Anda di halaman 1dari 10

PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA

UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH


Oleh : Drs. H. Rusdi Lubis, M.Si

I. Pendahuluan
Otonomi Daerah telah merupakan hal yang sangat menarik perhatian baik
bagi para intelektual di perguruan tinggi, di birokrasi, para politisi maupun masyarakat
luas.
Masing-masing kelompok masyarakat tersebut memandang dan
mengartikan Otonomi Daerah itu berdasarkan latar belakang ilmu, pengakuan, ataupun
kepentingan.
Pada umumnya tidak ada yang melihat dan berkesimpulan Otonomi Daerah
tersebut tidak perlu dijalankan ataupun akan menimbulkan kondisi negatif bagi
kehidupan masyarakat disegala bidang. Semuannya berpendapat Otonomi Daerah
adalah pilihan yang tepat sebagai suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah
untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini beralasan karena
melalui Otonomi Daerah, daerah mempuyai hak, kewenangan dan kewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri dalam hal penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundangan. Daerah lebih leluasa memenej sumber daya alam maupun sumber daya
manusia yang ada didaerah tersebut guna dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Hak Daerah bertambah besar diikuti dengan kewenangan banyak tersebut
dengan sendirinya akan menumbuhkan inisiatif, inovasi serta kreasi masing-masing
daerah. Sungguhpun demikian, hak dan kewenangan yang besar itu harus pula dapat
menunaikan kewajiban yang besar pula terhadap daerah dan rakyat didaerah.
Oleh karena itu, didalam memahami Otonomi Daerah, janganlah dilihat
hanya dari segi Hak dan Kewenangan saja, tetapi apakah sudah dapat ditunaikan atau
seberapa jauhkah sudah ditunaikan kewajiban terhadap daerah dan rakyat di daerah
sebagai konsekuensi dari Otonomi Daerah itu.
Berkenaan dengan Hak dan Kewenangan Daerah berdasarkan
perkembangan perundangan yang ada baik Undang-undang No. 32 tahun 2004
maupun dengan telah adanya PP No. 38 tahun 2009 sudah mencukupi, tinggal

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 1


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
mengimplementasikannya berupa kemauan Pemerintah dan tingkat pemahaman serta
tingkat implementasinya di tingkat daerah.
Untuk menunaikan kewajiban, tidak cukup dengan ditetapka hak dan
kewenangan saja, tetapi akan sangat tergantung pada yang menyelenggarakan hak dan
kewenangan tersebut sehingga akan tepat sasarannya.
Hak dan kewenangan itu milik daerah, dalam hal ini tentunya milik dari
Rakyat dan Pemerintahan Daerah, karenanya kualitasnya akan tergantung kepada
kualitas rakyat dan Pemerintah Daerah. Rakyat secara langsung tidak mungkin
melaksanakannya, sebagian besar dipercayakan kepada pemerintahan Daerah sebagai
pelaksana Hak dan Kewenangan tersebut.
Dengan demikian, pada akhirnya terkait sekali kepada kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) , baik Rakyat maupun Pemerintah Daerah.

II. TUJUAN OTONOMI DAERAH


Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal
1 ayat 1 UUD 1945). Konsekuensi dari Negara Kesatuan tidak ada negara di dalam
negara, tetapi Negara dibagi atas daerah yang Hak dan Kewenangannya
diberikan/diserahkan/dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat. Di daerah terdapat
Pemerintahan Daerah yang susunannya ditetapkan dengan UU, segala kebijakanya
tidak boleh bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Pusat.
Dalam sejarah perundang-undangan tentang Pemerintah Daerah, azas yang
dianut dalam penyeleggaraan Pemerintah Daerah ialah desentraliasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan (medebewind).
Otonomi Daerah lahir berdasarkan kepada azas desentralisasi yaitu
penyerahan (given) urusan pemerintahan kepada Daerah menjadi ″ urusan rumah
tangga Daerah″.
Dengan demikian, daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan yang telah diserahkan tersebut berdasarkan prakarsa dan kepentingan
masyarakat di daerah yang disesuaikan dengan peraturan perundangan.
Tujuan Otonomi Daerah pada hakekatnya adalah peningkatan
kesejahteraan rakyat di daerah, mempermudah/mendekatkan pelayanan,
memberdayakan masyarakat serta memandirikan Daerah.

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 2


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
Untuk itu, kriteria utama mengukur keberhasilan Otonomi Daerah tersebut
adalah perbandingan antara realisasi dari penyelenggaan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah dihadapkan pada tujuan Otonomi Daerah tersebut.

III. BEBERAPA PERSOALAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.

Semenjak Reformasi, mulainya keinginan untuk melaksanakan Otonomi


Daerah secara sungguh-sungguh. UU No. 22 tahun 1999 secara drastis merubah
paradigma lama Otonomi Daerah kearah sistem yang lebih jelas dengan menerapkan
otonomi yang luas dan utuh khususnya pada Daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan
Provinsi otonominya terbatas. Persoalan yang timbul dalam pelaksanaannya
sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. Sadu Wasistono, MS dalam ″Kapita
Selekta Penyelenggaraan Pemerintah Daerah″ yang dapat disimpulkan bahwa gejala
umum dampak negatif implementasi UU No. 22 tahun 1999 sebagai berikut :
1. Menguatnya rasa kedaerahan sempit, terlihat pada pemanfaatan sumber daya alam
yang ada didaerah, kesempatan berusaha, penyusunan rencana pembangunan,
pemberian layanan umum pada masyarakat, maupun dalam hal pengisian jabatan
birokrasi daerah.
2. Munculnya gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat daerah hanya mengejar
kepentingan jangka pendek dalam rangka menghimpun pendapatan daerah
membiayai Otonomi Daerah.
3. Otonomi masih dipahami secara sempit, sehingga hanya Pemerintah Daerah saja
yang sibuk, sedangkan masyarakat luas belum dilibatkan secara aktif. Alokasi
penggunaa APBD yang lebih banyak untuk kepentingan birokrasi dan DPRD
daripada kepentingan masyarakat luas.
4. Ada gejala ketidakpatuhan daerah atau penafsiran secara sepihak terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
5. Ada kecendrungan pergeseran titik pusat di daerah dari eksekutif (executive heavy)
ketangan legislatif (legislative heavy).
Dampak negatif yang dikemukakan diatas semakin bertambah dengan
kurang cepatnya Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah pelaksanaan
undang-undang tersebut serta aturan-aturan sektoral yang belum sesuai dengan jiwa
UU No. 22 tahun 1999. Dalam pada itu, persoalan penyelenggaraan Otonomi Daerah
di tingkat daerah belum dibenahi baik dari segi kelembagaan maupun personil. Pada

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 3


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
tingkat masyarakat belum ada pemahaman tentang arti dan tujuan Otonomi, kecuali
yang menggejala adalah Otonomi Daerah diartikan merupakan suatu kebebasan,
sehingga kemungkinan terjadi konflik antara masyarakat daerah atau antar pemerintah
daerah dapat terjadi.
UU No. 32 tahun 2004 dimaksudkan untuk mengoreksi sekaligus
menyempurnakan UU No. 22 Tahun 1999, antara lain yang menyangkut dengan :
1. Mempertegas dan memperkuat hubungan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah,
dan Pemerintah Daerah dengn Pemerintah Daerah lainnya.
2. Aturan rinci tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung ( UU 32/2004
didominasi oleh aturan Pemilihan Kepala Daerah ).
3. Pembagian urusan pemerintah dengan menerapkan pula sifat concurent secara
proporsional dengan kriteria eksternalitas, akuntanbilitas dan efisiensi.
4. Prosedur pengesahan Peraturan daerah , dimana terlihat kewenangan Pemerintah
Pusat dan Provinsi sebagai Wakil Pemerintah pusat.
Setelah dijalankan kurang lebih 4 tahun UU ini, maka implementasinya
masih mengandung persoalan-persoalan, bahkan pada awal keluarnya UU No. 32
tahun 2004 para pakar Ilmu Pemerintahan menyebutkan adanya kontroversi,
ahistoris dan menjurus pada desentralisasi pemerintahan, pemerintah bersikap
setengah hati terhadap Otonomi Daerah, bersikap sentralistik, hegemonik dan
eksploitatif terhadap daerah, masih terdapat tarik menarik kewenangan antara
Pemerintah Pusat dengan Daerah dan seterusnya.
Disamping persoalan yang dikemukakan diatas, masalah sumber daya
manusia (SDM) belum sepenuhnya menjadi perhatian, bahkan dalam hal-hal tertentu
tidak memperlihatkan kemajuan dalam implementasinya.
Otonomi Daerah akan sangat tergantung pula kepada ketersediaan SDM
yang kualitasnya diandalkan guna mengelola urusan-urusan yang telah menjadi
kewenangan daerah, terutama melalui urusan tersebut diharapkan pengelolaan sumber
daya yang ada didaerah akan lebih intensif dan dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat di daerah.
Faktor kepemimpinan Pemerintah Daerah dan Birokrasi Daerah
berpengaruh terhadap pencapaian tujuan Otonomi Daerah, sebagaimana yang
digambarkan oleh Prof. Dr. Sadu Wasistono, MS ″semakin tinggi kapabilitas Kepala
Daerah dan semakin tinggi pula kemungkinan kemajuan daerah yang dapat dicapai″.

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 4


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
Adapun permasalahan yang menyangkut Sumber Daya Manusia
(SDM) termasuk didalamnya Kepemimpinan Daerah ( KDH dan DPRD ) adalah :
1. SDM Masyarakat :
a. Belum dipahami oleh masyarakat atau pun pemuka masyarakat bahwa
Otonomi Daerah itu adalah juga merupakan kewajiban dan tanggung jawab
masyarakat.
b. Masih sedikit diberikan / diserahkan kepada masyarakat untuk mengelola
kebutuhannya, masih diciptakan seolah-olah masyarakat tergantung kepada
Pemerintah.
c. Belum dilakukannya perkuatan terhadap lembaga-lembaga masyarakat
yang berorientasi kepada ekonomi dan kesejahteraan, yang diperkuat
adalah yang berorientasi kepada politik dan kekuasaan.
2. SDM Birokrasi
a. Masih rendahnya profesionalitas birokrasi, disebabkan antara lain pola
rekruitmen yang belum sempurna (menyangkut perencanaan kebutuhan dan
seleksi).
b. Pola pembinaan karir yang belum mempunyai aturan yang jelas dan pasti,
sehingga mempengaruhi terhadap semangat dan budaya kerja birokrasi.
c. Penempatan pada suatu jabatan banyak dipengaruhi oleh pertimbangan
″like and dislike″ tidak ″the right man on the right place″, bahkan tidak
didasarkan kepada ″kompetensi″ tetapi kepada ″kedekatan″ dan bukan
kepada pencapaian tujuan organisasi, tetapi kepentingan kekuasaan.
d. Masih berpengaruhnya kekuatan politik pada birokrasi daerah, sehingga
loyalitas aparatur pemerintah cenderung lebih kuat kepada kekuatan politik
dari pada kepentingan masyarakat dan menjalankan tugas pemerintahan.
e. Paradigma birokrasi yang masih belum banyak berubah seperti merasa
sebagai penguasa tidak sebagai pelayan, mengukur sesuatu pekerjaan hanya
untuk kepentingan sesaat, ingin mencari kelemahan aturan untuk
kepentingan diri sendiri tidak berusaha menyempurnakan aturan, lebih mau
bekerja sendiri dari pada bekerja secara TIM dan tidak mengembangkan
inisiatif, inovatif dan kreasi,
3. KEPEMIMPINAN DAERAH
UU No. 32 tahun 2004 (pasal 1.2) menyebutkan bahwa ″Pemerintah Daerah
adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 5


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UUD RI tahun 1945″.
Pada pasal 2.2 ″Pemerintah Daerah ... mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan″.
Pasal 2.3 : ″Pemerintah Daerah ... menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah″.
Dari beberapa hal yang digariskan oleh UU No.32/2004 diatas, bahwa Kepala
Daerah dan DPRD adalah penanggungjawab penyelenggaraan urusan
pemerintahan (otonomi dan tugas pembantuan) yang arahnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing
daerah. Secara objektif dan logis dapat dikatakan KDH dan DPRD memimpin
pelaksanaan Otonomi Daerah, sehingga keberhasilannya tergantung kepada
kualitas, kapabilitas serta akseptabilitasnya.
Beberapa permasalahan yang ditemui terutama setelah pelaksanaan Pemilihan
Kepada Daerah secara langsung, yaitu :
a. KEPALA DAERAH
1) Kepala Daerah yang didominasi oleh pertimbangan akseptabilitas
(walaupun kadang kala tidak objektif) dari pada kualitas dan kapabilitas
seseorang calon KDH.
2) Kepala Daerah yang banyak mengorbankan uang, lebih berorientasi
kepada ″proyek pribadi″ yaitu untuk memperoleh keuntungan secara
finansial dan material.
3) Kepala Daerah cendrung membentuk kelompok-kelompok ditengah-tengah
birokrasi, sehingga terdapat perlakuan yang diskriminatif dikalangan
birokrasi.
4) Kepala Daerah ada yang tidak konsisten terhadap Visi dan Misi daerah
(walaupun disampaikan pada saat menjadi calon), karena menganggap
VISI dan MISI yang disampaikan hanya untuk kepentingan sesaat..
5) Kepala Daerah yang lebih berorientasi untuk mempertahankan kekuasaan
walaupun dengan cara dan kebijaksanaan yang tidak memenuhi kaidah
moral dan etika bahkan menyimpang dari peraturan dan perundangan.

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 6


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
Hal yang dikemukakan diatas merupakan kondisi dan gejala umum, walaupun
ada yang berbuat, berprilaku dan membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan
serta tujuan dari Otonomi Daerah tersebut, namun jumlahnya tidak seberapa.
b. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang menjadi persoalan bagi DPRD yaitu :
1. Dengan pola rekruitmen anggota DPRD yang lebih menekankan kepada aspek
politis, maka ditemui anggota DPRD yang rendah kualitasnya baik dari segi
pengetahuan maupun pengalamannya.
2. Ada kecendrungan jadi anggota DPRD sebagai ″satu-satunya lapangan
pekerjaan″ bukan ″pengabdian″ sehingga lebih mementingkan ″imbalan″ yang
bersifat material-finansial.
3. Kurang ada kemauan untuk belajar bagi peningkatan kapasitas pribadi,
sehingga gagasan, pendapat ataupun pandangan hanya didasarkan kepada
faktor subjektifitas.
4. Penguasaan yang minim tentang kedudukan, hak dan kewajiban sebagai
anggota DPRD, sehingga sering implementasinya menempatkan diri sebagai
penguasa bukan wakil rakyat.

IV. SDM UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH


Adanya kemauan yang besar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah apalagi setelah
ditetapkan pembagian urusan pemerintahan menurut PP No.38 tahun 2007, maka
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan tingkat daerah sudah semakin besar dan
banyak. Ditambah pula, pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut harus sesuai pula dengan
perubahan zaman dan tuntutan masyarakat yang selalu berkembang.
Modernisasi penyelenggaraan pemerintahan telah harus dilakukan dengan
memperkuat dan meningkatkan kapabilitas dan kapasitas stake-holder di daerah.
Perubahan paradigma, sistem kepemimpinan, sistem kerja perlu dilakukan secara
berkelanjutan.
Untuk itu, beberapa hal yang disarankan :
A. MASYARAKAT
1. Pemberian pemahaman yang terus menerus mengenai hakikat dan tujuan Otonomi
Daerah kepada pemuka masyarakat, tidak hanya berbentuk penyuluhan yang
formil tetapi juga non formil, termasuk membuat kebijakan yang lebih memberi
pemahaman implementatif tentang Otonomi Daerah di tingkat masyarakat.

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 7


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
2. Memperbesar keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan kebijakan maupun
usaha-usaha peningkatan kesejahteraan (ekonomi dan sosial).
3. Memperkuat lembaga-lembaga masyarakat dari segi manajemen dan keuangan
diikuti dengan pembinaan serta pengawasan yang terus menerus.
4. Mempermudah dan memfasilitasi masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan
usaha-usaha yang produktif –ekonomis.
5. Menggiatkan pendidikan keterampilan dan alih teknologi untuk masyarakat.
B. BIROKRASI
1. Pola rekruitmen telah membaik khusus perencanaan pengadaan dan seleksi.
Namun masih diperlukan penyempurnaan tentang perencanaan yang diarahkan
kepada kebutuhan (jumlah dan kualitas) jangka panjang.
2. Diperlukan pembinaan aparatur yang profesional tidak hanya melalui pendidikan
atau latihan, tetapi memberi kesempatan utama mendapat jabatan atau pekerjaan
kepada aparat yang telah memiliki profesi dibidang tugas tertentu.
3. Dalam menempatkan seseorang pada jabatan harus dipertimbangkan betul tentang
profesinya dan melalui suatu seleksi (psiko, kesehatan dan kompetensi). Tes
kompetensi tersebut, jika dimungkinkan oleh lembaga yang ahli dan independen.
4. Harus ada ketentuan yang tegas, bahwa politik tidak mencampuri penentuan
penempatan untuk jabatan-jabatan struktural.
5. Pola Reward and Punishment ditegakkan secara adil dan profesional, sehingga
tidak terkesan ″sama rata″ atau ″diskriminatif″.
6. Pola pembinaan karir para aparatur hendaknya ditetapkan secara jelas dengan suatu
peraturan perundangan (PP, Pergub, Perbup, Perwako) sehingga akan menjadi
pedoman dalam pembinaan aparatur di daerah.
C. KEPALA DAERAH
1. Untuk menjadi calon Kepala Daerah perlu diperhatikan kapabilitasnya, tidak hanya
akseptabilitasnya saja, oleh karena seorang Kepala Daerah tidak hanya
PEMIMPIN POLITIK, tetapi juga PIMPINAN PEMERINTAHAN yang
didalamnya terdapat ILMU , SENI, dan TEHNIS PEMERINTAHAN..
2. Dalam era globalisasi, penyelenggaraan pemerintahan (pelaksanaan Otonomi
Daerah) itu tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu seorang calon Kepala Daerah harus memiliki basis ilmu yang sesuai
dengan tingkat kecerdasan masyarakat dan lingkungan.

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 8


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
3. Oleh karena itu, persyaratan calon KDH sebagaimana pasal 58 UU No.32/2004
hendaklah disempurnakan dengan memasukan syarat berpengalaman dalam bidang
pemerintahan dan minimal berpendidikan formal S1.
4. Untuk Wakil KDH sebaiknya tidak harus dari orang-orang partai politik, tetapi
lebih diutamakan yang berpengalaman di birokrasi pemerintahan, sehingga Wakil
KDH lebih terfokus membantu KDH dalam hal-hal teknis pemerintahan.
5. Perlu standar yang jelas tentang biaya untuk keikut sertaan dalam Pemilihan
Kepala Daerah, sungguhpun sulit diimplementasikan tetapi sudah ada suatu ukuran
atau pedoman.
6. KDH dihindarkan dari intervensi terhadap hal-hal yang bersifat sangat teknis
seperti Administrasi Keuangan, Administrasi Kepegawaian maupun Administrasi
proyek-proyek Pembangunan. Yang dilakukan KDH adalah menyusun dan
menetapkan Kebijakan Umum, mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut serta
memberikan motivasi dan pembinaan.
7. Dalam menjalankan kepemimpinannya, KDH harus memiliki kekuasaan, sebagai
mana dikemukakan oleh Prof. DR. J. Kaloh : Kekuasaan paksaan (esencive
power), kekuasaan resmi (legitimate power), kekuasaan keteladanan (referent
power) dan kekuasaan keahlian (exper power).
D,DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ( DPRD )
1.Guna mendapatkan anggota DPRD yang berkualitas, maka hendaknya dalam
persyaratan menjadi anggota DPRD ditentukan dasar pendidikan minimal yang sesuai
dengan tingkat rata-rata pendidikan masyarakat.
8. Perlu pemahaman bagi anggota DPRD bahwa jabatan sebagai anggota DPRD
bukan merupakan pekerjaan semata tetapi adalah jabatan kehormatan yang tidak
bergantung kepada besarnya upah/gaji yang diterima.
9. Adanya kewajiban bagi setiap anggota DPRD untuk mendapatkan pembekalan dan
pendalaman terhadap hal-hal yang menyangkut legislasi, anggaran dan
pengawasan. Pembekalan tersebut hendaknya dilakukan oleh institusi pemerintah
atau institusi yang profesional yang telah mendapatkan akreditasi dari pemerintah.
10. Penetapan Belanja DPRD sebaiknya proporsional dengan pendapatan daerah serta
dalam rangka menunaikan fungsi serta tanggungjawab sebagai wakil dan penyalur
aspirasi dari rakyat.
V. PENUTUP

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 9


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso
1. Otonomi Daerah terlaksana dengan baik bukan hanya dengan tersediannya
Undang-undang dan Peraturan, tetapi sangat tergantung pada Sumber Daya
Manusia yang melaksanakannya berupa pemahamannya, kemauannya dan
kemampuannya.
2. Otonomi Daerah bukan milik Pemerintah Daerah tetapi milik Rakyat di daerah,
maka maju mundurnya sangat berkaitan dengan Kepemimpinan Daerah,
Birokrasi di daerah dan Masyarakat daerah.
3. Penyempurnaan terhadap syarat-syarat kepemimpinan daerah, pembinaan
birokrasi daerah dan pemberdayaan masyarakat sudah saatnya dilaksanakan.

Akhirnya tulisan ini barangkali ada manfaatnya sebagai bahan untuk melakukan
Penyempurnaan atau revisi Undang Undang No, 32 fahun 2004 yang sedang di
proses oleh Kementerian Dalam N egeri.

*) Makalah untuk pertemuan IKADIK PP 10


Tanggal 12 Desember 2009 di Baso

Anda mungkin juga menyukai