Anda di halaman 1dari 10

KEPUTUSAN PRESIDEN TERHADAP

PEMBERHENTIAN 57 PEGAWAI KPK

Disusun Oleh :

Sabrina Treeva Azizah

210910101116

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
TP. 2021/2022
LATAR BELAKANG
Politik telah banyak mempengaruhi kehidupan manusia. Manusia tidak bisa lepas dari
politik, baik itu dalam skala kecil seperti keluarga ataupun sekolah, hingga skala yang
bessar seperti negara, baik secara multinasional maupun dunia; semua membutuhkan
pemimipin, dan di setiap tempat pasti ada penguasanya. Ada yang berkuasa disana, yang
berarti ada pula kekuasaan yang diperebutkan. Dari sinilah awal mula terbentuknya ilmu
politik, yaitu ilmu yang mempelajari tentang negara, lembaga-lembaga negara, hubungan
antar negara; serta pemerintah dengan rakyat.

Politik dalam lembaga negara itu sendiri pastilah masih berkaitan erat dengan negara.
Dimanapun negaranya, atau bagaimanapun bentuk pemerintahannya, politik dalam suatu
lembaga negara akan tetap berkiblat pada keputusan yang ditetapkan oleh kepala
negaranya. Begitu pula di Indonesia, dimana segala perkara yang berkaitan dengan isu
politik suatu lembaga negara pastinya akan diserahkan pada presiden sebagai pengambil
keputusan tertinggi.

Dalam sebuah negara pun tidak mungkin bila sistem pemerintahannya dapat berdiri
sendiri tanpa lembaga-lembaga yang lain. Karena sistem pemerintahan Indonesia
menganut ‘Trias Politica’ dimana ada 3 lembaga utama yang memimpin dan memastikan
jalannya roda pemerintahan di Indonesia. Disamping ketiga lembaga itupun masih ada
lembaga-lembaga lain yang membantu menyokong pilar pemerintahan, misalnya KPK.

Sebagai lembaga negara, KPK bertugas mencegah dan memberantas korupsi secara optimal,
profesional, intensif, dan berkesinambungan. Menurut Undang-Undang No.19 Tahun 2019
tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beberapa tugas serta wewenang KPK yaitu :

 Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi.


 Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik.
 Monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
 Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
 Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi.
 Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sekalipun telah ada undang-undang yang mengatur berbagai macam aspek dari tugas hingga
kesejahteraan pegawai KPK itu sendiri, masih saja kerap kali terjadi penurunan kinerja atau yang
lebih sering disebut dengan ‘Pelemahan KPK’. Selain itu, UU juga masih belum tegas dalam
menjalankan peraturan perundang-undangannya, yang akhirnya berpuncak pada kejadian
pemecatan 57 dari 75 pegawai yang dianggap tidak lulus tes wawasan kebangsaan atau TWK.
PEMBAHASAN

Dari awal semenjak perubahan UU revisi KPK tahun 2019, KPK sudah banyak
mengalami pelemahan yang berasal dari banyak pihak. Dihitung dari tahun 2003,
setidaknya sudah ada 12 upaya pelemahan KPK yang dilakukan oleh para koruptor
maupun para pendukungnya. Sejumlah pelemahan terhadap KPK yang menonjol adalah
pengajuan permohonan uji materiil (judicial review) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi.
Sedikitnya 16 uji materi UU KPK yang berpotensi melemahkan dan memangkas
kewenangan KPK pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Untungnya semua upaya
pelemahan tersebut ditolak oleh Hakim Konstitusi.

Pelemahan terhadap KPK juga muncul melalui proses anggaran. Anggaran gedung baru
KPK pada tahun 2013 lalu pernah tertahan/ dibintangi sehingga tidak bisa dicairkan,
namun setelah mendapatkan dukungan publik (dikenal dengan gerakan Saweran untuk
gedung KPK), dana gedung baru disetujui. Usulan KPK mengajukan anggaran untuk
membuat penjara dan kantor perwakilan di daerah juga pernah ditolak DPR.

Untuk melemahkan atau menggagalkan upaya penyidikan KPK,marak pula permohonan


praperadilan. Melalui Putusan Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, KPK
setidaknya telah kehilangan 2 (dua) kasus korupsi yang ditanganinya yaitu yang
melibatkan petinggi Kepolisian dan mantan Kepala Perpajakan. Putusan Hakim Sarpin
yang dinilai kontroversial karena memperluas objek praperadilan kemudian menjadi
acuan bagi tersangka lain agar lepas dari jeratan hukum KPK.

Pelemahan KPK yang memiliki pengaruh terbesar adalah melalui mekanisme yang sah
yaitu proses legislasi dengan cara melakukan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 (Revisi UU KPK), dimana Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang No.19 Tahun 2019.
Dalam catatan ICW usaha sejumlah parpol di DPR mengusulkan dan membahas Revisi
UU KPK sudah dimulai sejak lima tahun lalu atau tepatnya tahun 2011.
Dampak dari revisi undang-undang tersebut semakin mempersempit wewenang KPK
serta kian memperlambat kinerja KPK untuk membongkar skandal korupsi besar, karena
UU revisi tersebut mengharuskan KPK untuk meminta izin Dewan Pengawas agar bisa
melakukan tindakan penggeledahan. Revisi UU tersebut juga mengharuskan apabila
dilakukan proses penyadapan maka hasil sadapan itu harus dimusnahkan seketika.
Padahal tidak menutup kemungkinan jika dikemudian hari ditemukan bukti baru kasus-
kasus tersebut dapat dibuka kembali. Dampak yang lain yaitu tingkat kepercayaan publik
terhadap KPK yang menurun. Namun dampak yang paling berpengaruh dari revisi UU
tersebut ialah perihal pemberhentian 57 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan
kebangsaan (TWK).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan 57 pegawai yang dinyatakan tak


lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status menjadi ASN
diberhentikan 30 September 2021 ini. Pemberhentian itu lebih cepat satu bulan
dibandingkan yang termuat dalam SK Nomor 652 Tahun 2021. Dalam SK tersebut
puluhan pegawai KPK akan diberhentikan pada 1 November 2021. Hal ini diputuskan
berdasarkan hasil tes wawasan negara (TWK) dimana sekitar 75 pegawai KPK dianggap
tidak memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan, dimana mayoritas dari jumlah ini
ialah penyidik dan penyelidik senior.

Adapun menurut hasil pemeriksaan OMBUDSMAN RI, terdapat malaadimistrasi dalam


proses TWK, dimana ada dugaan 11 pelanggaran HAM terkait TWK ini. Sedangkan
untuk keputusan akhir dari pemeriksaan dan penindaklanjutan atas kasus ini, pihak
YLBHI yang juga menangani permasalahan HAM memilih untuk menunggu presiden
untuk menjalankan kewenangannya sebagai kepala negara.

Namun, sang presiden hanya menanggapinya dengan pernyataan bahwa tidak seharusnya
semua permasalahan dalam negara diserahkan kepada presiden. Ia menjelaskan bahwa
yang berwenang menjawab persoalan itu adalah pejabat pembina, dalam hal ini misalnya
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).

Jika ditilik dari sistem pemerintahannya, maka Indonesia bisa dikatakan menganut dua
aliran politik, yaitu aliran sosialis, dimana Indonesia mengutamakan kepentingan
masyarakat daripada individu, yang secara tidak langsung menghendaki campur tangan
pemerintah secara luas; serta individualis, dimana negara memiliki kewajiban untuk
melindungi warga negaranya dalam mengejar kebahagiaan dan kesejahteraan setiap
individu.

Kedua hal ini secara jelas belum terlaksana dalam kasus diatas, dimana pihak YLBHI
serta Komnas HAM menunggu keputusan dari kepala pemerintah sekaligus presiden Joko
Widodo untuk menanggapi serta mengambil tindakan dan keputusan akhir atas hasil
pemeriksaan untuk kasus tersebut. Fakta bahwa pak presiden memilih untuk bungkam
hingga pada tanggal 29 September mengungkapkan bahwa "Jangan apa-apa ditarik ke
Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan.” Menujukkan bahwa secara tidak
langsung presiden menolak untuk bertanggung jawab atas kasus ini. Sekalipun ia
menyampaikan bahwa seharusnya tes wawasan kebangsaan (TWK) tersebut tidak
menjadi patokan perihal pemecatan pegawai, namun tidak ada tindakan tegas yang
diambil hingga detik ini.

Kenyataan ini membuktikan bahwa negara belum bisa melindungi rakyat dari segi HAM
dan keadilannya.
SOLUSI

Dalam menanggapi kasus ini seharusnya presiden memberikan tanggapan lebih serta
menindaklanjuti segala tuntutan yang disampaikan, baik yang berasal dari YLBHI
maupun Komnas HAM serta berbagai pihak dan lembaga lainnya, tidak hanya
menyerahkannya kepada pihak yang berwenang seperti Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Presiden Jokowi
mengungkapkan akan hal ini dalam sesi pertemuan dimana ia berkata bahwa "Jangan
apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati
proses hukum yang sedang berjalan.”

Presiden Jokowi sebenarnya memiliki kewenangan, selaku kepala negara juga kepala
pemerintahan, untuk memenuhi rekomendasi OMBUDSMAN RI serta Komnas HAM
untuk memulihkan status 57 pegawai yang tidak lolos TWK. Hal ini sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS.

Ditambah lagi dengan posisi undang-undang KPK yang direvisi tahun 2019 lalu, yaitu
Undang-undang 19 Tahun 2019, dimana waktu untuk peralihan pegawai KPK menjadi
ASN atau Aparatur Sipil negara adalah 2 tahun sejak tanggal 17 Oktober 2019, yang
berarti bahwa seharusnya waktu pemberhentian, yakni 30 September 2021, tidak sesuai
dengan undang-undang revisi yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut undang-undang,
pemberhentian KPK hanya bisa dilakukan terhadap pegawai yang telah melanggar kode
etik berat, melakukan tindak pidana, meninggal dunia, atau mengundurkan diri. Selain
itu, hasil pemeriksaan OMNIBUDSMAN RI serta Komnas HAM juga menunjukkan
adanya dugaan malaadiminstrasi serta 11 dugaan pelanggaran HAM terkait tes wawasan
negara (TWK) ini. Hal ini membuktikan bahwa kasus ini telah menyalahi aturan serta
secara tidak langsung menunjukkan ketidakpatuhan terhadap presiden dan undang-
undang yang telah disetujuinya.
Fakta-fakta ini seharusnya sudah lebih dari cukup memperkuat alasan presiden untuk
menindaklanjuti keputusan pimpinan KPK terkait pemecatan ini. Namun pada akhirnya
sikap presiden hanyalah menyampaikan bahwa tes wawasan negara (TWK) ini tidak
menjadi acuan dalam penonaktifan ke-57 pegawai tersebut, tanpa mengambil keputusan
lebih lanjut ataupun mengambil langkah tegas berkaitan dengan masalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
 Pemecatan Pegawai KPK dan Warisan Sejarah di Era Jokowi (cnnindonesia.com)
 Pemecatan Pegawai KPK dan Warisan Sejarah di Era Jokowi - Halaman 2
(cnnindonesia.com)
 Ombudsman Sebut Rekomendasi TWK KPK Sudah di Jokowi dan Puan
(cnnindonesia.com)
 ICW: Sejarah Catat Pemberantasan Korupsi Hancur di Era Jokowi
(cnnindonesia.com)
 Jokowi Dicap Lari dari Tanggung Jawab Nasib 57 Pegawai KPK
(cnnindonesia.com)
 Jokowi soal Nasib 57 Pegawai KPK: Jangan Apa-apa ke Presiden
(cnnindonesia.com)
 57 Pegawai KPK Surati Jokowi: Kenapa Bapak Belum Tergerak?
(cnnindonesia.com)
 Jokowi: TWK Tak Jadi Dasar Berhentikan 75 Pegawai KPK (cnnindonesia.com)
 Pegawai KPK yang tak lolos TWK: Diminta serahkan tugas ke atasan, 'Ini
digantung, dibunuh pelan-pelan' - BBC News Indonesia
 KPK - 'Persoalan 75 pegawai yang tak lolos TWK akan selesai jika presiden
punya niat baik' - BBC News Indonesia
 Presiden Jokowi didesak intervensi pemberhentian 56 pegawai KPK, pakar
hukum: 'Kesempatan beri contoh baik' - BBC News Indonesia
 Pegawai KPK ditawari masuk Polri jadi ASN setelah diberhentikan - 'Tidak ada
jaminan mereka independen di lembaga baru' - BBC News Indonesia
 Pemberhentian 56 Pegawai KPK, Presiden Mesti Bersikap - Komnas HAM
 Pukat UGM: Pemberhentian 51 Pegawai Tak Lulus TWK Pengaruhi Kinerja KPK
- kbr.id
 Pemberhentian Pegawai KPK Disebut karena Terbatasnya Waktu, Komisi III
DPR: Seharusnya Minta Solusi ke Presiden Halaman all - Kompas.com
 Johan Budi Harap Ada Solusi Tanpa Pemberhentian Pegawai KPK | Hukum
(gatra.com)
 Melawan Pelemahan KPK
 Lima Dampak Usai Diberlakukannya Undang-undang KPK Baru
(sindonews.com)

Anda mungkin juga menyukai