Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang di
dunia, termasuk di Indonesia. Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B, suatu anggota famili
hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun dan dapat berlanjut
menjadi sirosis hati atau kanker hati. Infeksi oleh virus hepatitis B saat ini mulai merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang besar serta serius.
Selain manifestasinya sebagai penyakit HBV akut beserta komplikasinya, hepatitis B juga
didapat dalam bentuk HbsAg kronik, yang merupakan sumber penularan bagi lingkungan.
Infeksi virus hepatitis B yang sistemik dapat menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati yang
mengakibatkan terjadinya serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik, dan
morfologik (Hadi, Lina, dan Kumalasari, 2018). Menurut penelitian Rosalina (2012)
diperkirakan sekitar 2 miliar penduduk dunia pernah terinfeksi virus hepatitis B, dan 360 juta
orang sebagai pengidap (carier) HBsAg dan 220 juta (78%) diantaranya terdapat di Asia.
Lima ratus ribu hingga 750 ribu orang diduga akan meninggal karena sirosis hepatis atau
berkembang menjadi kanker hati. Angka kejadian (prevalensi) hepatitis B kronik di Indonesia
mencapai hingga 5-10 % dari total penduduk, atau setara dengan 13,5 juta penderita. Jumlah ini
membuat Indonesia termasuk daerah endemis sedang sampai tinggi (3-17%), dan menjadi negara
ke 3 Asia yang penderita hepatitis B kroniknya paling banyak. Selain itu berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi hepatitis B sebesar 9,4%. Ini
berarti 1 dari 10 penduduk Indonesia pernah terinfeksi hepatitis B.
Bila dikonversikan dengan jumlah penduduk Indonesia maka jumlah penderita hepatitis B
mencapai 23 juta orang. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 jenis hepatitis yang
banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B (21,8 %). Besaran masalah tersebut
tentunya akan berdampak sangat besar terhadap masalah kesehatan masyarakat, produktifitas,
umur harapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya (Ahmad dan Kusnanto, 2017).
i Hepatitis biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah atau produk darah yang
mempunyai konsentrasi virus hepatitis B yang tinggi, melalui semen, melalui saliva, melalui
alat-alat yang tercemar virus hepatitis B seperti, pisau cukur, sikat gigi, alat kedokteran dan lain-
lain. Di Indonesia kejadian hepatitis B satu diantara 12-14 orang, yang berlanjut menjadi
hepatitis kronik, sirosis hepatis dan hepatoma. Mengingat jumlah kasus dan akibat hepatitis B,
maka diperlukan pencegahan sedini mungkin
Pencegahan yang dilakukan meliputi pencegahan penularan penyakit hepatitis B melalui
Health Promotion dan pencegahan penyakit melalui pemberian vaksinasi. Menurut WHO
pemberian vaksin hepatitis B tidak akan menyembuhkan pembawa kuman (carier) yang kronis,
tetapi diyakini 95 % efektif mencegah berkembangnya penyakit menjadi carier (Siregar, 2007).
Diagnosis laboratorium untuk mengetahui adanya infeksi HBV dan prognosis penyakit HBV
tersebut, dapat dilakukan dengan skrining menggunakan teknik rapid test.
Untuk menentukan keberadaan HBsAg, tes cepat yang didasarkan pada metode
imunokromatografi. Keuntungan dari metode imunokromatografi dapat diselesaikan dalam
waktu 10-20 menit dan dilakukan oleh perawat atau teknisi dengan minimum dari latihan. Rapid
test merupakan salah satu metode yang digunakan bahkan dijadikan rujukan untuk diagnosis dan
bukan hanya skrining (Ansari, et al 2014). Meskipun metode rapid test dijadikan rujukan untuk
diagnosis HBV namun hasil suatu studi mengindikasikan bahwa ada kemungkinan hasil rapid
test negatif menunjukkan hasil positif HBV pada pemeriksaan molekuler.
Hasil penelitian oleh Ulfah dan Vivi (2015) menunjukkan darah HBsAg negatif masih
berpotensi menularkan infeksi virus hepatitis B. Sebanyak 20 dari 4973 subjek (0,4%) yang
mempunyai hasil HBsAg negatif menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan molekuler. Oleh
karena itu perlu adanya suatu pengembangan metode dalam mendeteksi virus hepatitis B yang
berbasis molekuler. Salah satu metode molekuler yang dapat digunakan untuk mendeteksi virus
hepatitis B adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR merupakan metode gold standar
untuk identifikasi HBV karena memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (Song and Kim,
2016).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu
bagaimanakah karakteristik DNA virus hepatitis B yang dianalisis dengan teknik PCR ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk menganalisis DNA virus hepatitis B dari sampel darah HBsAg positif dengan teknik PCR.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi virus HBV pada sampel darah HBsAg positif dengan teknik PCR
b. Untuk mendapatkan fragmen DNA virus Hepatitis B melalui teknik PCR menggunakan
primer 251f dan primer 1190r.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai referensi bagi peneliti
selanjutnya, serta memberikan informasi dibidang biologi molekuler kepada masyarakat.
2. Manfaat praktis
a. Bagi masyarakat Diharapkan masyarakat lebih memahami tentang cara mendeteksi lebih dini
perkembangan virus hepatitis B dengan menggunakan teknik PCR.
b. Bagi penulis Diharapkan dari penelitian ini penulis dapat menambah ilmu dan lebih paham
serta terampil mengenai identifikasi virus hepatitis B dengan teknik yang digunakan.
c. Bagi Instalasi Kesehatan Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai metode acuan
dalam pemeriksaan virus hepatitis B dengan teknik atau metode PCR.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hepatitis Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan
parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus,
zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun (Kemenkes, 2017).
Peradangan hati ditandai dengan meningkatnya kadar enzim hati. Peningkatan ini disebabkan
adanya gangguan atau kerusakan membran hati. Ada 2 faktor penyebabnya yaitu faktor infeksi
dan faktor non infeksi. Faktor penyebab infeksi antara lain virus hepatitis dan bakteri. Selain
karena virus Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih banyak virus lain yang berpotensi
menyebabkan hepatitis misalnya adenoviruses, CMV, Herpes simplex, HIV, rubella, varicella dan
lainlain. Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri Salmonella
thypi, Salmonella parathypi, tuberkulosis, leptosvera. Faktor non infeksi misalnya karena obat.
Obat tertentu dapat mengganggu fungsi hati dan menyebabkan hepatitis (Dalimartha,2008).
2.2 Etiologi Hepatitis A
Hepatitis A, yang dahulu dinamakan hepatitis infeksiosa, disebabkan oleh virus RNA dari
family enterovirus. Masa inkubasi virus Hepatitis A diperkirakan berkisar dari 1 hingga 7 minggu
dengan rata-rata 30 hari. Perjalanan penyakit dapat berlangsung lama, dari 4 minggu hingga 8
minggu. Virus Hepatitis A hanya terdapat dalam waktu singkat di dalam serum, pada saat timbul
ikterik kemungkinan pasien sudah tidak infeksius lagi (Smeltzer, 2001). Hepatitis A merupakan
penyakit hati serius yang disebabkan oleh virus Hepatitis A (HAV). HAV ditemukan di tiap tubuh
manusia pengidap Hepatitis A. Terkadang penyakit ini menular melalui kontak personal.
Terkadang pula melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi HAV (Sari, 2016).

2.3 Patofisiologi Hepatitis A


VHA memiliki masa inkubasi ± 4 minggu. Replikasi virus dominasi terjadi pada hepatosit,
meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses, dan darah. Anti gen VHA dapat ditemukan pada
feses pada 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan penyakit (Arif A., 2014). Fase akut
penyakit ditandai dengan peningkatan kadar aminotransferase serum, ditemukan antibodi
terhadap VAH (IgM anti-VAH), dan munculnya gejala klinis (jaundice). Selama fase akut,
hepatosit yang terinfeksi umumnya hanya mengalami perubahan morfologi yang minimal, hanya
<1% yang menjadi fulminant. Kadar IgM anti-VAH umumnya bertahan kurang dari 6 bulan,
yang kemudian digantikan oleh IgG anti-VAH yang akan bertahan seumur hidup. Infeksi VHA
akan sembuh secara spontan, dan tidak pernah menjadi kronis atau karier (Arif A., 2014).
2.4 Faktor Resiko Hepatitis A
Perilaku berisiko terhadap Hepatitis A berdasarkan Kemenkes RI (2012) :
1. Kebiasaan membeli makanan di sembarang tempat, makan makanan mentah atau setengah
matang.
2. Personal hygiene yang rendah antara lain : penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masih
kurang diantaranya cuci tangan dengan air bersih dan sabun, mengkonsumsi makanan dan
minuman sehat, serta cara mengolah makanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan
(Kemenkes RI, 2012).
Kelompok risiko tinggi tertular HAV berdasarkan Cahyono,dkk (2010), diantaranya :
1 .Tinggal di daerah dengan kondisi lingkungan yang buruk (penyediaan air minum dan air
bersih, pembuangan air limbah, pengelolaan sampah, pembuangan tinja yang tidak memenuhi
syarat)
. 2. Tempat penitipan anak dan asrama (Pesantren). 3. Penyaji makanan.
2.5 Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala awal infeksi virus Hepatitis A sangat bervariasi dan bersifat tidak spesifik.
Demam, kelelahan, anoreksia (tidak nafsu makan) dan gangguan pencernaan (mual, muntah,
kembung) dapat ditemukan pada awal penyakit. Dalam waktu 1 minggu, beberapa penderita
dapat mengalami gejala kuning disertai gatal (ikterus), buang air kecil berwarna seperti teh, dan
tinja berwarna pucat. Infeksi pada anak berusia di bawah 5 tahun umumnya tidak memberikan
gejala yang jelas dan hanya 10% yang akan memberikan gejala ikterus. Pada anak yang lebih tua
dan dewasa, gejala yang muncul biasanya lebih berat dan ikterus terjadi pada lebih dari 70%
penderita. Masa inkubasi 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari ( Kemenkes, 2012).
Menurut Wicaksono (2014) gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi,
fase prodromal (pra ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan).
1. Fase Inkubasi
Fase Inkubasi merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase
ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada dosis
inokulum yang ditularkan dan jalur 7 penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase
inkubasi ini. Pada hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50 hari, dengan rata-
rata 28-30 hari.
2. Fase Prodromal (Pra-Ikterik)
Pada fase ini akan timbul keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Tandanya
berupa malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan
anoreksia.
3. Fase Ikterus
Fase Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya
gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi
perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen (Penyembuhan
Fase penyembuhan diawali dengan proses menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada
hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant..
2.6 Diagnosis Hepatitis A
Salah satu cara dalam menegakkan diagnosis pada penderita hepatitis A diperlukan beberapa
pemeriksaan, antara lain:
1. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis dilakukan berdasarkan keluhan penderita seperti demam, kelelahan,
anoreksia, mual, dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa orang biasanya mengalami diare,
ikterik (kulit dan mata menguning), urine berwarna gelap dan pada kotoran (feses) terdapat
bercak darah, hal ini dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkatan berat penyakit ini
bermacam–macam, mulai dari asimtomatik (hal ini biasa terjadi pada anak–anak), sakit ringan,
hingga sakit yang menyebabkan hendaknya bertahan selama satu minggu sampai satu bulan.
2. Pemeriksaan serologi Pada pemeriksaan serologi, mencari dua jenis antibodi terhadap
virus yaitu IgM dan IgG. Hal pertama yang dicari adalah antibodi IgM, yang dibuat oleh sistem
kekebalan tubuh lima sampai sepuluh hari, dan antibodi ini hilang dalam waktu enam bulan. Tes
antibodi IgG, yang menggantikan antibodi IgM dan untuk seterusnya melindungi terhadap
infeksi HAV.
a. Apabila dalam tes serologi hasilnya menunjukkan negatif untuk antibodi IgM dan antibodi
IgG, maka seseorang kemungkinan tidak pernah terinfeksi HAV, dan direkomendasikan untuk
melakukan vaksinasi HAV.

b. Apabila tes serologi menunjukkan hasil positif untuk antibodi IgM dan hasil negatif untuk
antibodi IgG, maka seseorang kemungkinan telah tertular HAV dalam kurun waktu enam bulan
terakhir, dan sistem kekebalan tubuh sedang mengeluarkan virus atau infeksi menjadi semakin
parah.
c. Sebaliknya apabila tes serologi menunjukkan hasil negatif untuk antibodi IgM dan hasil
positif untuk antibodi IgG, maka kemungkinan seseorang tersebut terinfeksi HAV pada suatu
waktu sebelumnya, atau sudah melakukan vaksinasi terhadap HAV, dan pada saat ini sudah kebal
terhadap HAV.
3. Pemeriksaan penunjang lain Diagnosis dari penyakit hepatitis dapat berdasarkan hasil
pemeriksaan biokimia terhadap fungsi organ hati (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin
urine dan urobilinogen, total dan direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT), aspartate
transaminase (AST), prothombin time (PT), total protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan
hitung sel darah lengkap). Apabila dengan tes laboratorium tidak memungkinkan, maka bukti
epidemiologis merupakan langkah yang dapat membantu menegakkan diagnosa. Bukti
epidemiologis adalah penemuan dua atau lebih kasus hepatitis A klinis pada lokasi praduga KLB
yang mempunyai hubungan epidemiologis (Kemenkes, 2012).
2.7 Komplikasi
Komplikasi dapat meliputi (Kowalak, 2016):
1. Hepatitis persisten kronis yang memperpanjang masa pemulihan samapai 8 bulan
2. Hepatitis aktif yang kronis
3. Sirosis hepatis
4. Gagal hati dan kematian
5. Karsinoma hepatoseluler primer
2.8 PATHWAY
Virus

Pelepasan histamin,sitokin, aktivitas komplemen

Antigen-anti bodi

Destruks sel yang terinfeksi

Edema

Kapiler kolabs

Aliran darah

HIpoksia jaringan  Jaringan ikat dan hiprosif


BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Keluhan utama Penderita datang untuk berobat dengan keluhan tiba-tiba tidak nafsu
makan, malaise, demam (lebih sering pada HVA). Rasa pegal linu dan sakit kepala pada HVB,
dan hilang daya rasa lokal untuk perokok (Brunner & Suddarth, 2015).
2. Dasar data pengkajian pasien Data tergantung pada penyabab dan beratnya kerusakan atau
gangguan hati.
1) Aktivitas / istirahat Gejala :
Kelemahan, kelelahan, malaise umum
2) Sirkulasi
Tanda : Bradikardia
Gejala : Ikterus pada sklera, kulit dan dan membran mukosa.
3) Elimnasi Gejala : Urine gelap, diare / konstipasi, feses berwarna hitam, adanya / berulangnya
hemodialisis.
4) Makanan dan cairan
Gejala : Hilang napsu makan (anoreksia), penurunan berat badan atau meningkat odem,
mual/muntah. Tanda : asites
5) Neurosensor
i Tanda : Peka rangsang, cenderung tidur, alergi, dan asteriksis.
6) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Kram abdomen, nyeri tekan pada bagian kuadran kanan atas,mialgia, atralgia, dan sakit
kepala. Tanda : otot tegang, gelisah.
7) Pernapasan
Gejala : Tidak minat / enggan merokok .
8) Keamanan Gejala : Adanya tranfusi darah/produk darah
Tanda : demam, urtikuria, lesi makutopapular, eritema tak beraturan, eksaserbasi jerawat,
angioma jaring-jaring.
9) Seksualitas Gejala : Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan (contoh : homo seksual
aktif / biseksual pada wanita).
10) Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala: Riwayat diketahui atau mungkin terpajan pada virus bakteri atau toksin. Makanan
terkontaminasi, air, jarum, alat bedah dengan anastesi halotan: terpajan pada kimia toksik
(contoh: karbon tetraklorida, vinil klorida): obat resep (contoh: surfanomit, fenotizid).
3.2 Diagnosa Keperawatan
Untuk perumusan masalah keperawatan berpedoman pada buku Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NOC dan NIC (Nurarif, 2015)
. Diagnosa keperawatan yang dapat terjadi pada pasien dengan hepatitis yaitu:
1. Hipertermia b.d invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadapt inflamasi hepar. 2.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perasaan tidak nyaman di kuadran
kanan atas, gangguan absorbs dan metabolism pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk
memenuhi kebutuhan metabolic karena anoreksia, mual, muntah.
3. Nyeri akut b.d pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena
porta.
4. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksingen.
5. Resiko gangguan fungsi hati b.d penurunan fungsi hati dan terinfeksi virus hepatitis. (Nurarif,
2015).

Anda mungkin juga menyukai