Anda di halaman 1dari 8

LAW IN BOOK LAW IN ACTION UU KPK

Untuk Memenuhi Syarat UAS Pendidikan Kewarganegaraan

Diampu Oleh: Dian Megasari, S.H., M.H.

Oleh :

Ahmad Wahyu Tiaro Syaoqi / 221011401901

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK INFORMATIKA

UNIVERSITAS PAMULANG

TANGERANG SELATAN

2023

DAFTAR ISI
1
A. PENDAHULUAN......................................................................................................................3
B. Landasan Filosofis UU No. 30 Tahun 2002................................................................................3
C. Landasan Yuridis.........................................................................................................................3
D. Landasan Yuridis UU No. 30 Tahun 2002..................................................................................3
E. Landasan Sosiologis....................................................................................................................4
F. Landasan Sosiologis UU No. 30 Tahun 2002..............................................................................4
G. Law In Action Pasca Keberadaan UU KPK...............................................................................4
H. Landasan Filosofis UU nomor 19 tahun 2019............................................................................5
I. LANDASAN YURIDIS...............................................................................................................6
J. LANDASAN SOSIOLOGIS.......................................................................................................6
K. Law In Action Setelah UU KPK Direvisi...................................................................................7
L. KESIMPULAN...........................................................................................................................8

A. PENDAHULUAN

2
Korupsi merugikan keuangan negara, perekonomian negara, menghambat pembangunan
nasional dan kesejahteraan masyarakat, sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi
perlu dilakukan. Pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional,
intensif dan berkesinambungan. Salah satunya melalui lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dasar Hukum KPK: UU 30/2002 -> UU 10/2015 -> UU 19/2019

UU 19/2019 menimbulkan polemik dalam masyarakat karena dinilai sebagai bentuk


intervens kekuasaan yang melemahkan fungsi KPK. Kemudian, terdapat uji materiil UU
19/2019 sebaga bentuk perlawanan publik (masyarakat) yang menghasilkan Putusan MK
Nomor 70/PUU- XVII/2019 pada pokoknya mengurangi intervensi tersebut dengan prinsip
independensi penegak hukum dalam negara hukum. Dengan demikian, UU KPK dan
perubahannya berkaitan erat dengan politik hukum baik pada tataran law in book dan law in
actionnya.

B. Landasan Filosofis UU No. 30 Tahun 2002

Secara filosofis, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilandasi bahwa era
reformasi menuntut segala perubahan yang sifatnya total terhadap kondisi penegakan
hukum, sosial, ekonomi, sebagai akibat dari warisan Pemerintahan Orde Baru yang
dipandang oleh masyarakat pada waktu itu sangat penuh dengan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
Sementara itu, institusi Kejaksaan dan Kepolisian ketika itu sangat rentan bahkan menjadi
alat kekuasaan dan juga tidak lepas dari KKN. Oleh karena itu, perlu adanya pembentukan
lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi yang efektif dan efisien.

C. Landasan Yuridis

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa


peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi
yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang- undangan yang baru.

D. Landasan Yuridis UU No. 30 Tahun 2002


Adapun persoalan hukum tersebut antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan
yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari undang-
undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

3
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.

Pasal 43
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek,
serta menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.

F. Landasan Sosiologis UU No. 30 Tahun 2002


Praktek korupsi di Indonesia terjadi di setiap sudut bangunan kekuasaan hingga ke sudut-
sudut terkecil masyarakat. Kesangsian masyarakat tersebut disebabkan karena
pemberantasan korupsi menimbulkan kesan "tebang pilih" terutama yang melibatkan elite
politik dan mantan pejabat tidak tersentuh, masih ada aparat hukum yang terindikasi dan
tertangkap basah melakukan praktik korupsi. Berdasarkan keadaan tersebut, secara
sosiologis politis keberadaan KPK inherent pimpinan KPK telah menjadi simbol perlawanan
rakyat terhadap kekuasaan yang korup.

Penegakan hukum pemberantasan korupsi berbanding lurus dengan kemiskinan yang masih
terjadi di Indonesia. Korupsi merupakan salah satu penyebab tetap tingginya angkal
kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan tersebut disebabkan karena korupsi yang telah bersifat
sistemik dan meluas ke seluruh lapisan birokrasi, dana APBN terkuras karena korupsi, dan
pengaruh hubungan timbal balik antara birokrasi dengan sektor swasta.

KPK dibentuk sebagai mekanisme pemicu dalam upaya pemberantasan korupsi dimana pada
saat itu terdapat indikasi ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum yang
memiliki kewenangan terhadap pemberantasan korupsi yaitu kepolisian dan kejaksaan. Pada
saat dibentuk masyarakat menaruh harapan yang sangat besar terhadap KPK agar dapat
menyelesaikan perkara korupsi yang mengganggu stabilitas dinamika bernegara di Indonesia.

G. Law In Action Pasca Keberadaan UU KPK


Munculnya inisiasi revisi UU KPK telah dicanangkan sejak tahun 2015, tepatnya pada 27
November 2015, Badan Legislasi DPR dan Menkumham Yasonna Laoly menyetujui Revisi UU

4
KPK menjadi prioritas dengan alasan menyempurnakan kelembagaan KPK dengan inisiatif
revisi ada di DPR. Kemudian, pada tanggal 15 Desember 2015 Rapat Paripurna DPR RI
memutuskan untuk memasukkan Revisi Undang-Undang KPK dalam Program Legislasi
Nasional 2015. Selanjutnya, pembahasan terkait revisi UU KPK diinisiasi oleh DPR pada tahun
2019 tepatnya pada tanggal 5 September 2019, DPR menggelar rapat paripurna pengesahan
revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR dengan dihadiri 70 orang anggota. Proses
pembentukan revisi UU KPK dinilai sangat cepat, yaitu hanya memakan waktu 13 hari hingga
Revisi UU KPK disahkan di rapat paripurna DPR pada tanggal 17 September 2019.

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi


memunculkan polemik. Polemik tersebut memunculkan pro dan kontra di masyarakat.
Argumentasi kelompok pro berpandangan bahwa kedepannya KPK patut diawasi dan dibatasi
kewenangannya, sedangkan kelompok kontra berpandangan bahwa revisi UU KPK akan
melemahkan KPK saat menjalankan kewenangannya dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi.

ASPEK MATERIIL
revisi UU KPK menimbulkan kontra yang meluas di masyarakat dikhawatirkan akan
melemahkan kewenangan KPK. Akan tetapi, DPR memiliki argumen lain terkait beberapa
pengaturan dalam revisi UU KPK

1. Pembentukan dewan pengawas KPK merujuk pada ketentuan Konvensi United Nations
Convention Against Corruption bahwa negara dapat membentuk badan yang dimaknai
sebagai kelembagaan dalam organ pemberantasan korupsi yang juga dimaknai sebagai
mekanisme check and balances
2. Izin penyadapan kepada Dewan Pengawas memiliki rasionalisasi untuk mendapatkan
legalnya sesuatu yang dilarang menurut hukum, maka diperlukan suatu izin sehingga yang
semula dilarang dapat menjadi tidak dilarang.
3. Menurut Arteria Dahlan, penempatan KPK pada rumpun eksekutif tidak akan menimbilkan
gangguan independensi dan kebebasan KPK dari pengaruh manapun dan tetap
melaksanakan tugas dalam pencegahan dan penindakan Tipikor.

FORMIIL ASPEK
revisi UU KPK dinilai tidak melalui proses perencanaan Prolegnas Prioritas Tahun 2019.
Faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2019 karena keputusan DPR
tentang Prolegnas Prioritas 2019 pada tahun 2018 tidak memasukkan UU KPK sebagai
prioritas, tetapi secara tiba- tiba revisi UU KPK dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2019
tanpa sepengetahuan publik pada tanggal 9 September 2019.

H. Landasan Filosofis UU nomor 19 tahun 2019

Secara filosofis terkait pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehingga dapat mencegah dan
mengurangi kerugian negara yang terus bertambah akibat tindak pidana korupsi. Penguatan

5
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kegiatan pencegahan bukan berarti kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi diabaikan. Justru adanya penguatan tersebut
dimaksudkan agar kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya, semakin baik dan komprehensif. Pembaruan hukum juga dilakukan dengan
menata kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penguatan tindakan pencegahan
sehingga timbul kesadaran kepada penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak
melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.
sebab dalam perkembangannya, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan kurang
efektif, lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh
pimpinan dan staf Komisi Pemberantasan Korupsi, serta adanya masalah dalam pelaksanaan
tugas dan wewenang, yakni adanya pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang berbeda dengan ketentuan hukum acara pidana, kelemahan
koordinasi dengan sesama aparat penegak hukum, problem Penyadapan, pengelolaan
penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, terjadi tumpang tindih kewenangan
dengan berbagai instansi penegak hukum, serta kelemahan belum adanya lembaga
pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi sehingga memungkinkan terdapat cela dan kurang akuntabelnya
pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.

I. LANDASAN YURIDIS

UU No. 19 Tahun 2019


Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi
yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.
 Adanya ketentuan mengenai kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK tanpa
adanya prosedur penyadapan yang diatur dalam UU KPK dikhawatirkan dapat
melanggar hak asasi manusia
 Adanya penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian dan penuntut KPK yang berasal dari
Kejaksaan dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam menjalankan
tugasnya
 RUU perubahan UU KPK dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat dengan tetap mendasarkan pada konsep-konsep yang terkandung dalam
criminal justice system

J. LANDASAN SOSIOLOGIS
UU No. 19 Tahun 2019
kejahatan korupsi yang belum terselesaikan di Indonesia mempengaruhi rasa keadilan di
masyarakat. Pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi kewajiban para penegak hukum
melainkan juga seluruh komponen bangsa (dimulai dari tingkatan paling atas yaitu presiden
hingga peranan masyarakat sipil (civil society).
Landasan Sosiologis pembentukan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi
termaktub dalam konsideran menimbang yaitu:

6
 Intansi pendukung terkait pemberantasan tindak pidana korupsi seperti kepolisian,
jaksa, dan KPK hadir sebagai upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
berdasarkan asas kesetaraan dan perlindungan HAM
 Perlunya peningkatan dalam strategi pemberantasan korupsi dalam diri KPK melalui
suatu peraturan perundang-undangan tanpa mengabaikan HAM

K. Law In Action Setelah UU KPK Direvisi

Lahirnya revisi UU KPK menuai banyak protes mengenai wewenang dewan pengawas KPK
sehingga berujung ke MK. Akhirnya, MK mengetok putusan uji materi UU KPK diketok MK
pada 4 Mei 2021. MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materil UU
KPK yang diajukan oleh sejumlah akademisi.

Kedudukan Dewan Pengawas dalam UU KPK yang secara inheren adalah bagian dari internal
KPK yang seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin, baik terhadap
penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan (kewenangan yudisial/Pro Justitia) yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kewajiban untuk
mendapatkan izin Dewan Pengawas juga merupakan bentuk campur tangan (intervensi)
terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan
hukum, KPK, dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yudisial bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk di dalamnya ketika KPK melakukan
penyadapan sebagai bentuk perampasan kemerdekaan orang (hak privasi) yang merupakan
bagian dari tindakan pro Justitia. Adanya ketentuan yang mengharuskan KPK untuk meminta
izin kepada Dewan Pengawas sebelum dilakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai
pelaksanaan check and balances.

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019


Para Pemohon: PSH FH UII
Kelompok I membahas Pasal 47 UU KPK 2019

DUDUK PERKARA:
Pasal 47 ayat (1) UU KPK menyatakan bahwa "Dalam proses penyidikan, penyidik dapat
melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas".

 Bahwa menurut para Pemohon, penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan


merupakan tindakan pro justicia sehingga tidak tepat jika kewenangan untuk
memberikan izin atas tindakan-tindakan tersebut dalam pasal a quo diberikan kepada
Dewas Pengawas
 Bahwa berdasarkan uraian di atas, para Pemohon berpandangan bahwa norma
hukum dalam pasal 47 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan wajib dinyatakan
inkonstitusional oleh MK karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
(Asas kepastian hukum yang adil.

AMAR PUTUSAN MENGADILI:


7
Dalam Pengujian Formil: MENOLAK permohonan para Pemohon untuk seluruhnya
Dalam Pengujian Materiil: MENGABULKAN permohonan para Pemohon UNTUK SEBAGIAN

1. Menyatakan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan


dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menyatakan frasa atas izin tertulis dari Dewan Pengawas" dalam Pasal 47 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak. mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan memberitahukan kepada Dewan
Pengawas" Sehingga Pasal 47 Ayat (1) yang semula berbunyi, "Dalam proses
penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis
dari Dewan Pengawas menjadi selengkapnya berbunyi "Dalam proses penyidikan,
penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan dengan memberitahukan
kepada Dewan Pengawas."

L. KESIMPULAN
Korupsi mengakibatkan kerugian keuangan negara, perekonomian negara, menghambat
pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat, sehingga pemberantasan tindak
pidana korupsi perlu dilakukan. Dalam prosesnya terdapat 2 instrumen peraturan yang
mengalamai perubahan dimulai dari UU 30/2002, UU 10/2015, UU 19/2019. UU 19/2019
menimbulkan polemik dalam masyarakat karena dinilai sebagai bentuk intervensi kekuasaan
yang melemahkan fungsi KPK yang berujung pada uji materil dan menghasilkan yang
menghasilkan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019.

UU 30/2002 : Dalam pembentukan suatu UU tidak lepas dari 3 landasan, yaitu filosofis,
sosiologis dan yuridis. Secara filosofis, pembentukan (KPK) dilandasi dengan institusi
Kejaksaan dan Kepolisian ketika itu sangat rentan bahkan menjadi alat kekuasaan dan juga
tidak lepas dari KKN. Secara sosiologis politis keberadaan KPK inherent pimpinan KPK telah
menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang korup. Secara yuridis UU
30/2002 berdasar pada UU 20/2001.

UU 19/2019 : Dalam pembentukan suatu UU tidak lepas dari 3 landasan, yaitu filosofis,
sosiologis dan yuridis. Secara filosofis pembaruan hukum memiliki tujuan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif. Dengan adanya penguatan
tersebut dimaksudkan agar kegiatan KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
semakin baik dan komprehensif. Secara sosiologis, pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam berbagai aspek, serta menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara. Secara yuridis berbicara soal subtansi atau materi
yang diatur sehingga perlu dibentuknya UU baru. Pada UU 19/2029 terjadi pembentukan ini
karen terdapat beberapa pengaturan yang mempengaruhi independensi KPK. Mulai dari
adanya kewenangan penyadapan, penyidik yang berasal dari adanya kewenangan
penyadapan, penyidik yang berasal dari kepolisian dst.

Anda mungkin juga menyukai