Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

PEMBERANTASA KORUPSI DALAM WEWENANG PENEGAK HUKUM

DOSEN PENGAMPUH : KAMARUDIN S.Pd, M.Pd

Kelompok 4

Hidayat-A42120053 Anggun patricia-A42121008


Afdal ndo-A42120108 Agusto reimon taona-A4212119
Roland prasetya hanavi-A42120113 Niluh zipora tandea-A42121003
Jemi wesli-A42120123 Aldi afiari-A42121043
Ali mujadid-A42120188 Avrianto A.ABDULATIF-A42121178
Mohammd sadiq-A42120078 Moh. Taufik hiayah-A42121038
Luhur istigfar-A42120013
Mohamad Ramadan-A42120058

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN


DAN REKREASI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang permainan
sepak bola ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.saya sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang
sejarah senam di dunia dan di indonesia.saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.Oleh sebab itu,saya berharap
adanya kritik,saran dan proposal demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.Semoga
karya sederhana ini dapat dijangkau oleh siapapun yang berhasil.Sekiranya makalah yang telah
disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun bagi orang bamyak.Sebelumnya saya mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

ii
DAFTAR ISI
Judul……………………………………………………………..……………...i
Kata pengantar………………………………………………………...……………….ii
Daftar isi………………………………………………………………..……………....iii
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………….………………..1
A. Latar belakang…………………………………………………………………….2
B. Rumusan masalah…………………………………………………………………3
BAB 2 PEMBAHASAN………………………………………………………………..4
1. Peran penegak hukum dalam pemberantasan korupsi…………………………4
A. Penegak hukum……………………………………………………………….5
B. Kepolisian……………………………………………….……………………..6
C. Kebijaksanaan……………………………………………….………………..7
D. Hakim………………………………………………………….………………8
E. Advokat…………………………………………………..…………………..10
F. Koordinasi antar aparat penegak hukum…………...……………………..12
BAB 3 PENUTUP…………………………………………...………………….13
A. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….13

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berawal dari kondisi yang seperti itu sehingga dibentuklah institusi kusus yang
diberikan tugas dan wewenang secara kusus untuk mengatasi persoalan korupsi. Komisi
tersebut yaitu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, atau yang lebing sering disebut
dengan KPK. KPK dibentuk dengan tujuan kusus untuk memberantas korupsi dan menjadi
suatu harapan baru untuk memberantas korupsi agar dapat memberikan hasil secara efektif
dan optimal. Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuk atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang Undang Nomor 30 Tahun
2002Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kiranya bukan suatu hal yang
berlebihan jika masyarakat menaruh harapan yang besar terhadap KPK untuk memberantas
korupsi, ini dikarenakan kewenangan yang dimiliki KPK sngat luar biasa dalam
menjalankan tugas memberantas korupsi. Kewenangan tersebut mulai dari proses
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Tidak hanya kewenangan itu saja, KPK juga
mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, pencekalan keluar negari,
pemblokiran rekening, bahkan KPK juga diberikan hak istimewa yang disebut dengan hak
supervisi.
Pemberantasan korupsi akan lebih berhasil bila dalam penanganannya menggunakan
cara yang luar biasa mengingat korupsi sebagai salah satu tindak pidana kusus juga sebagai
salah satu bentuk kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi melalui cara yang luar biasa
tersebut adalah dengan melalui hubungan koordinasi yang terjalin diantara institusi
kejaksaan dan KPK yang dibungkus dalam satu ikatan partner. Koordinasi tersebut sangat
penting mengingat tindak pidana korupsi dalam penangannya memiliki kesulitan dan
kerumitan yang lebih bila dibandingkan dengan tindak pidana umum lainnya. Koordinasi
diantara Kejaksaan dan KPK wajib dilakukan karena selain keduanya memiliki kesamaan
kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi, juga dikarenakan adanya
kewenangan kusus yang dimiliki oleh KPK yaitu hak supervisi yang tidak dimiliki oleh
intitusi lainnya termasuk Kejaksaan.
Selain karena adanya kesamaan kewenangan tersebut pentingnya koordinasi juga
dimaksudkan agar pada pelaksanaan tugas dan wewenangnya dalam penangan tindak
pidana korupsi tidak terjadi tumpang tindih kewenangan atau over lapping. Adapun
kesamaan wewenang tersebut adalah dalam bidang penyidikan dan penuntutan yang
masing-masing kewenangan tersebut dimiliki oleh Kejaksaan dan KPK.
Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan disebutkan dalam Undang-
Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan pasal
30 UU Kejaksaan, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan kejaksaan tersebut salah satunya
terhadap tindak pidana korupsi1. Sedangkan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan
penuntutan telah dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1 dan Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa
1

1
penuntut Umum adalah kejaksaan yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang
kejaksaan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33, kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainya. Dari pasal-pasal tersebut dapat dilihat
bagaimana peran penting dari kejaksaan dan pentingnya menjalin hubungan kejasama
dengan KPK dalam pemberantasan korupsi.
Sedangkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi, kewenangannnya diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK bertugas untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan kesamaan kewenangan
penyidikan antara Kejaksaan dengan KPK tersebut maka diperlukan adanya pembatasan
kewenangan secara jelas agar dalam pelaksanaanya tidak terjadi tumpang tindih atau
benturan kewenangan. Dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK selanjutnya membatasi
bahwa kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dibatasi
pada tindak pidana korupsi yang:
1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada

kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau

penyelenggara negara;

2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;

3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Walaupun KPK sebagai komisi kusus dalam pemberantasan korupsi, tidak semua perkara

korupsi menjadi kewenangan KPK, tapi terbatas pada perkara-perkara korupsi yang

memenuhi syarat-syarat di atas.

Dalam proses penuntutan oleh KPK, diatur secara tegas dalam Pasal 51 UndangUndang KPK
yang menegaskan bahwa Penuntut umum pada KPK adalah penuntut umum yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara langsung. Penuntut umum tersebut
adalah jaksa yang telah ditunjuk sebagai anggota Komisi Pemberantasan Korupsi oleh KPK
sehingga jaksa tersebut diberhentikan sementara waktu dari tugasnya di kejaksaan.
Walaupun Kejaksaan dan KPK memiliki wewenang yang sama dalam proses penyidikan
ataupun penuntutan akan tetapai KPK memiliki hak kusus yang tidak dimiliki oleh Kejaksaan
yaitu adalah hak supervisi. Hak supervisi merupakan hak yang hanya dimiliki oleh KPK untuk
melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan dan mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan.
Hak supervisi tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 8 ayat 1 Undang Undang

2
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan adanya pengambil alihan kewenangan penyidikan dan penuntutan oleh KPK dari
institusi Kepolisian dan Kejaksaan, maka seluruh kewenangan yang dimiliki kepolisian dan
kejaksaan dalam hal penyidikan dan penuntutan sudah tidak berhak lagi dan beralih ke KPK 2.
Pengambial alihan wewenang tersebut didasarkan atas adanya aduan dari masyarakat tentang
perkara korupsi yang tidak ditindak lanjuti serta adanya penangan yang berlarut-larut dan
penundaan tanpa alasan yang jelas. Dari adanya laporan dari masyarakat dan adanya indikasi
penanganan yang berlarut-larut tersebut sehingga ada kewajiban oleh KPK untuk menyelesaikan
persoalan tersebut.
Adanya kewenangan kusus oleh KPK untuk mengambil alih proses penyidikan atau
penuntutan yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan tersebut, selain menunjukkan betapa
besarnya harapan pemerintah terhadap KPK, juga dapat dijadikan suatu indikasi faktor yang
membuat ketidak harmonisan diantara Kejaksaan dan KPK. Harmonisasi diantara KPK dan
kejaksaan dalam bentuk koordinasi tersebut memang tidak mudah dilakukan mengingat
banyaknya faktor yang mempengaruhi yaitu selain adanya hak supervisi yang dimiliki oleh KPK
juga terdapat faktor-faktor eksternal ataupun faktor internal dari masing-masing lembaga
tersebut. Walaupun proses koordinasi sangat sulit dilakukan, namun bila melihat tujuan dari
Kejaksaan dan KPK yang sama yaitu untuk melakukan pemberantasan korupsi secara optimal
maka hubungan koordinasi tersebut sangat mutlak untuk dilakukan jika tidak ingin mengalami
kegagalannya dalam penanganan korupsi.
Berdasarkan urain yang telah diuraikan oleh penulis diatas, maka penulis berencana
mengajukan usulan judul penelitian dan penulisan hukum
“HARMONISASI LEMBAGA KEJAKSAANDENGANKOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA
KORUPSI”.

B. RUMUSAN MASALAH

Apa wewenang penegak hukum dalam pemberantasan korupsi

3
BAB 2
PEMBAHASAN

1. PERAN PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Penegak Hukum
Dari latar belakang diatas dapat kita tarik berbagai prinsip untuk memberantas
korupsi, antara lain:
• Access to justice ( Akses kepada keadilan)
• Timeliness of justice delivery ( Standar waktu untuk mencapai keadilan)
• Quality of Justice delivery (Kualitas dari Keadilan baik itu penegak keadilan maupun
putusan hakim)
• Independence, impartiality and fairness of the judiciary (independensi, imparsialitas juga
keterbukaan dari kekuasaan peradilan)
• Public trust in the judiciary (Kepercayan Masyarakat pada kekuasaan kehakiman/peradilan)
• Corruption in the justice sector3 (Korupsi pada Sektor peradilan/aparat penegak hukum dan
kita kenal sebagai mafia peradilan)
Dalam dunia penegakan hukum kita mengenal adanya Sistem Peradilan yang terbagi
atas berbagai komponen penegak hukum. Sistem Peradilan kita memperkenalkan beberapa
komponen penting dalam proses penegakan hukum, seperti:
1. Polisi
2. Jaksa
3. Hakim
4. Pengacara
Komponen-komponen penegakan hukum ini seharusnya membangun sinergisitas
dalam menegakkan peraturan dan rasa keadilan masyarakat. Karena tuntutan masyarakat
yang semakin berlimpah mengenai perwujudan keadilan, persamaan yang sama didepan
hukum, Hak Azasi Manusia, dan juga akses yang terbuka untuk mencapai keadilan (acces

3
Presentation of Anti-Corruption Unit of United Nations Office on Drugs and Crime dengan judul Strengthening
Judicial Integrity And Capacity
4
to justice). Hal inilah yang memunculkan pembaharuan sistem hukum di Indonesia.

Pembaharuan hukum yang disertai dengan pembentukan sejumlah institusi baru


telah dilakukan oleh negara dan pemerintahan kita semenjak Reformasi bergulir. Hal
tersebut dapat kita lihat dengan berbagai adanya lembaga-lembaga baru yang didirikan
melalui Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan
Presiden. Pada awalnya ada beberapa lembaga yang dibentuk untuk mengatasi berbagai
permasalahan seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia yang diberikan kewenangan
untuk memberikan jalan penyelesaian bagi pelanggaran Hak Azasi Manusia. Komisi
Hukum Nasional yang memberikan masukan mengenai permasalahan hukum bagi
pemerintah. Ada pula Komisi Pemilihan Umum yang dibuat untuk menyelenggarakan
Pemilihan Umum. Komisi-komisi diatas merupakan wujud dari keinginan pemerintah juga
negara untuk menyelesaikan kasus-kasus dan permasalahan yang tidak terselesaikan pada
masa yang lalu dan akan yang akan datang.
Ada hal menarik yang ada pada saat ini yaitu dengan adanya keinginan pemerintah
untuk memerangi korupsi maka dibentuklah suatu badan yang bernama Komisi
Pemberantasan Korupsi yang bertugas untuk.
Peran lembaga-lembaga baru setelah reformasi bergulir mau tidak mau membuat
lembaga-lembaga yang ada harus berfikir dan menata ulang organisasinya kembali. Hal ini
membutuhkan kerjasama dan koordinasi lembaga yang lebih baik terutama dalam bidang
penegakan hukum tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Korupsi yang kita kenal sebagai
sebuah penyakit endemik diseluruh lapisan masyarakat seharusnya mendapatkan perhatian
dan kerjasama yang lebih dari penegak hukum, karena mau tidak mau korupsi merupakan
sebuah perbuatan yang terencana, sistematis dan dibalut dalam kekuasaan atau
kewenangan.

B. Kepolisian
Sejak diberlakukannya KUHAP sesungguhnya telah terjadi perubahan yang
fundamental dalam sistem peradilan pidana yang juga pasti akan mempengaruhi sistem
penyidikan, hal ini disebabkan karena jiwa dan materi KUHAP yang berbeda dengan HIR
(Herziene Inlands Reglement)
Perubahan dari HIR menuju KUHAP sesungguhnya merupakan perubahan yang
5
ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Perubahan ini akhirnya terwujud dalam
KUHAP yang disebut-sebut sebagai produk hukum terbaik pada zamannya. Perubahan ini
akhirnya dipertegas dengan Pedoman Pelaksanaan KUHAP/Kep Menkeh RI: Nomor:
M01.PW.07.03 tahun 1982 yang menyebutkan antara lain:
a. Pembidangan tugas, wewenang dan tanggung jawab para petugas penegak hukum sesuai
dengan wewenang dan tugas fungsi masing-masing pembidangan tersebut tidak berarti
mengkotak-kotakkan tugas, wewenang dan tanggung jawab, tapi mengandung koordinasi
dan sinkronisasi.
b. Kedudukan Polri sebagai penyidik mandiri tidak dapat terlepas dari fungsi penuntutan dan
Pengadilan, dimana terjalin adanya hubungan koordinasi fungsional dan instansional serta
adanya sinkronisasi pelaksanaan.

Menurut fungsinya kepolisian adalah salah unsur pemerintahan negara di bidang


pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat4. Dan secara garis besar tugas pokok dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Penegakan hukum di bidang korupsi selama ini yang dilakukan oleh kepolisian
nampaknya masih kurang sehingga akhirnya dibuat sebuah lembaga baru yang dikenal
sebagai KPK. Bahkan disinyalir polisi terlibat dengan korupsi itu sendiri, hal ini terlihat dari
kasus yang menimpa Bareskrim Mabes POLRI yang menyeret petinggi POLRI kedalam
penjara. Kerjasama antara kepolisian dan kejaksaan dalam hal penyidikan perkara korupsi
yang selama ini terjalin belum memperlihatkan hasil yang serius. Bahkan didapat ada kasus
yang terjadi bolak balik berkas perkara antara kepolisian dan kejaksaan

C. Kejaksaan
Visi Kejaksaan : ”Mewujudkan Kejaksaan sebagai penegak hukum yang
melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam negara

4
Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
6
hukum berdasarkan Pancasila”5
Dan kejaksaan mempunyai misi yaitu:
1. Menyatukan tata pikir,tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum.
2. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM
3. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat
norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan ras keadilan dan nilai-
nilai kemanusiaan dalam masyarakat.
Dalam perannya sebagai penegak hukum, jaksa merupakan salah satu unsur penting dari
komponen untuk mewujudkan keadilan. Jaksa sebagai unsur pemerintah dalam
menegakkan peraturan seharusnya menjadi pionir dalam penegakan hukum. Dalam
penjelasan umum UU No.16 tahun 2004 juga disebutkan Kejaksaan sebagai salah satu
lembaga penegak hukum untuk lebih berperan dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), tapi amat disayangkan meskipun visi dan misi kejaksaan sudah
mendukung pemberantasan KKN belum ada realisasi program pemberantasan KKN di
lingkungan Kejaksaan sendiri.6
Sama seperti kepolisan peran Jaksa yang penting dalam membuktikan kasus korupsi
dipersidangan akhirnyapun terasuki oleh bibit-bibit korupsi, kita dapat melihat kisruhnya
kasus Jamsostek, yang melibatkan Jaksa Penuntut Umum pada kasus ini. Sehingga pola-
pola korupsi seperti dakwaan yang diperingan atau membuat kabur dakwaan yang semula
masih dikatakan hanya ”perasaan masyarakat” akhirnya terbongkar juga bahwa praktek ini
disinyalir menjalar diseluruh kejaksaan.

D. Hakim
Unsur yang paling menentukan apakah koordinasi dan kerjasama antara Kepolisian
dan Kejaksaan adalah Hakim. Hakimlah yang seharusnya mendapatkan pengetahuan dan
kebijaksanaan yang lebih diantara aparat penegak hukum yang lain, karena hakim secara
prinsip merupakan proses terakhir ataupun pintu terakhir yang menentukan apakah suatu
perbuatan termasuk dalam perbuatan korupsi atau tidak. UU no 4 tahun 2004 menyebutkan:
”Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa
kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,

5
Perencanaan Strategik Kejaksaan RI tahun 2005.
6
KHN, Kejaksaan Agung RI, Mappi FHUI, Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa, 2005, h. 66
7
kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”7.
Praktek yang ada bahwa Pengadilan kita sebagai pemegang kekuasaan yudisial
sangat tertutup dengan berdalih kekuasaan yudisial bebas dan independen. Banyak kasus
yang memperlihatkan ketertutupan amat potensial memicu beragam penyimpangan,
misalnya interaksi antara jaksa-pengacara-panitera-hakim dalam praktek suap dipengadilan.
Hal inilah yang memicu praktek mafia peradilan yang selama ini ada. Seharusnya ada
pertanggungjawaban publik yang jelas yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Adanya Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas dan menjalankan fungsinya kemudian
ditentang oleh para hakim agung karena berbagai hal. Hal inilah yang seharusnya membuat
Mahkamah Agung harus berbenah diri karena jika tidak maka benarlah pendapat bahwa
Pengadilan/kekusaan yudisial kita lebih tertutup daripada kekuasaan lainnya.

E. Advokat
Dengan adanya UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat, mau tidak mau advokat
dimasukkan secara resmi kedalam unsur penegak hukum. Sistem Hukum Indonesia dan
UUD 1945 menjamin adanya persamaan di depan hukum (equality before the law).
Sehingga hak untuk didampingi advokat bagi seluruh masyarakat dijamin dalam system
hukum Indonesia. Pendampingan oleh Advokat memiliki hubungan erat dengan prinsip-
prinsip hukum yaitu equality before the law dan acces to legal counsel yang menjamin
keadilan bagi semua orang (justice for all)8.
Bagi para advokat, hal pertama yang harus dipegang adalah kesadaran diri bahwa
profesi ini bersumber dari perasaan kemanusiaan yang mendambakan keadilan.
Dikarenakan oleh itu landasan kemanusiaan harus menjadi intisari atau acuan bagi seorang
advokat dalam menjalankan tugasnya. Dari sisi historis, konsep bantuan hukum lahir dari
panggilan hati nurani manusia sejak zaman Romawi kuno. Pada saat itu, para dermawan
terpanggil untuk membantu si miskin tidak berdaya. Diperjuangkannya nasib kaum buta
hukum tersebut sehingga mereka dapat menuntut haknya dalam peradilan. Sejak itu pula,
konsep bantuan hukum tersebut berkembang hingga saat ini.9
7
Penjelasan UU No.4 tahun 2004
8
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Azasi Manusia bukan Belas Kasihan, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta 2000, h. 89
9
Adnan Buyung Nasution, Jurnal Profesi dan Hukum Kontemporer LAWYER, No. 01 Vol.1/2006, IKADIN Jakarta
Pusat, h. 8
8
Peran Advokat memiliki arti penting dalam menjamin dan mempertahankan hak-hak
saksi, tersangka maupun terdakwa. Advokat memberikan sebuah jalan keluar bagi terdakwa
dalam menghadapi tekanan penegak hukum yang lain terhadap terdakwa. Posisi terdakwa
yang berhadapan langsung dengan unsur negara (dalam hal ini diwakili oleh polisi dan
kejaksaan) sangat rentan terhadap pemaksaan dan tekanan baik dalam pemeriksaan maupun
dalam persidangan. Posisi yang tidak seimbang antara terdakwa dan negara (dapat
diibaratkan seperti David dan Goliath) menyebabkan muncul pemikiran untuk memberikan
kepada terdakwa hak-hak antara lain: hak untuk tidak menjawab, hak untuk didampingi
advokat dll.
Dalam korupsi dimungkinkan sekali terjadi abuse of power yang dilakukan oleh
penegak hukum yang memegang kuasa jika abuse of power dibarengi dengan judicial
corruption maka dapat dibayangkan beratnya beban orang yang menjadi terdakwa ataupun
saksi di dalam kasus korupsi. Hal yang lebih berat adalah jika yang dituduh bersalah dalam
kasus korupsi adalah orang-orang yang tidak tahu menahu tentang kasus korupsi ataupun
bawahan dari rantai korupsi yang ada ataupun adapula kejadian orang yang melaporkan
kejahatan dituduh sebaliknya oleh orang yang dilaporkan. Oleh sebab itu adanya
pendampingan hukum yang dilakukan oleh advokat kepada para saksi, terdakwa atau
terpidana merupakan suatu hal yang mutlak dalam proses penegakan hukum. Walaupun
pemberantasan korupsi telah dilakukan secara luar biasa akan tetapi tidak boleh melanggar
prinsip-prinsip due process of law dan presumption of innocent. Namun pada saat ini,
sangat disayangkan terdapat beberapa kasus yang bermunculan adanya advokat yang turut
serta dalam perbuatan korupsi seharusnya PERADI sebagai organisasi yang menaungi para
advokat dapat membuat aturan yang jelas dan sanksi yang tegas terhadap para advokat yang
turut serta dalam perbuatan korupsi.

F. Koordinasi antara Aparat Penegak Hukum


Unsur yang penting dalam menyelesaikan kasus korupsi adalah koordinasi antar
aparat penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan pada
saat ini masih belum kerjasama yang baik dalam memberantas kasus korupsi bahkan
terkadang berebut peran dalam mengungkap kasus korupsi.
Peran Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum harus betul-betul
dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat membawa pada akhir perkara yaitu
9
dibuktikannya unsur-unsur pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Tentu saja
penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa sangat berkaitan erat dengan bahan-bahan yang
diajukan oleh Penyidik Polri sebagai ”bahan dasarnya” walaupun tidak sempurna akan
tetapi menunjang Jaksa untuk memformulasikan surat dakwaan yang baik. 10 Sehingga jika
proses penuntutan yang dilakukan oleh jaksa gagal maka kegagalan ini dapat ditelusuri dari
proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian memang tidak benar atau juga dari bahan
dasar yang diberikan penyidik tidak lengkap ataupun tidak mempunyai kekuatan hukum.
Seringkali terdengar oleh masyarakat mengenai bolak baliknya berkas perkara, dari
jaksa ke kepolisian, bahkan ada yang lebih dari 3 kali, perjalanan berkas pekara yang lama
ini terkadang dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh dengan
berbagai cara permohonan izin berobat keluar negeri dengan maksud melarikan diri,
melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mentransfer kekayaan yang didapat dari hasil
korupsi ataupun menyembunyikannya. Hal inilah yang seharusnya dipahami dan diperbaiki
oleh kejaksaan maupun kepolisian untuk mereformasi dirinya kembali dalam lingkup
koordinasi yang sehat. Karena jika koordinasi yang tidak baik seperti ini berlanjut terus
akan membuat kepercayaan publik semakin menurun, citra kepolisian dan kejaksaan
semakin turun, menguntungkan pelaku kejahatan dan merugikan masyarakat yang
menghendaki keadilan.
Meskipun sudah ada proses Pra Penuntutan dalam perkara pidana ataupun korupsi
yang diharapkan dapat menutup celah kelemahan dalam kekurangpaduan ini, pada
kenyataannya baik pihak kepolisian maupun kejaksaan masih saling menyalahkan jika
timbul persoalan. Pihak kepolisian akan dengan mudah menyatakan bahwa ia telah
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, namun berkasnya tetap dikembalikan oleh
kejaksaan. Sementara pihak kejaksaan juga mengeluhkan mengapa banyak berkas
pemeriksaan dari kepolisian yang dikembalikan jaksa (melalui proses pra-penuntutan) tidak
dikembalikan oleh polisi. Pihak polisi sering merasa bahwa petunjuk–petunjuk jaksa sulit
untuk dipenuhi terutama dalam melengkapi alat bukti. Sementara menurut kejaksaan
petunjuk yang diberikan oleh kejaksaan dalam proses pra penuntutan sudah sangat jelas dan
tidak memerlukan penafsiran-penafsiran yang tidak perlu.
Proses-proses antara kejaksaan dan kepolisian diatas maka akan diperparah pada

10
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan?, Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, Depok, 2000,
h.71
1
0
kondisi peradilan yang ada, terutama kaitannya dengan perkara korupsi. Perkara korupsi
yang diungkap dan diselesaikan oleh jaksa yang selama ini dilakukan pada Peradilan
Umum, banyak yang menemui jalan buntu, misalnya terdakwa dibebaskan oleh hakim
dengan berbagai pertimbangan hukum, ada dakwaan yang tidak terbukti, dan pada saat
memasuki persidangan terdakwa yang tidak ditahan melarikan diri.
Ketidaksamaan cara pandang dalam melihat kasus korupsi merupakan suatu hal yang terjadi
terus menerus dari aparat penegak hukum, terutama antara jaksa dan hakim. Ketidaksamaan
cara pandang ini akan mengakibatkan lepas atau bebasnya terdakwa dari kasus korupsi
yang dituduhkan kepadanya. Misalnya dalam akhir-akhir ini jaksa dan hakim sangat
berbeda dalam menangggapi masalah keuangan BUMN, apakah keuangan negara ataukah
keuangan privat sehingga tidak diperlukan pertanggungjawaban layakanya keuangan
negara. Seharusnya dikaji secara mendalam terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan
keuangan negara yang dipisahkan atapun keuangan BUMN oleh pihak kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif, sehingga dapat dicari jalan keluar yang dapat
dipertanggungjawabkan secara bersama. Akan tetapi Kemudian muncullah fatwa MK
mengenai masalah ini yang secara sadar berpihak kepada pendapat yang bertentangan
dengan Undang-undang Keuangan Negara. Hal inilah yang membuat jaksa dan polisi
kebingungan dalam memeriksa, menyidik dan menuntut kasus ini didepan pengadilan.
Banyak dakwaan yang dimentahkan oleh fatwa MA ini.
Hal ini jika dibandingkan dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tentu akan
sangat jauh berbeda, adanya kesamaan frame pemikiran mengenai apa itu korupsi,
keuangan negara dan abuse of power dari Pejabat negara atau PNS antara hakim dan KPK
membuat kasus-kasus yang ada dan dibawa dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
menjadi lebih jelas.
Koordinasi yang baik dan dilakukan antara penegak hukum dapat kita lihat dalam
TIMTASTIPIKOR yang dibentuk oleh Presiden untuk menangani kasus korupsi dibeberapa
departemen. Koordinasi yang dilakukan TIMTASTIPIKOR tersebut tidak memerlukan
waktu yang lama, proses yang panjang dan prestise antara institusi penegak hukum.
TIMTASTIPIKOR ini mampu memangkas perjalanan berkas perkara yang terkadang
bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan. Sangat mungkin untuk membentuk kelompok-
kelompok kecil dalam kejaksaaan dan kepolisian di daerah yang khusus menangani kasus
korupsi. Kelompok kecil ini, harus diisi oleh person yang memiliki kualifikasi keilmuan
1
1
yang cukup dalam menangani kasus korupsi juga mempunyai tingkat kejujuran dan
integritas yang tinggi.Peran advokat sebagai pendamping saksi maupun terdakwa dalam
kasus korupsi diharapkan tidak ikut membantu penyelesaian-penyelesaian yang bersifat
melawan hukum. Advokat harus mengetahui untuk menempatkan dirinya dalam kasus-
kasus korupsi.

1
2
BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN DAN SARAN


Terdapat 4 hal penting yang seharusnya diingat oleh Aparat Penegak Hukum dalam
melakukan strategi pemberantasan korupsi. Keempat strategi tersebut adalah :
1. Tindakan pencegahan
2. Penindakan,
3. Pengembalian asset hasil korupsi(asset recovery),
4. Kerjasama internasional
Keempat strategi tersebut harus dilakukan secara koordinatif antara aparat penegak hukum
dengan instansi pemerintah yang lain karena perbuatan korupsi pada saat ini telah berkembang
menjadi tindak pidana yang sistematis, terencana dan selalu menggunakan kekuasaan (abuse of
power). Jika aparat penegak hukum tidak menggunakan seluruh potensi dan data yang ada diseluruh
instansi pemerintah maka pemberantasan korupsi dilakukan cenderung parsial dan akhirnya
menemukan jalan buntu.
Tindakan Pencegahan Korupsi yang selama ini ada belum mampu untuk meredam laju
oknum-oknum koruptor. Seharusnya tindakan pencegahan harus menyeluruh terhadap
pemberantasan korupsi. Pendekatan-pendekatan melalui Good Governance Principle harus
dilakukan.
Tindakan penindakan dalam pemberantasan korupsi membutuhkan koordinasi yang
harmonis antara para aparat penegak hukum. Kepolisian dan kejaksaan harus dapat melakukan
koordinasi untuk membuktikan perbuatan korupsi yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Koordinasi yang selama ini dilakukan nampaknya masih menunjukkan kelemahan-kelemahan.
Kelemahan tersebut harus dihilangkan dengan koordinasi yang intens seperti yang terlihat dalam
TIMTASTIPIKOR. Pengetahuan polisi dan jaksa pun harus ditingkatkan mengenai karakteristik
perbuatan korupsi dan bahayanya, selain itu juga biaya penyidikan dan penuntutan harus
ditingkatkan. Terdapat satu hal yang penting juga untuk dilakukan oleh para penegak hukum yaitu
meningkatkan penggunaan teknologi informasi dan elektronik dalam pembuktian kasus korupsi
seperti teknik penyadapan.

1
3
DAFTAR PUSTAKA

Meliala, Adrianus, Mungkinkah Mewujudkan Polisi yang Bersih?, Jakarta, Partnership for Governance
Reform, 2005
Santoso, Topo, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan? , Jakarta, Pusat Studi Peradilan
Pidana Indonesia, 2000
Alatas, S.H, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1987 Meliala, Adrianus, Van Tujil,
Peter, Polri dan Pemilu 2004, Jakarta, Partnership for Governance Reform, Jakarta, 2003
Winarta, Frans Hendra, Bantuan Hukum: Suatu Hak Azasi Manusia bukan Belas Kasihan, Jakarta,
PT Elex Media Komputindo, 2000
Mc Walters, Ian, Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia, Surabaya, JPBooks, 2006
Santosa, Mas Ahmad, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan, Jakarta, Melibas, 2004
KHN, MaPPI FHUI, Kejaksaan Agung RI, The Asia Foundation, Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa,
Jakarta, KHN, 2005
Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001

1
4

Anda mungkin juga menyukai