Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENYAKIT YANG DISEBKAN OLEH VIRUS DAN BAKTERI

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “PENYAKIT YANG DISEBKAN OLEH VIRUS DAN BAKTERI”
Saya menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini saya menghaturkan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, saya telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik dan oleh karenanya, saya dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terima Kasih.......................
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang
biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh
sehingga menyebabkan kerusakan organ. Penyakit infeksi bersifat dinamis atau mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar nya. Salah satu penyakit infeksi yang
menjadi masalah penting di semua rumah sakit di dunia dan merupakan penyebab
meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) adalah
infeksi nosokomial (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan
dan berkembang selama pasien dirawat di rumah sakit (WHO, 2004). Angka kejadian
infeksi nosokomial di dunia pada umumnya masih tinggi. Survei prevalensi yang
dilakukan dengan bantuan World Health Organization (WHO) pada 55 rumah sakit di
14 negara yang mewakili 4 wilayah WHO (Eropa, Mediteranian Timur, Asia Tenggara,
dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit mengalami infeksi
nosokomial. Frekuensi infeksi nosokomial yang tinggi dilaporkan dari Rumah Sakit di
wilayah Asia Tenggara yaitu 10,0% (WHO, 2002). Angka ini tidak jauh berbeda dengan
yang ditemukan di Indonesia.

Disentri merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit


potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Tidak
hanya di Indonesia saja bahkan di dunia masih banyak dijumpai kasus disentri. Menurut
WHO memperkirakan bahwa lebih dari 1,3 juta miliar serangan dan 3,2 juta kematian
per tahun pada balita dan anak-anak usia 0-5 tahun dan 7 dari 10 nya disebabkan oleh
diare invasif. Setiap anak mengalami episode serangan diare rata-rata 3 sampai 4 kali
setiap tahun. 80% kematian terjadi pada anak berusia kurang dari dua tahun atau
dibawah umur (balita). Penyakit diare tidak hanya terdapat di negara berkembang saja,
akan tetapi dijumpai pula di negara industri dan bahkan di negara yang sudah maju
sekalipun, hanya saja kejadian disentri karena infeksi nya pun jauh lebih kecil
(Sulistyawati, 2016). Kasus disentri juga terjadi di Indonesia, pada tahun 2015 penyakit
disentri terjadi pelonjakan 18 kali, KLB Diare yang tersebar di 11 provinsi, 18
kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 1. 213 orang dan kematian 30 orang (CFR

3
2,47%). Angka kesakitan nasional hasil Survei Morbiditas Diare tahun 2016 yakni
masih sebesar 214/1.000 penduduk. (Sulistyawati, 2016) memperkirakan bahwa jumlah
penderita disentri di fasilitas kesehatan sebanyak 5.097.247 orang, sedangkan jumlah
penderita diare yang dilaporkan ditangani di fasilitas kesehatan sebanyak 4.017.861
orang atau 74,33% dan targetnya sebesar 5.405.235 atau 100% (Sulistyawati, 2016).

Infeksi hepatitis B merupakan infeksi pada hati yang cukup banyak dijumpai di
dunia. Terdapat lima tipe hepatitis virus pada manusia, hepatitis A-E, tergolong dalam
famili yang berbeda dan memiliki struktur genomik dan pola replikasi yang berbeda
pula. Kelima jenis virus tersebut memiliki gambaran klinis dan luaran yang berbeda.
Pada infeksi hepatitis virus A (HAV) dan E (HEV), gambaran klinisnya seringkali
transien, penularannya terjadi melalui oralfekal sedangkan pada hepatitis virus B
(HBV), C (HCV) dan hepatitis delta virus (HDV) infeksi dapat transien atau kronik dan
ditularkan secara parenteral. Meskipun demikian, kelima virus memiliki target infeksi
primer dan replikasi yang sama yaitu pada hepatosit. Tergantung pada virusnya, selama
fase akut hepatitis, terdapat periode selama 2-6 minggu dimana Setyawan: Hepatitis B
mutan 207 hepatosit terinfeksi dan terjadi shedding dari virus, baik pada aliran darah
atau pada kanalikuli biliaris. Selama periode ini, akan terjadi aktifasi sistem imun untuk
eliminasi virus (membunuh virus dan perbaikan jaringan yang terinfeksi). Ketika respon
imun gagal membunuh virus, penyakit akan berkembang menjadi kronik.
Masingmasing hepatitis virus mempunyai kemampuan escape dari pertahanan tubuh
host yang berbeda-beda. Karena itu, infeksi hepatitis virus merupakan proses yang
dinamis dari interaksi virus-pejamu. 1-6 Diperkirakan sepertiga dari penduduk dunia
pernah mengalami kontak dengan virus tersebut, sekitar 2 milyar penduduk pernah
terinfeksi dan saat ini diperkirakan sekitar 350 juta penduduk sedang menderita infeksi
hepatitis B kronis, dan 20-25% diantaranya akan berkembang menjadi penyakit hati
kronis serta karsinoma hepatoseluler (HCC). World Health Organization
memperkirakan sekitar 1-2 juta orang meninggal karena komplikasi hepatitis kronik
aktif, sirosis serta HCC. Tiga perempat penduduk dunia juga berada di daerah endemik
infeksi virus hepatitis B. Tingginya jumlah penderita mengakibatkan kemungkinan
terjadinya virus hepatitis B mutan juga menjadi lebih besar. Adanya virus hepatitis B
mutan dilaporkan pertama kali pada tahun 1980, dan dengan berkembangnya program

4
vaksinasi serta berbagai terapi untuk infeksi hepatitis B menyebabkan timbulnya mutasi
pada genomnya sebagai bagian dari adaptasi virus terhadap tekanan. Mutasi yang terjadi
akan berpengaruh pada hasil vaksinasi atau terapinya karena menyebabkan tidak
efektifnya berbagai penanganan yang dilakukan. 1-3,7.

1.2. Rumusan Masalah

1) Apa itu virus Hepatitis B dan apa penyebabnya?

2) Bagaimana cara mendiagosis pasien Hepatitis B?

3) Apa itu penyakit Disentri dan apa penyebabnya?

4) Bagaimana cara pencegahan penyakit Disentri?

5
BAB 3

PEMBAHASAN

1. Hepatitis B

Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah yang besar di


Indonesia karena prevalensi yang tinggi dan komplikasinya. Di daerah dengan
endemic tinggi, infeksi VHB biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada
awal masa kanak-kanak. VHB sendiri biasanya tidak sitopatik. Infeksi kronik VHB
merupakan suatu proses dinamis dengan terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan
sistem imun manusia. Perjalanan penyakit hepatitis B kronik dengan HBeAg, HBV
DNA positif di wilayah Asia-Pasifik masih belum banyak diteliti, namun reaktivasi
hepatitis dan progresivitas penyakit memang dapat terjadi. Telah ditemukan di
bidang biologi molekuler bahwa untuk pathogenesis VHB ada peran covalently
closed circular DNA (cccDNA) dalam terjadinya infeksi kronik VHB yang menetap.
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah (penerima produk
darah, pasien hemodialisa, pekerja kesehatan atau terpapar darah). Virus hepatiitis B
ditemukan di cairan tubuh yang memiliki konsentrasi virus hepatitis B yang tinggi
seperti semen, sekret servikovaginal, saliva, dan cairan tubuh lainnya sehingga cara
transmisi hepatitis B yaitu transmisi seksual. Cara transmisi lainnya melalui penetrasi
jaringan (perkutan) atau permukosa yaitu alat-alat yang tercemar virus hepatitis B
seperti sisir, pisau cukur, alat makan, sikat gigi, tato, akupuntur, tindik, alat
kedokteran, dan lain-lain. Cara transmisi lainnya yaitu transmisi maternal-neonatal,
maternal-infant, akan tetapi tidak ada bukti penyebaran fekal-oral.

a. Etiologi

Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm memiliki


lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60 sampai 90 hari.
Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu : (1) Sferis dengan diameter 17 – 25 nm dan
terdiri dari komponen selubung saja dan jumlahnya lebih banyak dari partikel lain.
(2) Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen
selubung. (3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan
berselubung, diameter 42 nm. Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik

6
serta memberi gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah :
(1) Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2
minggu sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang
merupakan nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau HBeAg yang
berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang merupakan antigen spesifik
untuk hepatitis B. (Dikutip dari Harrison)

b. Patogenesis

Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah,
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati
akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat
dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang
respon imun tubuh, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. VHB
merangsang pertama kali respon imun non-spesifik ini (innate immune response)
karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai
beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu
dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk prosese eradikasi VHB lebih
lanjut diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengaktivasi limfosit T dan sel
limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor T tersebut dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan
pada permukaan dinding APC (Antigen Precenting Cell) dan dibantu dengan
rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks
peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada
permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida
kapsid, yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi
virus yang ada dalam neksrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT
atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terrjadi eliminasi virus intrasel
tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma dan TNF
alfa (Tissue Necroting Factor) yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme
nonsitolitik).

Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi
antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti-HBs adalah

7
netralisasi partikel VHB bebas akan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan
demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik
VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien
Hepatitis B Kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa
dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam
kompleks dengan HBsAg. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka
infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka
terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang
tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu. Setelah
terinfeksi VHB, penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam serum adalah
HBsAg. HBsAg dalam sirkulasi mendahului peningkatan aktivitas aminotransferase
serum dan gejala-gejala klinis dan tetap terdeteksi selama keseluruhan fase ikterus
atau simtomatis dari hepatitis B akut atau sesudahnya. Pada kasus yang khas HBsAg
tidak terdeteksi dalam 1 hingga 2 bulan setelah timbulnya ikterus dan jarang menetap
lebih dari 6 bulan. Setelah HBsAg hilang, antibodi terhadap HBsAg (Anti-HBs)
terdeteksi dalam serum dan tetap terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas
sesudahnya. Karena HBcAg terpencil dalam mantel HBsAg, maka HBcAg tidak
terdeteksi secara rutin dalam serum pasien dengan infeksi VHB. Di lain pihak,
antibodi terhadap HBcAg (anti-HBC) dengan cepat terdeteksi dalam serum, dimulai
dalam 1 hingga 2 minggu pertama setelah timbulnya HBsAg dan mendahului
terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa bulan. Karena terdapat variasi dalam
waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi, kadang terdapat suatu tenggang waktu
beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya HbsAg dan timbulnya anti-
HBs. Selama “periode jendela” (window period) ini, anti-HBc dapat menjadi bukti
serologi pada infeksi VHB yang sedang berlangsung, dan darah yang mengandung
anti-HBc tanpa adanya HBsAg dan anti-HBs telah terlibat pada perkembangan
hepatitis B akibat transfusi. Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan
yang terjadi di masa lalu dapat diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari
anti-HBc. AntiHBC dari kelas IgM (IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan
pertama setelah infeksi akut. Oleh karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut
yang baru terjadi, termasuk mereka yang terdeteksi anti-HBc dalam periode jendela
memilii IgM anti-HBc dalam serumnya. Pada pasien yang menderita VHB kronik,

8
antiHBc terutama dari kelas IgG yang terdapat dalam serum. Umumnya orang yang
telah sembuh dari hepatitis B, anti-HBs dan anti-HBc nya menetap untuk waktu yang
tidak terbatas.

c. Gejala Klinis

Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat
seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan danapabila
ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam ringan,
mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare
dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan
hepatitis yang mengakibatkan kematian. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada
masa perinatal dan balita biasanya asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada 90%
kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan
menimbulkan ikterus dan pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada
orang dewasa 95% kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan
menghilangnya HBsAg dan timbul anti HBs. Infeksi kronik ditandai oleh persistensi
HBsAg dan anti HBc dan serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan
dengan menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis kronik B ada 3 fase
yaitu fase imunotoleran, fase replikatif, dan fase integrasi. Pada fase imunotoleran
akan didapatkan HbsAg serta HBeAg di dalam serum serta titer HBV DNA nya
tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase ini gejala bisa timbul dan terjadi
peningkatan aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan terdapatnya anti-
HBe (serokonversi). Pada fase non replikatif akan ditemukan HBV DNA yang
rendah dan anti-HBe positif. Fase non replikatif ini sering pula disebut dengan
keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula terjadi pada keadaan ini resolusi
hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Pada beberapa pasien dapat pula
ditemukan serokonversi HbeAg yang diakibatkan oleh karena mutasi dari virus. Pada
kelompok pasien ini mungkin pula akan ditemukan peningkatan kadar HBV DNA
yang disertai pula peninggian ALT. Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia
yang lebih lanjut biasanya gejala peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak
berat. Pada fase nonreplikatif masih dapat ditemukan replikasi virus hepatitis B akan
tetapi sangat sedikit sekali karena ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian

9
pasien dengan antigen negative dapat menjadi aktif kembali akan tetapi dengan e
antigen tetap negatif. Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu hepatitis
B kronik dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan HBeAg negative.
Pasien yang mengalami infeksi perinatal dapat pula menjadi hepatitis kronik dengan
HBeAg yang positif disertai dengan peningkatan ALT akan tetapi sesudah waktu
yang cukup lama (10-20/tahun). Serokonvesi HBeAg biasanya akan diikuti
membaiknya keadaan biokimiawi dan histology. Serokonveri e antigen menjadi e
antibody dapat terjadi pada 50-70% pasien yang mengalami peninggian ALT dalam
waktu 5-10 tahun setelah terdiagnosis. Biasanya hal ini akan terjadi pada orang
dengan usia yang lebih lanjut, dan perempuan dan ALT nya tinggi. Pada umumnya
apabila terjadi serokonversi, maka gejala hepatitisnya juga menjadi tidak aktif
walaupun pada sebagian kecil masih ada gangguan biokimiawi dan aktivitas
histology serta peningkatan kadar HBV DNA. Infeksi HBsAg inaktif ditandai oleh
HBsAg-positif, anti HBe dan tidak terdeteksinya HBV DNA serta ALT normal.
Meskipun demikian kadang-kadang masih didapatkan sedikit tanda peradangan pada
pemeriksaan patologi anatomic. Apabila serokonversi terjadi sesudah waktunya
cukup lama dapat pula ditemukan gejala kelainan pada sediaan patologi anatomik.

d. Diagnosis

Diagnosis hepatitis B ditegakkan dengan pemeriksaan biokimia dan serologic dan


apabila diperlukan dengan pemeriksaan histopatologik. Pada hepatitis B akut akan
ditemukan peningkatan ALT yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
AST dengan kadar ALT nya 20-50 kali normal. Ditemukan pula IgM anti HBc di
dalam darah selain HBsAg, HBeAg dan HBV DNA. Pada hepatitis kronik
peninggian ALT adalah sekitar 10-20 Batas Atas Nilai Normal (BANN) dengan ratio
de Ritis (ALT/AST) sekitar 1 atau lebih. Disamping itu IgM anti-HBc juga negative.
Diagnosis hepatitis B kronik dipastikan dengan pemeriksaan patologi anatomik,
disamping mungkin pula dengan pemeriksaan fibrotest. Pencitraan dengan USG atau
CT scan dapat membantu bila proses sudah lanjut.

10
e. Laboratorium

(dikutip dari Current Medical Diagnose and Treatment) Pada hepatitis B akut
simptomatik pola serologisnya, HbsAg mulai timbul pada akhir masa inkubasi kira-
kira 2-5 minggu sebelum ada gejala klinik dan titernya akan meningkat setelah
tampak gejala klinis dan menetap selama 1-5 bulan. Selanjutnya titer HBsAg akan
menurun dan hilang dengan berkurangnya gejala-gejala klinik. Menetapnya HBsAg
sesudah 6 bulan menandakan proses akan menjadi kronis. Anti-HBs baru timbul
pada stadium konvalesensi yaitu beberapa saat setelah menghilangnya HBsAg,
sehingga terdapat masa jendela (window period) yaitu masa menghilangnya HBsAg
sampai mulai timbulnya antiHBs. Anti-HBs akan menetap lama, 90% akan menetap
lebih dari 5 tahun sehingga dapat menentukan stadium penyembuhan dan imunitas
penderita. Pada masa jendela, Anti-HBC merupakan pertanda yang penting dari
hepatitis B akut. Anti-HBC mula-mula terdiri dari IgM dan sedikit IgG. IgM akan
menurun dan menghilang dalam 6-12 bulan sesudah sembuh, sedangkan IgG akan
menetap lama dan dapat dideteksi dalam 5 tahun setelah sembuh. HBeAg timbul
bersama-sama atau segera sesudah HBsAg. Ditemukannya HBeAg menunjukkan
jumlah virus yang banyak. Jangka waktu HBeAg positif lebih singkat daripada
HBsAg. Bila HBeAg masih ada lebih dari 10 minggu sesudah timbulnya gejala
klinik, menunjukkan penyakit berkembang menjadi kronis. Serokonversi dari
HBeAg menjadi anti-HBe merupakan prognosis yang baik yang akan diikuti dengan
penyembuhan penyakitnya. Pada infeksi hepatitis B asimtomatik, pemeriksaan
serologis menunjukkan kadar HBsAg dan HbeAg yang rendah untuk waktu singkat,
bahkan seringkali HBsAg tidak terdeteksi. Menghilangnya HBsAg segera diikuti
dengan timbulnya anti-HBs dengan titer yang tinggi dan lama dipertahakan. Anti-
HBc dan anti-Hbe juga timbul tetapi tidak setinggi titer anti-HBs. Lima sampai
sepulu persen yang menderita hepatitis B akut akan berlanjut menjadi hepatitis B
kronis. Pada tipe ini HBsAg timbul pada akhir masa inkubasi dengan titer yang
tinggi yang akan menetap dan dipertahankan lama dan dapat sampai puluhan tahun
atau seumur hidup. Anti-HBs tidak akan timbul pada pengidap HBsAg, tetapi
sebaliknya antiHBc yang terdiri dari IgM dan IgG anti-HBc akan dapat dideteksi dan
menetapa selama lebih dari 2 tahun

11
2. Disentri

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron(usus),
yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air
besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar
dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan
buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan
darah.

Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit
perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur
lendir dan darah (Behrman 2004).

Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan


tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai
sindroma disentri, yakni :

1. Sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus,

2. Berak-berak, dan

3. Tinja mengandung darah dan lendir.

Adanya darah dan lekosit dalam tinja merupakan suatu bukti bahwa kuman
penyebab disentri tersebut menembus dinding kolon dan bersarang di bawahnya.
Penyakit ini seringkali terjadi karena kebersihan tidak terjaga,baik karena kebersihan
diri atau individu maupun kebersihan masyarakat dan lingkungan.

Berdasarkan penyebabnya disentri dapat dibedakan menjadi dua yaitu disentri


amuba dan disentri basiler. Penyebab yang paling umum yaitu adanya infeksi parasit
Entamoeba histolytica yang menyebabkan disentri amuba dan infeksi bakteri
golongan Shigella yang menjadi penyebab disentri basiler. Shigellosis adalah
endemik di seluruh dunia di mana dia bertanggung jawab untuk sekitar 120 juta
kasus disentri yang parah dengan darah dan lendir dalam tinja, mayoritas terjadi di
negara berkembang dan melibatkan anak-anak kurang dari lima tahun. Sekitar 1,1

12
juta orang diperkirakan meninggal akibat infeksi Shigella setiap tahun, dengan 60%
dari kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun3. Dengan tidak adanya
vaksin yang efektif yang tersedia, peningkatan frekuensi antimikroba-tahan strain
Shigella di seluruh dunia telah menjadi sumber utama keprihatinan3.Selama survei
dari 600.000 orang dari segala usia di Bangladesh, Cina, Pakistan, Indonesia,
Vietnam dan Thailand, Shigellas terisolasi di 5% dari episode diare 60 000 terdeteksi
antara 2000 dan 2004 dan sebagian besar isolat bakteri resisten terhadap amoksisilin
dan kotrimoksazol3. Demikian pula, selama penelitian surveilans 36-bulan di sebuah
distrik pedesaan di Thailand, di mana kejadian Shigellosis diukur untuk 4/1000/year
dalam waktu kurang dari 5 tahun usia, 95% dari S sonnei dan flexneri S isolat
resisten terhadap tetrasiklin dan kotrimoksazol, dan 90% dari isolat S flexneri juga
resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol. Temuan serupa dibuat di Jakarta
Utara, Indonesia, dimana sebuah penelitian surveilans yang dilakukan antara Agustus
2001 dan Juli 2003 menemukan bahwa anak usia 1 sampai 2 tahun memiliki insiden
tinggi Shigellosis (32/1000/year) dengan 73% sampai 95% dari isolat resisten
terhadap ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin3.

Di Indonesia, amoebiasis kolon banyak dijumpai dalam keadaan endemi.


Prevalensi Entamoeba histolytica di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 10
– 18 %.Amoebiasis juga tersebar luas diberbagai negara diseluruh dunia4. Pada
berbagai survei menunjukkan frekuensi diantara 0,2 – 50 % dan berhubungan dengan
sanitasi lingkungan sehingga penyakit ini akan banyak dijumpai pada daerah tropik
dan subtropik yang sanitasinyajelek.Di RRC, Mesir, India dan negeri Belanda
berkisar antara 10,1 – 11,5%, di Eropa Utara 5– 20%, di Eropa Selatan 20 – 51% dan
di Amerika Serikat 20%4.Frekuensi infeksi Entamoeba histolytica diukur dengan
jumlah pengandung kista. Perbandingan berbagai macam amoebiasis di Indonesia
adalah sebagai berikut, amoebiasis kolon banyak ditemukan, amoebiasis hati hanya
kadang-kadang amoebiasis otak lebih jarang lagi dijumpai4.

Infeksi amuba (amubiasis) menempati urutan ke 3 penyebab kematian karena


infeksi parasit di dunia setelah malaria dan schistosomiasis.Amubiasis terjadi pada
sekitar 12% penduduk dunia atau 50% penduduk di daerah tropis dan subtropis.
Diperkirakan angka kematian 40.000-100.000 terjadi pada 40-50 juta pasien

13
amubiasis tiap tahun. Kejadian itu seperti fenomena gunung es karena hanya I0-20%
pasien amubiasis memberikan gejala klinis. Insidens amubiasis tinggi di negara
berkembang antara lain Meksiko, Afrika Selatan dan Barat, Amerika Selatan dan
Tengah, Bangladesh, Thailand,India serta Vietnam.

a) Etiologi

Bakteri (Disentri basiler) Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering
(± 60% kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan
mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella

1. Disentri basiler

a) Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)

b) Salmonella

c) Campylobacter jejuni, terutama pada bayi

2. Disentri Amoeba (Disentri amoeba)

disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia > 5


tahunPatogenesisTransmisi : fecal-oral, melalui : makanan / air yang terkontaminasi,
person-to-person contact.

b) Gejala Klinis

1. Disentri basiler

a) Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada disentri
shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24
jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan
lendir dalam tinja.

b) Panas tinggi (39,50 – 400 C), appear toxic.

c) Muntah-muntah.

d) Anoreksia.

14
e) Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB.

f) Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang,


sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).

2. Disentri amoeba

a) Diare disertai darah dan lendir dalam tinja.

b) Frekuensi BAB umumnya lebih sedikit daripada disentri basiler (≤10x/hari)

c) Sakit perut hebat (kolik)

d) Gejala konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya ditemukan pada 1/3
kasus).

c) Masa inkubasi

Masa inkubasi desentri bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga beberapa bulan
atau tahun biasanya 2 – 4 minggu. Diare mendadak yang disertai darah dan lendir
dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer
tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit,
didapatkan darah dan lendir dalam tinja.

d) Patifisiologi

Kuman penyebab diare menyebar masuk melalui mulut antara lain makanan,
minuman yang tercemar tinja atau yang kontak langsung dengan tinja penderita.

1. Perilaku khusus meningkatkan resiko terjadinya diare

Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan,


Menggunakan botol susu yang tercemar, Menyimpan makanan masak pada suhu
kamar dalam waktu cukup lama, Menggunakan air minuman yang tercemar oleh
bakteri yang berasal dari tinja, Tidak mencuci tangan setelah buang air besar,

15
sesudah membuang tinja atau sebelum memasak makanan, Tidak membuang tinja
secara benar.

2. Faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap diare

Tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun, Kurang gizi, Campak,


Imunodefisiensi / imunosupressif.

3. Umur

Kebanyakan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, insiden paling


banyak 6 – 10 bulan (pada masa pemberian makanan pendamping).

4. Variasi musiman

Variasi pola musim diare dapat terjadi melalui letak geografi. Pada daerah sub
tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas sedangkan diare
karena virus (rotavirus) puncaknya pada musim dingin. Pada daerah tropik diare
rotavirus terjadi sepanjang tahun, frekuensi meningkat pada musim kemarau
sedangkan puncak diare karena bakteri adalah pada musim hujan. Infeksi
asimtomatik kebanyakan infeksi usus bersifat asimtomatik / tanpa gejala dan
proporsi ini meningkat di atas umur 2 tahun karena pembentukkan imunitas aktif.

e) Komplikasi

1. Disentri basiler

Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien yang
berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan
dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan status gizi
buruk. Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic
syndrome (HUS). SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang
diproduksi olehShigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama
disentri basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda-tanda HUS
dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan secara
progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung.
Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter),

16
trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat
bahkan gejala susunan saraf pusat seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan
sikap yang aneh.

Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul pada
masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini dapat
terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung leukosit
polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat
berlangsung selama berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi
iritis atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus
menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini jarang
terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang toksik
namun hal ini jarang sekali terjadi.

Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan perforasi juga
dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang terjadi. Kalaupun
terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat. Peritonitis dengan
perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat yang
mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul
dan hemoroid.

2. Disentri amoeba

Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun ringan.
Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi:

a) Komplikasi intestinal

- Perdarahan usus

Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak
pembuluh darah.

- Perforasi usus

Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar.
Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi.

17
- Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.

- Ameboma

Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi terbentuknya
massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering
mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.

- Intususepsi

Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi


segera.

- Penyempitan usus (striktura)

Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat
ameboma.

b) Komplikasi ekstraintestinal

- Amebiasis hati

Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang paling sering terjadi.


Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi amoeba
sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar
lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi hepatitis
ameba yang merupakan stadium dini abses hati kemudian timbul nekrosis fokal
kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses
tunggal yang besar. Sesuai dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba
terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang steril, tidak
berbau, berwarna kecoklatan(chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati yang
rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna kuning kehijauan karena
bercampur dengan cairan empedu.

- Abses pleuropulmonal

Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kurang lebih 10-
20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Abses paru juga dapat

18
terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat pula terjadi
hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita batuk- batuk dengan sputum
berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati. Abses otak, limpa dan organ lain.
Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi amoeba langsung dari dinding usus besar
maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi.

- Amebiasis kulit

Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar dengan
membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau dinding perut. Dapat
pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus

Pencegahan Penyakit Disentri

Disentri amoeba Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang


memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat
penting. Air minum sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan binasa bila air
dipanaskan 500C selama 5 menit. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi dan
pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan
yang berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk
pencegahan. Pemberian kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi
daerah endemis tidak dianjurkan.

Disentri basiler Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella.


Penularan disentri basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang
tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih

Dari program-program yang telah dibuat oleh pemerintah, terdapat cara-cara


untuk mencegah terjadinya disentri. Salah satunya dengan melakukan program
PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dari yang paling penting,yaitu mencuci
tangan. Mencuci tangan sering dianggap sebagai hal biasa di masyarakat. Ada yang
tidak mencuci tangan sebelum makan,ada yang mencuci tangan hanya sekedar
dengan air. Padahal mencuci tangan merupakan pencegahan terjadinya penyakit yang
paling penting. Cara mencuci tangan yang paling benar yaitu dengan cara memakai

19
air bersih dan sabun atau antiseptik. Sabun dan antiseptik berguna untuk
membersihkan kuman atau bakteri yang ada di tangan. Mencuci tangan hingga steril
menggunakan sembilan langkah yang diterapkan dan dianjurkan oleh rumah sakit
adalah cara mencuci tangan yang paling benar. Mencuci tangan dilakukan setelah
buang air besar,sebelum memasak atau menjamah makanan,sebelum dan sesudah
makan.

Langkah selanjutnya yaitu menutup rapat-rapat tempat menyimpan makanan. Ini


bertujuan agar makanan tidak berisi bakteri dan makanan menjadi makanan yang
bersih dan sehat untuk dikonsumsi. Dalam kehidupan sehari-hari,ada masyarakat
yang kurang menjaga kebersihan. Sehingga tidak jarang di dalam rumah atau
ruangan mereka banyak terdapat serangga atau binatang lain yang dapat
menimbulkan penyakit seperti lalat, kecoak, tikus, nyamuk, dan lainnya. Kebersihan
alat-alat

rumah tangga yang digunakan untuk membuat makanan juga harus


diperhatikan. Kita juga harus melindungi sumber air agar tetap bersih dan terhindar
dari kontaminasi tinja. Kamar mandi harus bersih dan diusahakan agar tidak lembab
dan ada sinar matahari yang masuk ,karena bakteri dapat hidup di daerah yang
lembab. Tinja dibuang secara saniter dan teratur.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat
seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan danapabila
ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam ringan,
mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare
dan nyeri otot. Sedangkan Penyakit disentri merupakan peradangan pada usus besar.
Gejala penyakit ini ditandai dengan sakit perut dan buang air besar encer secara
terus-menerus (diare) yang bercampur lendir, nanah, dan darah.

Berdasarkan penyebabnya disentri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu disentri


amuba dan disentri basiler. Disentri amuba disebabkan oleh infeksi parasit
Entamoeba histolytica dan disentri basiler disebabkan oleh infeksi bakteri Shigella.

Bakteri tersebut dapat tersebar dan menular melalui makanan dan air yang sudah
terkontaminasi kotoran dan bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat merupakan
serangga yang hidup di tempat yang kotor dan bau, sehingga bakteri dengan mudah
menempel di tubuhnya dan menyebar di setiap tempat yang dihinggapi.

Masa inkubasi desentri bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga beberapa
bulan atau tahun biasanya 2 – 4 minggu. Diare mendadak yang disertai darah dan
lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare
encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan
sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja.

Pencegahan yang harus dilakukan :

21
a) Dengan mencegah kontaminasi makanan dan air, sayur yang dicuci
dengan air hangat, pemakaian tablet yang mengeluarkan yodium di dalam air
minum (klor dalam bentuk halazon tak efektif) merupakan cara yang berguna.

b) Perbaikan sanitasi umum

c) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

d) Mengend/alikan vector dan binatang pengerat.

3.2 Saran

Adapun saran penulis kepada para pembaca adalah hendaknya menjaga


kontaminasi makanan dan air, sayur yang dicuci dengan air hangat,membiasakan
hidup dengan menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti menjaga
kebersihan perorangan dengan selalu mencuci tangan memakai sabun setelah
memegang sesuatu dan selalu menjaga kebersihan lingkungan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Efraim Turban, Jay E. Aronson, Ting Deng Liang, Decision support Systems and
Intelligent Systems. Yogyakarta, Andi, 2005.

Muhammad Arhami, Konsep Dasar Sistem Pakar, Yogyakarta, Andi, 2005.

M. Abdurachman Irfandi, Ade Romandhony, Siti Saada, Implementasi Sistem Pakar


Diagnosa Penyakit Gigi Dan Mulut Menggunnakan Metode Hybrid casbased dan
Rule Base Reasoning, Indonesia Symposium On Computing, 2015.

Jurnal Teknik Informatika Kaputama (JTIK) Vol. 2 , No. 1, Jan 2018 ISSN: 2548-9704
114

Dedy Hidayat Kusuma, Moh. Nur Shodiq, Sistem Rekomendasi Destinasi Pariwisata
Menggunakan Metode Hybrid Case Based Reasoning Dan Location Based
Service Sebagai Pemandu Wisatawan Di Banyuwangi, Jurnal INTENSIF, Volume
1 Nomor 1, Februari 2017.

Http:// Kamus Kesehatan.com /arti/diagnosis/05/04/2015. 1. Arias IM. The Liver:


Biology and Pathobiology. United Kingdom: WileyBlackwell, 2009; p. 807-858,
859-876, 899-920.

Feldman M. Sleisenger and Fordtrans’s Gastrointestinal and Liver Disease:


Pathophysiology, Diagnosis, Management. Philadelphia: Saunders Elsevier,
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-Desember 2017 220 2010;.
Chapter 78.

Fauci AS, Braunwald E. Harrison’s Principle of Internal Medicine (17th ed). USA:
McGraw Hill, 2008; Chapter 336.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I (5th ed). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p. 429-40.

23
Goldman L, Ausiello DA, Arend W, Armitage JO, Clemmons D, Drazen J, editors.
Cecil Medicine (23rd ed). Philadelphia: SaundersElsevier, 2007; Chapter 245.

24

Anda mungkin juga menyukai