Anda di halaman 1dari 6

Kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

Dengan adanya perubahan fundamental mengenai sistem ketatanegaraan


indonesia dengan dibuktikan adanya 4 kali amandemen UUD 1945 adalah dengan
hadirnya lembaga penunjang negara atau yang disebut juga state auxiliary
bodies/agencies akibat adanya distribution of power, sesuai dengan namanya state
auxiliary bodies merupakan lembaga yang berdiri secara independen atau berada
diluar cabang dari trias politica yaitu eksekutif, legislatif, yudisil dengan memilki
fungsi campuran (mix function) yang berisi fungsi regulatif, administratif, dan
penghukuman.

Pada awalnya setelah adanya amandemen keempat UUD 1945, hanya terdapat
Komisi yudisial(pasal 24 B) akan tetapi dengan perkembangannya pada saat ini
kurang lebih sudah terdapat sekitar 88 State auxiliary bodies beserta dengan dasar
hukum pembententukan yang berbeda - beda baik dari UUD 1945, Undang - Undang
maupun Keputusan presiden salah satunya adalah KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang dibentuk dengan UU Nomor 30 tahun 2002 yang telah di ubah dengan
UU Nomor 19 tahun 2019. Dalam pasal 3 UU No. 30/2002 disebutkan bahwa
“ komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun “.
1
dengan berubahannya pada UU No. 19 tahun 2019 dalam pasal 3 disebutkan bahwa
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga eksekutif yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun “.

Anggapan klasik bahwa KPK merupakan salah satu lembaga negara bantu yang
dibentuk dengan Undang-Undang yang bersifat independen dan bebas dari kekuasaan
manapun, namun KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan
dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan
yudikatif dalam hal penyelidikan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi.
Bawasanya sesungguhnya KPK merupakan lembaga independen yang tidak bisa di

1Indonesia, Undang - Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002, LN Nomor -, TLN
No. 4250, ps. 3.
masukan ke dalam salah satu dari trias politika eksekutif, legislative maupun yudikatif.
Meninjau lahirnya KPK, karena penegak hukum dalam lembaga eksekutif dulu tidak
mampu berjalan.

Kedudukan Independen KPK dapat dibuktikan salah satunya dalam Putusan MK pada
19 Desember 2006 Pimpinan KPK menyebut putusan MK terbaru itu inkonsistensi,
karena pada putusan terdahulu MK menyatakan bahwa KPK sebagai lembaga
independen. Menurut Harjono, Hakim MK periode 2003-2008 dan 2009-2014
mengatakan keputusan MK yang memasukkan KPK dalam golongan eksekutif
terlalu dipaksakan sebab dilihat dari kewenangannya KPK itu independen. Rekrutmen
KPK berbeda dengan lembaga eksekutif, begitupun kewenangan yang dimiliki KPK,
hal ini menunjukkan bahwa KPK merupakan lembaga khusus yang berbeda dengan
lembaga yang lain dan tidak dapat digolongkan dalam salah satu dari tiga cabang
lembaga negara.

Jika kedudukan KPK saat ini kembali ditarik menjadi golongan lembaga
eksekutif, maka sifat KPK yang independen akan dipertanyakan. Hal ini kontradiksi
dengan keputusan yang lama, dimana keputusan yang lama menjelaskan bahwa KPK
independen. Dengan adanya keputusan peralihan ini dipertanyakan, apakah nantinya
akan membuat KPK tidak independen lagi. Sebab independensi dan bebasnya KPK
dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
justru menjadi penting agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK.
Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU KPK, pihak-pihak yang paling potensial
untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi
terutama adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis
relasi kekuasaan antar lembaga negara sebab semakin banyak munculnya
lembaga-lembaga baru yang bergerak diluar ketiga bidang yang ada yakni eksekutif,
legislatif, dan yudisial. Begitu halnya dengan KPK yang sebenarnya tidak termasuk
dalam lembaga eksekutif maupun yudisial karena ia adalah lembaga independen yang
menangani masalah korupsi yang menjadi polemik khusus di Indonesia. Sinergis
dalam menjalankan tugas dengan eksekutif maupun yudisial tidak lantas membuat
KPK menjadi bagian dari lembaga tersebut, hal ini dilakukan dalam rangka checks
and balances.
Tiga prinsip yang dapat menggambarkan eksistensi KPK, yakni :

1. Dalil salus populi supreme lex, yang berarti keselamatan rakyat (bangsa dan
negara) adalah hukum yang tertinggi. Dalam hal ini, kehadiran KPK
dipandang sebagai keadaan darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah
luar biasa.
2. Asas lex specialis derogate legi generali, yang artinya undang-undang
istimewa/khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang
umum. Dalam konteks ini, KPK
merupakan hukum khusus yang kewenangannya diberikan oleh UU selain
kewenangan-kewenangan umum yang diberikan kepada Kejaksaan dan
Kepolisian.
3. Pembuat UU (badan legislatif) dapat mengatur lagi lanjutan sistem
ketatanegaraan yang tidak atau belum dimuat di dalam UUD sejauh tidak
melanggar asas-asas dan restriksi yang jelas-jelas dimuat di dalam UUD itu
sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan
perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataan
yang menuntut perlunya itu.

Seleksi Oleh DPR

pertanyaan terbesar dan menjadi perdebatan adalah menegani keterlibatan


DPR dalam hal pemilihan ketua KPK, lalu apa kerugian dan keuntungan dengan
adanya keterlibatan DPR ? berdasarkan UU KPK DPR tidak hanya memiliki fit
and proper test namun juga sampai pada pemilihan calon yang akan dijadikan
seagai ketua KPK nantinya. Padahal jika kita lihat lembaga lain memiliki hak
otonom untuk menetukan sendiri siapa yang akan menjadi ketua mereka nantinya.
Hal ini dapat kita lihat sebagai contohya adalah seleksi KY, setelah melalui
seleksi di DPR, para komisioner KY ini secara sendiri melakukan rapat
penentuan pemimpinya hingga wakilnya, hal serupa juga terjadi di pemilihan
KOMNAS HAM.

Di dalam UU KPK pasal 30 ayat 1 Undang - Undang No. 30 tahun 2002


dijelaskan mengenai mekanisme pemilihan dan penentuan calon yang akan
menjadi ketua KPK “ pemimpin ketua KPK sebagaiman dimaksud dalam pasal
21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon
anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia “. dimana dalam proses
pemilihan calon ketua KPK terlebih dahulu dibentuk dengan adanya panitia
seleksi. Dan berdasarkan pasal 30 tadi DPR wajib memilih dan menetapkan lima
calon dalam waktu paling lambat tiga bulan terhitung sejak diterimannya usulan
dari Presiden Republik Indonesia. Jika kita lihat di negara - negara lain
memiliki mekanisme yang berbeda dalam pemilihan Lembaga Pemberantas
korupsi antara lain :

1. Dipilih oleh presiden atau perdana menteri

2. Dipilih bersama - sama antara presiden atau perdana menteri bersama


parlemen.

3. Dipilih oleh Jaksa Agung

4. Dipilih oleh menteri

Menurut pendapat Nur Roshinin Ana, adanya pasal 30 ayat (1) dalam UU
KPK justru menimbulkan Ketidakpastian hukum terhadap calon ketua KPK
karena adanya campur tangan dari lembaga lain yaitu DPR karena proses
pemilihannya menggunakan Technical selection

Secara Konseptual, desain model pemilihan yang mana mekanisme berasal


dari usulan Presiden dan kemudian dipilih oleh DPR mengadopsi dari model
combined System

Secara normatif, dengan adanya perlibatan lembaga negara seperti DPR


dalam pemilihan calon ketua KPK adalah dengan untuk menghadirkan adanya
check and Balances diantara kekuasaan yang saat ini ada. Dengan adanya check
and Balances yang dihadirkan adalah supaya adanya pengawasaan dalam
pengisian jabatan pemimpin KPK. Akan tetapi pada kenyataan jika dilihat dalam
keterlibatan Presiden dan DPR tidak bekerja secara efektif karena adanya distorsi
antara lembaga yang terlibat.

Selama ini seleksi Pemimpin KPK termasuk juga pada lembaga - lembaga
negara lainnya, terdapat permasalahan yang sama dalam proses seleksi yang
dilakukan oleh DPR yaitu tidak standar baku atau tolak ukur penilaian terhadap
kandidat. Sebagai contohnya adalah pada tahun 2019 ini terpilihnya lima
pemimpin KPK salah satunya adalah Firli Bhuri dan Alexander Marwata yang
tidak jauh berbeda dengan pemilihan ketua sebelumnya yaitu dimana terdapat
penolakan oleh masyarakat. Padahal apabila dilihat mereka memiliki rekam jejak
negatif dalam hal pemberantasan korupsi, Firli merupakan jenderal polisi
berpangkat inspektur jenderal. Saat menjabat deputi penindakan KPK,5
dinyatakan melanggar etik. Sama halnya degan Alexander Marwata merupakan
pimpinan KPK aktif. Sebelum terpilih masuk komisi anti rasuah lima lima lalu,
mantan hakim itu disorot karena memberi pendapat berbeda dalam sidang kasus
korupsi yang menjerat eks Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.

Pada tahun sebelumnya pemilihan calon ketua oleh DPR juga mengalami hal
serupa yaitu terpilihnya Antasari Ashar yang terpilih menjadi ketua KPK jilid II
dan pimpinan KPK yang mana juga terdapat penolakan oleh masyarakat
mengenai kinerja dan intergeritasnya. Ini menandakan bahwa DPR dalam
melakukan seleksi pemimpin tidak memperhatikan pada keutamaan dalam hal
integeritas, kualitas dan kinerjanya, hanya menggunakan logikanya dan
berdasarkan kepentingannya saja, dalam hal pemilihan ini DPR juga tidak
memperhatikan pada penilaian Pansel sebagai pertimbangan dalam untuk
memperoleh hasil akhir.

Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa alur pemilihan pimpinan KPK
yang melibatkan DPR akan membentuk secara alamiah afiliasi politik. Hal serupa
disampaikan oleh mantan wakil ketua KPK Bambang Widjonjanto proses
rekruitmen Komisioner KPK yang dilakukan oleh DPR bersifat Technical
selection yang rentan berpotensi adanya politik kepentingan dan political
invantion yang penuh dengan pretensi.

Tahapan rekruitmen yang dilakukan oleh DPR dengan kewenangan yang


tidak berimbang. Tidak adannya perimbangan dalam hal peran antara Lembaga
eksekutif dan lembaga legislatif yang mana berbeda dengan kewenangan lembaga
eksekutif yang di dalam pasal 10 di jelaskan bahwa Presiden di haruskan untuk
membentuk suatu tim panitia seleksi dari unsur masyarakat umum dan pejabat
pemerintah. Dengan demikian dapat dipahami prinsip check and balances antara
lembaga eksekutif dan legislatif dapat di terapkan.
Proses rekruitmen Komisioner KPK tersebut di tahapan legislatif justru
melemahkan makna daulat rakyat pada satu sisi. Sedangkan dalam sisi lainnya
menegaskan pelemahan dalam daulat hukum. Karena dalam tinjauan demokrasi
konstitusional, daulat rakyat dan daulat hukum harus ditegakkan secara
bersamaan, dalam proses seleksi yang dilakukan oleh DPR ini memiliki nilai
minus.

Apabila dilihat dari pandangan mengenai teori konstitusional mdilihat


pemisaham kekuasaan antara eksekutif, legislative, dan yudisil dinilai tidak dapat
terpenuhinya unsur check and balances jika posisi KPK dengan mudah dapat
mengalami proses intervensi dalam hal politik dari sejak adanya proses
recruitmen maka indenpendensi tidak terlihat.

Anda mungkin juga menyukai