Anda di halaman 1dari 5

STRATEGI MEWUJUDKAN CLEAN GOVERNMENT DAN UPAYA UNTUK

MENGATASI KORUPSI

Indonesia sudah menjalani kemerdekaannya lebih dari 70 tahun. Berbagai macam capaian di
dalam pembangunan negara tentu tidak dapat diabaikan. Namun demikian, berbagai macam
persoalan juga hingga kini ada yang belum terselesaikan. Salah satu persoalan tersebut terkait
dengan persoalan tata kelola pemerintahan, yaitu dalam bentuk kejahatan korupsi. Korupsi
adalah salah satu permasalahan di dalam bidang pemerintahan yang hingga kini belum
terselesaikan. Seiring dengan berjalannya waktu, praktik korupsi yang dijalankan olch para
pejabat pemerintah terungkap dan semakin menambah panjang daftar kejahatan korupsi di
negara ini. Untuk mengatasi haRini, pemerintah telah merumuskan berbagai macam regulasi
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, antara lain melalui Undang-Undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme serta Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Meskipun berbagai macam regulasi telah diberlakukan, praktik korupsi ini masih
senantiasa terjadi. Pada akhirnya dibentuklah lembaga bernama Korupsi Pemberantasan Korupsi
atau KPK yang disahkan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejak dibentuk oleh pemerintah, KPK telah berusaha
menyelesaikan berbagai macam kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Namun
hingga kini kejahatan yang satu ini masih saja menjadi salah satu kejahatan terbesar di negara
ini.

Kejahatan korupsi adalah salah satu musuh terbesar di dalam dunia pemerintahan di Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak saja temuan-temuan kejahatan ini yang
ditemukan oleh KPK. Berdasarkan data yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Pada tahun 2017 kasus korupsi yang ditangani oleh KPK ada sejumlah 576 kasus, dengan 1298
tersangka, Rp 6,5 triliun kerugian negara, dan Rp 211 miliar nilai suap. Data ini meningkat
dibandingkan data yang dirilis pada tahun 2016, yaitu 482 kasus korupsi, 1.101 tersangka, Rp1,
47 triliun nilai kerugian negara, dan Rp31 miliar nilai suap. Berdasarkan data tersebut, dapat
diketahui bahwa tingkat kejahatan korupsi di Indonesia sangat tinggi. Meskipun berbagai
peraturan hukum telah dibuat dan berbagai lembaga telah didirikan, niatan oknum-oknum di
pemerintahan untuk melakukan korupsi nyatanya masih tinggi.

Dalam perspektif good governance tentu saja kejahatan korupsi sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang berlaku di dalam good governance. Kejahatan korupsi bukan hanya
melanggar satu atau dua prinsip di dalam good governance, tetapi melanggar esensi dari good
governance itu sendiri. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik juga berpotensi untuk
menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terlebih lagi apabila penegakan
hukum yang terkait dengan kejahatan tersebut tidak dilakukan dengan baik. Bagi sebuah negara
yang ingin memberantas korupsi secara tuntas maka negara tersebut harus menunjukkan
keseriusannya di dalam penegakan hukum yang terkait dengan korupsi. Sekalipun kasus korupsi
yang ditangani masih sangat tinggi, namun dengan menunjukkan niat untuk memotong rantai
kejahatan tersebut melalui penegakan hukum, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara
harapannya masih ada.
Atas dasar penyebab suburnya korupsi setelah dilaksanakannya otonomi daerah maka dapat
diajukan beberapa rekomendasi kebijakan agar tingkat korupsi bisa diturunkan. Pertama, segera
merevisi UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, terutama tekait pembagian wewenang
pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126 yang memuat status kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar hukum tersebut memberi ketentuan bahwa sejauh belum
menjadi terdakwa dan tuntutannya kurang dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap
menempati jabatannya.

Status sebagai pejabat Negara juga kerap menyulitkan aparat penegak hukum ketika akan
menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala
daerah atas izin presiden. Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang panjang dan
rumit. Maka dengan melakukan revisi terhadap Undang-undang sebut diharapkan gubernur,
bupati/walikota yang tersangkut kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka.
Jabatan dan hak mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya dihentikan. Namun
sebaliknya, jika status tersangka ini meningkat jadi terdakwa, secara otomatis mereka tidak bisa
meneruskan jabatannya.

Kedua, pemerintah juga dapat mengefektifkan upaya dalam memerangi korupsi di daerah yang
semakin menggurita dengan memanfaatkan KPK secara maksimal. Argumentasi ini didasarkan
pada kapasitas legal yang dimiliki KPK untuk untuk masuk ke semua lembaga Negara dan
melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi. Sebelum itu di tempuh, tentu langkah yang harus
diambil adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di daerah
sebagaimana diamanatkan pasal 19 ayat 2 UU 30/2002.

Ketiga, penting untuk menerapakan asas pembuktian terbalik. Asas pembuktian terbalik
merupakan aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan yang
dimiliknya, sebelum menjabat dibandingkan setelah menjabat. Serta darimana sumber kekayaan
itu berasal. Jika kekayaan melonjak drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber lain yang
illegal, tentu merupakan tindak pidana korupsi. Itulah beberapa saran kepada pemerintah untuk
mengatasi permasalahan korupsi tersebut.

Referensi :

Lasiyo dkk, 2021, BMP “Pendidikan Kewarganegaraan” Edisi 3, Universitas Terbuka,


Tangerang Selatan.

Agus Sahbani (2018) 2018 „Darurat‟ Korupsi Kepala Daerah [Diakses 25 Maret 2019]

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c225b3630aa2/2018-darurat-korupsikepala-daerah

HR, Ridwan (2013) Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Manan, B. (2004) Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Azas Desentralisasi

Menurut UUD 1945. Bandung: Universitas Padjajaran.


https://www.antikorupsi.org/sites/default/ files/Laporan%20Akhir%20Tahun %20ICW%202016
pdf pada tanggal 21 November 2022

https://www.antikorupsi.org/sites/ default/files/annual_report_icw2017.pdf pada 21 november


2022
Lasiyo dkk, 2021, BMP “Pendidikan Kewarganegaraan” Edisi 3, Universitas Terbuka,
Tangerang Selatan.

Agus Sahbani (2018) 2018 „Darurat‟ Korupsi Kepala Daerah [Diakses 25 Maret 2019]
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c225b3630aa2/2018-darurat-korupsikepala-daerah
HR, Ridwan (2013) Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Manan, B. (2004) Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Azas Desentralisasi
Menurut UUD 1945. Bandung: Universitas Padjajaran.

https://www.antikorupsi.org/sites/default/ files/Laporan%20Akhir%20Tahun %20ICW%202016


pdf pada tanggal 21 November 2022

https://www.antikorupsi.org/sites/ default/files/annual_report_icw2017.pdf pada 21 november


2022

Anda mungkin juga menyukai