Anda di halaman 1dari 14

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS RUU CIPTA KERJA DITINJAU DARI PERSPEKTIF DEREGULASI DAN


DEBIROKRATISASI

OLEH:
Daniel Julianto Simanjuntak (1606908893)
Alodia Nathania (1706048545)
Teldibertu Dipatupa Halomoan (1706048873)
Noel Joshua Makarios Simbolon (1706977651)

MATA KULIAH HUKUM BIROKRASI DAN KEPEGAWAIAN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2020
I. LATAR BELAKANG
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja merupakan salah satu RUU yang
dirancang dengan menggunakan metode omnibus law. Omnibus law sendiri adalah sebuah
metode atau teknik yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut Undang-Undang
(UU), atau beberapa ketentuan dalam UU yang diatur ulang dalam satu UU (tematik).
Tujuan dari omnibus law adalah yang pertama, mengatasi konflik peraturan perundang-
undangan secara cepat, efektif, dan efisien. Kedua, agar pengurusan perizinan lebih
terpadu, efisien, dan efektif. Ketiga, untuk meningkatkan hubungan koordinasi antar
instansi terkait. Keempat, untuk menyeragamkan kebijakan pemerintah di Pusat maupun
di Daerah untuk menunjang iklim investasi. Kelima, agar mampu memutus rantai birokrasi
yang berlama-lama. Terakhir, untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi pengambil kebijakan.
Berdasarkan laman tautan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia, RUU Cipta Kerja dirancang untuk mewujudkan visi Indonesia Maju
2045 yaitu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki perekonomian
terkuat di dunia dengan PDB per kapita/bulan sebesar 4,6 juta rupiah menjadi 7 juta rupiah
di tahun 2040 dan 27 juta rupiah di tahun 2045. Oleh karena itu, diperlukan adanya
transformasi ekonomi dengan mengadakan reformasi struktural, yang kemudian
diwujudkan dengan merancang RUU Cipta Kerja. Hal ini juga dilakukan untuk mengatasi
rendahnya lapangan kerja yang hanya berada di angka 2,5 juta orang per tahun sedangkan
7 juta orang diperkirakan masih mencari pekerjaan, tumpang tindihnya regulasi, inefisiensi
birokrasi, dan rendahnya produktivitas tenaga kerja. 1
Pada hari Rabu, tanggal 12 Februari 2020 yang lalu, Pemerintah telah secara resmi
menyerahkan Surat Presiden, Draft serta Naskah Akademik RUU Cipta Kerja kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas dalam rapat DPR dan diproses lebih jauh
sesuai dengan mekanisme yang berlaku. 2 RUU Cipta Kerja ini sendiri berasal dari 79 UU,

1
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, “RUU Cipta Kerja - Tentang Omnibus Law Cipta Kerja”
https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/151/ruu-cipta-kerja-tentang-omnibus-law-cipta-kerja, diakses 22 Maret
2020.
2
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, “Pemerintah Resmi Ajukan RUU Cipta Kerja ke DPR”
https://ekon.go.id/info-sektoral/15/2/berita-pemerintah-resmi-ajukan-ruu-cipta-kerja-ke-dpr, diakses 22 Maret 2020.
dan berisi sebanyak 15 Bab serta 174 Pasal. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3), penciptaan
lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem
investasi dan kegiatan berusaha melingkupi penyederhanaan perizinan berusaha,
persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan
kawasan ekonomi. RUU ini melingkupi 10 hal yang tertulis pada Pasal 6 yaitu peningkatan
ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan, perlindungan,
dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta perkoperasian,
kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, pengadaan lahan, kawasan ekonomi,
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional, pelaksanaan
administrasi pemerintahan, dan pengenaan sanksi. 3
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat diketahui bahwa
RUU Cipta Kerja merupakan suatu upaya deregulasi yang dilakukan oleh Pemerintah.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga merupakan sebuah upaya debirokratisasi. Deregulasi
sendiri berasal dari kata ‘regulasi’ dan unsur ‘de-’. Regulasi memiliki makna yaitu
peraturan atau tindakan pengurusan dengan berbagai aturan yang berkekuatan hukum.
Sedangkan unsur ‘de-’ memiliki makna melakukan yang sebaliknya, mengurangi, atau
keluar dari sesuatu. Oleh karena itu, deregulasi berarti tindakan atau proses penghilangan
atau pengurangan aturan. Debirokratisasi berasal dari kata ‘birokratisasi’ dan unsur ‘de-’.
Birokratisasi memiliki makna yaitu hasil tindakan yang berhubungan atau yang bercorak
birokrasi, dimana birokrasi sendiri berarti administrasi yang dicirikan oleh kepatuhan pada
aturan, prosedur, dan jenjang kewenangan sehingga sering mengakibatkan kelambanan
kerja, kerumitan perolehan hasil, dan penundaan gerak. Oleh karena itu, debirokratisasi
memiliki makna tindakan atau proses yang mengurangi tata kerja yang serba lamban dan
rumit agar tercapai hasil dengan lebih cepat.4
Namun beberapa waktu belakangan ini, RUU Cipta Kerja mengakibatkan banyak
pro dan kontra. Banyak pihak di dalam masyarakat yang menolak RUU ini agar tidak
disahkan menjadi UU karena dianggap isi dari Pasal-Pasal yang ada akan merugikan

3
Budi Setiawanto, “Ini Isi RUU Cipta Kerja” https://www.antaranews.com/berita/1309502/ini-isi-ruu-cipta-
kerja, diakses 22 Maret 2020.
4
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, “Apakah Makna Debirokratisasi dan Deregulasi?”
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/186, diakses 22 Maret 2020.
masyarakat. Padahal berdasarkan ruang lingkup dalam Pasal 4 ayat (3) serta Pasal 6 RUU
Cipta Kerja yang telah ditulis sebelumnya menunjukkan bahwa RUU ini berhubungan
dengan upaya deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan oleh Pemerintah guna
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Oleh karena itu, tulisan ini akan
menganalisis bagaimana RUU Cipta Kerja dilihat dari sudut pandang deregulasi dan
debirokratisasi.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Apakah RUU Cipta Kerja telah sesuai dengan unsur-unsur pelaksanaan deregulasi
dan debirokratisasi?
2. Apakah RUU Cipta Kerja telah sesuai dengan tujuan dari deregulasi dan
debirokratisasi?

III. TINJAUAN MATERI


Konsep asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance) muncul
karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai
penyelenggara urusan publik. Pendekatan-pendekatan penyelenggaraan urusan publik
yang bersifat sentralis, non-partisipatif, serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik
pada rezim-rezim terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan
bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Di Indonesia, konsep tersebut ramai
diperbincangkan setelah melihat berbagai bentuk peraturan dan kebijakan yang dianggap
tidak mencerminkan tujuan negara untuk mensejahterakan masyarakat. Gambaran
buruknya birokrasi di Indonesia dikatakan menyerupai organisasi birokrasi gemuk dan
kewenangan antar lembaga yang tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum
tertib; pegawai negeri sipil belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program
belum terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah.5

5
Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance (Bandung: PT. Reflika Aditama,
2008), hlm. 1.
Untuk mewujudkan konsep good governance tersebut, maka berbagai cara
dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
kepada masyarakat sehingga diharapkan dapat mengubah pandangan masyarakat dalam
menilai kinerja pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka perbaikan
sistem birokrasi salah satunya adalah dengan menerapkan deregulasi dan debirokratisasi.
Deregulasi dan debirokratisasi adalah hal yang perlu dilaksanakan guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ciri pemerintahan yang baik.
Debirokratisasi dapat dipahami sebagai pemangkasan atas alur kinerja aparat
pemerintah dengan cara mengurangi kuantitas pelayan masyarakat dalam birokrasi. 6
Debirokratisasi yang dalam pengertiannya sebagai suatu penghapusan atau pengurangan
hambatan yang terdapat dalam sistem birokrasi di era reformasi, sangat diperlukan dalam
rangka mensejahterakan masyarakat, untuk mempercepat akselerasi pembangunan, dan
untuk menghilangkan konotasi negatif di mana birokrasi dianggap sebagai suatu hal yang
mengakibatkan berbelit-belitnya pelayanan kepada masyarakat.
Sementara itu, deregulasi berarti peniadaan berbagai peraturan perundang-
undangan yang dipandang berlebihan. Karena peraturan perundang-undangan yang
berlebihan itu pada umumnya berkenaan dengan campur tangan pemerintah atau negara,
pada dasarnya deregulasi bermakna mengurangi campur tangan pemerintah (intervensi
pemerintah yang berlebihan) atau negara dalam kegiatan kemasyarakatan tertentu terutama
di bidang ekonomi sehingga deregulasi itu pada ujungnya bermakna debirokratisasi. 7
Deregulasi dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan pada masyarakat yang menuntut
adanya suatu kemudahan, kecepatan, biaya murah serta akurat sehingga diharapkan tidak
mengakibatkan meningkatnya biaya produksi dalam segala hal.

IV. ANALISIS
1. RUU Cipta Kerja dan Hubungannya dengan Unsur-Unsur Pelaksanaan Deregulasi
dan Debirokratisasi

6
Arief Hidayat, “Debirokratisasi Kunci Kualitas Pelayanan Publik”
https://www.radarbangka.co.id/rubrik/detail/persepktif/12553/debirokratisasi-kunci-kualitas-pelayanan-publik.html,
diakses 23 Maret 2020.
7
Bagir Manan, “Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan Oleh Pemerintah Daerah,”
Majalah Ilmiah Universitas Padjajaran Vol. 14 No. 3 (1996), hlm. 33.
Berdasarkan penjelasan teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa deregulasi
dan debirokratisasi adalah sebagai bentuk upaya dari pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam asas-asas umum pemerintahan
yang baik (good governance), di mana salah satu bentuknya adalah perbaikan sistem
birokrasi yang selama ini terkesan lamban, rumit, dan berbelit-belit. Penegasan mengenai
sistem birokrasi tersebut telah disebutkan pula pada tujuan kelima dari omnibus law
sebagaimana yang terdapat pada bagian latar belakang. Bentuk deregulasi yang saat ini
sedang dirumuskan oleh pemerintah sebagai salah satu usaha atau upaya pemerintah untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah dengan membuat RUU Cipta Kerja yang
menggunakan metode omnibus law.
Sebagaimana yang juga dijelaskan di awal, deregulasi juga berarti penataan
kembali peraturan-peraturan yang diakibatkan oleh berbagai sebab atau alasan. Pemerintah
(dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang membahas RUU untuk
kemudian mendapat persetujuan bersama seperti yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945) mengajukan
RUU Cipta Kerja ini memiliki suatu tujuan besar, yaitu untuk menjadikan Indonesia
termasuk sebagai salah satu dari lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan menjadi
negara berpendapatan tinggi pada tahun 2040. Hal tersebut juga dijelaskan di dalam
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja ini.
Selain itu, sebagaimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, RUU
Cipta Kerja ini juga dilandasi atas landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang juga
dijelaskan dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja. Landasan filosofisnya adalah untuk
mewujudkan pembangunan nasional dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Landasan sosiologisnya adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan kepada tenaga kerja
atau pencari kerja melalui peningkatan investasi dan kemudahannya serta perlindungan
terhadap Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK) yang harus diikuti dengan
kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga mereka dapat bersaing
pada formasi-formasi yang dibutuhkan oleh dunia kerja atau perusahaan. Landasan
yuridisnya adalah adanya UU yang mengatur tentang investasi dan UMK yang (1)tak
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat; (2)terdapat
disharmonisasi (tumpang tindih) antara UU yang satu dan yang lain karena pengaturan
investasi dan UMK yang diatur dalam banyak sekali UU; dan (3)sudah terdapat
peraturannya, tetapi berdaya laku lemah, sehingga RUU Cipta Kerja dibuat dengan metode
omnibus. Dengan adanya alasan-alasan tersebut, maka Pemerintah membuat suatu
deregulasi atau penataan aturan dalam bentuk RUU Cipta Kerja.
Pada awalnya, deregulasi hanya memiliki arti secara kuantitatif, yaitu untuk
menghapus dan mengurangi sejumlah aturan. Seiring berkembangnya zaman dan juga
hukum, maka makna deregulasi selain secara kuantitatif juga dengan cara kualitatif, dengan
cara mengubah dan memperbaiki peraturan dan menguji isi rancangan suatu peraturan.
Dalam RUU Cipta Kerja, terdapat beberapa contoh draf rancangan dalam halnya
mengimplementasikan makna menghapus dan mengurangi sejumlah aturan (secara
kuantitatif). Sebagai contoh, pada Bab III Bagian Ketiga Paragraf 2 Pasal 18 angka 1 RUU
Cipta Kerja, terdapat penghapusan pada Pasal 1 angka 23, angka 24, angka 29, dan angka
30 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebagai contoh
pengimplementasian makna mengubah dan memperbaiki peraturan (secara kualitatif) juga
terdapat dalam Pasal 18 angka 1 RUU Cipta Kerja, di mana Pasal 1 angka 32 UU Nomor
26 Tahun 2007 diubah dan bunyinya menjadi sebagai berikut, “Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang
dengan rencana tata ruang”.
Dari adanya metode omnibus law pada RUU Cipta Kerja ini juga perlu untuk
diperhatikan mengenai hal-hal tertentu yang dirasa bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Terdapat satu contoh bentuk dari adanya kekeliruan tersebut, yaitu
pada Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Pada pasal tersebut, terutama pada ayat (2) yang
menyatakan bahwa perubahan ketentuan tentang wewenang pemerintah pusat untuk
mengubah ketentuan dalam UU (atau RUU) ini dan/atau mengubah ketentuan dalam UU
yang tidak diubah dalam UU (atau RUU) ini dalam rangka percepatan pelaksanaan
kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) RUU ini
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Padahal, seharusnya Peraturan Pemerintah (PP) yang
ditetapkan oleh Presiden diperuntukkan untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya
(Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amendemen).
Dengan kata lain, PP merupakan peraturan-peraturan yang membuat ketentuan-
ketentuan dalam suatu UU bisa berjalan/diperlakukan. 8 Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Hans Nawiasky (murid Hans Kelsen) yang sesuai dengan pendapat gurunya,
bahwa suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-
jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. 9 Dalam
teori Hans Nawiasky, PP masuk dalam kelompok verordnung & autonome satzung (aturan
pelaksanan dan aturan otonom). Teori tersebut juga diimplementasikan sebagai hirarki
peraturan perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan UU
pengubahnya adalah UU Nomor 15 Tahun 2019. Dengan demikian, PP tidak memiliki
peran untuk mengubah ketentuan dalam UU dan bertentangan pula dengan hirarki
peraturan perundang-undangan yang ada.
Adanya pandangan mengenai birokrasi yang bermakna negatif bagi masyarakat,
seperti prosedur dalam birokrasi yang berjalan lambat, berbelit-belit, berbiaya tinggi, dan
komunikasinya sempit (satu arah), harus diubah dengan pandangan mengenai birokrasi
yang berjalan dengan lancar, cepat. berbiaya murah, dan komunikasinya luas sampai ke
formasi bawah sekalipun. Dengan demikian, pemahaman memaknai debirokratisasi seperti
yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya menjadi penting. Debirokratisasi juga
penting bagi kelangsungan pelayanan publik yang memberikan manfaat bagi masyarakat
yang dilayani oleh para penyelenggara pelayanan publik.
Meskipun di dalam draf RUU Cipta Kerja tidak terdapat kata debirokratisasi, tetapi
semangat untuk menciptakan penghilangan hambatan dalam birokrasi tetap ada secara
tersirat dalam RUU tersebut. Adapun contoh semangat tersebut adalah sebagai berikut.
Pada Bab III Bagian Keempat Paragraf 8 Pasal 49 angka 12 RUU Cipta Kerja, terdapat
perubahan ketentuan Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Adapun perubahannya adalah bahwa di Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 yang

8
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, cet. 22
(Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007), hlm. 194.

9
Ibid., hlm. 44.
sebelumnya terdiri atas tiga ayat, kemudian dalam Pasal 49 angka 12 RUU Cipta Kerja
bertambah satu ayat sehingga menjadi empat ayat. Perubahan tersebut dilihat sebagai
perubahan yang bersifat kuantitatif. Secara kualitatif, terutama dalam hal hubungannya
dengan debirokratisasi, maka pada Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tidak terdapat
pengaturan mengenai jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal. Pada draf Pasal
49 angka 12 RUU Cipta Kerja, telah terdapat pengaturan mengenai jangka waktu tersebut
yang terlihat pada ayat (3), di mana jangka waktu permohonannya adalah dilaksanakan
paling lama satu hari kerja. Penambahan rumusan ayat pada draf Pasal 49 angka 12 RUU
Cipta Kerja tersebut menyiratkan bahwa pelaku usaha yang mengajukan permohonan
sertifikasi halal secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) dapat diberikan kepastian atas waktu paling lama satu hari kerja terhadap
verifikasi permohonan sertifikat halal tersebut. Ini menandakan bahwa BPJPH sebagai
penyelenggara pelayanan publik dalam hal birokrasi memberikan bentuk pelayanan yang
maksimal kepada pelaku usaha yang bertindak sebagai masyarakat atau yang dilayani
tersebut. Adanya kepastian waktu satu hari kerja tersebut juga mengindikasikan bahwa hal
tersebut mempercepat waktu layanan sehingga rantai birokrasi yang sebelumnya terlalu
panjang dan berbelit-belit diputus. Dengan demikian, unsur debirokratisasi yang pada
intinya sebagai pemangkasan waktu pelayanan dan percepatan alur birokrasi telah
terpenuhi.

2. RUU Cipta Kerja dan Hubungannya dengan Tujuan dari Deregulasi dan
Debirokratisasi
Tentu saja, deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan oleh pemerintah memiliki
tujuan. Adapun tujuan tersebut secara umum dapat dilihat ke dalam dua aspek. Tujuan
pertama dari dilakukannya deregulasi dan debirokratisasi adalah untuk mengurangi
intervensi atau campur tangan birokrasi dalam proses pembangunan ekonomi sehingga
pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih wajar. Tujuan kedua dari
dilakukannya deregulasi dan debirokratisasi adalah untuk menciptakan kapasitas dan
kualitas administrasi yang lebih mampu untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan
yang berdimensi pada peningkatan kualitas manusia dan kualitas masyarakat. Dengan
demikian, tujuan kedua tersebut dapat dikatakan sebagai tujuan jangka panjang dari
dilakukannya deregulasi dan debirokratisasi dalam halnya pelayanan publik dalam
birokrasi di Indonesia.
Sebagaimana yang sudah pula disebutkan di analisis pertama, bahwa RUU Cipta
Kerja yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama ini dibuat dengan tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia dengan PDB per kapita/bulan
sebesar 4,6 juta rupiah menjadi 7 juta rupiah di tahun 2040 dan 27 juta rupiah di tahun
2045. Hal tersebut juga menjadi salah satu visi pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam
Visi Indonesia Maju 2045. Tujuan tersebut dilihat secara aspek ekonomi Adapun tujuan
lainnya dalam RUU Cipta Kerja sebagaimana pada draf Pasal 3 adalah untuk menciptakan
lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang
layak melalui kemudahan dan perlindungan UMKM serta perkoperasian, peningkatan
ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan
pekerja, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Setelah RUU
tersebut disahkan dan telah resmi menjadi UU Cipta Kerja nantinya, diharapkan tujuan
berdasarkan rumusan Pasal 3 tersebut sudah dapat diimplementasikan dalam pengaturan
terhadap masyarakat.
Bentuk dari RUU Cipta Kerja sendiri dibuat dengan metode omnibus law, dengan
cara mengubah, menghapus, atau menambahkan beberapa ketentuan dalam pasal-pasal
atau ayat-ayat. Selain itu, dapat juga dengan cara menghapus UU sebelumnya dan dapat
pula menggabungkan beberapa UU menjadi satu UU. Adapun tujuan deregulasi ini adalah
untuk mengurangi aturan yang dirasa bertentangan, tidak perlu (tidak berdaya guna lagi),
dan tidak relevan lagi waktunya (daya lakunya) apabila nantinya diterapkan pada masa
sekarang. Dari adanya tujuan tersebut, secara deregulasi diharapkan RUU Cipta Kerja
(yang apabila disahkan menjadi UU Cipta Kerja) bisa mengatur secara efektif terhadap
sektor-sektor yang ada dalam ruang lingkupnya sebagaimana pada draf Pasal 6.
Berdasarkan penjelasan uraian sebelumnya pula, telah dijelaskan bahwa pada
akhirnya deregulasi berujung pula dengan makna debirokratisasi karena deregulasi sendiri
juga berarti pengurangan bentuk campur tangan pemerintah seperti dalam bentuk ekonomi.
Dengan demikian, dikarenakan RUU Cipta Kerja ini “bernafaskan” aspek ekonomi dan
investasi, maka tujuan pemerintah untuk membuat RUU Cipta Kerja ini adalah juga untuk
debirokratisasi. Hal tersebut seperti juga dikatakan oleh Airlangga Hartanto, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian pada Kabinet Indonesia Maju pada periode kedua
Presiden Joko Widodo.10 Dengan didasarkan pula pada penjelasan sebelumnya mengenai
satu contoh bentuk debirokratiasi yang ada dalam RUU Cipta Kerja, diharapkan nantinya
apabila RUU tersebut telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja, proses birokrasi dalam
pelayanan publik yang cepat, berbiaya murah, dan prosedurnya yang tidak berbelit-belit
dapat diimplementasikan sebagai penerapan UU Cipta Kerja tersebut nantinya. Dengan
demikian, tujuan deregulasi dan debirokratisasi sebagaimana yang sudah dituliskan di
bagian awal analisis kedua ini telah ada dalam RUU Cipta Kerja.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada tinjauan materi dan analisis hubungan antara RUU Cipta
Kerja dengan deregulasi dan debirokratisasi, maka secara keseluruhan dapat disimpulkan
mengenai metode omnibus law pada RUU Cipta Kerja ini juga perlu untuk diperhatikan
mengenai hal-hal tertentu yang dimana bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Dilihat dalam analisis diatas terdapat kekeliruan pada Pasal 170 RUU Cipta
Kerja, terutama pada ayat (2) yang menyatakan bahwa perubahan ketentuan tentang
wewenang pemerintah pusat untuk mengubah ketentuan dalam UU (atau RUU) ini
dan/atau mengubah ketentuan dalam UU yang tidak diubah dalam UU (atau RUU) ini
dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) RUU ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jika dilihat
dalam Pasal ayat (2) UUD 1945 sebelum maupun sesudah amandemen dikatakan bahwa
Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh Presiden digunakan untuk menjalankan UU
tersebut. PP sebagai aturan pelaksana tidak dapat mengubah suatu UU yang berlaku karena
tidak sesuai dengan hierarki perundang-undangan.
Di dalam draf RUU Cipta Kerja tidak terdapat kata debirokratisasi, tetapi
pengimplemantasian makna dari debirokratisasi tersebut dapat terlihat dari RUU tersebut

10
Lona Olavia, “Menko Airlangga: RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Segera Diproses DPR”
https://www.beritasatu.com/ekonomi/598473/ekonomi/598473-menko-airlangga-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-
kerja-segera-diproses-dpr, diakses 24 Maret 2020.
pada Bab III Bagian Keempat Paragraf 8 Pasal 49 angka 12 RUU Cipta Kerja, terdapat
perubahan ketentuan Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam konsep Omnibus Law berupa RUU Cipta Kerja memiliki tujuan yang sangat
berkaitan dengan Debirokratisasi dan Deregulasi. Tujuan tersebut secara umum dapat
dilihat ke dalam dua aspek, yakni: (1) dilakukannya deregulasi dan debirokratisasi adalah
untuk mengurangi intervensi atau campur tangan birokrasi dalam proses pembangunan
ekonomi sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih wajar;
(2) deregulasi dan debirokratisasi adalah untuk menciptakan kapasitas dan kualitas
administrasi yang lebih mampu untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berdimensi pada peningkatan kualitas manusia dan kualitas masyarakat. Oleh karena itu,
menurut kelompok kami penerapan Debirokratisasi dan Deregulasi walaupun tidak secara
spesifik dikatakan akan tetapi makna dari kedua konsep tersebut dirasa sudah melekat
dalam RUU Cipta Kerja yang “bernafaskan” aspek ekonomi dan investasi dalam kaitannya
dengan tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Santosa, Pandji. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung:
PT. Reflika Aditama, 2008.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan. Cet. 22. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007.

Jurnal/Majalah
Manan, Bagir. “Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan Oleh
Pemerintah Daerah.” Majalah Ilmiah Universitas Padjajaran Vol. 14 No. 3
(1996). Hlm. 33.

Artikel Internet
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. “Apakah Makna Debirokratisasi dan Deregulasi?” http://
badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/186. Diakses 22
Maret 2020.
Hidayat, Arief. “Debirokratisasi Kunci Kualitas Pelayanan Publik” https://www.
radarbangka.co.id/rubrik/detail/persepktif/12553/debirokratisasi-kunci-kualitas-pe
layanan-publik.html. Diakses 23 Maret 2020.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. “RUU Cipta Kerja - Tentang Omnibus
Law Cipta Kerja” https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/151/ruu-cipta-kerja-
tentang-omnibus-law-cipta-kerja. Diakses 22 Maret 2020.
__________. “Pemerintah Resmi Ajukan RUU Cipta Kerja ke DPR” https://ekon.go.id/
info-sektoral/15/2/berita-pemerintah-resmi-ajukan-ruu-cipta-kerja-ke-dpr. Diakses
22 Maret 2020.
Olavia, Lona. “Menko Airlangga: RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Segera
Diproses DPR” https://www.beritasatu.com/ekonomi/598473/ekonomi/598473-
menko-airlangga-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-segera-diproses-dpr.
Diakses 24 Maret 2020.
Setiawanto, Budi. “Ini Isi RUU Cipta Kerja” https://www.antaranews.com/berita/
1309502/ini-isi-ruu-cipta-kerja. Diakses 22 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai