Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

TATALAKSANA PENYAKIT HEPATITIS


TEORI DAN KAJIAN KASUS

KELAS B1-A
KELOMPOK 1 :
A.A Istri Alit Putri Indradewi (162200001)
A. A. Sagung Dewi Pradnya Pramita (162200002)
I Gst Ayu Agung Kristina Dewi (162200003)
I Gst Putu Agus Anom (162200004)
I Made Yoghi Sudipa (162200005)
I Nyoman Kerta Negara (162200006)
I Putu Mariawan (162200007)

JURUSAN FARMASI

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA

2018
1. TUJUAN PRAKTIKUM
a. Mengetahui definisi hepatitis
b. Mengetahui patofisiologi hepatitis
c. Mengetahui tatalaksana terapi hepatitis (farmakologi dan non-farmakologi)
d. Dapat menyelesaikan kasus terkait hepatitis secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

2. DASAR TEORI
2.1. Definisi Hepatitis
Hepatitis merupakan peradangan hati yang bisa disebabkan oleh virus,
alkohol, penggunaan zat, paparan racun dan adanya penyakit tertentu. Viral
hepatitis mengacu pada radang hati yang disebabkan oleh salah satu dari
beberapa jenis virus yang menyerang hati. Dalam beberapa kasus, tubuh dapat
membersihkan dirinya dari infeksi, namun apabila tubuh tidak dapat
menyingkirkan infeksi dengan sendirinya, maka infeksi akan berkembang
menjadi kronis (Strauss et all, 2005).
Viral hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 yaitu akut dan kronis, dimana
hepatitis akut didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan adanya
peningkatan konsentrasi serum aminotransferase > 2,5 kali batas atas normal
yang berlangsung tidak lebih dari 6 bulan yang disertai dengan adanya
jaundice. Sedangkan untuk hepatitis kronis dapat didefinisikan sebagai
kondisi peradangan hati yang melibatkan nekrosis hepatoselular yang
berlangsung selama 6 bulan atau lebih setelah timbulnya penyakit akut (Brian
et all, 2013).
2.2. Klasifikasi, Epidemiologi dan Etiologi
Terdapat beberapa tipe dari viral hepatitis, yaitu :
a. Hepatitis A Virus (HAV)
HAV memengaruhi 1,4 juta orang setiap tahun di seluruh dunia
dengan prevalensi tertinggi di negara-negara yang mengalami tantangan
ekonomi dan terbelakang, termasuk Afrika, bagian dari Amerika Selatan,
Timur Tengah dan Asia Tenggara. HAV memiliki diameter 27 nm, single
stranded RNA virus dengan kelas picornavirus dalam genus Hepatovirus.
HAV menginfeksi orang melalui rute fecal-oral, dimana yang
paling tinggi adalah karena adanya kontak dengan individu yang
terinfeksi HAV (26%), bekerja atau sering berada di pusat penitipan anak
(14%), penyalahgunaan obat dengan injeksi (11%) traveling ke negara
endemik (4%) serta makanan atau minuman yang terinfeksi (3%). Wabah
terjadi di wilayah dengan sanitasi yang buruk, dimana sekitar 45% dari
kasus yang dilaporkan tidak memiliki faktor resiko yang dapat
diidentifikasi (Burns et all, 2016; Brian et all, 2013).
b. Hepatitis B Virus (HBV)
HBV adalah infeksi yang ditularkan melalui darah yang
memengaruhi 240 juta orang diseluruh dunia, disebabkan oleh sirosis dan
komplikasi dari End Stage Liver Disease (ESLD). Secara global, lebih
dari 780.000 kematian terkait HBV setiap tahunnya. Walaupun memiliki
vaksin yang efektif, ada 18.800 infeksi HBV baru pada tahun 2011 di
Amerika Serikat. Konsentrasi tertinggi dari HBV ditemukan dalam darah
dan cairan tubuh melalui paparan perinatal, seksual atau perkutan (Burns
et all, 2016).

Gambar 1 : Life Cycle of Hepatitis B Virus (Brian et all, 2013)


c. Hepatitis C Virus (HCV)
Sekitar 130-185 juta orang terinfeksi HCV di seluruh dunia dan
sekitar 4 juta memiliki penyakit ini di Amerika Serikat. Prevalensi lebih
tinggi di kalangan kulit hitam (non-Hispanik) dibandingkan kulit putih
non-Hispanik dan lebih dominan terjadi pada pria. HCV dikategorikan
berdasarkan 6 genotipe (bernomor 1-6) secara geografis yang spesifik dan
67 subtipe (genotipe 1a, 1b, 2a, 3b dll) dengan genotipe terbaru yang
diidentifikasi yaitu genotipe 7. Genotipe 1 adalah yang paling umum di
Amerika Serikat sedangkan genotipe 4 paling umum di Timur Tengah.
Genotipe tidak menunjukkan keparahan penyakit, namun digunakan
untuk menentukan durasi terapi dan kemungkinan respon terapeutik.
Sumber utama penularan HCV adalah melalui jarum suntik
(terkontaminasi; dengan atau tanpa perlengkapan seperti wadah maupun
filter yang digunakan oleh Intravenous Drug Ucers/IVDU) (Burns et all,
2016).
d. Hepatitis D Virus (HDV)
HDV menyerang sekitar 15 hingga 20 juta orang di seluruh dunia,
dimana prevalensi tertinggi termasuk di Timur Tengah, sebagian Afrika
dan Asia Tengah serta sebagian di Amerika Selatan. Infeksi HDV
terbilang unik karena hanya dapat terjadi pada orang yang terinfeksi
dengan HBV, dimana transmisi HDV mirip dengan HBV (Burns et all,
2016).
e. Hepatitis E Virus (HEV)
HEV ditemukan di seluruh dunia dengan perkiraan 20 juta orang
terinfeksi setiap tahunnya. Sekitar 56.000 kematian terjadi setiap
tahunnya, terutama di Mesir, Asia Timur dan Asia Selatan, dimana HEV
dilatar belakangi oleh sanitasi yang buruk dan ditularkan melalui rute
fecal-oral (Burns et all, 2016).
Gambar 2 : Hepatitis Nomenclature (Brian et all, 2013)

Gambar 3 : Etiologi dari Masing-Masing Virus Hepatitis (Brian et all, 2013)


\
Gambar 4 : Faktor Resiko Penularan Virus Hepatitis (Burns et all, 2016)

2.3. Patofisiologi
a. Hepatitis A Virus (HAV)
Hepatitis A merupakan virus RNA non-enveloped single stranded yang
diklasifikasikan sebagai genus hepatovirus di bawah famili
Picornaviridae. Host dari HAV adalah manusia dengan sel hati sebagai
situs utama untuk replikasi virus. Sebagai bagian dari proses degradasi
virus, HAV dilepaskan ke dalam sistem empedu yang menyebabkan
peningkatan konsentrasi HAV dalam feses. Infeksi hepatitis A biasanya
dapat sembuh dengan sendirinya (sekitar 2 bulan) dan tidak mengarah
pada penyakit kronis (jarang menyebabkan fulminant hepatitis) (Burns et
all, 2016).

Gambar 5 : Typical Course of Hepatitis A (Brian et all, 2013)

b. Hepatitis B Virus (HBV)


HBV (dikenal sebagai partikel Dane) termasuk famili
Hepadnaviridae dengan DNA partially double stranded, memiliki
lapisan fosfolipid yang mengandung antigen permukaan hepatitis B
(HBsAg) yang mengelilingi nukleokapsid. Nukleokapsid mengandung
protein inti yang memroduksi antigen inti hepatitis B (HBcAg) yang tidak
terdeteksi dalam serum. Cedera hepatoselular dari HBV diduga
disebabkan karena adanya reaksi imun sitotoksik yang terjadi ketika
HBcAg diekspresikan pada permukaan sel-sel hati. Antibodi terhadap
antigen inti hepatitis B (anti-HBc) dapat diukur dalam darah, dimana anti-
HBc untuk imunoglobulin M (IgM) menunjukkan infeksi aktif dan anti-
HBc ke IgG menunjukkan baik infeksi kronis atau kemungkinan
kekebalan terhadap HBV.
Kebanyakan dalam kasus, replikasi virus terjadi ketika envelope
antigen hepatitis B (HBeAg) ada dan beredar dalam darah. Konsentrasi
DNA HBV serum adalah ukuran infektivitas viral (kemampuan
menembus dan menyebabkan infeksi pada host) dan menguantifikasi
replikasi virus. Setelah infeksi hepatitis B sembuh, antibodi terhadap anti-
HBe dan antibodi terhadap anti-HBs berkembang dan tingkat DNA HBV
menjadi tidak terdeteksi. Namun, apabila antibodi ini tidak berkembang
kemungkinan terjadinya hepatitis B kronis akan meningkat, dimana hal
ini bergantung pada sistem kekebalan inang pada saat infeksi. Pada
individu yang imunokompeten (sistem/respon imun yang normal),
penyakit ini akan sembuh secara spontan dan tidak mengarah pada
komplikasi lanjutan. Pada individu dengan gangguan sistem imun, HBV
kurang efektif untuk dimusnahkan sehingga akan menyebabkan infeksi
bersifat persisten yang menyebabkan kerusakan sel hati dan peradangan.
CHB (Chronic Hepatitis B) terjadi pada kurang dari 5% pasien yang
lebih tua dari 5 tahun sedangkan lebih dari 90% pada bayi baru lahir dari
ibu yang terinfeksi HBV. Sekitar 90% orang dewasa yang terinfeksi HBV
menghasilkan anti-HBs yang mengakibatkan adanya kekebalan seumur
hidup pada pasien. Sekitar 30% orang dewasa dengan gejala awal ikterus
atau kelelahan dan sekitar 0,5% menunjukkan fulminant hepatitis (Burns
et all, 2016).

Gambar 6 : Serologi dari Infeksi Hepatitis B (Brian et all, 2013)


Gambar 7 : Kejadian Setelah Infeksi Virus Hepatitis B Akut (Brian et all,
2013)

c. Hepatitis C Virus (HCV)


Hepatitis C pertama dikenal sebagai non-A, non-B hepatitis yang
merupakan infeksi yang ditularkan melalui darah yang disebabkan oleh
virus single stranded RNA famili Flaviviridae dan genus Hepacivirus.
Antibodi terhadap HCV (anti-HCV) dalam darah menandakan
infeksi. Jika infeksi berlanjut selama lebih dari 6 bulan dan replikasi virus
dikonfirmasi oleh tingkat RNA HCV, individu tersebut memiliki hepatitis
C kronis yang terjadi pada lebih dari 70% kasus. Sekitar 15-45% pasien
memiliki hepatitis C akut yang sembuh tanpa komplikasi lebih lanjut.
Penyakit kronis mungkin disebabkan oleh sistem imun inang yang tidak
efektif, dengan limfosit T sitotoksik yang tidak mampu memusnahkan
HCV sehingga terjadi kerusakan secara terus-menerus pada sel-sel hati.
Faktor resiko umum untuk terjadinya fibrosis hati termasuk obesitas,
diabetes, penggunaan alkohol, seks dan koinfeksi dengan HIV atau HBV.
Sekitar 55-85% kasus kronis berkembang menjadi hepatitis ringan,
sedang atau berat. Sirosis dan komplikasinya mungkin memerlukan
beberapa dekade untuk berkembang pada sekitar 15-30% pasien yang
terinfeksi HCV. Setelah sirosis dikonfirmasikan, resiko pengembangan
HCC (Hepatocellular Carcinoma) adalah sekitar 2-4% per tahun (Burns
et all, 2016).
d. Hepatitis D Virus (HDV)
HDV berasal dari virus Delta dari famili Deltaviridae. HDV adalah virus
single stranded circular RNA yang cacat/tidak sempurna, dimana
membutuhkan kehadiran HBV untuk replikasi virus HDV yang
menyebabkan koinfeksi (baik infeksi hepatitis B dan D terjadi secara
bersamaan) atau superinfeksi (memperoleh HDV setelah memiliki
penyakit HBV yang sudah berlangsung lama). Ini terjadi karena antigen
HDV (HDVAg) dilapisi oleh HBsAg (Burns et all, 2016).
e. Hepatitis E Virus (HEV)
HEV adalah virus non-enveloped single stranded messenger RNA dari
genus Hepevirus. HEV mirip denga HAV karena ditemukan di feses yang
terkontaminasi sehingga menginfeksi individu melalui rute fecal-oral.
Kadar HEV yang tinggi dalam empedu sering menyebabkan pelepasan
virus dalam feses. Infeksi hepatitis E biasanya sembuh sendiri dan jarang
mengakibatkan komplikasi hati. Hepatitis E kronis jarang terjadi dan lebih
mungkin terjadi pada individu yang mengalami gangguan sistem imun,
(misalnya infeksi HIV) atau penerima transplantasi organ (Burns et all,
2016).
2.4. Clinical Presentation dan Diagnosis
Diagnosis hepatitis termasuk sulit untuk dilakukan karena kebanyakan orang
yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala. Namun, gejala yang ditunjukkan
juga tidak dapat mengidentifikasi jenis hepatitis yang spesifik sehingga harus
dilakukan pemeriksaan serologi laboratorium. Biopsi hati dapat diperoleh
untuk menentukan tingkat keparahan penyakit hati, tetapi ini merupakan tes
invasif yang mungkin terkait dengan komplikasi seperti perdarahan dan
kematian. Oleh karena itu, beberapa tes darah non-invasif dipatenkan (Fibro-
test, HepaScore) dan telah dikembangkan dengan menggunakan panel serum
biomarker (misalnya ALT, AST, trombosit) bersamaan dengan usia dan jenis
kelamin pasien untuk menentukan derajat fibrosis hati. Pemantauan nilai
laboratorium dari waktu ke waktu (AT, ALT, serum albumin, trombosit dan
waktu protrombin/INR) penting dilakukan mengingat tes invasif dan non-
invasif hanya mampu mengidentifikasi penyakit ringan dan berat (Burns et
all, 2016).

Gambar 8 : Tanda dan Gejala Viral Hepatitis (Burns et all, 2016)

a. Hepatitis A
Diagnosis hepatitis A dengan mendeteksi antibodi imunoglobulin ke
protein kapsid dari HAV. Deteksi dari IgM anti-HAV dalam serum
menunjukkan infeksi akut. IgM muncul sekitar 3 minggu setelah terpapar
dan menjadi tidak terdeteksi dalam 6 bulan. Sebaliknya, IgG anti-HAV
muncul dalam serum pada sekitar waktu yang sama dengan
berkembangnya IgM anti-HAV namun menunjukkan perlindungan dan
kekebalan tubuh seumur hidup terhadap hepatitis A.
b. Hepatitis B
Hepatitis B didiagnosis ketika HBsAg terdeteksi dalam serum, tetapi
HBsAg tidak membedakan antara HBV akut dan kronis. Adanya antibodi
IgM terhadap HBcAg menunjukkan infeksi aktif. IgG anti-HBc
menunjukkan infeksi kronis atau kemungkinan kekebalan terhadap HBV.
Kebanyakan kasus, HBeAg yang terdeteksi menunjukkan replikasi virus
aktif. Pengukuran DNA HBV menentukan infektivitas virus dan
menguantifikasi replikasi virus. Setelah replikasi virus HBV berhenti,
anti-HBe terdeteksi dalam serum. Namun, sebagian kecil pasien dapat
mengembangkan anti-HBe dan masih memiliki peningkatan tingkat DNA
HBV karena mutasi pada HBV. Oleh karena itu, infeksi CHB dapat
dibedakan baik sebagai HBeAg-positif atau HBeAg-negatif. Serologi
hepatitis B dievaluasi untuk menilai tanggapan pengobatan HBV dan
menentukan apakah akan dilakukan vaksinasi atau tidak.
c. Hepatitis C
Diagnosis hepatitis C dilakukan dengan pengujian anti-HCV dalam serum
dan dikonfirmasi oleh keberadaan RNA HCV. Tingkat RNA HCV
mengukur replikasi virus dan digunakan untuk menentukan apakah
pengobatan antiviral untuk HCV efektif. Genotipe HCV harus diperoleh
untuk menentukan kemungkinan tanggapan terhadap terapi anti-HCV dan
lamanya pengobatan yang diperlukan.
d. Hepatitis D
Infeksi hepatitis D membutuhkan kehadiran HBV untuk replikasi virus
HDV. Mengukur tingkat RNA HDV dilakukan untuk menegaskan adanya
infeksi dari hepatitis D dan merupakan tes diagnostik yang paling akurat.
Kehadiran IgM anti-HD menunjukkan penyakit yang aktif dan IgG anti-
HD juga menjadi terdeteksi jika infeksi tidak sembuh secara spontan.
Antibodi HDV tidak memberikan sistem kekebalan.
e. Hepatitis E
Diagnosis hepatitis E akut disarankan pada keberadaan IgM anti-HEV.
IgG anti-HEV muncul ketika infeksi HEV hilang. Tes darah untuk tingkat
HEV RNA teredia tetapi digunakan terutama dalam uji klinis (Burns et
all, 2016).

Gambar 9 : Interpretasi dari Serologi Viral Hepatitis (Burns et all, 2016)


2.5. Tatalaksana Terapi
Outcome terapi dari viral hepatitis adalah :
a. Mencegah penyebaran infeksi
b. Mencegah dan mengobati gejala
c. Menekan replikasi virus
d. Menormalkan aminotransferase hepar
e. Meningkatkan histologi liver
f. Mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan mencegah sirosis, HCC
dan ESLD.
Dalam hepatitis B, tujuan pengobatan tambahannya adalah seroconversion
atau hilangnya HBeAg. Tujuan tambahan untuk hepatitis C kronis adalah
mencapai RNA HCV yang tidak terdeteksi setidaknya selama 12 minggu
setelah menyelesaikan terapi hepatitis C yang dikenal sebagai Sustained
Virologic Response (SVR). Dalam manajemen virus hepatitis melibatkan
pencegahan dan pengobatan. Pencegahan hepatitis A dan B (dan secara tidak
langsung untuk hepatitis D) dapat dicapai dengan imunoglobulin atau vaksin.
Hepatitis virus akut terutama dikelola dengan perawatan suportif. Gejala
ringan sampai sedang jarang memerlukan rawat inap, tetapi rawat inap di
rumah sakit direkomendasikan pada pasien yang mengalami mual, muntah,
diare dan ensefalopati yang signifikan.
a. Hepatitis A
Pencegahan individu dari infeksi hepatitis A dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1) Kebersihan diri yang baik dan sanitasi yang tepat diperlukan untuk
mencegah transmisi fecal-oral HAV (sering mencuci tangan dengan
sabun dan air setelah menggunakan kamar mandi dan sebelum makan)
2) Mengonsumsi air kemasan
3) Menghindari buah, sayur, makanan yang mentah (tidak dimasak) atau
terkontaminasi
4) Untuk individu yang beresiko HAV dapat diberikan :
a) Serum immune globuline (IG)
Yaitu cairan yang mengandung antibodi dari plasma manusia
yang sudah disterilkan yang dapat memberikan imunisasi pasif
terhadap HAV. IG tersedia sebagai formulasi i.v (IGIV) atau
intramuskular (IGIM), namun hanya IGIM yang digunakan untuk
mencegah HAV. IGIM tidak memberikan kekebalan seumur
hidup tetapi efektif dalam memberikan profilaksis sebelum dan
pasca paparan terhadap HAV. IGIM harus disuntikkan ke otot
deltoid atau gluteal. Hal ini tidak memengaruhi respon imun
vaksin inaktif atau virus hidup namun pemberian vaksin hidup
bersamaan dengan IGIM dapat menurunkan respon imun secara
signifikan.
 Pre-exposure prophylaxis
Diberikan untuk individu dengan resiko tinggi terkena HAV,
yaitu :
 Usia < 12 bulan dan > 40 tahun
 Memilih untuk tidak mendapatkan/menerima vaksin
hepatitis A
 Tidak bisa menerima vaksin hepatitis A, misalnya karena
reaksi alergi
 Mengalami gangguan pada sistem kekebalan tubuh atau
memiliki riwayat penyakit hati kronis
 Wisatawan yang hendak melakukan perjalanan ke wilayah
endemik dalam waktu 2 minggu dan belum menerima
vaksin hepatitis A. jika durasi perjalanan < 3 bulan, dosis
IGIM yang diberikan adalah 0,02 ml/kg dan vaksin
hepatitis A dapat diberikan pada saat bersamaan tapi
diinjeksikan di tempat yang berbeda. Jika durasi
perjalanan > 2 bulan, diberikan IGIM 0,06 ml/kg untuk
memberikan kekebalan selama 5 bulan.
 Post-exposure prophylaxis
Diberikan pada individu yang berkontak dengan orang yang
terinfeksi HAV akut, terutama untuk usia < 12 bulan atau > 40
tahun, immunocompromised (imunitas yang lemah),
terdiagnosis penyakit hati kronis atau kontraindikasi terhadap
vaksin hepatitis A. resiko infeksi dapat menurun hingga 90%
jika IGIM 0,02 ml/kg diberikan dalam waktu 2 minggu setelah
terpapar HAV.
b) Vaksin hepatitis A
Pemberian vaksin diberikan pada individu yang beresiko terkena
HAV, untuk pre dan post-exposure. Rejimen dosis yang
disarankan adalah dengan memberikan 2 suntikan dalam 6 bulan
(pada bulan ke 0 dan ke-6). Untuk pre-exposure prophylaxis,
vaksin hepatitis A direkomendasikan juga untuk wisatawan yang
akan bepergian ke wilayah endemik, dimana yang diberikan
vaksin adalah individu yang sehat dengan usia 40 tahun atau lebih
muda. Ini tidak berlaku untuk orang dewasa dengan usia > 40
tahun atau dengan immunocompromised. Untuk post-exposure
propylaxis, vaksin hepatitis A efektif dalam mencegah infeksi
klinis pada individu sehat antara 12 bulan-40 tahun ketika
diberikan dalam 14 hari setelah terpapar.

Gambar 10 : Dosis untuk Vaksin Hepatitis A (Burns et all, 2016)


b. Hepatitis B
Pencegahan individu dari infeksi hepatitis B dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1) Meminimalkan resiko dengan menghindari produk darah yang
terkontaminasi dan perilaku beresiko tinggi
2) Screening untuk ibu hamil
3) Pemberian vaksin hepatitis B dan HBIG pada post-exposure
prophylaxis untuk mencegah perkembangan infeksi akut dan
komplikasi terkait HBV.
a) Hepatitis B Immune Globulin
Merupakan larutan steril yang mengandung antibodi yang dibuat
dari plasma manusia yang dikumpulkan dengan konsentrasi anti-
HBs yang tinggi. Dosis tunggal HBIG adalah 0,06 ml/kg yang
efektif dalam pemberian imunisasi pasif dalam mencegah infeksi
CHB yang hanya diberikan secara intramuskular. Efek samping
umum dari HBIG adalah eritema di tempat suntikan, sakit kepala,
myalgia, fatigue, urtikaria, mual dan muntah. HBIG digunakan
dengan hati-hati pada individu yang telah mengalami reaksi
hipersensitivitas terhadap IG atau memiliki defisiensi
imunoglobulin A. Pemberian HBIG dan live vaccines harus
dihindari karena efek/manfaat dari imunisasi dapat menurun
secara signifikan.
b) Vaksin hepatitis B
Individu yang beresiko tinggi terinfeksi HBV harus memperoleh
vaksinasi hepatitis B pada bulan ke-0, 1 dan 6. Vaksin ini juga
diindikasikan untuk post-exposure prophylaxis untuk mencegah
CHB. Untuk individu yang terpapar HBV haru menerima vaksin
hepatitis B dengan atau tanpa HBIG, sebaiknya dalam 24 jam
setelah terpapar (berdasarkan sumber paparan dan status vaksinasi
individu). Pemberian vaksin harus diberikan secara i.m (area paha
anterolateral pada neonatus dan bayi serta kearah deltoid pada
anak atau dewasa) serta menghindari pemberian i.m intragluteal
karena tingkat imunitas yang dihasilkan lebih rendah. Vaksin
hepatitis B efektif ketika konsentrasi antibodi > 10 mIU/ml dan
imunitas yang dihasilkan adalah selama 20 tahun pada individu
yang sehat, sedangkan untuk pasien dengan gangguan sistem
imun, dibutuhkan dosis booster. Vaksin ini tidak kontraindikasi
selama kehamilan dengan efek samping yang umum yaitu reaksi
lokal di tempat suntikan, flu-like symptoms, pusing dan iritabilitas.

Gambar 11 : Rejimen Dosis Vaksin Hepatitis B (Burns et all, 2016)

Gambar 12 : Rekomendasi Post-Exposure Prophylaxis HBV (Burns


et all, 2016)
Gambar 13 : Rekomendasi Profilaksis Hepatitis B untuk
Pencegahan Transmisi Perinatal (Burns et all, 2016)

c) Vaksin kombinasi hepatitis A dan B


Diberikan untuk individu dengan usia > 18 tahun yang memiliki
resiko terhadap infeksi HAV dan HBV, dimana dosis yang
diberikan adalah 1 ml pada bulan ke-0, 1 dan 6. Vaksin ini juga
dapat diberikan dalam rejimen dosis dipercepat pada hari ke-0, 7,
21 hingga 30 dengan dosis keempat pada bulan ke-12, dimana
dosis ini diberikan pada kondisi pasien yang memulai seri
vaksinasi tetapi tidak dapat menyelesaikan jadwal tiga dosis
standar pada waktunya untuk mengembangkan kekebalan yang
memadai.
Menurut The American Association for the Study of Liver
Diseases (AASLD), pasien CHB dengan HBeAg positif mengalami
peningkatan ALT yang persisten (> 2 kali batas atas normal) dan
peningkatan kadar DNA HBV > 20.000 IU/ml yang memerlukan
perawatan untuk menunda perkembangan menjadi sirosis dan ESLD.
Tujuan akhir dari perawatan adalah untuk menekan replikasi dari HBV,
menurunkan/menormalkan kadar ALT dan respon histologis (mengurangi
peradangan hati yang telah didokumentasikan dengan adanya skor biopsi
hati). Pilihan obat yang disarankan tergantung pada riwayat medis pasien
sebelumnya, ALT, tingkat DNA HBV, status HBeAg, keparahan penyakit
hati dan riwayat terapi HBV sebelumnya. Terdapat 2 agen HBV, yaitu :
1) Interferon-α2b dan pegylated interferon-α2a
Merupakan satu-satunya interferon yang disetujui untuk HBV,
dimana pegylated interferon merupakan interferon yang melekat pada
molekul polietilena glikol yang akan meningkatkan waktu paruh obat
sehingga memungkinkan pemberian dosis satu kali seminggu
dibandingkan dengan pemberian interferon tanpa modifikasi yaitu 3
kali seminggu. Interferon efektif daam menekan dan menghentikan
replikasi virus tanpa memicu timbulnya resistensi. Sekitar sepertiga
pasien HBeAg positif mencapai serokonversi HBeAg setelah 48
minggu dengan menggunakan pegylated interferon. Dosis pegylated
interferon yang dianjurkan untuk HBeAg positif adalah 180 mcg
subkutan satu kali seminggu selama 48 minggu.
2) Analog nukleosida/nukleotida
a) Entecavir
 Merupakan analog guanosin nukleosida yang disetujui untuk
anak-anak (> 2 tahun) dan dewasa dengan HBeAg positif,
negatif atau lamivudine-resistant CHB
 Merupakan first line therapy dengan penekanan DNA HBV
yang mendalam dan tingkat resistensi yang rendah (1-2%)
 Dosis yang diberikan 0,5 mg sekali sehari untuk pasien ≥ 16
tahun dengan compensated liver disease dan memiliki respon
yang buruk terhadap terapi lamivudine
 Dosis 1 mg diberikan satu kali sehari untuk pasien yang
resisten terhadap lamivudine atau telbivudine atau mengalami
compensated liver disease
 Diberikan dalam keadaan perut kosong (2 jam setelah atau
sebelum makan)
b) Tenofovir Disoproxil Fumarate
 Termasuk nucleotide reverse transcriptase inhibitor, serupa
dengan struktur adefovir dipivoxil
 Bekerja dengan menghambat replikasi HIV dan HBV serta
diindikasikan untuk anak usia > 2 tahun dan dewasa dengan
HBeAg positif, CHB dengan HBeAg negatif dan atau HIV
yang diresepkan dengan terapi HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy) lain
 Merupakan first line therapy dengan efektivitas lebih besar
dalam menghambat replikasi HBV dan resistensi minimal
dibandingkan adefovir
 Dosis 300 mg PO sekali sehari pada perut kosong
c) Adefovir Dipivoxil
 Merupakan second line therapy dengan penekanan replikasi
HBV yang lebih rendah dibanding tenofovir
 Merupakan prodrug adefovir, termasuk adenosine nucleotide
analog yang menginhibisi polymerase DNA dan diindikasikan
untuk pasien berusia > 12 tahun
 Dosis 10 mg sekali sehari dengan atau tanpa makanan
 Dikaitkan dengan nefrotoksisitas pada dosis tinggi (30
mg/hari) sehingga perlu dilakukan monitoring selama
perawatan pada pasien terutama pasien yang memiliki resiko
terhadap gangguan ginjal
d) Lamivudine
 Synthetic cytosine nucleoside analog dengan efek antiviral
terhadap HIV dan HBV
 Efektif menekan replikasi HBV, normalisasi ALT dan
memperbaiki histologi hati
 Memiliki tingkat resistensi yang tinggi
 Dosis dewasa 100 mg PO sekali sehari untuk CHB tanpa
koinfeksi HIV
 Dosis untuk anak (2-17 tahun) 3 mg/kg sekali sehari dengan
dosis maksimal 100 mg
 Dapat dikonsumsi dengan/tanpa makanan
e) Telbivudine
 Merupakan L-nucleoside analog yang berfungsi menghambat
replikasi HBV
 Diindikasikan untuk pasien dengan usia ≥ 16 tahun dengan
HBeAg positif atau negatif
 Efektivitas lebih rendah dalam mengurangi tingkat HBV DNA
dan normalisasi aminotransferase dibandingkan dengan
lamivudine
 Tingkat resistensi lebih rendah dibandingkan lamivudine
 Dosis 600 mg PO sekali sehari dengan atau tanpa makanan
 Monitoring tanda dan gejala myopathy yang ditandai dengan
peningkatan kadar kreatinin kinase dan kelemahan otot

Gambar 14 : Algoritma Hepatitis B Tanpa Sirosis (Barbara et all, 2015)


Gambar 15 : Algoritma Hepatitis B dengan Sirosis (Barbara et all, 2015)

c. Hepatitis C
Pencegahan individu dari infeksi hepatitis C dapat dilakukan dengan cara
menghindari perilaku beresiko tinggi seperti berbagi jarum suntik
(misalnya pada pengguna narkoba i.v) maupun transfusi darah. Tujuan
terapi HCV adalah untuk mencapai Sustained Virologic Response (SVR)
yang didefinisikan sebagai tercapainya tingkat HCV RNA yang tidak
terdeteksi pada 12 minggu atau lebih lama setelah pengobatan selesai
serta mencegah perkembangan sirosis, HCC dan ESLD. Pengobatan
untuk hepatitis C kronis bergantung pada riwayat medis pasien
sebelumnya, riwayat pengobatan HCV sebelumnya, keparahan penyakit
hati dan genotipe HCV sebagai prediktor terhadap terapi.
1) Interferon/Pegylated Interferon and Ribavirin
a) Tidak lagi digunakan untuk HCV kronis karena < 10% pasien
dengan genotipe 1 dan hanya sekitar 30% dengan genotipe 2 atau
3 yang mencapai target SVR
b) Dapat memperpanjang waktu paruh yang memungkinkan
pemberian satu kali seminggu dibandingkan dengan pemberian
unpegylated
c) Tingkat SVR untuk pegylated interferon dapat ditingkatkan dari
25% menjadi 40-55% dengan penambahan ribavirin
d) Sekitar 35% pasien yang diobati dengan pegylated interferon dan
ribavirin memerlukan pengurangan dosis atau penghentian obat
karena komplikasi hematologi (trombositopenia, neutropenia,
anemia), dimana dibutuhkan terapi tambahan seperti epoetin α
atau darbopoetin untuk menanggulangi anemia. Penggunaan
ribavirin pada wanita usia subur dan laki-laki harus menggunakan
dua bentuk kontrasepsi selama terapi HCV dan 6 bulan setelah
pengobatan karena ribavirin bersifat teratogenik dan embryocidal.
2) Direct-Acting Antiviral Agents—First Generation
a) Menghasilkan tingkat SVR yang lebih tinggi dari 63-66% ketika
digunakan bersamaan dengan pegylated interferon dan ribavirin
dibandingkan dengan pegylated interferon dan ribavirin saja
(50%)
b) Tidak lagi direkomendasikan karena efek samping yang signifikan
(diskrasia darah dan efek dermatologis), peningkatan beban pil
(11-22 pil setiap hari), rejimen dosis yang rumit, interaksi obat
yang signifikan dan berganda serta peningkatan resistensi virus
3) Direct-Acting Antiviral Agents—Second Generation
Golongan obat ini menghasilkan SVR yang lebih tinggi (> 90%)
dengan efek samping yang lebih sedikit serta durasi pengobatan yang
lebih pendek dengan rejimen yang tidak terlalu kompleks
dibandingkan dengan generasi pertama.
a) Simeprevir (Olysio)
 Diindikasikan untuk HCV genotipe 1 dengan compensated
liver disease, termasuk sirosis (NS3/4A serine protease
inhibitor)
 Harus diberikan dengan pegylated interferon dan ribavirin
untuk meminimalkan resiko terjadinya resistensi obat, namun
kombinasi ini tidak direkomendasikan untuk HCV genotipe 1a
atau 1b karena efek samping, interaksi obat, durasi pengobatan
yang lama dan tingkat SVR yang lebih rendah dibandingkan
dengan rejimen oral HCV interferon bebas yang lebih baru.
b) Sofosbuvir (Sovaldi)
 First agent dari NS5B polymerase inhibitor class yang
disetujui untuk pengobatan HCV genotipe 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
 Dosis yang digunakan adalah 400 mg setiap hari dengan atau
tanpa makanan selama 12-24 minggu
 Diindikasikan untuk pasien dengan HCC yang sedang
menunggu transplantasi hati dan dengan koinfeksi HIV dan
HCV (terlepas dari genotipe)
c) Simeprevir and Sofosbuvir
 Merupakan rejimen yang direkomendasikan dari FDA,
diberikan selama 12 minggu untuk pasien yang belum pernah
diobati atau sebelumnya dengan pengobatan genotipe 1 tanpa
disertai sirosis. Untuk pasien dengan sirosis, rejimen yang
sama diberikan selama 24 minggu
d) Sofosbuvir and Ledipasvir (Harvoni)
 Merupakan tablet Fixed Dose Combination (FDC) pertama
dan rejimen pertama yang disetujui FDA yang tidak
memerlukan pemberian kombinasi dengan interferon atau
ribavirin
 Mekanismenya dengan menghambat protein HCV NS5A yang
diperlukan untuk replikasi virus
 Diindikasikan untuk infeksi HCV genotipe 1 kronis dengan
efek samping minimal
 Dosis yang diberikan untuk sobosbuvir adalah 400 mg dan
untuk ledipasvir adalah 90 mg setiap hari dengan atau tanpa
makanan selama 8, 12 atau 24 minggu tergantung pada riwayat
pengobatan HCV sebelumnya, status sirosis dan viral load
awal
e) Ombitasvir, Paritaprevir, Ritonavir, and Dasabuvir (Viekira Pak)
 Termasuk dalam FDC yang tidak memerlukan pemberian
dengan interferon dan dapat diberikan dengan atau tanpa
ribavirin (berdasarkan subtipe genotipe dan adanya sirosis),
dimana ombitasvir adalah inhibitor NS5A, paritaprevir adalah
NS3/4A protease inhibitor, dasabuvir adalah nonnucleoside
NS5B polymerase inhibitor serta ritonavir adalah inhibitor
CYP3A
 Diindikasikan untuk pasien koinfeksi HIV dan HCV atau
penerima transplantasi hati dengan fungsi hati normal dan
fibrosis ringan, tidak direkomendasikan untuk penyakit hati
dekompensasi
 Dosis yang dianjurkan dua tablet setiap hari pada pagi hari
(dengan makanan), dimana dosis masing-masing adalah
ombitasvir 12,5 mg, paritaprevir 75 mg dan ritonavir 50 mg
serta ditambah satu tablet yang mengandung dasabuvir 250
mg dua kali sehari (pagi dan sore hari dengan makanan)
Gambar 16 : Algoritma Hepatitis C (Brian et all, 2013)
Gambar 17 : Rekomendasi Rejimen Terapi untuk Pasien dengan HCV
(Burns et all, 2016)

d. Hepatitis D
Infeksi hepatitis D hanya mungkin terjadi jika pasien juga terinfeksi
dengan HBV, maka dari itu vaksinasi hepatitis B secara tidak langsung
dapat mencegah infeksi dari hepatitis D. Perawatan yang
direkomendasikan untuk HDV adalah pegylated interferon selama 48-72
minggu, dengan lini pertama adalah tenofovir (seperti yang digunakan
dalam infeksi HBV dan dapat dipertimbangkan pada pasien koinfeksi
dengan HDV dan HBV jika tingkat DNA HBV yang tinggi). Monoterapi
dengan analog nukleosida/nukleotida tidak efektif dalam mengurangi
tingkat DNA HDV tetapi dapat menurunkan viral load hepatitis B.
e. Hepatitis E
HEV ditularkan melalui rute fecal-oral sehingga pencegahan dapat
dilakukan dengan menjaga kebersihan pribadi yang baik serta
pembuangan limbah dan sanitasi yang tepat karena tidak ada vaksin yang
tersedia untuk hepatitis E (Burns et all, 2016).
2.6. Evaluasi Outcome
Monitoring efikasi dari terapi untuk pasien hepatitis B kronis atau C
dilakukan dengan mengevaluasi tingkat aminotransferase dan tingkat virus
hepatitis B atau C serta serologinya.
a. Hepatitis B
1) Mencatat ALT awal dan di monitoring 3-6 bulan selama pengobatan
hepatitis B.
2) Monitoring kadar DNA HBV setiap 3-6 bulan untuk mengetahui
respon pengobatan.
3) Monitoring HBeAg dan anti-HBe setiap 6 bulan untuk menentukan
apakah seroconversion terhadap anti-HBe terjadi atau HBeAg hilang
pada pasien CHB dengan HBeAg positif.
4) Monitoring HBsAg setiap 6-12 bulan untuk menentukan apakah
HBsAg hilang atau anti-HBs berkembang pada pasien CHB dengan
HBeAg negatif dengan kadar DNA HBV serum yang tetap tidak
terdeteksi.
5) Evaluasi kembali pada bulan ke-6 dan beralih atau menambahkan
agen anti-virus hepatitis B yang lebih kuat ke rejimen hepatitis B yang
sedang digunakan jika level DNA HBV belum mengalami penurunan
sebanyak 2 poin setelah 6 bulan terapi.
6) Lnjutkan pengobatan pada pasien CHB dengan HBeAg poitif hingga
seroconversion HBeAg tercapai bersamaan dengan tingkat DNA
HBV yang tidak terdeteksi. Setelah anti-HBe muncul, terapi
tambahan hepatitis B dilanjutkan selama 6 bulan.
7) Lanjutkan pengobatan pada pasien CHB dengan HBeAg negatif
sampai HBsAg hilang.
8) Pantau dengan seksama adanya infeksi virus hepatitis dan kambuhnya
virus saat terapi hepatitis B dihentikan.
9) Pengukuran CBC (Complete Blood Count) dengan selang waktu 4
minggu dan kadar TSH (Thyroid Stimulating Hormone) serta fasting
lipid panel setiap 12 minggu ketika menerima terapi pegylated
interferon untuk hepatitis B.
10) Pemantauan awal kadar serum kreatinin untuk nefrotoksisitas dan
lakukan setiap 12 minggu untuk pasien yang menerima terapi
tenofovir atau adefovir.
11) Pemantauan awal kadar kreatinin kinase dan lakukan secara perodik
(misalnya setiap 12 minggu) untuk pasien yang menggunakan terapi
telbivudine karena resiko terjadinya kelemahan otot dan myopathy.
b. Hepatitis C
1) SVR dengan tingkat HCV RNA yang tidak terdeteksi setidaknya 3
bulan setelah terapi yang menjadi tujuan akhir terapi HCV dan
menunjukkan efektivitas obat virologi.
2) End of Treatment Response (ETR/EOT) dengan tingkat HCV RNA
yang tidak terdeteksi pada akhir pengobatan.
3) Normalisasi ALT dan dilakukan pemantauan setiap minggu.
4) Perbaikan peradangan dan fibrosis (respon histologis) yang
didokumentasikan oleh skor biopsi hati.
5) Monitoring tingkat RNA HCV untuk menentukan efektivitas terapi
dan hentikan pengobatan jika RNA HCV belum menurun atau
menjadi tidak terdeteksi pada waktu tertentu.
6) Monitoring WBC, ANC (Absolute Neutrophil Count) dan trombosit
baik mingguan atau dua mingguan selama bulan pertama terapi dan
setelahnya dilakukan setiap bulan apabila parameter stabil saat
menggunakan pegylated interferon.
7) Monitoring kadar hemoglobin baik mingguan atau tiap dua minggu
selama bulan pertama dan setelahnya dilakukan setiap bulan jika
parameter stabil saat penggunaan ribavirin.
8) Monitoring kelelahan, sesak napas dan nyeri dada serta komplikasi
kulit saat menggunakan ribavirin.
9) Monitoring TSH dan fasting lipid panel setiap 1 minggu saat
menggunakan pegylated interferon.
10) Monitoring serum kreatinin pada pasien yang menggunakan ribavirin
untuk mendeteksi insufisiensi ginjal yang dapat menyebabkan
akumulasi ribavirin dan toksisitas.
11) Lakukan rekonsiliasi obat secara menyeluruh dari resep, OTC dan
suplemen diet maupun herbal sebelum dan selama terapi HCV
(terutama jika diresepkan Direct Acting Antiretroviral/DAA).
12) Monitoring konsentrasi bilirubin total setiap 2-4 minggu saat
menggunakan simeprevir dan dilakukan lebih erring apabila pasien
memiliki sirosis atau penyakit hati dekompensasi (Burns et all, 2016).

3. ALAT DAN BAHAN


ALAT BAHAN
1. Form SOAP 1. Text book (Dipiro, Koda Kimble, DIH).

2. Form medication record. 2. Data nilai normal laboraturium.

3. Catatan minum obat. 3. Evidence terkait (journal, systematic


review, meta analysis).
4. Kalkulator scientific.

5. Laptop dan koneksi internet.

4. STUDI KASUS
Penderita laki-laki umur 76 tahun dengan diagnosis DM + HT + post CVA +
hepatitis C, BB 78 kg. HCV RNA kuantitatif 1,8 x 107. Pasien mendapatkan terapi
pegylated interferon + ribavirin sekali seminggu. Selain itu menggunakan lantus
dan exforge. Pegylated interferon mulai dosis 80 mcg sc, setelah pemberian tiga
kali penderita berdebar debar, di cek laboratorium Hb 7,0; SI 97; TIBC 545,
hapusan darah tepi anemia hipokrom mikrositer. Tekanan darah dan suhu normal.
Oleh dokter yang merawat pegintron dikurangi 50 mcg sekali seminggu, ribavirin
stop, diberikan sulfas ferrosus dan eritropoetin, diberikan selang seling.
5. FORM SOAP

PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Tn. / Ny. :X

Jenis Kelamin : laki-laki Tgl. MRS :-


Usia : 76 tahun Tgl. KRS :-
Tinggi badan : 180 cm
Berat badan : 78 kg

Presenting Complaint
Berdebar-debar

Diagnosa kerja : Hepatitis C, diabetes mellitus, hipertensi, post CVA


Diagnosa banding : Anemia

 Relevant Past Medical History:


-

Drug Allergies: -

Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah (mmHg) 120/80
Nadi (x/menit) -
Suhu (oC) Normal
RR (x/menit) -
Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi (literatur)
digunakan
Pegylated 80 mcg
1 180 mcg s.c/minggu
interferron s.c/minggu
Hepatitis C
Untuk genotype 2,3 diberikan dosis 800
2 Ribavirin -
mg/hari PO tiap 12 jam selama 24 minggu
Lantus (basal 0,2 unit/kg BB atau ditingkatkan 10
3 Antidiabetic 10 unit/hari
insulin) unit/hari
Exforge
(amlodipine 5 mg
4 Anti-hipertensi 1 x 1 tablet Initiate 5 mg/160 mg PO/hari
+ valsartan 160
mg)

5 Sulfas ferrosus 300 mg 100-200 mg PO tiap 12 jam


15.600 unit (3
Anemia
6 Erythropoetin kali 40.000 IU/minggu
seminggu)
(Medscape, 2018)
PARAMETER NILAI NORMAL NILAI PASIEN
LABORATORIUM
Hb 11-16 7,0
TIBC (Total Iron Binding 300-360 mg/dl 545
Capacity)
SI (Serum Ion) 50-150 mg/dl 97
HCV RNA kuantitatif - 1,8 x 107
FURTHER INFORMATION REQUIRED (FIR)
No Pertanyaan Alasan Jawaban
1 Berapa tinggi badan pasien? Untuk menghitung BMI terkait 180 cm
faktor resiko DM dan hipertensi
serta menentukan terapi non-
farmakologi pasien
2 Apakah pasien memiliki riwayat Tidak ada
alergi?
3 Berapakah dosis obat : Untuk menentukan tatalaksana Dosis :
a. Lantus terapi a. 10 unit/hari
b. Exforge b. 1 x 1 tablet
c. Sulfas ferrosus c. 300 mg
d. EPO d. 15.600 unit 3 x
seminggu
4 Apakah genotype dari diagnosa Untuk menentukan rejimen obat, Genotype 2
HCV pasien? durasi dan frekuensi terapi
5 Bagaimana lifestyle pasien Untuk menentukan faktor resiko Pasien tidak merokok dan
(merokok, alkohol)? dan terapi non-farmakologi tidak mengonsumsi alkohol
6 Bagaimana riwayat pasien Untuk menentukan faktor resiko Tidak ada
terkait pekerjaan, pemakaian
tato/body piercing dan
pemakaian obat-obatan
(pecandu)?
7 Apakah hipertensi pasien Hipertensi pasien
terkontrol? Untuk menentukan tatalaksana terkontrol
8 Apakah dilakukan pemeriksaan terapi Tidak ada
terhadap nilai RVR pasien?
Problem List (Actual Problem)
Medical Pharmaceutical
Diabetes mellitus -
Hipertensi -
Post CVA -
Hepatitis C C 3.1 (drug dose too low)
Anemia C 1.7 (too many drugs prescribed)
C 3.2 (drug dose too high)
PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)
Jantung berdebar-debar

Objective (signs)
1. HCV RNA kuantitatif = 1,8 x 107
2. Hb (11-16) = 7,0
3. TIBC (Total Iron Binding Capacity) (300-360 mg/dl) = 545
4. SI (Serum Ion) (50-150 mg/dl) = 97
5. Tinggi badan = 180 cm
6. Berat badan = 78 kg
7. Diagnosa = hipertensi, post CVA, DM, hepatitis C
8. Hapusan darah = anemia hipokrom mikrositik
Assesment (with evidence)
1. Diabetes mellitus
a. Berdasarkan studi epidemiologi, pasien T2D (Type 2 of Diabetes) beresiko
lebih tinggi dalam perburukan infeksi hepatitis C, termasuk pengurangan
SVR, perkembangan sirosis dan fibrosis serta resiko yang lebih tinggi
terhadap perkembangan HCC. Terdapat pula penelitian meta analisis yang
menyatakan bahwa T2D sebagai faktor predisposisi untuk infeksi HCV,
dimana sebanyak 33% pasien dengan infeksi HCV memiliki T2D (White
et all, 2008).
b. Semakin banyak evidence mengenai efek langsung HCV pada pensinyalan
insulin, dimana hati pada pasien HCV yang tidak mengalami obesitas
menunjukkan penurunan 2 kali lipat dalam aktivasi tyrosine-
phosphorylated IRS-1 dan inhibisi serine-phosphorylated IRS-1 serta
threonine-phosphorylated yang memainkan peran dalam pengembangan
resistensi insulin pada hepatitis C (Sara et all, 2015). Virus HCV, melalui
jalur langsung dan tidak langsung, mempengaruhi jalur sinyal insulin,
mempromosikan IR (Insulin Resistance) pada tingkat sel. Efek insulin
diperoleh setelah pengikatan insulin ke reseptornya yang terkait dengan
jalur sinyal kompleks yang melibatkan aktivasi berurutan dari IRS, PI3K,
Akt, protein kinase yang merupakan bagian hilir aktivasi PI3K dan protein
kinase C. Kaskade peristiwa ini akhirnya menghasilkan stimulasi ambilan
glukosa setelah translokasi GLUT4 ke membran plasma. Hasil IR dari
defek pada setiap tingkat jalur sinyal yang berhubungan dengan reseptor
insulin. Setelah respon inflamasi pada hati terhadap infeksi HCV,
penurunan signaling insulin yang signifikan terjadi pada tingkat IRS
tyrosine phosphorylation dan aktivasi PI3K. HCV protein inti menginduksi
ekspresi TNF-α, yang mengaktifkan SOCS-3, yang mengarah ke degradasi
proteasomal berikutnya dari IRS1 dan IRS2, menghasilkan pengembangan
IR. Sementara itu, SOCS-3 menonaktifkan PI3K, yang pada gilirannya
menghambat translokasi GLUT-4 ke membran sel, sehingga menghalangi
penyerapan glukosa intraseluler. Peningkatan kadar sitokin proinflamasi
seperti interleukin 1, TNF-α, IL-6 dan leptin serta penurunan kadar
adiponektin dapat secara langsung berkontribusi terhadap terjadinya HCV
(Zayadi and Mahmoud, 2012).

Gambar 18 : Mekanisme Langsung HCV terhadap Kaskade Sinyal Insulin


(Sara et all, 2015)

c. Berdasarkan penelitian pada Gomez et all (2005) dan Giordanino et all


(2008) dalam Sara et all (2015) menunjukkan bahwa non-responden
terhadap pengobatan HCV memiliki insidensi DM dan resistensi insulin
yang lebih besar. 234 pasien dengan infeksi HCV kronis yang diobati
dengan interferon alfa dengan atau tanpa ribavirin selama 3 tahun, 34,1%
responden mengalami gangguan glukosa puasa (Gomez et all, 2005).
d. Pasien menggunakan terapi lantus dengan dosis 10 unit/hari, dimana lantus
(insulin glargine) merupakan insulin yang memiliki efek durasi yang
panjang (insulin basal dengan dosis sekali sehari) dengan konsentrasi
insulin yang relatif konstan selama 24 jam. Antidiabetik termasuk insulin
eksogen merupakan terapi efektif dalam mengurangi glukosa plasma dalam
mencegah komplikasi DM terkait dengan resiko penyakit kardiovaskular,
perkembangan HCC pada pasien dengan infeksi hepatitis C dan merupakan
first line terapi dalam mengatasi IR dengan menurunkan level serum insulin
(Zayadi and Mahmoud, 2012).
2. Hipertensi
Pada kasus, pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol dan diberikan
terapi dengan Exforge 1 x 1 tablet (amlodipine 5 mg dan valsartan 160 mg).
Berdasarkan literatur, pasien hipertensi yang disertai dengan diabetes dapat
diberikan pilihan terapi dengan golongan ARB, ACEi, CCB, beta bloker atau
diuretik (Burns et all, 2016). Hipertensi pada usia lanjut lebih sulit untuk diobati
dimana penggunaan monoterapi sering tidak efektif untuk mengendalikan
tekanan darah sehingga diperlukan terapi kombinasi. Berdasarkan uji klini
yang dilakukan oleh Kostis (2010), kombinasi amlodipine dan valsartan lebih
efektif dalam menurunkan tekanan darah dibandingkan dengan monoterapi
amlodipine pada pasien usia lanjut dengan hipertensi stage 1 atau 2. Selain
untuk mengurangi tekanan darah, terapi kombinasi ini menunjukkan penurunan
edema perifer dan lebih disarankan pada pasien dengan sindrom metabolik
seperti diabetes (Kostis, 2010).
Gambar 19 : Pilihan Obat pada Pasien Hipertensi dengan Kondisi Khusus
(Burns et all, 2016)

Gambar 20 : Pilihan Kelas Terapi pada Pasien Hipertensi dengan Kondisi


Khusus (Burns et all, 2016)

3. Hepatitis C
a. Pasien terdiagnosis hepatitis C dengan genotype 2, dimana genotype
merupakan salah satu dasar dalam penentuan terapi dari HCV selain
presentasi penyakit (akut dan kronis), nilai laboratorium (anti-HCV dan
HCV RNA, tes fungsi hati, prothrombin time), adanya koinfeksi (HIV,
hepatitis B) dan komorbiditas yang terkait dengan pemilihan rejimen obat,
durasi dan juga frekuensi terapi (Modi and Liang, 2008). Pada kasus, pasien
mendapatkan terapi kombinasi pegylated interferron dan ribavirin yang
sudah sesuai dengan algoritma terapi pada hepatitis C dengan genotype 2.

Gambar 21 : Algoritma Terapi Hepatitis C Genotype 2 (Dipiro, 2008)

Gambar 22 : Rekomendasi Terapi Hepatitis C Genotype 2 dan Durasi


Terapi (Barbara et all, 2015)

b. Kombinasi antara pegylated interferron dan ribavirin terbukti mampu


menghasilkan tingkat respon tertinggi dalam tiga uji coba penting (Manns
et all, 2000; Fried et all, 2002; Hadziyannis et all, 2004), dimana disebutkan
dengan kombinasi peginterferon dan ribavirin sebanyak 70-80% pasien
dengan infeksi genotype 2 atau 3 dan 42-45% yang terinfeksi genotype 1
dapat mencapai nilai SVR yang secara signifikan menunjukkan terapi yang
lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi standar atau monoterapi
peginterferon (Modi and Liang, 2008). Dalam Tabatabaei et all (2012) dan
Aminizadeh et all (2016) juga menyebutkan bahwa dibandingkan dengan
penggunaan monoterapi, penambahan ribavirin lebih efektif
menghilangkan virus hepatitis C dari darah dan juga lebih efektif
menurunkan rerata relaps setelah terapi.
c. Pemberian dosis awal pegylated interferron adalah 80 mcg s.c/minggu,
dimana berdasarkan literatur, dosis yang dianjurkan adalah 180 mg
s.c/minggu sehingga dosis yang diberikan pada pasien terlalu
rendah/kurang yang tentunya akan memengaruhi efektivitas terapi (C 3.1;
PCNE, 2017). Usual dose yang digunakan adalah 1,5 mcg/kgBB sehingga
dosis yang dapat diberikan pada pasien adalah 117 mcg, diberikan selama
24 minggu (Dipiro, 2008; Medscape, 2018).

Gambar 23 : Dosis dan Durasi Terapi untuk Hepatitis C Kronis (Modi and
Liang, 2008)

4. Anemia
a. Anemia yang terjadi pada pasien termasuk dalam anemia hemolitik, yaitu
suatu kondisi dimana RBC (Red Blood Cells) dihancurkan lebih cepat
daripada seharusnya sehingga tubuh tidak cukup mampu untuk membuat
RBC yang baru untuk menggantikannya. RBC membawa oksigen ke
jaringan tubuh, dimana usia rata-rata dari RBC adalah 90-120 hari dan
setelah itu akan dihilangkan dari sirkulasi oleh limpa. Sel darah merah yang
baru akan diproduksi di sumsum tulang untuk menggantikan sel-sel darah
merah yang telah dihancurkan. Seseorang dapat dikatakan anemia ketika
keseimbangan ini terganggu dan ditandai dengan rendahnya hemoglobin
atau hematokrit. Hemolisis sendiri dapat terjadi karena infeksi maupun
obat-obatan, salah satunya adalah individu dengan terapi HCV seperti
ribavirin (Mintzer et all, 2009; Fransciscus, 2015).
b. Terapi infeksi HCV sangat erat kaitannya dengan kejadian anemia,
terutama kombinasi interferon dengan ribavirin yang ditandai dengan
penurunan kadar hemoglobin pada pasien. 25-30% pasien dengan infeksi
HCV yang menerima terapi interferon alfa 2b mengalami penurunan Hb
sebanyak 2 gram/dl. Terjadinya penekanan pada bone marrow
menyebabkan terbatasnya produksi RBC sehingga menyebabkan turunnya
Hb (Sulkowski, 2003; Fransciscus, 2015).

Gambar 24 : Nilai Normal Hemoglobin dan Hematokrit untuk Pria dan


Wanita (Fransciscus, 2015)

c. Ada 2 pilihan untuk mengobati anemia hemolitik, yaitu dengan


pengurangan dosis ribavirin dan penggunaan growth factor hormone
(EPO/erythropoietin) untuk meningkatkan produksi RBC. Untuk anemia
hemolitik yang diinduksi oleh pengobatan HCV tidak bisa diobati dengan
mengonsumsi makanan kaya zat besi ataupun suplemen zat besi sehingga
sulfas ferrosus dapat dihentikan penggunaannya (iron therapy
kontraindikasi dengan anemia hemolitik) karena zat besi yang dirilis oleh
RBC pada anemia hemolitik diserap/digunakan kembali namun
penyimpanan zat besinya dalam keadaan tetap (tidak berkurang).
Pengurangan dosis dari antivirus yang bertindak langsung untuk mengobati
HCV tidak boleh dilakukan karena dapat mengembangkan potensi
resistensi obat, maka terapi EPO dapat dijadikan sebagai alternatif
(Fransciscus, 2015).
d. EPO merupakan terapi yang efektif untuk anemia pada pasien yang
terinfeksi HIV yang menerima antiviral terapi yang dapat meningkatkan
kadar Hb dan kualitas hidup pasien serta mengurangi kejadian pengurangan
dosis ribavirin. Terdapat studi yang dilakukan untuk menentukan
kemanjuran EPO dibandingkan dengan SOC (Standard of Care), yaitu
pengurangan dosis ribavirin menjadi 600 mg/hari (untuk Hb < 10 g/dl dan
obat distop ketika Hb turun < 8,5 g/ml) dengan kadar Hb awal rata-rata
pasien adalah 11 g/dl untuk kedua kelompok. Studi dilakukan dengan EPO
40.000 U s.c/minggu selama 16 minggu dan menghasilkan peningkatan Hb
rata-rata adalah 13,9 g/dl (mengalami peningkatan hampir 3 g/dl)
dibandingkan dengan pasien yang menerima SOC dengan kadar Hb 11,3
g/dl. Studi lain menyebutkan pengaruh EPO terhadap kombinasi terapi
interferon dan ribavirin dengan dosis EPO 40.000 U/minggu setelah 4
minggu terapi menghasilkan peningkatan Hb dari 10 g/dl menjadi 12,7 g/dl
(Sulkowski, 2003).
e. Dosis EPO yang digunakan oleh pasien adalah 15.600 U 3 kali seminggu,
dimana dosis ini terlalu tinggi dan melebihi dosis literatur yang disarankan
yaitu 40.000 U/minggu (C 3.2; PCNE, 2017). Pemberian sulfas ferrosus
juga tidak diperlukan mengingat pasien sudah mendapatkan terapi EPO
untuk menangani anemia (C 1.7; PCNE, 2017). Penggunaan sulfas ferrosus
dapat dihentikan karena berdasarkan literatur, SF memiliki kontraindikasi
dengan pasien anemia hemolitik sehingga terapi EPO sudah cukup efektif
dalam penanganan anemia pasien. EPO efektif dalam menurunkan tingkat
relapse pasien dan higher rate dari SVR (Shiffman, 2007).
Plan (including primary care implications)
1. Terapi farmakologi
No. Nama obat Dosis Waktu pemberian
1 Pegylated interferon 117 mg/hari 24 minggu
2 Ribavirin 2 x 500 mg
3 Exforge 1 x 1 tablet Pagi
4 Lantus 10 unit/hari
5 EPO 40.000 unit 1 x seminggu

2. Terapi non-farmakologi
a. Hepatitis C
 Hindari penggunaan jarum yang tidak steril pada penggunaan obat, tato
ataupun body piercing
 Lakukan screening HCV pada pasien dengan riwayat penggunaan
narkoba khususnya injeksi, koinfeksi HIV, pasien hemodialisa, riwayat
penyakit hati, petugas kesehatan, anak-anak dengan ibu yang positif
HCV maupun pasangan yang terinfeksi HCV.
b. Hipertensi
 Terapkan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)
 Kurangi asupan garam, idealnya hingga 1,5 g/hari
 Melakukan olahraga dan aktivitas fisik secara teratur
c. Diabetes mellitus
 Diet makanan seimbang untuk menjaga berat badan dengan diet rendah
lemak dan karbohidrat
 Melakukan aktivitas fisik ringan untuk meningkatkan sensitivitas insulin
dan mengontrol gula darah sehingga dapat menurunkan resiko
kardiovaskular.
d. Anemia
 Pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan yang sehat dan cukup
istirahat mengingat kondisi pasien dengan berbagai penyakit dan usia
lanjut.
Monitoring
Terapi Efektivitas Efek samping
Lantus a. Kadar gula darah Hipoglikemia
b. A1C
Exforge Penurunan tekanan darah Peningkatan BUN, sakit
dengan goal <140/90 kepala
mmHg
EPO a. Peningkatan Hb Hipertensi, mual,
(laki-laki = 13,5-17,5 muntah, sakit kepala,
g/dl) batuk
b. TIBC normal
Pegylated interferon a. Nilai HCV RNA Demam, anemia,
b. Peningkatan tes myalgia, diare, insomnia,
fungsi liver sehingga ansietas
Ribavirin dapat mencegah Myalgia, anemia
perburukan hemolitik, insomnia,
progresivitas mual, muntah, sakit
penyakit menjadi kepala
HCC dan ESLD
Form Medication Record

Nama Pasien Tanggal Waktu Nama Obat Dosis Alergi Obat Tanda
Diberikan Obat Pemberian Obat Obat dan Reaksi Tangan
Alergi Apoteker
Form Medication Reminder

Nama Pasien : Tn. X Dokter Pemeriksa :


Umur : 76 tahun Apoteker :

Bulan / Tahun
Nama
Waktu (Tanggal Pemberian Obat)
Obat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Pegylat Pagi                              
ed
Siang
interfer
on Sore
Malam
Ribaviri Pagi                              
n
Siang
Sore                              

Malam
Bulan / Tahun
Nama
Waktu (Tanggal Pemberian Obat)
Obat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Exforge Pagi                              

Siang
Sore
Malam
Lantus Pagi                              

Siang
Sore
Malam
Bulan / Tahun
Nama
Waktu (Tanggal Pemberian Obat)
Obat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

EPO Pagi    

Siang
Sore
Malam
Pagi
Siang
Sore
Malam
6. KESIMPULAN
a. Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa disebabkan oleh virus, alkohol,
penggunaan zat, paparan racun dan adanya penyakit tertentu. Viral hepatitis
mengacu pada radang hati yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa jenis
virus yang menyerang hati. Dalam beberapa kasus, tubuh dapat membersihkan
dirinya dari infeksi, namun apabila tubuh tidak dapat menyingkirkan infeksi
dengan sendirinya, maka infeksi akan berkembang menjadi kronis.
b. Hepatitis C pertama dikenal sebagai non-A, non-B hepatitis yang merupakan
infeksi yang ditularkan melalui darah yang disebabkan oleh virus single
stranded RNA famili Flaviviridae dan genus Hepacivirus.
c. Antibodi terhadap HCV (anti-HCV) dalam darah menandakan infeksi. Penyakit
kronis mungkin disebabkan oleh sistem imun inang yang tidak efektif, dengan
limfosit T sitotoksik yang tidak mampu memusnahkan HCV sehingga terjadi
kerusakan secara terus-menerus pada sel-sel hati. Faktor resiko umum untuk
terjadinya fibrosis hati termasuk obesitas, diabetes, penggunaan alkohol, seks
dan koinfeksi dengan HIV atau HBV.
d. Tujuan terapi HCV adalah untuk mencapai Sustained Virologic Response
(SVR) yang didefinisikan sebagai tercapainya tingkat HCV RNA yang tidak
terdeteksi pada 12 minggu atau lebih lama setelah pengobatan selesai serta
mencegah perkembangan sirosis, HCC dan ESLD. Pengobatan untuk hepatitis
C kronis bergantung pada riwayat medis pasien sebelumnya, riwayat
pengobatan HCV sebelumnya, keparahan penyakit hati dan genotipe HCV
sebagai prediktor terhadap terapi.
e. Pencegahan individu dari infeksi hepatitis C dapat dilakukan dengan cara
menghindari perilaku beresiko tinggi seperti berbagi jarum suntik (misalnya
pada pengguna narkoba i.v) maupun transfusi darah. Terapi farmakologi yang
dapat digunakan untuk HCV adalah interferon atau Direct Acting Antiviral
Agent (first and second generation),
f. Pada kasus, pasien terdiagnosa hepatitis C, diabetes mellitus, hipertensi dan
anemia hemolitik yang disebabkan oleh pemakaian antiviral pegylated
interferon dan ribavirin. Semua obat dilanjutkan penggunaannya kecuali sulfas
ferrosus yang dihentikan karena kontraindikasi dengan anemia hemolitik.
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, Brian K., et all. 2013. Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The
Clinical Use of Drugs. 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Aminizadeh et all. 2016. Safety and Efficacy of Adding Ribavirin to Interferon or


Peginterferon in Treatment of Hepatitis C Infection in Patients with
Thalassemia: a Systematic Review on Randomized Controlled Trials. Hepat
mon. Volume 16 (3).

Barbara et all. 2015. Pharmachotherapy Handbook. 9th Edition. The McGraw-Hill


Companies Inc.

Burns et all. 2016. Pharmacotherapy : Principles and Practice. 4th Edition. McGraw-
Hill Companies. Inc.

Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. 2008.
Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach. 7th ed. New York: The Mc
Graw-Hill Companies, Inc.

Franciscus, Alan. 2015. Hemolytic Anemia. HCSP Fact Sheet. Version 5.

Fried et all. 2002. Peginterferon alfa-2a plus Ribavirin for Chronic Hepatitis C Virus
Infection. The New England Journal of Medicine. Volume 13. Page : 975-982.
Available at : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12324553/

Giordanino et all. 2008. Incidence of Type 2 Diabetes Mellitus and Glucose


Abnormalities in Patients with Chronic Hepatitis C Infection by Response to
Treatment: Results of a Cohort Study. American Journal of Gastroenterology.
Page : 2481-2487.
Gomez et all. 2005. Insulin Resistance Impairs Sustained Response Rate to
Peginterferon Plus Ribavirin in Chronic Hepatitis C Patients.
Gastroenterology. Page : 636-641.

Hadziyannis et all. 2004. Peginterferon-alpha 2a and Ribavirin Combination Therapy


in Chronic Hepatitis C : a Randomized Study of Treatment Duration and
Ribavirin Dose. Annals of Internal Medicine. Page : 346-355. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14996676/

J. B. Kostis. 2010. Antihypertensive Therapy with CCB/ARB Combination in Older


Individuals: Focus on Amlodipine/Valsartan Combination. American Journal
of Therapeutics. Volume 17 (2). Page 188-196.

Manns, et all. 2001. Peginterferon alfa-2b Plus Ribavirin Compared with Interferon
Alfa-2b Plus Ribavirin for Initial Treatment of Chronic Hepatitis C: a
Randomised Trial. Lancet. Page : 958-965. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11583749/

Medscape. 2018.

Mintzer et all. 2009. Drug-Induced Hematologic Syndromes. Advances in Hematology.


Page 1-11.

Modi, A. A and T. J. Liang. 2008. Hepatitis C: a Clinical Review. HHS Public Access.
Volume 14 (1). Page : 10-14. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2803488/

Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE). Classification for Drug related


Problems. V8.02.
Sara et all. 2015. Diabetes and Hepatitis C: a Two-Way Association. Frontiers in
Endocrinology. Volume 5. Page : 1-19.

Shiffman, M. L et all. 2007. Treatment of Chronic Hepatitis C Virus Genotype 1 with


Peginterferon, Ribavirin, and Epoetin Alpha. Hepatology 46 (2). Page : 371-
379.

Strauss et all. 2005. Overview of Viral Hepatitis. Centre for Substance Abuse
Treatment. US. Page : 1821-1822. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92038/

Sulkowski, Mark S. 2003. Anemia in the Treatment of Hepatitis C Virus Infection.


Clinical Infection Diseases. 37 (suppl 4). Page 315-322.

Tabatabaei et all. 2012. Low Dose Ribavirin for Treatment of Hepatitis C Virus Infected
Thalassemia Major Patients : New Indications For Combination Therapy.
Hepat Mon. Volume 12 (6). Page : 372-381.

White et all. 2008. Hepatitis C infection and risk of diabetes: a systematic review and
meta-analysis. Journal Hepatology. Volume 49 (5). Page 831-844.

Zayadi, Abdel Rahman El and Mahmoud Anis. 2012. Hepatitis C Virus Induced Insulin
Resistance Impairs Response to Anti Viral Therapy. World Journal of
Gastroenterology. Volume : 18 (3). Page : 212-224. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3261538/

Anda mungkin juga menyukai