Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lahirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK)

yang bersifat independen di Indonesia telah membawa angin segar bagi masyarakat

dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia baik secara preventif dan

represif karena upaya-upaya yang dijalankan KPK dalam memberantas korupsi.

Adapun upaya yang dapat di acungi jempol kepada KPK dalam penanggulangan

Tindak Pidana Korupsi selama ini, antara lain menjatuhkan tuntutan pidana yang

berat kepada pelaku Tindak Pidana Korupsi dan upaya memiskinkan pelaku tindak

Pidana Korupsi dengan cara menggabungkan antara Tindak Pidana Korupsi dengan

Tindak Pidana Pencucian Uang serta usaha lainnya yang cukup membuat publik puas

akan kinerja KPK.

Namun polemik kemudian muncul ketika Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (selanjutnya disebut DPR) resmi mengusulkan revisi Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut

UU KPK. Pemerintah dalam hal ini DPR dan Presiden menganggap revisi terhadap

UU KPK merupakan upaya penguatan KPK, namun publik menganggap ini

merupakan upaya pelemahan KPK. Penolakan ini menimbulkan gelombang gerakan

aksi massa dari mahassiswa yang mendapat dukungan dari masyarakat yang

menganggap hal ini bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di

Indonesia karena beberapa pasal dalam draf RUU KPK dianggap merupakan upaya

1
pelemahan terhadap KPK sebagai lembaga yang mandiri dan bebas dari itervensi

kekuasaan eksekutif maupun legislative dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya.

Permasalahan seperti ini selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan

di masyarakat dikarenakan banyak pendapat yang akan muncul mulai dari pendapat

orang awam mengenai hukum hingga pendapat orang yang fasih akan hukum, mulai

dari pendapat seorang siswa sekolah hingga pendapat seorang mahasiswa serta mulai

dari pendapat seorang akademisi hingga pendapat seorang praktisi hukum. Hal ini

membuat hukum memiliki keberagaman dalam sudut pandang, apakah hukum itu

ada untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan ataukah kepastian, oleh kerena itu

permasalahan terhadap revisi UU KPK tersebut menarik minat penulis untuk

membahas lebih lanjut ke dalam sebuah penulisan karya ilmiah yang berjudul

“Tinjauan Yuridis Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan maka rumusan

masalahnya adalah apakah revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tetang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan upaya pelemahan atau penguatan

KPK ?

2
C. TUJUAN

Penulisan karya ilmiah ini bertujuan sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah

Politik Hukum, dan sebagai bahan acuan bagi penelitian lanjutan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Menurut Fockema Andreae dalam buku Andi Hamzah (2006:4), kata Korupsi

berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata

corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak

bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan

Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke

Bahasa Indonesia yaitu korupsi.

Istilah Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang

berarti kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan

keuangan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah ”korupsi” yang berasal

dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau ”seduction”,

maka yangdiartikan ”corruptio” dalam bahasa Latin ialah ”corrupter” atau ”seducer”.

”Bribery” dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang

tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara ”seduction” berarti sesuatu

yang menarik agar seseorang menyeleweng.

Dalam Black’s Law Dictionary (2008:2), korupsi adalah perbuatan yang

dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi

dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau

karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang

lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

4
Menurut Transparency Internasional dalam buku Panduan KPK (2009:7)

korupsi adalah perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri, yang

secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang

dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercayakan kepada mereka.

Dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum UU No 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan tentang Pengertian Tindak

Pidana Korupsi:16 Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang

dimaksud dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Berarti, Pengertian tindak pidana korupsi adalah semua ketentuan hukum

materil yang terdapat di dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 yang

diatur dalam Pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12 A, 12 B, 13, 14, 15, 16,

21, 22, 23, 24

Dari penjabaran di atas dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi

merupakan tindak pidana luar biasa yang dapat menimbulkan kerugian Negara secara

khusus dan kerugian bagi masyakat secara umum, dan ini merupakan musuh bersama

seluruh rakyat Indonesia.

5
B. TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi

Menurut artikel yang diterbitkan oleh KPK yang berjudul sekilas KPK (diakses

tanggal 6 Oktober 2019) KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Pidana Korupsi. KPK diberi amanat

melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan

berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.

Adapun tugas KPK dalam artikel terbitan KPK yang berjudul fungsi dan tugas,

(diakses tanggal 6 Oktober 2019) adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi

yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan

TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.Dalam

pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian

hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK

bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan

berkala kepada presiden, DPR, dan BPK.

KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua

merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima

pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur

pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama

6
empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam

pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.

Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang

Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan

Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang

deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris

Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun

bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Ketentuan mengenai struktur organisasi

KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat

berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam

pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai kompetensi

yang diperlukan.

2. Fungsi dan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi

Dalam UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK Komisi Pemeberantasan Korupsi

mempunyai tugas :

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan


tindak pidana korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang :

7
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.

Lebih lanjut secara konseptual, lewat penjabaran tentang kewenangan dan tugas

fungsi dari KPK, penulis berpendapat bahwa KPK telah memenuhi syarat sebagai

lembaga anti korupsi yang dapat diandalkan oleh masyarakat dalam semangat

pemberantasan korupsi di Indonesia.

8
BAB III

PEMBAHASAN

Jika melihat ke belakang pembentukan lembaga antikorupsi di Indonesia

sebenarnya sudah dimulai sejak masa orde lama, mulai Badan Koordinasi Penilik

Harta Benda sampai lembaga terkahir yang di bentuk pada tahun 2002 di era

reformasi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang hampir semuanya “dimatikan”

atau dilemahkan.

Di era reformasi, tuntutan pemberantasan korupsi-atau yang lebih dibahasakan

sebagai KKN; korupsi, kolusi dan nepotisme makin nyaring disuarakan. Bersama-

sama dengan amandemen UUD 1945 dan penghapusan dwi fungsi ABRI,

pemberantasan korupsi adalah amanat gerakan reformasi. Pada era inilah kemudian

UU Nomor 3 Tahun 1971 diganti dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan UU Nomor 20

Tahun 2001, dan diteguhkan dengan ratifikasi United Nations Convention against

Corruption melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Di samping aturan hukum materiil

korupsi, di era reformasi kelembagaan antikorupsi juga mengalami pasang surut,

hidup dan mati, lembaga-lembaga itu adalah:

a. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) (1999)

b. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) (2000-2001)

c. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2002-sekarang)

d. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TimTasTipikor)

(2005-2008)

9
Menjawab aspirasi publik yang sangat kuat pada agenda pemberantasan korupsi,

Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan membentuk lembaga ad hoc yang

kemudian dikenal sebagai Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(TGTPK). Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 1 PP pendiriannya, TGTPK

dimaksudkan sebagai tim yang mempunyai kekuatan lebih untuk membongkar

korupsi yang sulit pembuktiannya. Namun menurut Iskandar Kamil yang dikutip oleh

Denny Indrayana (2016:31) tugas yang berat itu tidak diimbangi dengan dasar hukum

yang memadai. Maka, tepat pada kelemahan dasar hukum itulah TGTPK diserang

oleh tiga orang hakim agung yang mengajukan judicial review ke MA. Permohonan

ketiga hakim agung yang pernah diperiksa TGTPK itu akhirnya dikabulkan MA

melalui putusannya Nomor 03P/HUM/2000, dan membawa konsekuensi bubarnya

TGTPK pada tahun 2001. Alasan yang dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung,

ketua majelis hakim dalam perkara uji materi tersebut adalah, ada materi yang diatur

dalam PP itu yang seharusnya diatur dalam UU. Sehingga, materi PP itu dianggap

melampaui kewenangan, karena mengatur materi muatan UU.

Pengalaman TGTPK itu memberi pelajaran bahwa, melawan pelaku korupsi

memang tidak pernah mudah. Bukan hanya ancaman fisik yang dihadapi, tetapi juga

serangan hukum melalui permohonan uji materi atas norma hukum antikorupsi.

Maka, setiap norma hukum materiil dan dasar hukum pembentukan lembaga

antikorupsi memang sebaiknya dirumuskan dengan sangat baik, karena pasti akan ada

upaya untuk membatalkannya melalui forum uji materi sebagaimana juga belasan kali

telah dihadapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

10
Yang pasti, setelah TGTPK bubar, Indonesia berhasil melahirkan KPK dengan

dasar UU, yang tentu lebih kuat dibandingkan PP yang mendasari TGTPK. Namun,

sejarah kembali membuktikan bahwa KPK pun menghadapi berbagai serangan, selain

belasan kali uji konstitusionalitas atas UU KPK, juga berbagai upaya lain— termasuk

melemahkan KPK melalui revisi UU KPK.

Sesungguhnya wacana revisi UU KPK telah dibahas sejak tahun 2010 namun

saat itu masih kekuasaan pemerintah dipegang oleh Susilo Bambang Yudhoyono

Penggagasnya adalah Komisi III DPR-RI yang dipimpin politikus Partai Demokrat

Benny K. Harman Pada pertengahan Desember 2010 DPR bersama pemerintah

menetapkan revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) 2011 sebagai usul inisiatif DPR Setahun berselang usulan revisi ini

kembali masuk prioritas Prolegnas 2012 Saat itu penolakan terhadap wacana revisi

undang-undang KPK begitu kencang Argumennya dapat dirangkum dalam satu poin:

revisi undang-undang KPK berpeluang melemahkan kinerja KPK di tengah desakan

penolakan dari masyarakat Ketua DPR Marzuki Alie setuju untuk menghentikan

pembahasan revisi undang-undang KPK.

Namun setelah empat tahun tenggelam wacana tentang revisi undang-undang

KPK kembali muncul di era pemerintahan Jokowi tepatnya pada 2015 Seluruh fraksi

di DPR tak ada yang menolak usulan tersebut dan lagi-lagi tekanan dari aktivis

masyarakat sipil maupun internal KPK yang kencang membuat pemerintah dan DPR

menunda pembahasan revisi sebelum akhirnya ditetapkan pada 2019.

11
Adapun pasal-pasal yang berubah menurut artikel yang penulis himpun dari

tirto.id yang berjudul Isi Perubahan Pasal-Pasal Revisi UU KPK yang Akan

Disahkan DPR (diakses tanggal 7 Oktober 2019) antara lain:

1. Bagian pertimbangan UU 30/2002


Sebelum revisi:
2. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi; Setelah revisi:
2. b. bahwa kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing dapat berdaya guna dan
berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan
asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. Pasal 1 Ayat (3)
Sebelum revisi:
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan mana pun. Setelah revisi: Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan mana pun. Artinya KPK menjadi bagian lembaga
eksekutif kekuasaan.
3. Pasal 1 Ayat (5)
Setelah revisi: Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil
negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai aparatur sipil negara. Artinya, berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No.
5/2014 tentang ASN yang mengatur bahwa ASN terdiri atas pegawai negeri
sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Batas
usia PNS adalah 35 tahun, sedangkan di atas usia tersebut diangkat menjadi
P3K. Artinya, sebagian besar pegawai KPK yang berstatus pegawai tetap akan
menjadi P3K, termasuk para penyidik independen, seperti Novel Baswedan.
4. Pasal 10
Sebelum revisi:
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi
Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut
umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Setelah revisi pasal 10 A (1)
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan
dan/atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

12
dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Agung
Republik Indonesia. (2) ayat (f) Keadaan lain yang menurut pertimbangan
Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit
dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan
5. Pasal 12 A
Setelah revisi: Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 Huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi
melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pasal 12 Sebelum revisi: Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Huruf c,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan penyadapan dan
merekam pembicaraan;
Setelah revisi: Pasal 12B (1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 Ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan
Pengawas. (2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi. (3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis
terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) paling lama 1 x 24
(satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan. (4)
Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin
tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis
diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Pasal 12C (1) Penyelidik dan penyidik melaporkan penyadapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) yang sedang berlangsung kepada pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala. (2) Penyadapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus
dipertanggungjawabkan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
penyadapan selesai dilaksanakan. Pasal 12D (1) Hasil Penyadapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) bersifat rahasia dan hanya
untuk kepentingan peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Pasal 19
Sebelum revisi: (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk
perwakilan di daerah provinsi. Dalam draf revisi UU 30/2002 Ayat (2)
tersebut dihapus VI. Pasal 24 Sebelum direvisi: (1) Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1)
Huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat
sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Setelah direvisi: (2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan
anggota korps Profesi Pegawai ASN Republik Indonesia sesuai dengan

13
ketentuan peraturan perundang-undangan. penyempurnaan penyebutan (3)
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan VI. Pasal 29
Sebelum direvisi: Pimpinan KPK (f) berumur sekurang-kurangnya 40 (empat
puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada
pemilihan; Setelah direvisi: f. Berumur paling rendah 50 (lima puluh) tahun
dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada pemilihan;
7. Pasal 37
Sebelum direvisi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku
juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Setelah direvisi: BAB V Dewan Pengawas pasal 37A—37 H Pasal 37A (1)
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Ayat (1) Huruf a. (2) Dewan Pengawas sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) merupakan lembaga nonstruktural yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. (3) Anggota Dewan
Pengawas berjumlah 5 (lima) orang. (4) Anggota Dewan Pengawas
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) memegang jabatan selama 4 (empat)
tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu)
kali masa jabatan. Pasal 37B (1) Dewan Pengawas bertugas: a. mengawasi
pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b.
memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan,
dan/atau penyitaan; c. menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan
pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; d. menyelenggarakan sidang untuk
memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai
Komisi Pemberantasan Korupsi; e. melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan
pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun; dan f. menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat
mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai
Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-
Undang ini. (2) Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara
berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (3) Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 37D Syarat-syarat menjadi
anggota Dewan Pengawas g. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima)
tahun; h. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu); i. diutamakan
berpengalaman sebagai penegak hukum paling singkat 15 (lima belas) tahun;
Pasal 37E (1) Ketua dan Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37A dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Dalam mengangkat ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Presiden Republik Indonesia membentuk panitia

14
seleksi. (3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
unsur Pemerintah Pusat dan unsur masyarakat. Aturan-aturan selanjutnya
seperti juga memilih komisioner KPK Pasal 37F (1) Ketua dan anggota
Dewan Pengawas berhenti atau diberhentikan Namun Presiden Jokowi
sebelumnya mengatakan Dewan Pengawas itu nantinya dipilih oleh Presiden.
Di internal KPK perlu ada Dewan Pengawas tapi anggota Dewan Pengawas
ini diambil dari tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat antikorupsi bukan
politisi, bukan birokrat atau aparat penegak hukum aktif, sehingga isi pasal ini
pun masih menjadi perdebatan.
8. Pasal 40
sebelum revisi: Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara tindak pidana korupsi. Setelah revisi: (1) Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap
perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak
selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (2) Penghentian
penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung
sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik. (4)
Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila
ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan
dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan Namun, Presiden juga
mengatakan butir ini masih diperdebatkan karena Presiden menginginkan agar
penghentian kasus yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun.
9. Pasal 43
Sebelum revisi: (1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Setelah revisi (1) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung
Republik Indonesia, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi
Pemberantasan Korupsi.
10. Pasal 45
Sebelum revisi: 1. Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Setelah revisi: (1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung
Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang, dan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
XI. Aturan peralihan status penyelidik atau penyidik KPK Pasal 69B (1) Pada

15
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai Pegawai Aparatur Sipil
Negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang
ini berlaku dapat diangkat sebagai Pegawai ASN sepanjang memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengangkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi penyelidik atau penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi yang telah mengikuti dan lulus Pendidikan di bidang
penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Sejalan dengan hal ini, menurut KPK yang diwakili oleh juru bicara KPK

Febridiansyah yang dilansir dari kanal berita kompas online yang berjudul Ini 26

Poin dari UU KPK Hasil Revisi yang Berisiko Melemahkan KPK

(diakses pada tanggal 8 Oktober 2019) mengatakan bahwa ada 26 poin yang

berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi, febri memandang bahwa

26 poin ini sangat berisiko atau bahkan riskan bisa melumpuhkan KPK. 26 poin

tersebut antara lain :

1. Pelemahan Independensi KPK, KPK diletakkan sebagai lembaga negara di


rumpun eksekutif; Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK,
namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan
kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important. Pegawai KPK
merupakan ASN, sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan,
pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.
2. Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi
dihapus;
3. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi
Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana
hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15
tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.

16
4. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu:
memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan dan
penyitaan.
5. Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih
Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak berlaku untuk
Dewan Pengawas, sehingga:
a. Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga
jabatan profesi lainnya;
b. Dewan Pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang
ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK
c. Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi
dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK
6. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum
yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
7. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko
pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan
8. Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat
karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun);
a. Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50
tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal
29 huruf e);
b. Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak
relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat
diangkat.
c. Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden.
 Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru
dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU Perubahan Kedua UU
KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun.

17
 Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan
kebijakan yang diambil tidak sah.
9. Pemangkasan kewenangan Penyelidikan, Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan
pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko untuk kejahatan
korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar
negeri saat Penyelidikan berjalan;
10. Pemangkasan kewenangan Penyadapan, Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di
tahap Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Jika UU ini
diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu:
a. Dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas
b. Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan
c. Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang Penindakan
d. Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan
e. Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas
f. Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu
Terdapat resiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu
pengajuan Penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan
kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
11. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan
dan aturan lain yang ada di UU KPK;
12. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh
melakukan OTT seperti saat ini lagi, yaitu: Pasal 6 huruf a yang menyebutkan,
KPK bertugas melakukan: “Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi
tindak pidana korupsi”. Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah
politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang,
maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut agar
tidak menerima suap.
13. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan
yang tidak jelas di UU KPK:

18
 Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara,
namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan
juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut;
 Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau
menyimpan hasil penyadapan tersebut; Ancaman pidana diatur namun tidak jelas
rumusan pasal pidananya.
14. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan
Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus;
Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi
dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.
Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik
PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
15. Berkurangnya kewenangan Penuntutan. Pada Pasal 12 (2) tidak disebut
kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”,
padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa.
Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan
hanya untuk melaksanakan tugas Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan
perlakuan tertentu terhadap Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di
Penuntutan;
16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait
tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan
tugasnya karena status ASN;
18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri
Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun
bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap
kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara
korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit

19
menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas,
korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan
kerugian keuangan negara yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum
lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3,
padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan
tindak pidana umum.
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan
secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang
selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara,
seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu. Pasal 46 UU KPK yang
baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal
korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan
kewenangan yang luar biasa;
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan
sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK
dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal
II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
22. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah
Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU
ini diundangkan;
23. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11)
Sesuai dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini
adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak
hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan
wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan
perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang
tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang meresahkan
masyarakat.

20
24. KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara, KPK tidak lagi memiliki harapan
untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang
tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap
kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri.
25. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan, Keluhan selama ini tidak adanya
sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN
tetap tidak diatur; Kendala Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK
tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini. Seharusnya ada
kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat Kerja
Pencegahan KPK;
Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur
kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang
melakukan pelayanan publik tidak ada lagi. Padahal korupsi yang terjadi di
instansi yang melakukan pelayanan publik akan disarakan langsung oleh
masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan.
Dari penjabaran di atas pemnulis berpendapat bahwa revisi terhadap UU KPK

dapat melemahkan KPK lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu

dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Seperti di

antaranya keberadaan Dewan Pengawas KPK, dilucutinya sejumlah kewenangam

KPK terkait penyidikan dan penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dapat

merumitkan proses penindakan.

21
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dijabarkan pada penulisan karya ilmiah ini, dapat

disimpulkan bahwa revisi terhadap UU KPK yang telah disahkan oleh DPR dengan

persetujuan Presiden merupakan Upaya Pelemahan terhadap KPK, hal ini ditandai

dengan adanya beberapa pasal yang kemudian justru melemahkan KPK sebagai

lembaga independen, mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan dalam kewenangan

dan fungsinya sebagai lembaga pemberantas korupsi di Indonesia.

B. Saran

Adapun penulis menyarankan agar kiranya Presiden lewat Hak Konstitusinalnya

dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai solusi

atas telah ditetapkannya UU KPK hasil revisi yang mengandung unsur upaya

pelemahan terhadap KPK.

22

Anda mungkin juga menyukai