjang mengenai anak kalimat "...kecuali Pasal 158 ayat (1)....", Pasal 171 sepanjang
menyangkut anak kalimat "...pasal 158 ayat (1)...", Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat
"...Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasca putusan MK - bila PHK dilakukan karena pekerja/buruh diduga melakukan tindak
pidana, pengusaha wajib terlebih dahulu membuktikan tuduhan itu melalui proses pidana.
Penegasan demikian memberikan makna bahwa bila pengusaha melakukan PHK karena
menduga pekerja/buruh melakukan tindak pidana di dalam perusahaan, pengusaha wajib
terlebih dahulu memiliki putusan berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde)
daripengadilan pidana.
Dalam putusan ini bertindak sebagi pemohon judicial review adalah serikat pekerja BCA
Bersatu. Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU No.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, Materi permohonan diuji
terhadap Pasal 28, pasal 281 ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945.
MK mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU No.13
tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya MK mengatakan, Pasal 120 ayat (3) UU No.13 tahun 2003 konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional). Dan, dalam putusan yang sama MK membuat norma
baru. Naskah asli Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU No.13 tahun 2003 mengatur keterwakilan
serikat pekerja/serikat bunuh dalam perundingan PKB.
Apabila dalam perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja, ketentuan itu mengatur,
yang boleh merundingkan PKB dengan pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh yang
memiliki anggota lebih dari 50% dari seluruh pekerja/buruh di perusahaan Sebaliknya, bila
serikat pekerja/serikat buruh lebih dari satu namun tidak memiliki anggota lebih dari 50%,
organisasi pekerja/buruh membuat koalisi dengan syarat memiliki anggota lebih dari 50%.
Norma baru dalam putusan MK di atas terurai dalam amar putusan. Apabila dalam satu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh, MK mengatakan serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/serikat yang boleh merundingkan PKB maksimal tiga organisasi pekerja/buruh
atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh
pekerja/buruh yang ada di dalam perusahaan. Norma baru itu mengubah syarat koalisi dalam
UU Pasal 120 ayat (2) No, 13 tahun 2003 anggota lebih dari 50% - norma baru MK- semula
harus memiliki mengatakan cukup 10% anggota.
Pihak yang bertindak sebagai pemohon dalam putusan ini adalah Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu dan seorang mantan karyawan. Pemohon meminta MK memberi penafsiran
atas frasa "belum ditetapkan" yang terdapat dalam Pasal 155 ayat (2) UU No.13 tahun 2003.
Tujuan permohonan itu supaya MK menafsirkan frasa "belum ditetapkan sebagai kalimat yang
sama artinya dengan sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)."
Ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No.13 tahun 2003 mengatur kewajiban pengusaha
membayar upah proses PHK kepada pekerja/buruh yang mengalami PHK. MK mengabulkan
permohonan dengan mengatakan Pasal 155 ayat (2) tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai
belum berkekuatan hukum tetap. Dengan dikabulkan permohonan itu, pengusaha wajib
membayar upah proses PHK kepada sampai penyelesaian pekerja/buruh perselisihan dimaksud
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Permohonan pekerja dalam kasus ini berkaitan dengan ketentuan penyerahan pekerjaan
atau pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja (outsourcing). Pemohon adalah
seorang karyawan yang pada perusahaan sehari-hari bekerja outsourcing dengan tugas sebagai
pencatat meter (pencater) PLN di Surabaya. Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 59,
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK tidak mengabulkan seluruh permohonan namun MK tidak menyatakan menolak
permohonan pekerja. MK dengan tegas mengatakan, pasal-pasal yang diuji tidak bertentangan
dengan UUD 1945. MK hanya mengatakan frasa perjanjian kerja waktu tertentu yang terdapat
dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (huruf b UU No.13 tahun 2003 bertentangan secara
bersyarat dengan UUD 1945 (conditionally unconstitutional).
Keseluruhan pertimbangan dan amar putusan di atas memberi status hukum bahwa
outsourcing sebagai bisnis yang sah Kesimpulan itu tampak senada dengan pendapat MK
dalam putusan No.012/PLU/1/2003 sistem mengatakan outsourcing bukan perbudakan modern
(modern slavery).
Dua putusan MK itu memastikan sistem outsourcing bukan sistem terlarang dalam bisnis
dan dunia usaha. Merujuk pada dua putusan di atas MK secara terbuka menganulir anggapan
serikat pekerja/serikat buruh yang mengatakan sistem outsourcing sebagai sistem perbudakan
modern (modernslavery).
e. Putusan No.19/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2012
Pemohon dalam kasus ini adalah 38 orang pekerja yang mengalami PHK Putusan PHK
pemohon telah berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah Agung menguatkan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Bandung. PHI menyatakan
putus hubungan kerja para pemohon mengacu pada Pasal 164 ayat (3) UU No.13 tahun 2003.
Menganggap penerapan Pasal 164 ayat (3) merugikan pemohon, pekerja menguji ketentuan itu
ke MK.
MK tidak menyatakan Pasal 164 ayat (3) UU No.13 tahun 2003 bertentangan dengan UUD
1945. Dalam putusan ini MK kembali memberi norma baru ke dalam Pasal 164 ayat (3). MK
mengatakan, frasa "perusahaan tutup" dalam Pasal 164 ayat (3) bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai "perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk
sementara waktu.
Petitum kedua dalam uji materi pekerja/buruh memohon MK untuk memulihkan hak-hak
konstitusional para pemohon dengan mengembalikan hak para pemohon untuk bekerja dan
mendapatkan imbalan dari perusahaan. MK menegaskan pendiriannya dengan mengatakan
tidak berwenang mengadi lituntutan seperti itu dengan alasan tuntutan tersebut termasuk kasus
konkrit. Maka dengan demikian putusan MK tidak mengubah atau memberi pengaruh apapun
terhadap putusan kasus PHK para pemohon yang sudah berkekuatan hukum tetap saat
mengajukan uji materi.
Pihak pemohonan uji materi terkait putusan ini adalah satu orang pekerja
(www.mahkamahkonstitusi.go.id). Permohonan uji materi diajukan setelah Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan perselisihan PHK
yang diajukan pemohon. Pemohon mengajukan gugatan perselisihan PHK karena perusahaan
tempat bekerja tidak membayar upah lebih dari tiga bulan secara berturut-turut.
Ini merupakan salah satu hal yang membedakan putusan MK dengan putusannya yang
lain. Dalam putusan lain MK tidak mendesak pembentuk UU Ketenagakerjaan. Meskipun
demikian, MK tidak menjelaskan alasan mendesak pembentuk UU melakukan perubahan atau
legislative review UU Ketenagakerjaan.
Cara masyarakat mengetahui putusan MK tidak sama dengan cara mengetahui UU.
Menemukan UU dalam arti fisik-lebih mudah dibanding menemukan putusan pengadilan.
Bahkan cara dan waktu memberlakukan UU tidak sama dengan cara mengikat putusan
pengadilan. Fiksi hukum mengajarkan, masyarakat dianggap mengetahui UU meskipun tidak
pernah membaca. Fiksi itu tidak berlaku terhadap putusan pengadilan.
Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa dianggap mengetahui putusan Lembaga peradilan
meskipun putusan itu dimuat dalam Berita Negara. Hal itu paralel dengan kenyataan bahwa
pihak yang utama mengetahui putusan MK adalah pemohon uji materi, pemerintah dan DPR.
Oleh mewajibkan tidak hukum karena pemerintah dan MK melakukan sosialisasi atas putusan
MK, masyarakat atau pelaku hubungan industrial tidak banyak yang mengetahui keberadaan
putusan-putusan MK.
d. Pemerintah meloloskan draf ketentuan dalam PKB atau PP meskipun hal itu bertentangan
dengan putusan MK
Bila pengusaha menerapkan ketentuan yang dinyatakan tidak mengikut oleh MK, bisa memicu
tiga hal:
Sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 47 UU No. 24 tahun 2003. putusan MK
bersifat final dan mengikit sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebagai putusan
yang mengikat, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menerima putusan MK sebag sumber
hukum dalam memutus perkara PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan
No.24/PHLG/2013/PN JKT.PST tertanggal 3 Juni 2013 menggunakan putusan MK
No.012/PUU-1/2003 sebagai dasar hukum menolak eksepsi tergugat yang mengatakan gugatan
kadaluarsa Kutipan lain penggugat terhadap putusan MK No.37/PUU-IX/2011 dalam putusan
PHI No.23/PHIG/2011/PN.JKT.PST tertanggal 3 Juni 2013. Ke dua putusan itu merupakan
contoh yang memperlihatkan bahwa dalam kasus tertentu PHI mempedomani putusan MK
sebagai dasar hukum saat memutus gugatan perselisihan hubungan industrial.
Undang-Undang berlaku pada sektor yang sesuai dengan ruang lingkup pembentukannya.
Konsekuensi paralel dengan itu, putusan MK berlaku dan mengikat khusus pada sektor yang
berkaitan dengan UU yang diuji. Dilihat dari segi praktik peradilan putusan MK berfungsi
sebagai sumber hukum sepanjang pembentuk UU belum menindaklanjuti putusan itu ke dalam
perubahan UU.
Dalam fungsinya sebagai sumber hukum, putusan MK berkorelasi dengan apa yang disebut
peranan hukum. Prof. C.F.G Sunaryati Hartono menjelaskan, Peranan hukum penting khusus
menjaga keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara berbagai kepentingan di dalam
masyarakat.13 Dalam kaitan norma baru dalam putusan MK telah membenarkan bahwa
putusan seperti itu bisa diterima sebagai solusi menjawab kepentingan hukum masyarakat
sampai pembentuk UU melakukan perubahan UU.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi daerah adalah prinsip pemerintahan yang memberikan wewenang
kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan dalam batas-batas tertentu sesuai
dengan kepentingan dan potensi daerahnya masing-masing. Implikasi dari otonomi
daerah terhadap bidang ketenagakerjaan mencakup peningkatan kesempatan kerja
melalui inisiatif pemerintah daerah dalam mengembangkan sektor ekonomi lokal,
penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan dengan kondisi setempat, serta pemberdayaan
sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan
kebutuhan tenaga kerja lokal. Selain itu, otonomi daerah juga mendorong terciptanya
regulasi ketenagakerjaan yang adaptif dan responsif terhadap dinamika pasar tenaga
kerja di tingkat lokal, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat.