1
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “PENYAKIT YANG DISEBKAN OLEH VIRUS DAN BAKTERI”
Saya menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini saya menghaturkan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, saya telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik dan oleh karenanya, saya dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima Kasih.......................
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang
biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh
sehingga menyebabkan kerusakan organ. Penyakit infeksi bersifat dinamis atau mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar nya. Salah satu penyakit infeksi yang
menjadi masalah penting di semua rumah sakit di dunia dan merupakan penyebab
meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) adalah
infeksi nosokomial (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan
dan berkembang selama pasien dirawat di rumah sakit (WHO, 2004). Angka kejadian
infeksi nosokomial di dunia pada umumnya masih tinggi. Survei prevalensi yang
dilakukan dengan bantuan World Health Organization (WHO) pada 55 rumah sakit di
14 negara yang mewakili 4 wilayah WHO (Eropa, Mediteranian Timur, Asia Tenggara,
dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit mengalami infeksi
nosokomial. Frekuensi infeksi nosokomial yang tinggi dilaporkan dari Rumah Sakit di
wilayah Asia Tenggara yaitu 10,0% (WHO, 2002). Angka ini tidak jauh berbeda dengan
yang ditemukan di Indonesia.
3
2,47%). Angka kesakitan nasional hasil Survei Morbiditas Diare tahun 2016 yakni
masih sebesar 214/1.000 penduduk. (Sulistyawati, 2016) memperkirakan bahwa jumlah
penderita disentri di fasilitas kesehatan sebanyak 5.097.247 orang, sedangkan jumlah
penderita diare yang dilaporkan ditangani di fasilitas kesehatan sebanyak 4.017.861
orang atau 74,33% dan targetnya sebesar 5.405.235 atau 100% (Sulistyawati, 2016).
Infeksi hepatitis B merupakan infeksi pada hati yang cukup banyak dijumpai di
dunia. Terdapat lima tipe hepatitis virus pada manusia, hepatitis A-E, tergolong dalam
famili yang berbeda dan memiliki struktur genomik dan pola replikasi yang berbeda
pula. Kelima jenis virus tersebut memiliki gambaran klinis dan luaran yang berbeda.
Pada infeksi hepatitis virus A (HAV) dan E (HEV), gambaran klinisnya seringkali
transien, penularannya terjadi melalui oralfekal sedangkan pada hepatitis virus B
(HBV), C (HCV) dan hepatitis delta virus (HDV) infeksi dapat transien atau kronik dan
ditularkan secara parenteral. Meskipun demikian, kelima virus memiliki target infeksi
primer dan replikasi yang sama yaitu pada hepatosit. Tergantung pada virusnya, selama
fase akut hepatitis, terdapat periode selama 2-6 minggu dimana Setyawan: Hepatitis B
mutan 207 hepatosit terinfeksi dan terjadi shedding dari virus, baik pada aliran darah
atau pada kanalikuli biliaris. Selama periode ini, akan terjadi aktifasi sistem imun untuk
eliminasi virus (membunuh virus dan perbaikan jaringan yang terinfeksi). Ketika respon
imun gagal membunuh virus, penyakit akan berkembang menjadi kronik.
Masingmasing hepatitis virus mempunyai kemampuan escape dari pertahanan tubuh
host yang berbeda-beda. Karena itu, infeksi hepatitis virus merupakan proses yang
dinamis dari interaksi virus-pejamu. 1-6 Diperkirakan sepertiga dari penduduk dunia
pernah mengalami kontak dengan virus tersebut, sekitar 2 milyar penduduk pernah
terinfeksi dan saat ini diperkirakan sekitar 350 juta penduduk sedang menderita infeksi
hepatitis B kronis, dan 20-25% diantaranya akan berkembang menjadi penyakit hati
kronis serta karsinoma hepatoseluler (HCC). World Health Organization
memperkirakan sekitar 1-2 juta orang meninggal karena komplikasi hepatitis kronik
aktif, sirosis serta HCC. Tiga perempat penduduk dunia juga berada di daerah endemik
infeksi virus hepatitis B. Tingginya jumlah penderita mengakibatkan kemungkinan
terjadinya virus hepatitis B mutan juga menjadi lebih besar. Adanya virus hepatitis B
mutan dilaporkan pertama kali pada tahun 1980, dan dengan berkembangnya program
4
vaksinasi serta berbagai terapi untuk infeksi hepatitis B menyebabkan timbulnya mutasi
pada genomnya sebagai bagian dari adaptasi virus terhadap tekanan. Mutasi yang terjadi
akan berpengaruh pada hasil vaksinasi atau terapinya karena menyebabkan tidak
efektifnya berbagai penanganan yang dilakukan. 1-3,7.
5
BAB 3
PEMBAHASAN
1. Hepatitis B
a. Etiologi
6
serta memberi gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah :
(1) Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2
minggu sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang
merupakan nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau HBeAg yang
berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang merupakan antigen spesifik
untuk hepatitis B. (Dikutip dari Harrison)
b. Patogenesis
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah,
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati
akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat
dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang
respon imun tubuh, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. VHB
merangsang pertama kali respon imun non-spesifik ini (innate immune response)
karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai
beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu
dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk prosese eradikasi VHB lebih
lanjut diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengaktivasi limfosit T dan sel
limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor T tersebut dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan
pada permukaan dinding APC (Antigen Precenting Cell) dan dibantu dengan
rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks
peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada
permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida
kapsid, yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi
virus yang ada dalam neksrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT
atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terrjadi eliminasi virus intrasel
tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma dan TNF
alfa (Tissue Necroting Factor) yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme
nonsitolitik).
Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi
antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti-HBs adalah
7
netralisasi partikel VHB bebas akan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan
demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik
VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien
Hepatitis B Kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa
dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam
kompleks dengan HBsAg. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka
infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka
terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang
tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu. Setelah
terinfeksi VHB, penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam serum adalah
HBsAg. HBsAg dalam sirkulasi mendahului peningkatan aktivitas aminotransferase
serum dan gejala-gejala klinis dan tetap terdeteksi selama keseluruhan fase ikterus
atau simtomatis dari hepatitis B akut atau sesudahnya. Pada kasus yang khas HBsAg
tidak terdeteksi dalam 1 hingga 2 bulan setelah timbulnya ikterus dan jarang menetap
lebih dari 6 bulan. Setelah HBsAg hilang, antibodi terhadap HBsAg (Anti-HBs)
terdeteksi dalam serum dan tetap terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas
sesudahnya. Karena HBcAg terpencil dalam mantel HBsAg, maka HBcAg tidak
terdeteksi secara rutin dalam serum pasien dengan infeksi VHB. Di lain pihak,
antibodi terhadap HBcAg (anti-HBC) dengan cepat terdeteksi dalam serum, dimulai
dalam 1 hingga 2 minggu pertama setelah timbulnya HBsAg dan mendahului
terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa bulan. Karena terdapat variasi dalam
waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi, kadang terdapat suatu tenggang waktu
beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya HbsAg dan timbulnya anti-
HBs. Selama “periode jendela” (window period) ini, anti-HBc dapat menjadi bukti
serologi pada infeksi VHB yang sedang berlangsung, dan darah yang mengandung
anti-HBc tanpa adanya HBsAg dan anti-HBs telah terlibat pada perkembangan
hepatitis B akibat transfusi. Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan
yang terjadi di masa lalu dapat diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari
anti-HBc. AntiHBC dari kelas IgM (IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan
pertama setelah infeksi akut. Oleh karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut
yang baru terjadi, termasuk mereka yang terdeteksi anti-HBc dalam periode jendela
memilii IgM anti-HBc dalam serumnya. Pada pasien yang menderita VHB kronik,
8
antiHBc terutama dari kelas IgG yang terdapat dalam serum. Umumnya orang yang
telah sembuh dari hepatitis B, anti-HBs dan anti-HBc nya menetap untuk waktu yang
tidak terbatas.
c. Gejala Klinis
Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat
seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan danapabila
ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam ringan,
mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare
dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan
hepatitis yang mengakibatkan kematian. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada
masa perinatal dan balita biasanya asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada 90%
kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan
menimbulkan ikterus dan pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada
orang dewasa 95% kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan
menghilangnya HBsAg dan timbul anti HBs. Infeksi kronik ditandai oleh persistensi
HBsAg dan anti HBc dan serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan
dengan menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis kronik B ada 3 fase
yaitu fase imunotoleran, fase replikatif, dan fase integrasi. Pada fase imunotoleran
akan didapatkan HbsAg serta HBeAg di dalam serum serta titer HBV DNA nya
tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase ini gejala bisa timbul dan terjadi
peningkatan aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan terdapatnya anti-
HBe (serokonversi). Pada fase non replikatif akan ditemukan HBV DNA yang
rendah dan anti-HBe positif. Fase non replikatif ini sering pula disebut dengan
keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula terjadi pada keadaan ini resolusi
hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Pada beberapa pasien dapat pula
ditemukan serokonversi HbeAg yang diakibatkan oleh karena mutasi dari virus. Pada
kelompok pasien ini mungkin pula akan ditemukan peningkatan kadar HBV DNA
yang disertai pula peninggian ALT. Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia
yang lebih lanjut biasanya gejala peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak
berat. Pada fase nonreplikatif masih dapat ditemukan replikasi virus hepatitis B akan
tetapi sangat sedikit sekali karena ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian
9
pasien dengan antigen negative dapat menjadi aktif kembali akan tetapi dengan e
antigen tetap negatif. Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu hepatitis
B kronik dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan HBeAg negative.
Pasien yang mengalami infeksi perinatal dapat pula menjadi hepatitis kronik dengan
HBeAg yang positif disertai dengan peningkatan ALT akan tetapi sesudah waktu
yang cukup lama (10-20/tahun). Serokonvesi HBeAg biasanya akan diikuti
membaiknya keadaan biokimiawi dan histology. Serokonveri e antigen menjadi e
antibody dapat terjadi pada 50-70% pasien yang mengalami peninggian ALT dalam
waktu 5-10 tahun setelah terdiagnosis. Biasanya hal ini akan terjadi pada orang
dengan usia yang lebih lanjut, dan perempuan dan ALT nya tinggi. Pada umumnya
apabila terjadi serokonversi, maka gejala hepatitisnya juga menjadi tidak aktif
walaupun pada sebagian kecil masih ada gangguan biokimiawi dan aktivitas
histology serta peningkatan kadar HBV DNA. Infeksi HBsAg inaktif ditandai oleh
HBsAg-positif, anti HBe dan tidak terdeteksinya HBV DNA serta ALT normal.
Meskipun demikian kadang-kadang masih didapatkan sedikit tanda peradangan pada
pemeriksaan patologi anatomic. Apabila serokonversi terjadi sesudah waktunya
cukup lama dapat pula ditemukan gejala kelainan pada sediaan patologi anatomik.
d. Diagnosis
10
e. Laboratorium
(dikutip dari Current Medical Diagnose and Treatment) Pada hepatitis B akut
simptomatik pola serologisnya, HbsAg mulai timbul pada akhir masa inkubasi kira-
kira 2-5 minggu sebelum ada gejala klinik dan titernya akan meningkat setelah
tampak gejala klinis dan menetap selama 1-5 bulan. Selanjutnya titer HBsAg akan
menurun dan hilang dengan berkurangnya gejala-gejala klinik. Menetapnya HBsAg
sesudah 6 bulan menandakan proses akan menjadi kronis. Anti-HBs baru timbul
pada stadium konvalesensi yaitu beberapa saat setelah menghilangnya HBsAg,
sehingga terdapat masa jendela (window period) yaitu masa menghilangnya HBsAg
sampai mulai timbulnya antiHBs. Anti-HBs akan menetap lama, 90% akan menetap
lebih dari 5 tahun sehingga dapat menentukan stadium penyembuhan dan imunitas
penderita. Pada masa jendela, Anti-HBC merupakan pertanda yang penting dari
hepatitis B akut. Anti-HBC mula-mula terdiri dari IgM dan sedikit IgG. IgM akan
menurun dan menghilang dalam 6-12 bulan sesudah sembuh, sedangkan IgG akan
menetap lama dan dapat dideteksi dalam 5 tahun setelah sembuh. HBeAg timbul
bersama-sama atau segera sesudah HBsAg. Ditemukannya HBeAg menunjukkan
jumlah virus yang banyak. Jangka waktu HBeAg positif lebih singkat daripada
HBsAg. Bila HBeAg masih ada lebih dari 10 minggu sesudah timbulnya gejala
klinik, menunjukkan penyakit berkembang menjadi kronis. Serokonversi dari
HBeAg menjadi anti-HBe merupakan prognosis yang baik yang akan diikuti dengan
penyembuhan penyakitnya. Pada infeksi hepatitis B asimtomatik, pemeriksaan
serologis menunjukkan kadar HBsAg dan HbeAg yang rendah untuk waktu singkat,
bahkan seringkali HBsAg tidak terdeteksi. Menghilangnya HBsAg segera diikuti
dengan timbulnya anti-HBs dengan titer yang tinggi dan lama dipertahakan. Anti-
HBc dan anti-Hbe juga timbul tetapi tidak setinggi titer anti-HBs. Lima sampai
sepulu persen yang menderita hepatitis B akut akan berlanjut menjadi hepatitis B
kronis. Pada tipe ini HBsAg timbul pada akhir masa inkubasi dengan titer yang
tinggi yang akan menetap dan dipertahankan lama dan dapat sampai puluhan tahun
atau seumur hidup. Anti-HBs tidak akan timbul pada pengidap HBsAg, tetapi
sebaliknya antiHBc yang terdiri dari IgM dan IgG anti-HBc akan dapat dideteksi dan
menetapa selama lebih dari 2 tahun
11
2. Disentri
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron(usus),
yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air
besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar
dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan
buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan
darah.
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit
perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur
lendir dan darah (Behrman 2004).
2. Berak-berak, dan
Adanya darah dan lekosit dalam tinja merupakan suatu bukti bahwa kuman
penyebab disentri tersebut menembus dinding kolon dan bersarang di bawahnya.
Penyakit ini seringkali terjadi karena kebersihan tidak terjaga,baik karena kebersihan
diri atau individu maupun kebersihan masyarakat dan lingkungan.
12
juta orang diperkirakan meninggal akibat infeksi Shigella setiap tahun, dengan 60%
dari kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun3. Dengan tidak adanya
vaksin yang efektif yang tersedia, peningkatan frekuensi antimikroba-tahan strain
Shigella di seluruh dunia telah menjadi sumber utama keprihatinan3.Selama survei
dari 600.000 orang dari segala usia di Bangladesh, Cina, Pakistan, Indonesia,
Vietnam dan Thailand, Shigellas terisolasi di 5% dari episode diare 60 000 terdeteksi
antara 2000 dan 2004 dan sebagian besar isolat bakteri resisten terhadap amoksisilin
dan kotrimoksazol3. Demikian pula, selama penelitian surveilans 36-bulan di sebuah
distrik pedesaan di Thailand, di mana kejadian Shigellosis diukur untuk 4/1000/year
dalam waktu kurang dari 5 tahun usia, 95% dari S sonnei dan flexneri S isolat
resisten terhadap tetrasiklin dan kotrimoksazol, dan 90% dari isolat S flexneri juga
resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol. Temuan serupa dibuat di Jakarta
Utara, Indonesia, dimana sebuah penelitian surveilans yang dilakukan antara Agustus
2001 dan Juli 2003 menemukan bahwa anak usia 1 sampai 2 tahun memiliki insiden
tinggi Shigellosis (32/1000/year) dengan 73% sampai 95% dari isolat resisten
terhadap ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin3.
13
amubiasis tiap tahun. Kejadian itu seperti fenomena gunung es karena hanya I0-20%
pasien amubiasis memberikan gejala klinis. Insidens amubiasis tinggi di negara
berkembang antara lain Meksiko, Afrika Selatan dan Barat, Amerika Selatan dan
Tengah, Bangladesh, Thailand,India serta Vietnam.
a) Etiologi
Bakteri (Disentri basiler) Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering
(± 60% kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan
mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella
1. Disentri basiler
b) Salmonella
b) Gejala Klinis
1. Disentri basiler
a) Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada disentri
shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24
jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan
lendir dalam tinja.
c) Muntah-muntah.
d) Anoreksia.
14
e) Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB.
2. Disentri amoeba
d) Gejala konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya ditemukan pada 1/3
kasus).
c) Masa inkubasi
Masa inkubasi desentri bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga beberapa bulan
atau tahun biasanya 2 – 4 minggu. Diare mendadak yang disertai darah dan lendir
dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer
tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit,
didapatkan darah dan lendir dalam tinja.
d) Patifisiologi
Kuman penyebab diare menyebar masuk melalui mulut antara lain makanan,
minuman yang tercemar tinja atau yang kontak langsung dengan tinja penderita.
15
sesudah membuang tinja atau sebelum memasak makanan, Tidak membuang tinja
secara benar.
3. Umur
4. Variasi musiman
Variasi pola musim diare dapat terjadi melalui letak geografi. Pada daerah sub
tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas sedangkan diare
karena virus (rotavirus) puncaknya pada musim dingin. Pada daerah tropik diare
rotavirus terjadi sepanjang tahun, frekuensi meningkat pada musim kemarau
sedangkan puncak diare karena bakteri adalah pada musim hujan. Infeksi
asimtomatik kebanyakan infeksi usus bersifat asimtomatik / tanpa gejala dan
proporsi ini meningkat di atas umur 2 tahun karena pembentukkan imunitas aktif.
e) Komplikasi
1. Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien yang
berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan
dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan status gizi
buruk. Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic
syndrome (HUS). SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang
diproduksi olehShigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama
disentri basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda-tanda HUS
dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan secara
progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung.
Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter),
16
trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat
bahkan gejala susunan saraf pusat seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan
sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul pada
masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini dapat
terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung leukosit
polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat
berlangsung selama berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi
iritis atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus
menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini jarang
terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang toksik
namun hal ini jarang sekali terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan perforasi juga
dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang terjadi. Kalaupun
terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat. Peritonitis dengan
perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat yang
mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul
dan hemoroid.
2. Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun ringan.
Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi:
a) Komplikasi intestinal
- Perdarahan usus
Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak
pembuluh darah.
- Perforasi usus
Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar.
Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi.
17
- Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.
- Ameboma
Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi terbentuknya
massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering
mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
- Intususepsi
Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat
ameboma.
b) Komplikasi ekstraintestinal
- Amebiasis hati
- Abses pleuropulmonal
Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kurang lebih 10-
20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Abses paru juga dapat
18
terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat pula terjadi
hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita batuk- batuk dengan sputum
berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati. Abses otak, limpa dan organ lain.
Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi amoeba langsung dari dinding usus besar
maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi.
- Amebiasis kulit
Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar dengan
membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau dinding perut. Dapat
pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus
19
air bersih dan sabun atau antiseptik. Sabun dan antiseptik berguna untuk
membersihkan kuman atau bakteri yang ada di tangan. Mencuci tangan hingga steril
menggunakan sembilan langkah yang diterapkan dan dianjurkan oleh rumah sakit
adalah cara mencuci tangan yang paling benar. Mencuci tangan dilakukan setelah
buang air besar,sebelum memasak atau menjamah makanan,sebelum dan sesudah
makan.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat
seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan danapabila
ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam ringan,
mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare
dan nyeri otot. Sedangkan Penyakit disentri merupakan peradangan pada usus besar.
Gejala penyakit ini ditandai dengan sakit perut dan buang air besar encer secara
terus-menerus (diare) yang bercampur lendir, nanah, dan darah.
Bakteri tersebut dapat tersebar dan menular melalui makanan dan air yang sudah
terkontaminasi kotoran dan bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat merupakan
serangga yang hidup di tempat yang kotor dan bau, sehingga bakteri dengan mudah
menempel di tubuhnya dan menyebar di setiap tempat yang dihinggapi.
Masa inkubasi desentri bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga beberapa
bulan atau tahun biasanya 2 – 4 minggu. Diare mendadak yang disertai darah dan
lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare
encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan
sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja.
21
a) Dengan mencegah kontaminasi makanan dan air, sayur yang dicuci
dengan air hangat, pemakaian tablet yang mengeluarkan yodium di dalam air
minum (klor dalam bentuk halazon tak efektif) merupakan cara yang berguna.
3.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
Efraim Turban, Jay E. Aronson, Ting Deng Liang, Decision support Systems and
Intelligent Systems. Yogyakarta, Andi, 2005.
Jurnal Teknik Informatika Kaputama (JTIK) Vol. 2 , No. 1, Jan 2018 ISSN: 2548-9704
114
Dedy Hidayat Kusuma, Moh. Nur Shodiq, Sistem Rekomendasi Destinasi Pariwisata
Menggunakan Metode Hybrid Case Based Reasoning Dan Location Based
Service Sebagai Pemandu Wisatawan Di Banyuwangi, Jurnal INTENSIF, Volume
1 Nomor 1, Februari 2017.
Fauci AS, Braunwald E. Harrison’s Principle of Internal Medicine (17th ed). USA:
McGraw Hill, 2008; Chapter 336.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I (5th ed). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p. 429-40.
23
Goldman L, Ausiello DA, Arend W, Armitage JO, Clemmons D, Drazen J, editors.
Cecil Medicine (23rd ed). Philadelphia: SaundersElsevier, 2007; Chapter 245.
24