Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatitis
Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati.
Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis
virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV),
virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang ditularkan
pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan
tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus yang menyerang
manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA.
Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molecular dan antigen, akan tetapi
semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan
penyakitnya. Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik
sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian.
Selain itu, gejala juga bisa bervariasi dari infeksi persisten subklinis sampai penyakit
hati kronik progresif cepat dengan sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler yang
umum ditemukan pada tipe virus yang ditransmisi melalui darah (HBV, HCV, dan
HDV) (Sanityoso, 2009) (Dienstag, 2008).
2.1.1 Epidemiologi
Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis
(jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor
seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit
autoimun (Kemenkes, 2017).
Peradangan hati ditandai dengan meningkatnya kadar enzim hati. Peningkatan ini
disebabkan adanya gangguan atau kerusakan membran hati. Ada 2 faktor penyebabnya
yaitu faktor infeksi dan faktor non infeksi. Faktor penyebab infeksi antara lain virus
hepatitis dan bakteri. Selain karena virus Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih banyak
virus lain yang berpotensi menyebabkan hepatitis misalnya adenoviruses, CMV, Herpes
simplex, HIV, rubella, varicella dan lain- lain. Sedangkan bakteri yang menyebabkan
hepatitis antara lain misalnya bakteri Salmonella thypi, Salmonella parathypi,
tuberkulosis, leptosvera. Faktor non infeksi misalnya karena obat. Obat tertentu dapat
mengganggu fungsi hati dan menyebabkan hepatitis (Dalimartha, 2008).
Hepatitis A, yang dahulu dinamakan hepatitis infeksiosa, disebabkan oleh virus
RNA dari family enterovirus. Masa inkubasi virus Hepatitis A diperkirakan berkisar
dari 1 hingga 7 minggu dengan rata-rata 30 hari. Perjalanan penyakit dapat berlangsung
lama, dari 4 minggu hingga 8 minggu. Virus Hepatitis A hanya terdapat dalam waktu
singkat di dalam serum, pada saat timbul ikterik kemungkinan pasien sudah tidak
infeksius lagi (Smeltzer, 2001).
Hepatitis A merupakan penyakit hati serius yang disebabkan oleh virus Hepatitis
A (HAV). HAV ditemukan di tiap tubuh manusia pengidap Hepatitis A. Terkadang
penyakit ini menular melalui kontak personal. Terkadang pula melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi HAV (Sari, 2016).
Etiologi virus Hepatitis B dari golongan virus DNA. Masa inkubasi 60-90 hari,
penularan vertikal 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5% intra uterine.
Penularan horizontal melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, tattoo,
transplantasi organ. Gejala tidak khas seperti lesu, nafsu makan berkurang, demam
ringan, nyeri abdomen sebelah kanan, dapat timbul ikterus, air kencing warna teh.
Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati serum transaminase (ALT meningkat),
serologi HBsAg dan IgM anti HBC dalam serum.
Penyebab Hepatitis C adalah sirosis dan kanker hati, etiologi virus Hepatitis C
termasuk golongan virus RNA, masa inkubasi 2-24 minggu. Penularan Hepatitis C
melaluli darah dan cairan tubuh, penularan masa perinatal sangat kecil, melalui jarum
suntik, transplantasi organ, hubungan seks dapat menularakan tetapi sangat kecil.
Kronisitasinya 80% penderita akan menjadi kronik.
Virus Hepatitis D jarang ditemukan tapi paling berbahaya, Hepatitis D disebut
virus delta, virus ini memerlukan virus Hepatitis B untuk berkembang biak sehingga
hanya ditemukan pada orang yang telah terinfeksi virus Hepatitis B.
Hepatitis E dikenal sebagai Hepatitis Non A – Non B, etiologi virus Hepatitis E
termasuk virus RNA.Masa inkubasi 2-9 minggu. Penularan melalui fokal oral, dengan
didapatkannya IgM dan IgG anti HEV pada penderita yang terinfeksi. Belum ada
dilakukan pengobatan antivirus, pencegahan dengan menjaga kebersihan lingkungan,
terutama kebersihan makanan dan minuman.
2.1.2 Morbiditas
Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di
seluruh dunia. Penyakit tersebut ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta
kematian setiap tahunnya. Banyak episode hepatitis dengan klinik anikterik, tidak nyata
atau subklinis. Secara global virus hepatitis merupakan penyebab utama viremia yang
persisten. Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A
masih merupakan bagian terbesar dari kasus- kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu
berkisar dari 39,8-68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan
umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan di bawah
standar. Lebih dari 75% anak dari berbagai benua Asia, Afrika, India, menunjukkan
sudah memiliki antibody anti-HAV pada usia 5 tahun. Sebagian besar infeksi HAV
didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik atau sekurangnya aniktertik
(Sanityoso, 2009).
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% di
Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara
dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara Asia diperkirakan bahwa
penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi
infeksi virus hepatitis B yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan HBeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya.
Adanya HbeAg pada ibu sangat berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu
mengandung HBsAg positif namun jika HBeAg dalam darah negative, maka daya
tularnya menjadi rendah. Data di Indonesia telah dilaporkan oleh Suparyatmo, pada
tahun 1993, bahwa dari hasil pemantauan pada 66 ibu hamil pengidap hepatitis B, bayi
yang mendapat penularan secara vertical adalah sebanyak 22 bayi (45,9%) (Sanityoso,
2009).
Prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia
menunjukkan angka di antara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada
hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan
kedua setelah hepatitis A akut (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh
hepatitis B (6,4%-25,9%). Untuk hepatitis D, walaupun infeksi hepatitis ini erat
hubungannya dengan infeksi hepatitis B, di Asia Tenggara dan Cina infeksi hepatitis D
tidak biasa dijumpai pada daerah dimana prevalensi HBsAg sangat tinggi. Laporan dari
Indonesia pada tahun 1982 mendapatkan hasil 2,7% (2 orang) anti HDV positif dari 73
karier hepatitis B dari donor darah. Pada tahun 1985, Suwignyo dkk melaporkan, di
Mataram, pada pemeriksaan terhadap 90 karier hepatitis B, terdapat satu anti HDV
positif (1,1%) (Sanityoso, 2009).
Hepatitis E (HEV) di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Sintang
Kalimatan Barat yang diduga terjadi akibat pencemaran sungai yang digunakan untuk
aktivitas sehari-hari. Didapatkan HEV positif sebanyak 28/82 (34,1%). Letupan kedua
terjadi pada tahun 1991, hasil pemeriksaan menunjukkan HEV positif 78/92 orang
(84,7%). Di daerah lain juga ditemukan adanya HEV seperti di kabupaten Bawen, Jawa
Timur. Pada saat terjadi letupan tahun 1992, ditemukan 2 kasus HEV dari 34 sampel
darah. Dari rumah sakit di Jakarta ditemukan 4 kasus dari 83 sampel (Sanityoso, 2009).
2.1.3 Mortalitas
Penyakit Hepatitis didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya peradangan pada hati. Penyakit Hepatitis merupakan suatu penyakit yang
mengalami proses inflamasi atau nekrosis pada jaringan hati yang disebabkan oleh
infeksi virus, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan sistem
antibodi. Infeksi Hepatitis yang disebabkan oleh virus merupakan penyebab paling
banyak dari penyakit Hepatitis.
Ada beberapa jenis Penyakit Hepatitis seperti Hepatitis A, B, C, D dan E bahkan
kemungkinan dalam perkembangan kedepan akan bertambah. Penyakit Hepatitis A dan
E sering muncul sebagai penyakit yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa. penyakit ini
ditularkan secara fecal oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih
dan hidup sehat. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa penduduk
di dunia akan terinfeksi virus Hepatitis A, B, C, D dan E. salah satunya penyakit
Hepatitis A secara global diperkirakan terjadi sekitar 1,4 juta kasus pertahun.
Menurut data Global Burden of Disease (GBD), pada tahun 2019 angka kematian
akibat hepatitis akut di Indonesia mencapai 2,14 per 100.000 penduduk. Angka
kematian yang tercatat di sini berasal dari kasus hepatitis yang terjadi pada seluruh
kelompok usia dan jenis kelamin.
Penyakit Hepatitis A bersifat akut dan dapat sembuh dengan baik bila kondisi
daya tahan tubuh dan stamina baik. Sedangkan Hepatitis B, C dan D (jarang terjadi)
ditularkan secara parenteral dan dapat menjadi kronis serta dapat menimbulkan
penyakit Cirrhosis Hepatis dan lalu meningkat menjadi penyakit Kanker Hati.
Penyakit Hepatitis A kerap muncul menjadi penyakit yang menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Dalam
satu kejadian, Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia,
sekitar 240 juta orang diantaranya mengidap penyakit Hepatitis B kronik, sedangkan
untuk penderita Hepatitis C di dunia diperkirakan sebesar 170 juta orang. Sebanyak 1,5
juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena penyakit Hepatitis.
Indonesia yang merupakan negara daerah tropis dengan jumlah penduduk
terbanyak keempat di dunia, dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar setelah
Myanmar, dan diantara negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region).
Berdasarkan hasil dari riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji darah donor di
Palang Merah Indonesia (PMI) maka diperkirakan di antara 100 orang penduduk
Indonesia, 10 di antaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C. Sehingga saat ini
diperkirakan terdapat 28 juta penduduk indonesia yang terinfeksi hapatitis B dan C, 14
juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis 1,4 juta orang
berpotensi untuk menderita Kanker hati.

2.2 Kolera
Kolera adalah suatu infeksi usus kecil karena bakteri Vibrio cholerae. Bakteri
kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus melepaskan sejumlah besar
cairan yang banyak mengandung garam dan mineral. Karena bakteri sensitif terhadap
asam lambung, maka penderita kekurangan asam lambung cenderung menderita
penyakit ini. Kolera menyebar melalui air yang diminum, makanan laut atau makanan
lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang terinfeksi. Kolera ditemukan di Asia,
Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin. Di daerah-daerah tersebut, wabah biasanya
terjadi selama musim panas dan banyak menyerang anak-anak. di daerah lain, wabah
terjadi pada musim apapun dan semua usia bisa terkena (Irianto, 2013).
Irianto K. (2013). Mikrobiologi Medis. Bandung: Alfabeta. pp: 415-419.
Kolera adalah salah satu penyakit infeksi akut yang menyerang usus halus.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Vibrio cholera, yang ditandai dengan berak- berak
dan muntah. Tanpa penanganan yang cepat dan tepat, orang yang terserang kolera
dalam waktu 24 jam akan sangat banyak kehilangan cairan, dehidrasi, yang dapat
beresiko fatal. Namun, dengan penanganan yang segera pasien dapat diselamatkan
(Cahyono, 2009).
2.2.1 Epidemiologi
Ada dua perangai epidemiologik yang khas dari kolera, yaitu (Lesmana, 2006) :
1. Kecenderungannya untuk menimbulkan wabah secara eksplosif, acapkali pada
beberapa daerah secara bersamaan.
2. Kemampuannya untuk menjadi pandemik yang secara progresif mengenai banyak
tempat di dunia.
Di dalam sejarah kolera ada 7 pandemi yang melanda dunia. Organisme penyebab
dari empat pandemi yang pertama belum dikenali pada saat itu, tetapi dua pandemi
yang berikutnya disebabkan oleh Vibrio cholerae serogrup O1 biotipe Klasik. Pandemi
yang ketujuh terjadi pada bulan Januari tahun 1961, berasal dari kota makassar,
sulawesi dan merupakan pandemi pertama yang disebabkan oleh V. cholerae O1
biotipe El Tor. Saat pandemi ketujuh ini meluas, V. cholerae O1 biotipe El Tor
mendesak sama sekali niotipe Klasik yang menjadi penyebab pandemi sebelumnya dan
kini El Tor merupakan biotipe yang dominan dijumpai di seluruh dunia (Lesmana,
2006).
Diperkirakan sekitar 5,5 juta kasus kolera terjadi setiap tahunnya di Asia dan
Afrika, 8% dari kasus-kasus ini cukup berat sehingga memerlukan perawatan rumah
sakit dan 20% dari kasus-kasus berat ini berakhir dengan kematian sehingga jumlah
kematian berkisar sekitar 120.000 kasus pertahun (Lesmana, 2006).
Vibrio cholerae O139 yang merupakan salah satu serogrup non-O1, dilaporkan
menyebabkan wabah besar di India dan Bangladesh pada tahun 1992- 1993. Berawal
dari sebuah kota pelabuhan di teluk Bengal di India Selatan, yaitu Madras, wabah ini
kemudian dengan cepat menjalar ke negara-negara tetangga di Asia dan negara lain
yang jauh seperti Amerika dan Eropa. Berbeda dari wabah karena El Tor, O139 lebih
banyak menyerang orang-orang dewasa dan anak-anak. Ini menunjukkan bahwa
banyak orang yang terserang belum mempunyai kekebalan terhadap kausa dari wabah
dan kemudian memang penyebabnya adalah V. cholerae galur baru. Kerentanan dari
populasi dewasa terhadap O139 pada daerah dimana V. cholerae O1 endemik telah
didapat terhadap serogrup O1, tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi oleh
O139 (Lesmana, 2006).
Meskipun wabah O139 telah melanda hampir seluruh dunia, galur ini tidak
dijumpai di Indonesia, namun demikian, upaya-upaya tetap dilakukan untuk mendeteksi
secara dini kemungkinan masuknya galur ini ke Indonesia (Lesmana, 2006).
2.2.2 Morbiditas
Kolera adalah penyakit diare yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan di seluruh dunia. Penyakit tersebut merupakan penyakit infeksi usus yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Penularan Kolera melalui makanan, minuman
yang terkontaminasi oleh bakteri Vibrio cholerae atau kontak dengan carrier Kolera.
Dalam usus halus bakteri Vibrio cholerae ini akan beraksi dengan cara mengeluarkan
toksinnya pada saluran usus, sehingga terjadilah Diare disertai muntah yang akut dan
hebat.
Kolera dapat menyebar dan sudah banyak penelitian bersekala besar dilakukan,
namun kondisi penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran
modern. Bakteri Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feces
(kotoran) manusia, bila kotoran yang mengandung bakteri ini mengkontaminasi air
sungai dan sebagainya maka orang lain yang terjadi kontak dengan air tersebut beresiko
terjangkit penyakit Kolera juga.
Penyakit kolera, selain berbahaya juga sangat mudah menjangkit. Hanya dengan
hal-hal biasa seperti misalnya cuci tangan yang tidak bersih lalu makan, mencuci
sayuran atau makanan dengan air yang mengandung bakteri Kolera, makan ikan yang
hidup di air terkontaminasi bakteri Kolera, Bahkan air tersebut (seperti disungai)
dijadikan air minum oleh orang lain yang bermukim disekitarnya. Gejala penyakit
kolera sangat tipis perbedaannya dengan gejala diare biasa, itulah sebabnya penyakit ini
terkadang tidak dapat di deteksi dengan baik oleh tenaga kesehatan yang belum pakar
di bidangnya.
Pada orang yang fecesnya ditemukan bakteri Kolera mungkin selama 1-2 minggu
belum merasakan keluhan berarti, tetapi saat terjadinya serangan infeksi maka tiba-tiba
terjadi diare dan muntah dengan kondisi cukup serius sebagai serangan akut yang
menyebabkan samarnya jenis diare yang dialami. Akan tetapi pada penderita penyakit
Kolera ada beberapa hal tanda dan gejala yang ditampakkan seperti diare yang encer
dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus, feces atau kotoran (tinja)
yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air
cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis, tetapi seperti manis yang menusuk, Feces
(cairan) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan
gumpalan-gumpalan putih, Diare terjadi berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup
banyak, Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi, penderita
tidaklah merasakan mual sebelumnya, Kejang otot perut bisa juga dirasakan dengan
disertai nyeri yang hebat, dan Banyaknya cairan yang keluar akan menyebabkan
terjadinya dehidrasi dengan tanda-tandanya seperti: detak jantung cepat, mulut kering,
lemah fisik, mata cekung, hypotensi dan lain-lain yang bila tidak segera mendapatkan
penanganan pengganti cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan kematian.
2.2.3 Mortalitas
Berdasarkan data WHO, terdapat 1,2 juta kasus kolera pada tahun 2017 dengan
angka fatalitas sebesar 5.654 di seluruh dunia. Sekitar 84% kasus kolera global dan
41% kematian akibat kolera di seluruh dunia dilaporkan di Yemen.
Jumlah kasus dalam laporan WHO ini masih belum menyeluruh karena masih
banyak negara yang belum melaporkan kejadian kolera. Hal ini diduga terjadi karena
kurangnya sistem surveilans dan adanya penutupan kasus kolera oleh negara tertentu
untuk mencegah penurunan turisme dan industri ekspornya. Kejadian Luar Biasa
(KLB) kolera yang pernah dilaporkan di Indonesia tercatat terjadi pada bulan April –
Agustus 2008 di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Kejadian ini
memakan korban sampai 105 jiwa. Setelah itu, tidak didapatkan laporan terbaru
mengenai jumlah kasus kolera di Indonesia hingga saat ini.
Sebelum adanya regimen penggantian cairan dan elektrolit yang baik, mortalitas
kolera mencapai >50%. Namun, mortalitas tersebut dapat ditekan menjadi <1% bila ada
pemberian terapi yang cepat.
2.3 Diare
Penyakit diare menjadi permasalahan utama di negara-negara berkembang
termasuk di Indonesia. Selain sebagai penyebab kematian, diare juga menjadi penyebab
utama gizi kurang yang bisa menimbulkan kematian serta dapat menimbulkan kejadian
luar biasa. Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya penyakit diare
disebabkan oleh bakteri melalui kontaminasi makanan dan minuman yang tercemar
tinja dan atau kontak langsung dengan penderita. Selain itu, faktor yang paling dominan
berkontribusi dalam penyakit diare adalah air, higiene sanitasi makanan, jamban
keluarga, dan air (Melvani et al., 2019).
Penyakit diare merupakan penyebab utama kematian kedua pada anak di bawah
lima tahun dan mengakibatkan kematian sekitar 525.000 anak setiap tahunnya. Diare
dapat berlangsung beberapa hari dan dapat mengakibatkan dehidrasi air dan garam
yang diperlukan untuk bertahan hidup. Di masa lalu, bagi kebanyakan orang, dehidrasi
berat dan kehilangan cairan adalah penyebab utama kematian. Sekarang, penyebab lain
seperti infeksi bakteri septik kemungkinan akan menyebabkan peningkatan proporsi
kematian terkait diare. Anak-anak yang kekurangan gizi atau memiliki kekebalan yang
terganggu serta orang yang hidup dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) paling
berisiko mengalami diare yang mengancam jiwa (WHO, 2017).
2.3.1 Epidemiologi
Diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti
biasanya. Perubahan yang terjadi berupa perubahan peningkatan volume, keenceran,
dan frekuensi dengan atau tanpa lendir darah, seperti lebih dari 3 kali/hari dan pada
neonatus lebih dari 4 kali/hari (Selviana et al., 2017). Tingginya angka kejadian diare
disebabkan oleh banyak faktor diantaranya makanan dan minuman yang terkontaminasi
akibat kebersihan yang buruk, infeksi virus dan bakteri (Rahmah et al., 2016).
Banyak faktor resiko yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit diare. Salah
satu faktor antara lain adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik, persediaan air yang
tidak hiegienis, dan kurangnya pengetahuan. Selain itu, faktor hygiene perorangan yang
kurang baik dapat menyebabkan terjadinya diare seperti kebiasaan cuci tangan yang
buruk, kepemilikan jamban yang tidak sehat (Rahman et al., 2016).
Berdasarkan hasil penelitian Fatmawati et al., (2017), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara perilaku cuci tangan dan kejadian diare (ρ=0,000 < 0,001),
dimana responden yang memiliki perilaku cuci tangan yang tidak baik mempunyai
peluang 36 kali mengalami diare (OR=36,364). Terdapat hubungan antara perilaku
makan dengan kejadian diare (ρ=0,000 < 0,001), dimana responden yang memiliki
perilaku makan yang tidak baik mempunya peluang 23 kali mengalami diare (OR=23,
125). Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare
(ρ=0,000 < 0,001), dimana responden yang memiliki status gizi kurang (kurus)
mempunyai peluang 71 kali mengalami diare (OR=71,111).
Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Prabowo et al., (2017), mengemukakan
bahwa ada hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare (ρ value 0,034), ada
hubungan hygiene makanan dengan kejadian diare (ρ value 0,001) dan ada hubungan
perilaku cuci tangan dengan kejadian diare (ρ value 0,001). Dan hasil analisis
multivariat dengan koefisien regresi logistik berganda, variabel cuci tangan memiliki
pengaruh paling dominan terhadap kejadian diare dengan nilai OR sebesar 6,985
dengan ρ value sebesar 0,001.
2.3.2 Morbiditas
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019, prevalensi diare
berdasarkan diagnosis tenaga Kesehatan sebesar 6,8% dan berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan atau gejala yang pernah dialami sebesar 8%. Kelompok umur dengan
prevalensi diare (berdasarkan diagnosis tenaga Kesehatan) tertinggi yaitu pada
kelompok umur 1-4 tahun sebesar 11,5% dan pada bayi sebesar 9%. Prevalensi diare
terendah di Provinsi Kepulauan Riau sebanyak 5,1% dan dan tertinggi di Provinsi
Sumatera Utara sebanyak 14,2% (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
Pemetaan jumlah penderita diare menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan
tahun 2019 menunjukkan bahwa perkiraan diare sebanyak 236.099 kasus, adapun diare
yang ditangani sebanyak 146.958 kasus (62,24%), dimana kejadian terbesar di Kota
Makassar dengan jumlah yang ditangani dilaporkan sebanyak 19.592 kasus (Dinkes
Prov. Sulawesi Selatan, 2020).
Kasus diare yang ditemukan dan ditangani yang dilaporkan oleh 46 puskesmas se
Kota Makassar sampai dengan desember 2016 sebanyak 22.052 dengan Angka
Kesakitan (Incidence Rate/IR) yaitu 15.21 per 1.000 penduduk menurun dibandingkan
tahun 2015 sebanyak 28.257 kasus dengan Angka Kesakitan (Incidence Rate/IR) yaitu
20,07 per 1.000 penduduk dan meningkat dari tahun 2014 yaitu 26.485 kasus dengan
Angka Kesakitan (Incidence Rate/IR) yaitu 19,34 per 1.000 penduduk (Dinkes Kota
Makassar, 2017).
Di Indonesia, diare merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi
yang tinggi. Berdasarkan data Kemenkes RI prevalensi diare pada tahun 2018 sebanyak
37,88% atau sekitar 1.516.438 kasus pada balita. Prevalensi tersebut mengalami
kenaikan pada tahun 2019 menjadi 40% atau sekitar 1.591.944 kasus pada balita
(Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2020). Selain itu, Riskesdas melaporkan prevalensi diare
lebih banyak terjadi pada kelompok balita yang terdiri dari 11,4 % atau sekitar 47.764
kasus pada laki-laki dan 10,5% atau sekitar 45.855 kasus pada perempuan (Riskesdas,
2018)
Menurut Laporan Profil Kesehatan Indonesia prevalensi diare pada balita di Jawa
Barat pada tahun 2018 sebesar 46,35% dan mengalami kenaikan pada tahun 2019
menjadi 47,6%. Berdasarkan data tersebut prevalensi diare di Jawa Barat termasuk
kedalam 10 provinsi dengan kasus diare tertinggi di Indonesia (Profil Kesehatan Jawa
Barat, 2019). Kota Tasikmalaya merupakan salah satu kota di Jawa Barat dengan
prevelansi diare yang cukup tinggi dimana menurut profil kesehatan Indonesia bahwa
target cakupan penderita diare adalah 10% dari perkiraan jumlah balita. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya melaporkan bahwa pada
tahun 2018 terdapat 4.450 kasus atau sekitar 25%, pada tahun 2019 terdapat 5.053
kasus atau sekitar 46% dan pada tahun 2020 terdapat 3.525 kasus atau sekitar 31%
kejadian diare pada balita. Berdasarkan data tersebut maka prevalensi diare di Kota
Tasikmalaya masih tinggi karena masih melebihi target nasional. Dari 22 Puskesmas di
Kota Tasikmalaya, pada tahun 2020 terdapat 3 Puskesmas dengan kasus diare tertinggi
berdasarkan rasio, diantaranya Puskesmas Cigeureung 164 kasus, Puskesmas
Sambongpari 130 kasus dan Puskesmas Purbaratu 121 kasus diare pada balita (Dinkes
Kota Tasikmalaya, 2018).

2.3.3 Mortalitas
Secara global terjadi peningkatan kasus diare yang menyebabkan kematian pada
balita. Data WHO (2017) menyatakan bahwa terdapat sekitar 1,7 milyar kasus diare
pada balita dan menyebabkan kematian sebanyak 525.000 balita setiap tahunnya.
Penyakit diare merupakan penyebab kematian kedua pada anak di bawah lima
tahun dengan jumlah 525.000 (0,030%) anak setiap tahun. Secara global, ada hampir
1,7 miliar kasus penyakit diare anak-anak setiap tahun. Kejadian diare dapat
berlangsung beberapa hari dan dapat menimbulkan dehidrasi. Penyebab utama
kematian akibat diare adalah dehidrasi dan penyebab lainnya adalah infeksi bakteri
septik. Anak kekurangan gizi atau memiliki gangguan kekebalan serta orang pengindap
HIV paling berisiko mengalami diare yang mengancam jiwa (Organization, 2017).
WHO. (2017). Diarrhoeal disease. World Health Organization.
https://www.who.int/news- room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease
Angka kesakitan kematian akibat diare masih relatif tinggi. Beberapa survey di
Indonesia menunjukkan angka kesakitan diare untuk semua golongan umur adalah
sekitar 120-360 per 1000 penduduk (12%-36%), dan untuk golongan balita menderita
satu atau dua kali episode diare pada setiap tahunnya, 76% kematian karena diare
terjadi pada bayi dan balita terutama 2 tahun pertama usia bayi. Pada bayi kasus diare
menduduki urutan kedua setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) sebagai
penyebab kematian (Sani & Abidin, 2014).
Prevalensi diare di Indonesia menurut karakteristik berdasarkan Riskesdas 2018
tercatat sebanyak 18.225 (9%) anak dengan diare golongan umur < 1 tahun, 73.188
(11,5 %) anak dengan diare golongan umur 1-4 tahun, 182.338 (6,2 %) anak dengan
diare golongan umur 5-14 tahun, dan sebanyak 165.644 (6,7 %) anak dengan dare
golongan umur 15-24 tahun (Kemenkes, 2019).
Daftar Pustaka
Dienstag J.L., Isselbacher K.J.,Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition,McGraw Hill, 2008.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. (2018). “Profil Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2018”. Makassar : Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan.
Dinkes Kota Tasikmalaya. 2018. Profil Kesehatan Kota Tasikmalaya. Tasikmalaya : Dinas
Kesehatan Kota Tasikmalaya.
Kemenkes RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.
Melvani R. P. et al. (2019) ‘Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare
Balita Di Kelurahan Karyajaya Kota Palembang’, Jurnal JUMANTIK. 4(1): 57-68.
Riskesdas, 2018, Laporan Nasional 2018, Badan Penelitian dan Pengembangan. Kesehatan
Departemen Kesehatan.
Sanityoso, A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
World Health Organization (WHO). Diarrhoeal Disease 2017.

Anda mungkin juga menyukai