Anda di halaman 1dari 10

Implikasi Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK

OLEH :

Anggun Agustina Pratiwi

2022/2023

Universitas Islam Indonesia


KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berlimpah
nikmat berupa kesehatan jasmani maupun rohani kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini sampai selesai. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW.

Saya menyadari tersusunnya makalah ini bukanlah semata-mata hasil jerih payah saya
sendiri, melainkan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, saya menghaturkan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini.

Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal dan menjadikan amal sholeh bagi
semua pihak yang telah turut berartisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga independen yang bertugas melawan
korupsi di Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 2003, KPK telah menjadi salah satu lembaga
yang dihormati dan diandalkan dalam upaya memberantas korupsi di negara ini. Namun,
pada tahun-tahun terakhir, perdebatan muncul mengenai perpanjangan jabatan anggota KPK
dan dampaknya terhadap kinerja lembaga ini. Dengan memperpanjang masa jabatan anggota
KPK, dapat tercipta kontinuitas dan stabilitas dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam
melawan korupsi, dibutuhkan waktu yang cukup untuk membangun strategi,
mengembangkan jaringan kerja, dan menyelidiki kasus yang kompleks. Makalah ini
bertujuan untuk menganalisis isu perpanjangan jabatan KPK dan implikasinya terhadap
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Sejarah dan peran KPK dalam memberantas korupsi


2. Dampak terhadap integritas anggota KPK
3. Alternatif meningkatkan kinerja anggota KPK

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah dan peran KPK


2. Untuk mengetahui dampak perpanjangan masa KPK terhadap integritas anggota KPK
3. Untuk mengetahui alternatif meningkatkan kinerja anggota KPK
BAB II

Pembahasan

2.1 Sejarah dan Peran KPK dalam Memberantas Korupsi

A.) Sejarah KPK

Dikutip dari situs resmi KPK, jika lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU)
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lewat
peraturan ini, KPK diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara
profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan mana
pun. KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan dari lembaga-lembaga
yang ada sebelumnya. Tapi sebagai pendorong atau stimulus agar upaya pemberantasan
korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada menjadi lebih efektif. Pada masa reformasi
tahun 1999, lahir UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN serta UU Nomor 31 Tahun 1999. Pada 2001, lahir UU Nomor 20 Tahun
2001 sebagai ganti dan pelengkap UU Nomor 31 Tahun 1999. Dengan UU Nomor 20 Tahun
2001, akhirnya terbentuk KPK. Sebagai tindak lanjut pada 27 Desember 2002 dikeluarkan
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan
lahirnya KPK ini, maka pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami babak baru. Pada
2019, dilakukan revisi UU pemberantasan korupsi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019
tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002.

B.) Peran KPK dalam Memberantas Korupsi

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa KPK memiliki tugas dan peran melakukan
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; supervise; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; melakukan tindakan
pencegahan; dan melakukan pemantauan (monitoring) penyelenggaraan pemerintahan
Negara. Sementara itu kewenangan yang dimiliki oleh KPK adalah mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; meletakkan sistem
pelaporan; meminta informasi kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
terkait; melaksanakan dengar pendapat dengan instansi yang berwenang; meminta laporan
instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.)

Ada beberapa tugas pokok KPK yang perlu diperhatikan, yakni:


1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang untuk melakukan tindak pidana korupsi
(TPK). Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantas TPK.
2. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK.
3. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK.
4. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam menjalankan tugas, KPK tidak hanya hanya sekedar bekerja. Tapi berpedoman kepada
lima asas, yaitu:

Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum ini mengutamakan landasan peraturan perundangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kewajiban penyelenggara negara. Asas ini juga disebut dengan asas
pacta sunt servanda yang merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.

Keterbukaan

Asas ini adalah yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi
yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara. Ini tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

Akuntabilitas

Ini adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Kepentingan umum Asas ini adalah mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
aspiratif, akomodatif, dan selektif.

Proporsionalitas

Asas ini mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Tanggung jawab KPK
kepada publik dan harus menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada
presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

2.2 Dampak perpanjangan masa KPK terhadap integritas anggota KPK

Pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari
pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open
legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan
menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan
melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan/atau bertentangan dengan UUD
1945. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah, sehingga pada perkara a quo terkait
dengan kebijakan hukum terbuka tidak dapat diserahkan penentuannya kepada pembentuk
undang-undang. Terlebih, dalam perkara a quo sangat tampak adanya perlakuan yang tidak
adil (injustice) yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice
principle).

Pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan
pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional
importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat
diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 280 ayat (1) UUD 1945. Oleh
karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan
dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun
komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 tahun sehingga
memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.

Mahkamah menegaskan bahwa KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dijamin
independensinya yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya. Oleh karena itu, sebagai upaya melindungi independensi KPK sebagai
lembaga yang berwenang memberantas tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime,
perlu adanya jaminan perlakuan yang adil terhadap lembaga KPK, salah satunya terkait
dengan masa jabatan pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 34 UU 30/2002.

Masa jabatan pimpinan KPK yang diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002 selama 4 tahun dan
dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan telah ternyata menyebabkan dalam satu
kali periode masa jabatan Presiden dan DPR yaitu selama 5 tahun in casu Periode 2019-2024,
dapat melakukan penilaian terhadap lembaga KPK sebanyak 2 kali yaitu dalam hal
melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Dalam hal ini, secara kelembagaan, KPK
diperlakukan berbeda dengan lembaga negara penunjang lainnya namun tergolong ke dalam
lembaga constitutional importance yang sama-sama bersifat independen dan dibentuk
berdasarkan undang-undang karena terhadap lembaga constitutional importance yang bersifat
independen tersebut, yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 tahun, dinilai
sebanyak satu kali selama 1 (satu) periode masa jabatan Presiden dan DPR.
Perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK terhadap integritas anggota KPK memiliki
dampak negative diantaranya :

 Potensi Penurunan Kepercayaan Publik: Perpanjangan masa jabatan yang tidak


diiringi dengan kinerja yang baik dan transparansi yang memadai dapat menurunkan
kepercayaan publik terhadap KPK. Jika anggota KPK terus menjabat dalam jangka
waktu yang lama tanpa adanya perbaikan atau kemajuan yang signifikan dalam
pemberantasan korupsi, publik dapat meragukan komitmen dan integritas lembaga
tersebut.
 Risiko Penyalahgunaan Kekuasaan: Perpanjangan masa jabatan yang terlalu lama
dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota KPK. Lama masa
jabatan yang berlebihan dapat memberikan kesempatan bagi anggota KPK untuk
terlibat dalam praktik korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan
pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini dapat merusak integritas individu dan lembaga
secara keseluruhan.
 Potensi Kolusi dan Konflik Kepentingan: Perpanjangan masa jabatan yang berulang
kali dapat meningkatkan risiko kolusi dan konflik kepentingan antara anggota KPK
dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan korupsi. Dalam jangka waktu yang
lama, anggota KPK mungkin dapat terjebak dalam jaringan atau ikatan yang dapat
mempengaruhi independensinya dan memengaruhi penanganan kasus korup.

2.3 Alternatif meningkatkan kinerja anggota KPK

Memberantas korupsi di Indonesia bukan pekerjaan mudah dan perlu kerja berkelanjutan
yang melibatkan semua pihak. Ada tiga strategi pemberantasan korupsi yang tengah
dijalankan di Indonesia, KPK menyebutnya: Trisula Pemberantasan Korupsi.Layaknya trisula
yang memiliki tiga ujung tajam, Trisula Pemberantasan Korupsi memiliki tiga strategi utama,
yaitu Penindakan, Pencegahan, dan Pendidikan.

Sula Penindakan menyasar peristiwa hukum yang secara aktual telah memenuhi unsur tindak
pidana korupsi sesuai undang-undang. Sula ini tidak hanya mengganjar hukuman penjara dan
denda bagi para pelaku korupsi, tapi juga memberikan efek jera bagi para korupsi dan
masyarakat. Sementara Sula Pencegahan adalah perbaikan sistem untuk menutup celah-celah
korupsi, dilengkapi oleh sosialisasi dan kampanye antikorupsi melalui Sula Pendidikan.
Trisula Pemberantasan Korupsi ini selalu digaungkan oleh para Pimpinan KPK dalam
berbagai kesempatan. Harapannya, Trisula akan membantu menyukseskan Visi Indonesia
2045 —yaitu negara dengan PDB terbesar ke-5 (PDB $ 7 triliun dan pendapatan per kapita $
23.199) dan mengurangi kemiskinan hingga mendekati nol.

1. Sula Penindakan
Sula Penindakan adalah strategi represif KPK dalam menyeret koruptor ke meja hijau,
membacakan tuntutan, serta menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan.
Strategi ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penanganan laporan aduan masyarakat,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi. Pengaduan masyarakat merupakan
sumber informasi yang sangat penting bagi upaya pemberantasan korupsi. Karena itulah,
KPK memperkuat whistleblowing system yang mendorong masyarakat mengadukan tindak
pidana korupsi. Pengaduan masyarakat atas dugaan tindak pidana korupsi bisa dilakukan di
situsKPK. KPK akan melakukan proses verifikasi dan penelaahan untuk memastikan apakah
sebuah aduan bisa ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan. Di tahap penyelidikan, KPK akan
mencari sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk melanjutkan kasus ke proses penyidikan.
Pada tahap ini, salah satunya ditandai dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka.
Selanjutnya adalah tahap penuntutan dan pelimpahan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh jaksa.

2. Sula Pencegahan

Harus diakui masih banyak sistem di Indonesia yang membuka peluang terjadinya korupsi.
Misalnya, rumitnya prosedur pelayanan publik atau berbelitnya proses perizinan sehingga
memicu terjadinya penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem dengan celah korupsi
juga kerap terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa yang sarat konflik
kepentingan. Sula Pencegahan mencakup perbaikan pada sistem sehingga meminimalisasi
terjadinya tindak pidana korupsi. Pada strategi ini, KPK akan melakukan berbagai kajian
untuk kemudian memberikan rekomendasi kepada kementerian atau lembaga terkait untuk
melakukan langkah perbaikan. Di antara perbaikan yang bisa dilakukan misalnya, pelayanan
publik yang dibuat transparan melalui sistem berbasis online atau sistem pengawasan
terintegrasi. KPK juga mendorong penataan layanan publik melalui koordinasi dan supervisi
pencegahan (korsupgah), serta transparansi penyelenggara negara (PN).
Untuk transparansi PN, KPK menerima laporan atas Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) dan gratifikasi. Penyerahan LHKPN wajib dilakukan semua penyelenggara
negara. Sedangkan untuk gratifikasi, penerima wajib melaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu 30 hari sejak menerimanya. Jika tidak melaporkannya, maka pegawai negeri tersebut
dianggap menerima suap.

3. Sula Pendidikan
Sula Pendidikan digalakkan dengan kampanye dan edukasi untuk menyamakan pemahaman
dan persepsi masyarakat tentang tindak pidana korupsi, bahwa korupsi berdampak buruk dan
harus diperangi bersama. Harus diakui, masyarakat tidak memiliki pemahaman yang sama
mengenai korupsi.

Semua Pihak Berperan

Tentunya Trisula Pemberantasan Korupsi tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh KPK.
Membutuhkan peran serta semua pihak untuk bisa mewujudkan negara yang bebas dari
korupsi, dari pemerintah hingga masyarakat. Butuh komitmen dan political will dari
pemerintah dan publik untuk menuntut standar etis dan norma yang lebih tinggi, bahwa
korupsi bukan hanya soal melawan hukum tapi juga merusak sendi-sendi kebangsaan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan terkait makalah implikasi perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dapat
mempengaruhi kredibilitas lembaga tersebut. Jika perpanjangan tersebut didasarkan pada
pertimbangan objektif, independen, dan transparan, hal ini dapat memperkuat kepercayaan
publik terhadap KPK sebagai lembaga yang efektif dalam memerangi korupsi. Disamping
daripada itu, perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK juga dapat memunculkan pertanyaan
tentang independensi lembaga tersebut. Jika perpanjangan masa jabatan terkait dengan
pengaruh politik yang kuat, hal ini dapat meragukan independensi KPK dan menimbulkan
keraguan mengenai kemampuannya untuk bertindak secara bebas dan objektif. Oleh karena
itu, perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, penting untuk memastikan adanya
mekanisme pengawasan yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Pengawasan yang ketat akan membantu memastikan bahwa keputusan perpanjangan masa
jabatan didasarkan pada pertimbangan yang obyektif dan kepentingan publik.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/05/080000269/kpk-sejarah-dan-tugas-
pokoknya?page=all
2. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/
3. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19196
4. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220511-trisula-strategi-
pemberantasan-korupsi-kpk-untuk-visi-indonesia-bebas-dari-korupsi

Anda mungkin juga menyukai