Anda di halaman 1dari 5

Nama: destina

Kelas: A3 semester 4

Npm: 41151010200137

Mata kuliah: HAN

Soal:

1. Kebijakan pejabat merupakan kewenangan yang diberikan Undang-Undang 30 tahun


2014 tentang Administrasi Pemerintahan, saat ini kebijakan pejabat masuk keranah hukum
pidana. Menurut saudara apakah setuju dengan kebijakan dapat dipidana? Bagaimana
upaya yang dapat dilakukan untuk mengawasi kebijakan tersebut. Jelaskan
2. Peralihan status pegawai KPK menjadi ASN menimbulkan polemik dikarenakan adanya
pegwai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan dan berdampak di non aktifkan dan
mungkin diberhentikan. Bagaimana pandangan saudara terkait hal tersebut, apakah
Presiden dapat mengambil alih penyelesaiannya. Jelaskan
3. Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja berpengaruh terhadap
kewenangan Pejabat Daerah. Bagaimana pandangan saudara terkait hal tersebut,
dikarenakan kewenangan berkaitan dengan tanggungjawab. Jelaskan
3. Penunjukan Penjabat Kepala Daerah oleh Mendagri dari unsur TNI dan Polri menuai pro
dan kontra, Bagaimana pandangan saudara terkait hal tersebut JELASKAN

Jawaban:

1. Seorang pengambil kebijakan sebagai produk administrasi negara tidak dapat dipidana
meskipun kebijakan tersebut salah karena seorang pengambil kebijakan dilengkapi dengan
wewenang astributif yaitu wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan pada seseorang
pengambil kebijakan untuk mengambil kebijakan.

Seorang pengambil kebijakan harus mempertimbangkan manfaat atau tidaknya kebijakan


tersebut demi kepentingan umum yang dilindunginya. Intinya kebijakan yang diambil adalah
pilihan terbaik pada situasi dan kondisi saat itu demi menjaga kepentingan umum dan kebaikan
bersama.

Landasan hukum yang memperkuat adalah yurisprudensi mahkamah agung republik Indonesia
tahun 1966. Yurisprudensi ini menghapus pidana yang muncul dari tindakan kebijakan asalkan
memenuhi tiga syarat, ya itu negara tidak dirugikan, seseorang atau badan hukum tidak
diuntungkan secara melawan hukum, dan untuk pelayanan publik atau melindungi kepentingan
umum.

Berdasarkan penelitian sebanyak 70% kasus hukum yang terjadi yang menyangkut tentang
kebijakan publik justru bersifat dwaling "salah kira". Hanya 30% saja yang murni mengandung
unsur pidana. Dwaling tersebut dapat berupa salah kiri atas maksud peraturan, salah kira atas
hak orang atau badan hukum lain, salah kira atas makna suatu ketentuan, dan salah kira atas
wewenang sendiri.

Terhadap persoalan dwaling ini, penyelesaiannya bukan melalui sanksi pidana. Akan tetapi,
harus melalui hukum administrasi. Mengingat prinsip hukum pidana, yaitu premium remedium.
Jika seorang yang mengambil kebijakan itu salah bisa diberikan peringatan hingga sampai
pemberhentian dengan tidak hormat bukan dipidana.

Akan tetapi tidak semua pengambil kebijakan tidak dapat dipidana atas kebijakan yang
diambilnya. Pengambil kebijakan tetap dapat dipidana apabila ketika mengambil kebijakan
mengandung unsur suap, ancaman, dan tipuan. Selama unsur tersebut dapat dibuktikan saat
proses pengambil keputusan, pengambil kebijakan dapat dipidana. Intinya tergantung motivasi
seseorang yang membuat kebijakan tersebut jika ada unsur suap dalam prosesnya itu yang bisa
dipidana.

Kebijakan yang dianggap salah tidak bisa langsung seenaknya diberikan sanksi pidana. Tidak
semua kesalahan langsung dipidana. Kesalahan di ranah hukum administrasi negara harus
dibedakan dengan hukum pidana. Kesalahan dalam mengambil kebijakan tidak bisa disamakan
serta merta dengan perbuatan jahat sebagaimana diatur dalam hukum pidana. Hukum
administrasi negara tidak mengenal sanksi pidana. Sanksi yang dikenal antara lain teguran lisan
dan tertulis, penurunan pangkat, demosi, hingga pemecatan dengan tidak hormat.

Meskipun hukum kebijakan yang salah tersebut dikelompokkan setidak-tidaknya ada tiga
macam, yaitu kebijakan serta keputusan dari pejabat yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
berat, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan perang agresi;
kesalahan dalam pengambil kebijakan yang jelas-jelas telah dilarang dan diatur sanksi
pidananya sebagaimana diatur dalam Pasal 165 UU Pertambangan Mineral dan Batubara, dan
kebijakan yang bersifat koruptif.

Terkait dengan kebijakan yang bersifat koruptif ini, yang perlu diperhatikan bukanlah
kebijakannya yang salah dan merugikan, tetapi niat jahat dari pengambil kebijakan ketika
membuat kebijakan. Contohnya kasus Bank Century. Untuk kasus Bank Century, seharusnya
para pengambil kebijakan tidak dapat dipidana selama unsur niat jahat dari pengambil
kejahatan tidak terbukti. Harus dibuktikan dulu mens rea-nya (niat jahat, red). Ada motif
memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak?".

Upaya yang bisa dilakukan untuk mengawasi kebijakan tersebut yaitu dengan cara
Mekanisme citizen lawsuit yang menjadi salah satu pilihan bagi warga negara untuk secara
aktif mengawasi setiap tindakan pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Namun,
mekanisme citizen lawsuit merupakan mekanisme yang digunakan dalam hukum perdata,
karena merupakan bentuk gugatan yang bersifat publik.

Dasar dari pengajuan citizen lawsuit adalah setiap warga negara memiliki hak yang sama di
hadapan hukum. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Kedaulatan ada ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, maka rakyat sebagai pemegang
kedaulatan seyogyanya memiliki ruang untuk menggugat pemerintah demi tercapainya
keadilan. Dalam hal kebijakan pemerintah yang merugikan atau diindikasikan merugikan
warga negaranya maka warga negara memiliki hak yang sama untuk melakukan gugatan
terhadap kebijakan tersebut. Gugatan warga negara tersebut dapat dilakukan seorang diri
ataupun secara perwakilan.
Gugatan warga negara secara berkelompok atau gugatan perwakilan ini merupakan
tindakan hukum dari warga negara yang efektif dan progresif untuk mengawasi setiap
kebijakan pemerintah dan tidak hanya mendasarkan kepada kepentingan seseorang namun
juga kepentingan masyarakat yang lebih besar jumlahnya. Gugatan perwakilan ini muncul
ketika kerugian masyarakat sebagai akibat berlakunya kebijakan pemerintah tersebut
terlalu besar sehingga tidak efisien ketika kelompok masyarakat tersebut mengajukan
gugatan secara individial ke pengadilan.

2. Pandangan saya pribadi tidak setuju dengan hal tersebut karena akan berpotensi
menghilangkan pegawai KPK yang profesional, telah teruji memiliki integritas, dan
pengabdian yang panjang dalam pemberantasan korupsi. Sehingga hal tersebut akan
merugikan Indonesia dan masyarakat.

Dan jika KPK diisi oleh orang-orang yang tetap memiliki profesional telah teruji memiliki
integritas dan pengabdian yang panjang dalam pemberantasan korupsi atau setidak-
tidaknya tidak cacat secara etis dan juga tidak dinyatakan bersalah melanggar kode etik
KPK. Maka cita-cita pembentukan organisasi para pegawai akan tercapai, sehingga apabila
terjadi pemecatan hanya berdasar tes wawasan kebangsaan maka jelas-jelas merupakan
kerugian bagi para pegawai.

Presiden dapat mengambil alih penyelesainnya dengan cara tidak menjadikan TWK sebagai
dasar pemberentian pegawai KPK sebab langkah-langkah pembinaan masih bisa ditempuh
agar mereka yang tidak memenuhi syarat bisa segera memperbaiki kekuranganya.

3. Menurut pandangan saya kewenangan tetap berada di pemda yang bersangkutan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi NSPK ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Dengan demikian, pekerjaan pemda lebih sederhana sepanjang pelaksanaannya
sesuai dengan NSPK. Namun demikian, apabila pemda tidak melaksanakan atau
melaksanakan tetapi tidak sesuai dengan NSPK, maka pemerintah pusat mengambil alih
perizinan tersebut dalam batas tertentu. Latar belakang ketentuan tersebut adalah proses
perizinan yang stagnan dan menuai banyak persoalan di daerah. Dengan demikian, UU
Ciptaker juga menegaskan peran dan fungsi pemda sebagai bagian dari sistem
pemerintahan, di mana kewenangan yang telah ada, tetap dilaksanakan oleh pemda,
sesuai dengan NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sehingga akan tercipta adanya
suatu standar pelayanan yang baik untuk seluruh daerah.Penataan ulang kewenangan
daerah ini sejalan dengan filosofi UU Ciptaker yakni untuk menarik investasi, memberikan
kemudahan perizinan dan berusaha, dan menciptakan lapangan kerja.

4. Saya pribadi tidak setuju jika penunjukan pejabat Kepala Daerah oleh Mendagri dari
unsur TNI dan Polri karena penunjukan perwira TNI dan Polri aktif sebagai penjabat kepala
daerah adalah preseden buruk karena mengembalikan Indonesia pada era dwi fungsi ABRI
di era Orde Baru dan memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah dan juga ditakutkan
adanya upaya untuk memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah yang ini
dimanfaatkan melalui mekanisme penunjukan penjabat itu.

Saya beranggapan bahwa TNI dan Polri itu untuk pertahanan dan keamanan bukan untuk
penyelenggara pemerintah daerah, jika TNI/Polri sebagai penjabat akan makin menjauhkan
profesionalisme TNI/Polri yang berfokus pada pertahanan dan keamanan. Adapun UU TNI
dan UU Kepolisian juga melarang anggota TNI dan kepolisian yang aktif untuk mengisi
jabatan-jabatan yang tidak ditentukan di dalam ketentuan undang-undang.

Anggota TNI dan kepolisian yang aktif bisa saja mengisi jabatan di Lembaga negara lain,
sepanjang disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan undang-undang itu, misalnya, tim
SAR dan BNN, Tetapi dalam ketentuan itu tidak sama sekali disebut soal eksekutif di
daerah. Artinya, anggota TNI dan kepolisian, selagi masih aktif tidak diperbolehkan untuk
mengisi jabatan atau penjabat kepala daerah.

Anda mungkin juga menyukai