Anda di halaman 1dari 5

MAKIN MENINGKATNYA KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH PARA PEJABAT

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan tidak asing lagi
terdengar di telinga. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, mulai dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat sehingga masyarakat sudah tidak dapat mempercayai tokoh
publik akibat tidak terbukanya sistem pemerintahan yang dilakukan. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegar. Tindak pidana
korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa,
tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Pelaku tindak pidana korupsi bukan karena mereka
tidak mampu, tetapi karena mereka memiliki peluang besar untuk melakukan tindakan
tersebut, jadi sekarang yang harus kita hadapi adalah masalah besar. Harus ditindak secara
tegas dan terbuka terhadap publik dengan kebijakan kebijakan yang harus dijalankan dengan
baik
Beberapa kasus korupsi yang telah terungkap tidak membuat jera para pelaku korupsi
lainnya, dan semakin gencarnya pemerintah melakukan pemberantasan terhadap aksi korupsi
maka semakin cerdik pula tindakan para pelaku korupsi untuk mengelabui para aparat
pemerintahan khususnya. Kedudukan dan jabatan yang dipunyai menjadi senjata ampuh di
samping beberapa alasan untuk mengelabui para aparatur hukum Negara di bidang
pemberantasan korupsi. Dengan pembentukan lembaga Negara KPK, maka korupsi di
Indonesia di tangani tidak hanya kepolisian dan kejaksaaan saja, tetapi bisa juga di lakukan
oleh KPK, diharapkan korupsi hilang di bumi Indonesia. Walaupun masih banyak masyarakat
yang menganggap bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi tumpang tindih antara
kepolisian, kejaksaan dan KPK.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai macam hambatan. Untuk itu diperlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal,
intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi
hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha
memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
dalam pidato presiden kenegaraan dalam rangka
perayaan kemerdekaan Indonesia ke-76 di
gedung DPR dapat disimpulkan bahwa
Pertama, pemerintah minim dalam
menuntaskan tunggakan legislasi yang
mendukung penguatan pemberantasan korupsi.
Mulai dari Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang
Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga
Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terbengkalai begitu saja. Tidak hanya itu, Revisi Undang-Undang KPK yang
dianggap pemerintah akan memperkuat lembaga antirasuah juga terbukti semakin
mendegradasi performa KPK.

Kedua, pemerintah abai dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak
hukum. Penting untuk diingat bahwa secara hirarki administrasi, Presiden menjadi atasan dari
seluruh penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK. Namun, sayangnya,
Presiden seringkali absen dalam merespon sejumlah permasalahan yang terjadi yang
berkaitan dengan tindak korupsi. Misalnya, penanganan perkara yang penuh dengan konflik
kepentingan di Kejaksaan Agung, menurunnya kinerja penindakan perkara korupsi di
Kepolisian, dan serangkaian kontroversi kebijakan komisioner KPK.
Ketiga, pemerintah gagal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Poin
ini merujuk pada fenomena rangkap jabatan yang makin marak terjadi belakangan waktu
terakhir. Data Ombudsman RI pada tahun 2019 menyebutkan setidaknya ada 397 Komisaris
BUMN terindikasi rangkap jabatan. Padahal, berbagai regulasi, salah satunya Undang-
Undang Pelayanan Publik secara jelas telah melarang praktik tersebut. Hal ini diperparah
dengan pengangkatan mantan terpidana kasus korupsi pada jajaran komisaris anak
perusahaan BUMN yaitu, Emir Moeis.
Keempat, pemerintah gagal dalam mengelola penanganan serta pemulihan pandemi
Corona Virus Disease (Covid-19). Terlepas dari isu kesehatan dan ekonomi, terdapat
sejumlah persoalan yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Mulai dari praktik korupsi
bantuan sosial yang menjerat mantan Menteri Sosial,
rencana vaksin berbayar, konflik kepentingan
pejabat publik terkait obat Ivermectin, dan terakhir
menyangkut kebijakan penetapan tarif pemeriksaan
PCR yang sepatutnya ditinjau ulang termasuk
aksesnya bagi masyarakat dengan kelas ekonomi lemah.
Meskipun mulai ada perbaikan kondisi seperti
penurunan bed occupancy ratio (BOR) pada fasilitas
kesehatan, tetapi Indonesia pernah mencatat angka kematian harian tertinggi di dunia akibat
Covid-19
Dengan berbagai permasalahan di atas lalu dikaitkan dengan pidato kenegaraan Presiden,
menjadi wajar jika masyarakat kemudian mempertanyakan ulang keseriusan pemerintah
dalam upaya pemberantasan korupsi.
Upaya yang harus dilakukan adalah dengan menegakkan hukum yang telah dipaparkan di
awal. Pemerintah tidak boleh abai terhadap permasalahan ini dan bersikap terbuka dan dapat
berfikir bagaimana caranya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh
publik yang selama ini dipertanyakan keseriusannya. Keuntungan jika kebijakan ini
terlaksana dengan baik maka :
1. Meminimalisir Resiko Terjerat Hukum
Penerapan kebijakan anti korupsi di perusahaan akan meminimalisir resiko terjadi
korupsi, perbuatan curang dan benturan kepentingan dalam sebuah perusahaan.
Peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengatur korporasi sebagai subjek
hukum yang dapat dimintakan pertanggungajwaban secara pidana seperti diatur dalam
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang
mengatur bahwa korporasi dan/atau pengurusnya dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang yang dilakukannya. Adapun sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada
perusahaan pelaku korupsi dapat berupa denda, uang pengganti, penutupan dan
pengambilalihan perusahaan. Belum lagi dengan lahirnya Peraturan Mahakamah
Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
oleh Korporasi (Perma No. 13/2016) yang semakin mempermudah aparat penegak
hukum dalam meminta pertangunggjawaban pidana kepada korporasi.

2. Menghindari Biaya Resiko Korupsi


Tindak korupsi atau penyuapan akan menimbulkan direct cost atau biaya langsung
yang sangat merugikan bagi pelaku tentunya.
maka kerugian finansial yang lebih nyata lagi akan dihadapi oleh pelaku yang
melakukan korupsi. Kerugian tersebut dapat berupa biaya saat proses penanganan
kasus, biaya yang keluar untuk sanksi pidana yang didapatkan berupa biaya
membayar denda dan atau pidana tambahan berupa uang pengganti, penutupan
sementara atau penutupan selamanya. Belum lagi biaya biaya memulihkan nama baik
perusahaan.

Dengan adanya kebijakan anti korupsi yang menjadi pedoman bagi perusahaan dalam
menjalankan tugas sebagaimana mestinya tanpa melakukan tindakan korupsi tentu
akan meminimalisir biaya atas resiko korupsi.
Jika kebijakan terlaksana dengan baik maka
tidak ada kerugian yang
ditimbulkan baik dari pejabat publik
maupun dari masyarakat. Hanya saja
pemerintah memiliki tantangan yang
harus dihadapi yaitu
mengembalikan kepercayaan masyarakat. Jika masyarakat percaya maka kebijakan kebijakan
yang dibangun akan mudah untuk dijalankan dan mendapat dukungan yang penuh.
apabila kebijakan yang diambil merupakan tindakan menjalankan undang-undang, dan
sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangannya, maka suatu kebijakan tidak
dapat dipidana. Untuk kebijakan ini masih diawasi oleh pihak berwenang sehingga tidak ada
hal besar yang dapat mempengaruhi kebijakan ini.

Di Indonesia, lembaga-lembaga yang berhak menangani tindak pidana korupsi terdiri dari 3
(tiga) lembaga, yakni :
1. Kepolisian
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pasal 5 ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Tugas dan
Wewenang Lembaga-Lembaga Penanganan, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 undang-undang No 2 tahun 2002)).
2. Kejaksaan
Kejaksaan adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, hususnya di
bidang penuntutan (Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004). Sedangkan yang di maksud
jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang.
3. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
(Undang–Undang No. 30 Tahun 2002).
DAFTAR PUSTAKA
ICCE, 2006, Demokrasi, Hak asasi Manusi dan Masyarakat Madani, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
Inpres no 9 dan 17 tahun 2011 tentang aksi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
tahun 2012
Komisi Pemberantasan Korupsi,2006, Memahami Untuk Membasmi; Buku Saku Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, KPK, Jakarta
Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan khusus terhadap proses penyidikan,
penuntutan, peradilan serta upaya
hukumnya menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999), PT, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Leden Marpaung, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Djambatan, Jakarta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Undang–Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang–Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksanan Republik
Indonesia
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai