Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH SISTEM POLITIK INDONESIA

“OTONOMI DAERAH DAN DINAMIKA POLITIK LOKAL”


Diajukan untuk memenuhi tugas sistem politik Indonesia

Dosen Pengampu : Aris Riswandi Sanusi, M.Pd

Disusun oleh :

1. Dedi Alfian Akbar (21416287205020)


2. Pramudia Satria Pradana (21416287205010)
3. Teza Anhu Qoibi (21416287205025)
4. Yofi Qitfirul Aziz (21416287205018)
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan tugas makalah dengan judul “OTONOMI DAERAH DAN
POLITIK LOKAL” sebagai tugas dari mata kuliah Teknologi & Pendidikan.
Kami menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, semua kritik dan saran pembaca akan kami terima dengan senang hati demi perbaikan
makalah lebih lanjut.
Tulisan ini dapat di selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak, terutama dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Kewarganegaraan yang telah memberikan arahan demi kelancaran dan kelengkapan makalah
tulisan ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Penyusun,

Karawang, 30 November 2023


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Otonomi Daerah pada
hakekatnya sudah tercermin dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 dan sampai saat ini
regulasi mengenai otonomi daerah dijewantahkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sistem pemerintahan telah memberikan
keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Menurut Prof. Soepomo, bahwa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati
kehidupan regional menurut riwayat, adat, dan sifat sendiri-sendiri, dalam kadar Negara
Kesatuan. Tiap-tiap daerah mempunyai histori dan sifat khusus yang berlainan daripada
riwayat dan sifat daerah lain. Berhubungan dengan itu, Pemerintah harus menjauhkan segala
usaha yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model. Menurut
Smith yang melakukan kajian otonomi daerah, menyatakan bahwa perlu dipahami bahwa
perluasan otonomi daerah tidak kecil kemungkinan juga dapat membuka peluang semakin
terkonsentrasinya kekuasaan di antara local state-actors (birokrat dan politisi lokal). Ini
adalah salah satu bahaya dari perluasan otonomi daerah yang perlu dicermati. Bila
kecenderungan ini terjadi, maka masih terlalu dini untuk berharap bahwa kebijakan otonomi
daerah akan dengan serta merta membuka peluang yang lebih luas kepada civil society untuk
berpartisipasi dalam baik pada proses pengambilan keputusan pada tingkat lokal, maupun
pada tahap pelaksanaan dari berbagai keputusan tersebut.
Menurut Smith yang dikutip oleh Dharma Setyawan Salam, bahwa faktor yang dapat
memprediksi keberhasilan otonomi daerah adalah fungsi dan tugas pemerintahan,
kemampuan penguatan pajak daerah, bidang tugas administrasi, jumlah pelimpahan
kewenangan, besarnya anggaran belanja, wilayah, ketergantungan keuangan, dan personil.
Secara filosofi, penyelenggaraan otonomi daerah adalah bentuk pengakuan pemerintah pusat
terhadap kemandirian masyarakat dan pemerintah kabupaten dan kota. Karena itu, sasaran
akhir penyelenggaraan otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat dan pemerintah
daerah serta mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Dalam kehidupan politik akhir-akhir ini, tampak adanya perseturuan dan persaingan yang tidak
sehat, termasuk dalam pelaksanaan Pilkada gubernur, bupati maupun walikota. Kebanyakan dalam
proses Pilkada tersebut terjadi ketidak puasan pihak-pihak yang berkompotisi, karena adanya
persaingan yang tidak sehat. Hal ini dapat mengakibatkan tercorengnya kemurnian demokrasi politik
yang terbangun dari nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Hiruk pikuk dan segala macam hingar bingar
yang terjadi dalam proses demokrasi politik tersebut setidaknya telah menyedot perhatian masyarakat
sehingga berdampak negative dalam keikutsertaan anggota masyarakat dalam menyalurkan
aspirasinya. Bahkan praktek-praktek politik yang bernuansa "money politics" dan janji- janji
kekuasaan" politik transaksional, sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar oleh sebagian elite
politik. Padahal masalah tersebut secara hakiki dapat merusak tatanan nilai demokrasi politik yang
sesungguhnya. Orang-orang yang melakukan praktek "money politics" dan janji-janji kekuasaan" -
politik transaksional tersebut dipandang sebagai "musuh bersama dalam dinamika kehidupan politik
local dalam social capital. Tentu saja karena sebagai musuh bersama, maka siapapun pelakunya harus
diperangi secara bersama- sama pula dalam rangka upaya mewujudkan politik local dalam koridor
modal social

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana efektivitas implementasi otonomi daerah di Indonesia?
2. Bagaimana penyelesaian konflik antara kepentingan daerah dan kebijakan pusat dalam
konteks pembangunan daerah?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui efektivitas implementasi otonomi daerah dalam mengelola sumber
daya dan membangun keberlanjutan ekonomi di tingkat local
2. Untuk mengetahui penyelesaian konflik antara kepentingan daerah dan kebijakan pusat
dalam konteks pembangunan daerah

D. MANFAAT PENULISAN
1. Melalui penelitian ini diharapkan pembaca dapat memperluas pengetahuan dan
wawasan yang mendalam terkait hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah dan
dinamika politik lokal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Efektivitas Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia
Menurut Suparmoko (2006:61) otonomi daerah sebagai kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Tuntutan perluasan otonomi daerah di Indonesia makin
meluas dan hal ini merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat luas yang ada di
daerah setempat atau pedesaan sejalan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berkenaan dengan pelaksanaan desentraslisasi otonomi daerah di Indonesia terdapat
dua nilai dasar sebagai mana diamanatkan dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
18 ayat (2) yaitu:
1. Nilai Unitaris yang diwujudkan dalam pemikiran bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (“Eenheidstaat”), hanya satu
yaitu sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Sebagaimana telah dijelaskan di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan yang lebih
berperikemanusiaan dan berperikeadilan.

Secara umum otonomi diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan jika kita melihat arti
yang lebih menekankan pada otonomi daerah yaitu “memberdayakan”. Jadi yang dimaksud
daerah otonom di sini adalah memberikan otoritas agar berdikari sesuai dengan kebijakan
atau keputusan mengenai pembangunan daerah setempat. Dahlan dan Sumaryana (2017:46-
47), salah satu tata kelola pemerintahan yang akuntabel, dan bersih harus bisa memberikan
pelayanan yang terbaik ini sebagai tanda terwujudnya Good Governance. Dalam pelaksanaan
good governance dapat terwujud dengan adanya kerjasama yang baik sesuai dengan
kemampuan pemerintah, masyarakat madani, dan kebutuhan publik. Membangun
pemberdayaan sumber daya manusia, kuncinya ada pada diri manusia. Karena, membangun
manajemen sumber daya manusia itu harus melalui proses pembelajaran dan pendidikan yang
melibatkan guru dan peserta didik sebagai sumber daya manusia.
Melihat peraturan UU kebelakang dalam rumusan terhadap otonomi daerah yang
dalam UU No. 22 Tahun 1999 diawali dengan frase “otonomi daerah adalah kewenangan
daerah…. “, tetapi tidak demikian halnya dengan otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun
2004 yang menyebutkan; “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dari perbedaan
rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun
2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang mengatur tentang
pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa memberikan rumusan terhadap
otonomi daerah yang berbeda-beda antara satu undang-undang dengan undang-undang yang
lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi
kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No. 5 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa;
“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Dengan adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No. 32 Tahun
2004 tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU
No. 5 Tahun 1974 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi daerah selalu terseret arus
politik dan kekuasaan. Hal ini sekaligus memperlihatkan adanya gerakan menjauh dari makna
pemberian otonomi kepada daerah yang utamanya untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat daerah, tetapi otonomi daerh lebih cenderung dibangun dibawah kepentingan
politik dan kekuasaan. sangat jelas terlihat bahwa kebijakan otonomi daerah sejak berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dapat diimplementasikan dengan baik, hal ini
sangat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada masanya serta kondisi politik dan
ketatanegaraan yang masih mencari bentuk yang ideal sehingga berdampak pada lemahnya sistem
pemerintahan daerah yang diaktualisasikan dalam bentuk otonomi daerah.

Berdasarkan kondisi tersebut, pada intinya kebijakan otonomi daerah walaupun selalu
berubah-ubah mengikuti dinamika perkembangan rezim yang berkuasa, namun idealnya
dalam praktek implementasinya seyogyanya mengacu kepada mode implementasi kebijakan
yang disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kompleksitas permasalahan yang ada,
sebagaimana dikemukakan oleh Wahab (1997: 70), yakni bahwa penggunaan model dalam
suatu analisis atau penelitian suatu kebijakan sangat tergantung pada kompleksitas
permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan analisis itu sendiri. Sehingga sebagai
pedoman awal, barangkali ada baiknya diingat bahwa semakin kompleks permasalahan suatu
kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori dan
model yang relatif operasional, yakni model yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas
antar faktor yang menjadi fokus analisis. Jadi jelas bahwa pemilihan model analisis sangat
tergantung pada kepekaan analisator kebijakan terhadap kompleksitas permasalahan yang
dihadapi, berikut harus berpikir sistematis mengenai alternatif-alternatif model yang bisa
membumi dan membawa kebijakan tertentu ke arah yang bisa dicapai dan diterapkan.
2.2 Bagaimana Penyelesaian Konflik antara Kepentingan Daerah dan Kebijakan Pusat
dalam konteks Pembangunan Daerah
Pembangunan adalah sebuah kegiatan kolosal, memakan waktu yang panjang,
melibatkan seluruh warga negara, dan menyerap hampir seluruh sumber daya negara-bangsa.
Karena itu, sudah seharusnya jika pembangunan perlu manajemen. Kata manajemen
menyiratkan adanya proses yang berkesinambungan. Perencanaan pembangunan menjadi
kunci karena sesungguhnya hal ini adalah pekerjaan yang maha rumit. Seperti diketahui,
istilah pembangunan adalah istilah khas dari proses rekayasa sosial (dalam arti luas, termasuk
ekonomi, politik, kebudayaan, dan sebagainya) yang mana dalam hal pelaksanaannya itu
dilaksanakan oleh negara-negara yang tergolong sebagai negara berkembang. Perencanaan
pembangunan di Indonesia secara sungguh-sungguh dimulai sejak era Orde Baru, karena
pada masa sebelumnya teknik perencanaan belum berkembang dengan baik. Perencanaan
pembangunan yang ada saat ini, dipimpin oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(yang selanjutnya disebut Bappenas), yang menjadi think tank dari konsep perencanaan
pembangunan nasional di Indonesia.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan ini
merupakan payung hukum bagi pelaksanaan perencanaan pembangunan dalam rangka
menjamin tercapainya tujuan negara, yang digunakan sebagai arahan di dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan secara nasional. Menurut undang-undang tersebut perencanaan
pembangunan ini terdri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (yang selanjutnya
disebut RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (yang selanjutnya disebut RPJM),
dan Rencana Kerja Pemerintah (yang selanjutnya disebut RKP). Terkait hal ini, daerah akan
menyusun RPJP Daerah dan juga RPJM Daerah yang mengacu pada RPJP dan juga RPJM
Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan
melalui RKP yang disusun oleh Kementerian atau Lembaga.
Di tingkat lokal, pemerintah Propinsi, Kabupaten/ Kota menyusun sendiri RPJP
Daerah. Setelah itu, dijabarkan dalam RPJM Daerah, yang memuat visi, misi dan program
pembangunan dari kepala daerah terpilih. Permasalahannya, dokumen RPJP Nasional dan
RPJP Daerah ini sangat visioner dan juga hanya memuat hal-hal yang mendasar, karena
memang dimaksudkan untuk dapat memberi keleluasaan yang cukup bagi penyusunan
rencana jangka menengah dan tahunannya. Namun, keleluasaan yang diberikan ini berpotensi
menimbulkan ketidaksinambungan dan ketidaksinergian antara perencanaan pembangunan
nasional dan daerah, dan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Implementasi
hubungan pusat daerah di dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini tidak efektif dan
menyimpan banyak persoalan seperti api dalam sekam yang pada suatu saat akan meledak
berupa pembangkangan nyata. Salah satu masalah yang mana menonjol terkait dengan
koherensi dukungan politik pembangunan nasional yang belum terlaksana dalam satu derap.
Dalam mewujudkan hubungan pusat dan daerah yang sinergis dapat dilakukan dengan
berorientasi keterbukaan (transparansi), akuntabilitas dan kemanfaatan yang besar bagi rakyat
di daerah dan bagi kesatuan nasional.
Dalam sistem pemerintahan saat ini, yaitu dengan otonomi daerah yang luas, harapan
untuk tercapai adanya harmonisasi atau keselarasan. Harmonisasi daripada pengaturan
perencanaan pembangunan tidak bisa terlaksana karena beberapa alasan. Pertama, adanya
perbedaan tujuan antara perencanaan pembangunan nasional (RPJM Nasional dan RKP),
perencanaan pembangunan daerah (RPJM Daerah dan RKPD). Perbedaan terjadi bukan pada
tataran makro yaitu agar mencapai masyarakat yang adil dan makmur, baik secara nasional
maupun di setiap daerah, akan tetapi pada tataran lebih mikro. Kedua, dengan proses
penentuan kepala pemerintahan yang melalui pemilihan umum, baik nasional, ataupun
daerah, maka setiap kepala daerah mempunyai kewajiban melaksanakan program-program
yang ditawarkannya saat kampanye untuk mewujudkan visi dan misinya. Sementara RPJP
Daerah ini diharapkan merupakan penjabaran dari RPJP Nasional. Ketidaksamaan program
antara pusat dan daerah terjadi karena masalah-masalah yang dihadapi berbeda, yang
membutuhkan solusi yang berbeda. Ketiga, kalaupun aturan undang-undang mengharuskan
RPJM Daerah harus sinkron dengan RPJM Nasional, termasuk juga untuk RKP. Instansi
pusat yang harus memeriksa setiap RPJM Daerah mengenai kesesuaiannya dengan RPJM
Nasional, maka akan mengalami kesulitan, bagaimana dari perencanaan daerah itu sinkron
dengan perencanaan pusat. Kalaupun ditemukan beberapa ketidaksesuaian, maka langkah
berikutnya yaitu dengan mengharuskan diadakannya perubahan terhadap perencanaan daerah
tersebut.
Berdasarkan hal diatas, maka dibuatlah Upaya-upaya agar tidak terjadinya tumpang
tindih aturan. Upaya-upaya tersebut adalah sebagai berikut ini, Pertama, pelaksanaan
program dan juga kegiatan pemerintah pusat harus konsekuen, yang mana sesuai dengan
tingkatan pemerintahannya Kedua, pemerintah daerah perlu dianggap oleh pemerintah pusat
sebagai mitra pembangunan daripada sebagai pelaksana program pusat di daerah. Dengan
menjadikan pemerintah pusat sebagai mitra Pembangunan di daerah, ini akan menjadi
semakin erat harmonisasi atau keselarasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam Pembangunan daerah. Ketiga, penyediaan ruang untuk menampung aspirasi rakyat dan
pemda oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilakukan dengan: membahas perencanaan
pembangunan nasional antara presiden dengan para kepala daerah; mengakomodasi secara
rasional usulan DPR dan DPD saat membahas RPJM Nasional/RAPB Nasional;
menyelenggarakan konsultasi publik dalam hal untuk membahas rencana-rencana atau isu-isu
pembangunan; membuka forum komunikasi melalui internet untuk dapat menampung
pendapat para publik mengenai rancangan rencana, dan lain-lain. Keempat, pencapaian
tujuan-tujuan pembangunan nasional yang mana tentu diperlukan keterlibatan dari
pemerintah daerah, dan juga diupayakan dengan cara membuat kebijakan khusus yang
disertai dana dan juga petunjuk pelaksanaan (juklak) dan pertangggungjawaban
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan pelaksanaan otonomi daerah dapat
berjalan dengan efektif jika dilaksanakan sesuai dengan asas desentralisasi. Namun, seiring
bergantinya pejabat pemerintah daerah dan kesesuaian antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat dalam Pembangunan daerah harus dapat dilaksanakan dengan keselarasan
peraturan Pembangunan daerah dan Pembangunan pusat. Harmonisasi setiap Lembaga
pemerintahan yang dimandatkan oleh rakyat harus terjalin, walau pada kenyataannya masih
banyak Lembaga pemerintahan yang enggan melaksanakan Pembangunan yang berlandaskan
gotong royong.
3.2 Saran
Setiap Lembaga negara wajib melaksanakan aturan yang memang sudah diputuskan
atau ditetapkan. Dengan adanya aturan maka ini mengikat Lembaga manapun yang ada
dipemerintahan agar menjalankan tugas dan fungsinya dengan keselarasan perundang-
undangan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai