KELAS B1-A
KELOMPOK 1 :
A.A Istri Alit Putri Indradewi (162200001)
A. A. Sagung Dewi Pradnya Pramita (162200002)
I Gst Ayu Agung Kristina Dewi (162200003)
I Gst Putu Agus Anom (162200004)
I Made Yoghi Sudipa (162200005)
I Nyoman Kerta Negara (162200006)
I Putu Mariawan (162200007)
JURUSAN FARMASI
2018
1. TUJUAN PRAKTIKUM
a. Mengetahui definisi hepatitis
b. Mengetahui patofisiologi hepatitis
c. Mengetahui tatalaksana terapi hepatitis (farmakologi dan non-farmakologi)
d. Dapat menyelesaikan kasus terkait hepatitis secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.
2. DASAR TEORI
2.1. Definisi Hepatitis
Hepatitis merupakan peradangan hati yang bisa disebabkan oleh virus,
alkohol, penggunaan zat, paparan racun dan adanya penyakit tertentu. Viral
hepatitis mengacu pada radang hati yang disebabkan oleh salah satu dari
beberapa jenis virus yang menyerang hati. Dalam beberapa kasus, tubuh dapat
membersihkan dirinya dari infeksi, namun apabila tubuh tidak dapat
menyingkirkan infeksi dengan sendirinya, maka infeksi akan berkembang
menjadi kronis (Strauss et all, 2005).
Viral hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 yaitu akut dan kronis, dimana
hepatitis akut didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan adanya
peningkatan konsentrasi serum aminotransferase > 2,5 kali batas atas normal
yang berlangsung tidak lebih dari 6 bulan yang disertai dengan adanya
jaundice. Sedangkan untuk hepatitis kronis dapat didefinisikan sebagai
kondisi peradangan hati yang melibatkan nekrosis hepatoselular yang
berlangsung selama 6 bulan atau lebih setelah timbulnya penyakit akut (Brian
et all, 2013).
2.2. Klasifikasi, Epidemiologi dan Etiologi
Terdapat beberapa tipe dari viral hepatitis, yaitu :
a. Hepatitis A Virus (HAV)
HAV memengaruhi 1,4 juta orang setiap tahun di seluruh dunia
dengan prevalensi tertinggi di negara-negara yang mengalami tantangan
ekonomi dan terbelakang, termasuk Afrika, bagian dari Amerika Selatan,
Timur Tengah dan Asia Tenggara. HAV memiliki diameter 27 nm, single
stranded RNA virus dengan kelas picornavirus dalam genus Hepatovirus.
HAV menginfeksi orang melalui rute fecal-oral, dimana yang
paling tinggi adalah karena adanya kontak dengan individu yang
terinfeksi HAV (26%), bekerja atau sering berada di pusat penitipan anak
(14%), penyalahgunaan obat dengan injeksi (11%) traveling ke negara
endemik (4%) serta makanan atau minuman yang terinfeksi (3%). Wabah
terjadi di wilayah dengan sanitasi yang buruk, dimana sekitar 45% dari
kasus yang dilaporkan tidak memiliki faktor resiko yang dapat
diidentifikasi (Burns et all, 2016; Brian et all, 2013).
b. Hepatitis B Virus (HBV)
HBV adalah infeksi yang ditularkan melalui darah yang
memengaruhi 240 juta orang diseluruh dunia, disebabkan oleh sirosis dan
komplikasi dari End Stage Liver Disease (ESLD). Secara global, lebih
dari 780.000 kematian terkait HBV setiap tahunnya. Walaupun memiliki
vaksin yang efektif, ada 18.800 infeksi HBV baru pada tahun 2011 di
Amerika Serikat. Konsentrasi tertinggi dari HBV ditemukan dalam darah
dan cairan tubuh melalui paparan perinatal, seksual atau perkutan (Burns
et all, 2016).
2.3. Patofisiologi
a. Hepatitis A Virus (HAV)
Hepatitis A merupakan virus RNA non-enveloped single stranded yang
diklasifikasikan sebagai genus hepatovirus di bawah famili
Picornaviridae. Host dari HAV adalah manusia dengan sel hati sebagai
situs utama untuk replikasi virus. Sebagai bagian dari proses degradasi
virus, HAV dilepaskan ke dalam sistem empedu yang menyebabkan
peningkatan konsentrasi HAV dalam feses. Infeksi hepatitis A biasanya
dapat sembuh dengan sendirinya (sekitar 2 bulan) dan tidak mengarah
pada penyakit kronis (jarang menyebabkan fulminant hepatitis) (Burns et
all, 2016).
a. Hepatitis A
Diagnosis hepatitis A dengan mendeteksi antibodi imunoglobulin ke
protein kapsid dari HAV. Deteksi dari IgM anti-HAV dalam serum
menunjukkan infeksi akut. IgM muncul sekitar 3 minggu setelah terpapar
dan menjadi tidak terdeteksi dalam 6 bulan. Sebaliknya, IgG anti-HAV
muncul dalam serum pada sekitar waktu yang sama dengan
berkembangnya IgM anti-HAV namun menunjukkan perlindungan dan
kekebalan tubuh seumur hidup terhadap hepatitis A.
b. Hepatitis B
Hepatitis B didiagnosis ketika HBsAg terdeteksi dalam serum, tetapi
HBsAg tidak membedakan antara HBV akut dan kronis. Adanya antibodi
IgM terhadap HBcAg menunjukkan infeksi aktif. IgG anti-HBc
menunjukkan infeksi kronis atau kemungkinan kekebalan terhadap HBV.
Kebanyakan kasus, HBeAg yang terdeteksi menunjukkan replikasi virus
aktif. Pengukuran DNA HBV menentukan infektivitas virus dan
menguantifikasi replikasi virus. Setelah replikasi virus HBV berhenti,
anti-HBe terdeteksi dalam serum. Namun, sebagian kecil pasien dapat
mengembangkan anti-HBe dan masih memiliki peningkatan tingkat DNA
HBV karena mutasi pada HBV. Oleh karena itu, infeksi CHB dapat
dibedakan baik sebagai HBeAg-positif atau HBeAg-negatif. Serologi
hepatitis B dievaluasi untuk menilai tanggapan pengobatan HBV dan
menentukan apakah akan dilakukan vaksinasi atau tidak.
c. Hepatitis C
Diagnosis hepatitis C dilakukan dengan pengujian anti-HCV dalam serum
dan dikonfirmasi oleh keberadaan RNA HCV. Tingkat RNA HCV
mengukur replikasi virus dan digunakan untuk menentukan apakah
pengobatan antiviral untuk HCV efektif. Genotipe HCV harus diperoleh
untuk menentukan kemungkinan tanggapan terhadap terapi anti-HCV dan
lamanya pengobatan yang diperlukan.
d. Hepatitis D
Infeksi hepatitis D membutuhkan kehadiran HBV untuk replikasi virus
HDV. Mengukur tingkat RNA HDV dilakukan untuk menegaskan adanya
infeksi dari hepatitis D dan merupakan tes diagnostik yang paling akurat.
Kehadiran IgM anti-HD menunjukkan penyakit yang aktif dan IgG anti-
HD juga menjadi terdeteksi jika infeksi tidak sembuh secara spontan.
Antibodi HDV tidak memberikan sistem kekebalan.
e. Hepatitis E
Diagnosis hepatitis E akut disarankan pada keberadaan IgM anti-HEV.
IgG anti-HEV muncul ketika infeksi HEV hilang. Tes darah untuk tingkat
HEV RNA teredia tetapi digunakan terutama dalam uji klinis (Burns et
all, 2016).
c. Hepatitis C
Pencegahan individu dari infeksi hepatitis C dapat dilakukan dengan cara
menghindari perilaku beresiko tinggi seperti berbagi jarum suntik
(misalnya pada pengguna narkoba i.v) maupun transfusi darah. Tujuan
terapi HCV adalah untuk mencapai Sustained Virologic Response (SVR)
yang didefinisikan sebagai tercapainya tingkat HCV RNA yang tidak
terdeteksi pada 12 minggu atau lebih lama setelah pengobatan selesai
serta mencegah perkembangan sirosis, HCC dan ESLD. Pengobatan
untuk hepatitis C kronis bergantung pada riwayat medis pasien
sebelumnya, riwayat pengobatan HCV sebelumnya, keparahan penyakit
hati dan genotipe HCV sebagai prediktor terhadap terapi.
1) Interferon/Pegylated Interferon and Ribavirin
a) Tidak lagi digunakan untuk HCV kronis karena < 10% pasien
dengan genotipe 1 dan hanya sekitar 30% dengan genotipe 2 atau
3 yang mencapai target SVR
b) Dapat memperpanjang waktu paruh yang memungkinkan
pemberian satu kali seminggu dibandingkan dengan pemberian
unpegylated
c) Tingkat SVR untuk pegylated interferon dapat ditingkatkan dari
25% menjadi 40-55% dengan penambahan ribavirin
d) Sekitar 35% pasien yang diobati dengan pegylated interferon dan
ribavirin memerlukan pengurangan dosis atau penghentian obat
karena komplikasi hematologi (trombositopenia, neutropenia,
anemia), dimana dibutuhkan terapi tambahan seperti epoetin α
atau darbopoetin untuk menanggulangi anemia. Penggunaan
ribavirin pada wanita usia subur dan laki-laki harus menggunakan
dua bentuk kontrasepsi selama terapi HCV dan 6 bulan setelah
pengobatan karena ribavirin bersifat teratogenik dan embryocidal.
2) Direct-Acting Antiviral Agents—First Generation
a) Menghasilkan tingkat SVR yang lebih tinggi dari 63-66% ketika
digunakan bersamaan dengan pegylated interferon dan ribavirin
dibandingkan dengan pegylated interferon dan ribavirin saja
(50%)
b) Tidak lagi direkomendasikan karena efek samping yang signifikan
(diskrasia darah dan efek dermatologis), peningkatan beban pil
(11-22 pil setiap hari), rejimen dosis yang rumit, interaksi obat
yang signifikan dan berganda serta peningkatan resistensi virus
3) Direct-Acting Antiviral Agents—Second Generation
Golongan obat ini menghasilkan SVR yang lebih tinggi (> 90%)
dengan efek samping yang lebih sedikit serta durasi pengobatan yang
lebih pendek dengan rejimen yang tidak terlalu kompleks
dibandingkan dengan generasi pertama.
a) Simeprevir (Olysio)
Diindikasikan untuk HCV genotipe 1 dengan compensated
liver disease, termasuk sirosis (NS3/4A serine protease
inhibitor)
Harus diberikan dengan pegylated interferon dan ribavirin
untuk meminimalkan resiko terjadinya resistensi obat, namun
kombinasi ini tidak direkomendasikan untuk HCV genotipe 1a
atau 1b karena efek samping, interaksi obat, durasi pengobatan
yang lama dan tingkat SVR yang lebih rendah dibandingkan
dengan rejimen oral HCV interferon bebas yang lebih baru.
b) Sofosbuvir (Sovaldi)
First agent dari NS5B polymerase inhibitor class yang
disetujui untuk pengobatan HCV genotipe 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
Dosis yang digunakan adalah 400 mg setiap hari dengan atau
tanpa makanan selama 12-24 minggu
Diindikasikan untuk pasien dengan HCC yang sedang
menunggu transplantasi hati dan dengan koinfeksi HIV dan
HCV (terlepas dari genotipe)
c) Simeprevir and Sofosbuvir
Merupakan rejimen yang direkomendasikan dari FDA,
diberikan selama 12 minggu untuk pasien yang belum pernah
diobati atau sebelumnya dengan pengobatan genotipe 1 tanpa
disertai sirosis. Untuk pasien dengan sirosis, rejimen yang
sama diberikan selama 24 minggu
d) Sofosbuvir and Ledipasvir (Harvoni)
Merupakan tablet Fixed Dose Combination (FDC) pertama
dan rejimen pertama yang disetujui FDA yang tidak
memerlukan pemberian kombinasi dengan interferon atau
ribavirin
Mekanismenya dengan menghambat protein HCV NS5A yang
diperlukan untuk replikasi virus
Diindikasikan untuk infeksi HCV genotipe 1 kronis dengan
efek samping minimal
Dosis yang diberikan untuk sobosbuvir adalah 400 mg dan
untuk ledipasvir adalah 90 mg setiap hari dengan atau tanpa
makanan selama 8, 12 atau 24 minggu tergantung pada riwayat
pengobatan HCV sebelumnya, status sirosis dan viral load
awal
e) Ombitasvir, Paritaprevir, Ritonavir, and Dasabuvir (Viekira Pak)
Termasuk dalam FDC yang tidak memerlukan pemberian
dengan interferon dan dapat diberikan dengan atau tanpa
ribavirin (berdasarkan subtipe genotipe dan adanya sirosis),
dimana ombitasvir adalah inhibitor NS5A, paritaprevir adalah
NS3/4A protease inhibitor, dasabuvir adalah nonnucleoside
NS5B polymerase inhibitor serta ritonavir adalah inhibitor
CYP3A
Diindikasikan untuk pasien koinfeksi HIV dan HCV atau
penerima transplantasi hati dengan fungsi hati normal dan
fibrosis ringan, tidak direkomendasikan untuk penyakit hati
dekompensasi
Dosis yang dianjurkan dua tablet setiap hari pada pagi hari
(dengan makanan), dimana dosis masing-masing adalah
ombitasvir 12,5 mg, paritaprevir 75 mg dan ritonavir 50 mg
serta ditambah satu tablet yang mengandung dasabuvir 250
mg dua kali sehari (pagi dan sore hari dengan makanan)
Gambar 16 : Algoritma Hepatitis C (Brian et all, 2013)
Gambar 17 : Rekomendasi Rejimen Terapi untuk Pasien dengan HCV
(Burns et all, 2016)
d. Hepatitis D
Infeksi hepatitis D hanya mungkin terjadi jika pasien juga terinfeksi
dengan HBV, maka dari itu vaksinasi hepatitis B secara tidak langsung
dapat mencegah infeksi dari hepatitis D. Perawatan yang
direkomendasikan untuk HDV adalah pegylated interferon selama 48-72
minggu, dengan lini pertama adalah tenofovir (seperti yang digunakan
dalam infeksi HBV dan dapat dipertimbangkan pada pasien koinfeksi
dengan HDV dan HBV jika tingkat DNA HBV yang tinggi). Monoterapi
dengan analog nukleosida/nukleotida tidak efektif dalam mengurangi
tingkat DNA HDV tetapi dapat menurunkan viral load hepatitis B.
e. Hepatitis E
HEV ditularkan melalui rute fecal-oral sehingga pencegahan dapat
dilakukan dengan menjaga kebersihan pribadi yang baik serta
pembuangan limbah dan sanitasi yang tepat karena tidak ada vaksin yang
tersedia untuk hepatitis E (Burns et all, 2016).
2.6. Evaluasi Outcome
Monitoring efikasi dari terapi untuk pasien hepatitis B kronis atau C
dilakukan dengan mengevaluasi tingkat aminotransferase dan tingkat virus
hepatitis B atau C serta serologinya.
a. Hepatitis B
1) Mencatat ALT awal dan di monitoring 3-6 bulan selama pengobatan
hepatitis B.
2) Monitoring kadar DNA HBV setiap 3-6 bulan untuk mengetahui
respon pengobatan.
3) Monitoring HBeAg dan anti-HBe setiap 6 bulan untuk menentukan
apakah seroconversion terhadap anti-HBe terjadi atau HBeAg hilang
pada pasien CHB dengan HBeAg positif.
4) Monitoring HBsAg setiap 6-12 bulan untuk menentukan apakah
HBsAg hilang atau anti-HBs berkembang pada pasien CHB dengan
HBeAg negatif dengan kadar DNA HBV serum yang tetap tidak
terdeteksi.
5) Evaluasi kembali pada bulan ke-6 dan beralih atau menambahkan
agen anti-virus hepatitis B yang lebih kuat ke rejimen hepatitis B yang
sedang digunakan jika level DNA HBV belum mengalami penurunan
sebanyak 2 poin setelah 6 bulan terapi.
6) Lnjutkan pengobatan pada pasien CHB dengan HBeAg poitif hingga
seroconversion HBeAg tercapai bersamaan dengan tingkat DNA
HBV yang tidak terdeteksi. Setelah anti-HBe muncul, terapi
tambahan hepatitis B dilanjutkan selama 6 bulan.
7) Lanjutkan pengobatan pada pasien CHB dengan HBeAg negatif
sampai HBsAg hilang.
8) Pantau dengan seksama adanya infeksi virus hepatitis dan kambuhnya
virus saat terapi hepatitis B dihentikan.
9) Pengukuran CBC (Complete Blood Count) dengan selang waktu 4
minggu dan kadar TSH (Thyroid Stimulating Hormone) serta fasting
lipid panel setiap 12 minggu ketika menerima terapi pegylated
interferon untuk hepatitis B.
10) Pemantauan awal kadar serum kreatinin untuk nefrotoksisitas dan
lakukan setiap 12 minggu untuk pasien yang menerima terapi
tenofovir atau adefovir.
11) Pemantauan awal kadar kreatinin kinase dan lakukan secara perodik
(misalnya setiap 12 minggu) untuk pasien yang menggunakan terapi
telbivudine karena resiko terjadinya kelemahan otot dan myopathy.
b. Hepatitis C
1) SVR dengan tingkat HCV RNA yang tidak terdeteksi setidaknya 3
bulan setelah terapi yang menjadi tujuan akhir terapi HCV dan
menunjukkan efektivitas obat virologi.
2) End of Treatment Response (ETR/EOT) dengan tingkat HCV RNA
yang tidak terdeteksi pada akhir pengobatan.
3) Normalisasi ALT dan dilakukan pemantauan setiap minggu.
4) Perbaikan peradangan dan fibrosis (respon histologis) yang
didokumentasikan oleh skor biopsi hati.
5) Monitoring tingkat RNA HCV untuk menentukan efektivitas terapi
dan hentikan pengobatan jika RNA HCV belum menurun atau
menjadi tidak terdeteksi pada waktu tertentu.
6) Monitoring WBC, ANC (Absolute Neutrophil Count) dan trombosit
baik mingguan atau dua mingguan selama bulan pertama terapi dan
setelahnya dilakukan setiap bulan apabila parameter stabil saat
menggunakan pegylated interferon.
7) Monitoring kadar hemoglobin baik mingguan atau tiap dua minggu
selama bulan pertama dan setelahnya dilakukan setiap bulan jika
parameter stabil saat penggunaan ribavirin.
8) Monitoring kelelahan, sesak napas dan nyeri dada serta komplikasi
kulit saat menggunakan ribavirin.
9) Monitoring TSH dan fasting lipid panel setiap 1 minggu saat
menggunakan pegylated interferon.
10) Monitoring serum kreatinin pada pasien yang menggunakan ribavirin
untuk mendeteksi insufisiensi ginjal yang dapat menyebabkan
akumulasi ribavirin dan toksisitas.
11) Lakukan rekonsiliasi obat secara menyeluruh dari resep, OTC dan
suplemen diet maupun herbal sebelum dan selama terapi HCV
(terutama jika diresepkan Direct Acting Antiretroviral/DAA).
12) Monitoring konsentrasi bilirubin total setiap 2-4 minggu saat
menggunakan simeprevir dan dilakukan lebih erring apabila pasien
memiliki sirosis atau penyakit hati dekompensasi (Burns et all, 2016).
4. STUDI KASUS
Penderita laki-laki umur 76 tahun dengan diagnosis DM + HT + post CVA +
hepatitis C, BB 78 kg. HCV RNA kuantitatif 1,8 x 107. Pasien mendapatkan terapi
pegylated interferon + ribavirin sekali seminggu. Selain itu menggunakan lantus
dan exforge. Pegylated interferon mulai dosis 80 mcg sc, setelah pemberian tiga
kali penderita berdebar debar, di cek laboratorium Hb 7,0; SI 97; TIBC 545,
hapusan darah tepi anemia hipokrom mikrositer. Tekanan darah dan suhu normal.
Oleh dokter yang merawat pegintron dikurangi 50 mcg sekali seminggu, ribavirin
stop, diberikan sulfas ferrosus dan eritropoetin, diberikan selang seling.
5. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Tn. / Ny. :X
Presenting Complaint
Berdebar-debar
Drug Allergies: -
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah (mmHg) 120/80
Nadi (x/menit) -
Suhu (oC) Normal
RR (x/menit) -
Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi (literatur)
digunakan
Pegylated 80 mcg
1 180 mcg s.c/minggu
interferron s.c/minggu
Hepatitis C
Untuk genotype 2,3 diberikan dosis 800
2 Ribavirin -
mg/hari PO tiap 12 jam selama 24 minggu
Lantus (basal 0,2 unit/kg BB atau ditingkatkan 10
3 Antidiabetic 10 unit/hari
insulin) unit/hari
Exforge
(amlodipine 5 mg
4 Anti-hipertensi 1 x 1 tablet Initiate 5 mg/160 mg PO/hari
+ valsartan 160
mg)
Subjective (symptom)
Jantung berdebar-debar
Objective (signs)
1. HCV RNA kuantitatif = 1,8 x 107
2. Hb (11-16) = 7,0
3. TIBC (Total Iron Binding Capacity) (300-360 mg/dl) = 545
4. SI (Serum Ion) (50-150 mg/dl) = 97
5. Tinggi badan = 180 cm
6. Berat badan = 78 kg
7. Diagnosa = hipertensi, post CVA, DM, hepatitis C
8. Hapusan darah = anemia hipokrom mikrositik
Assesment (with evidence)
1. Diabetes mellitus
a. Berdasarkan studi epidemiologi, pasien T2D (Type 2 of Diabetes) beresiko
lebih tinggi dalam perburukan infeksi hepatitis C, termasuk pengurangan
SVR, perkembangan sirosis dan fibrosis serta resiko yang lebih tinggi
terhadap perkembangan HCC. Terdapat pula penelitian meta analisis yang
menyatakan bahwa T2D sebagai faktor predisposisi untuk infeksi HCV,
dimana sebanyak 33% pasien dengan infeksi HCV memiliki T2D (White
et all, 2008).
b. Semakin banyak evidence mengenai efek langsung HCV pada pensinyalan
insulin, dimana hati pada pasien HCV yang tidak mengalami obesitas
menunjukkan penurunan 2 kali lipat dalam aktivasi tyrosine-
phosphorylated IRS-1 dan inhibisi serine-phosphorylated IRS-1 serta
threonine-phosphorylated yang memainkan peran dalam pengembangan
resistensi insulin pada hepatitis C (Sara et all, 2015). Virus HCV, melalui
jalur langsung dan tidak langsung, mempengaruhi jalur sinyal insulin,
mempromosikan IR (Insulin Resistance) pada tingkat sel. Efek insulin
diperoleh setelah pengikatan insulin ke reseptornya yang terkait dengan
jalur sinyal kompleks yang melibatkan aktivasi berurutan dari IRS, PI3K,
Akt, protein kinase yang merupakan bagian hilir aktivasi PI3K dan protein
kinase C. Kaskade peristiwa ini akhirnya menghasilkan stimulasi ambilan
glukosa setelah translokasi GLUT4 ke membran plasma. Hasil IR dari
defek pada setiap tingkat jalur sinyal yang berhubungan dengan reseptor
insulin. Setelah respon inflamasi pada hati terhadap infeksi HCV,
penurunan signaling insulin yang signifikan terjadi pada tingkat IRS
tyrosine phosphorylation dan aktivasi PI3K. HCV protein inti menginduksi
ekspresi TNF-α, yang mengaktifkan SOCS-3, yang mengarah ke degradasi
proteasomal berikutnya dari IRS1 dan IRS2, menghasilkan pengembangan
IR. Sementara itu, SOCS-3 menonaktifkan PI3K, yang pada gilirannya
menghambat translokasi GLUT-4 ke membran sel, sehingga menghalangi
penyerapan glukosa intraseluler. Peningkatan kadar sitokin proinflamasi
seperti interleukin 1, TNF-α, IL-6 dan leptin serta penurunan kadar
adiponektin dapat secara langsung berkontribusi terhadap terjadinya HCV
(Zayadi and Mahmoud, 2012).
3. Hepatitis C
a. Pasien terdiagnosis hepatitis C dengan genotype 2, dimana genotype
merupakan salah satu dasar dalam penentuan terapi dari HCV selain
presentasi penyakit (akut dan kronis), nilai laboratorium (anti-HCV dan
HCV RNA, tes fungsi hati, prothrombin time), adanya koinfeksi (HIV,
hepatitis B) dan komorbiditas yang terkait dengan pemilihan rejimen obat,
durasi dan juga frekuensi terapi (Modi and Liang, 2008). Pada kasus, pasien
mendapatkan terapi kombinasi pegylated interferron dan ribavirin yang
sudah sesuai dengan algoritma terapi pada hepatitis C dengan genotype 2.
Gambar 23 : Dosis dan Durasi Terapi untuk Hepatitis C Kronis (Modi and
Liang, 2008)
4. Anemia
a. Anemia yang terjadi pada pasien termasuk dalam anemia hemolitik, yaitu
suatu kondisi dimana RBC (Red Blood Cells) dihancurkan lebih cepat
daripada seharusnya sehingga tubuh tidak cukup mampu untuk membuat
RBC yang baru untuk menggantikannya. RBC membawa oksigen ke
jaringan tubuh, dimana usia rata-rata dari RBC adalah 90-120 hari dan
setelah itu akan dihilangkan dari sirkulasi oleh limpa. Sel darah merah yang
baru akan diproduksi di sumsum tulang untuk menggantikan sel-sel darah
merah yang telah dihancurkan. Seseorang dapat dikatakan anemia ketika
keseimbangan ini terganggu dan ditandai dengan rendahnya hemoglobin
atau hematokrit. Hemolisis sendiri dapat terjadi karena infeksi maupun
obat-obatan, salah satunya adalah individu dengan terapi HCV seperti
ribavirin (Mintzer et all, 2009; Fransciscus, 2015).
b. Terapi infeksi HCV sangat erat kaitannya dengan kejadian anemia,
terutama kombinasi interferon dengan ribavirin yang ditandai dengan
penurunan kadar hemoglobin pada pasien. 25-30% pasien dengan infeksi
HCV yang menerima terapi interferon alfa 2b mengalami penurunan Hb
sebanyak 2 gram/dl. Terjadinya penekanan pada bone marrow
menyebabkan terbatasnya produksi RBC sehingga menyebabkan turunnya
Hb (Sulkowski, 2003; Fransciscus, 2015).
2. Terapi non-farmakologi
a. Hepatitis C
Hindari penggunaan jarum yang tidak steril pada penggunaan obat, tato
ataupun body piercing
Lakukan screening HCV pada pasien dengan riwayat penggunaan
narkoba khususnya injeksi, koinfeksi HIV, pasien hemodialisa, riwayat
penyakit hati, petugas kesehatan, anak-anak dengan ibu yang positif
HCV maupun pasangan yang terinfeksi HCV.
b. Hipertensi
Terapkan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)
Kurangi asupan garam, idealnya hingga 1,5 g/hari
Melakukan olahraga dan aktivitas fisik secara teratur
c. Diabetes mellitus
Diet makanan seimbang untuk menjaga berat badan dengan diet rendah
lemak dan karbohidrat
Melakukan aktivitas fisik ringan untuk meningkatkan sensitivitas insulin
dan mengontrol gula darah sehingga dapat menurunkan resiko
kardiovaskular.
d. Anemia
Pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan yang sehat dan cukup
istirahat mengingat kondisi pasien dengan berbagai penyakit dan usia
lanjut.
Monitoring
Terapi Efektivitas Efek samping
Lantus a. Kadar gula darah Hipoglikemia
b. A1C
Exforge Penurunan tekanan darah Peningkatan BUN, sakit
dengan goal <140/90 kepala
mmHg
EPO a. Peningkatan Hb Hipertensi, mual,
(laki-laki = 13,5-17,5 muntah, sakit kepala,
g/dl) batuk
b. TIBC normal
Pegylated interferon a. Nilai HCV RNA Demam, anemia,
b. Peningkatan tes myalgia, diare, insomnia,
fungsi liver sehingga ansietas
Ribavirin dapat mencegah Myalgia, anemia
perburukan hemolitik, insomnia,
progresivitas mual, muntah, sakit
penyakit menjadi kepala
HCC dan ESLD
Form Medication Record
Nama Pasien Tanggal Waktu Nama Obat Dosis Alergi Obat Tanda
Diberikan Obat Pemberian Obat Obat dan Reaksi Tangan
Alergi Apoteker
Form Medication Reminder
Bulan / Tahun
Nama
Waktu (Tanggal Pemberian Obat)
Obat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Pegylat Pagi
ed
Siang
interfer
on Sore
Malam
Ribaviri Pagi
n
Siang
Sore
Malam
Bulan / Tahun
Nama
Waktu (Tanggal Pemberian Obat)
Obat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Exforge Pagi
Siang
Sore
Malam
Lantus Pagi
Siang
Sore
Malam
Bulan / Tahun
Nama
Waktu (Tanggal Pemberian Obat)
Obat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
EPO Pagi
Siang
Sore
Malam
Pagi
Siang
Sore
Malam
6. KESIMPULAN
a. Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa disebabkan oleh virus, alkohol,
penggunaan zat, paparan racun dan adanya penyakit tertentu. Viral hepatitis
mengacu pada radang hati yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa jenis
virus yang menyerang hati. Dalam beberapa kasus, tubuh dapat membersihkan
dirinya dari infeksi, namun apabila tubuh tidak dapat menyingkirkan infeksi
dengan sendirinya, maka infeksi akan berkembang menjadi kronis.
b. Hepatitis C pertama dikenal sebagai non-A, non-B hepatitis yang merupakan
infeksi yang ditularkan melalui darah yang disebabkan oleh virus single
stranded RNA famili Flaviviridae dan genus Hepacivirus.
c. Antibodi terhadap HCV (anti-HCV) dalam darah menandakan infeksi. Penyakit
kronis mungkin disebabkan oleh sistem imun inang yang tidak efektif, dengan
limfosit T sitotoksik yang tidak mampu memusnahkan HCV sehingga terjadi
kerusakan secara terus-menerus pada sel-sel hati. Faktor resiko umum untuk
terjadinya fibrosis hati termasuk obesitas, diabetes, penggunaan alkohol, seks
dan koinfeksi dengan HIV atau HBV.
d. Tujuan terapi HCV adalah untuk mencapai Sustained Virologic Response
(SVR) yang didefinisikan sebagai tercapainya tingkat HCV RNA yang tidak
terdeteksi pada 12 minggu atau lebih lama setelah pengobatan selesai serta
mencegah perkembangan sirosis, HCC dan ESLD. Pengobatan untuk hepatitis
C kronis bergantung pada riwayat medis pasien sebelumnya, riwayat
pengobatan HCV sebelumnya, keparahan penyakit hati dan genotipe HCV
sebagai prediktor terhadap terapi.
e. Pencegahan individu dari infeksi hepatitis C dapat dilakukan dengan cara
menghindari perilaku beresiko tinggi seperti berbagi jarum suntik (misalnya
pada pengguna narkoba i.v) maupun transfusi darah. Terapi farmakologi yang
dapat digunakan untuk HCV adalah interferon atau Direct Acting Antiviral
Agent (first and second generation),
f. Pada kasus, pasien terdiagnosa hepatitis C, diabetes mellitus, hipertensi dan
anemia hemolitik yang disebabkan oleh pemakaian antiviral pegylated
interferon dan ribavirin. Semua obat dilanjutkan penggunaannya kecuali sulfas
ferrosus yang dihentikan karena kontraindikasi dengan anemia hemolitik.
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, Brian K., et all. 2013. Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The
Clinical Use of Drugs. 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Burns et all. 2016. Pharmacotherapy : Principles and Practice. 4th Edition. McGraw-
Hill Companies. Inc.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. 2008.
Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach. 7th ed. New York: The Mc
Graw-Hill Companies, Inc.
Fried et all. 2002. Peginterferon alfa-2a plus Ribavirin for Chronic Hepatitis C Virus
Infection. The New England Journal of Medicine. Volume 13. Page : 975-982.
Available at : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12324553/
Manns, et all. 2001. Peginterferon alfa-2b Plus Ribavirin Compared with Interferon
Alfa-2b Plus Ribavirin for Initial Treatment of Chronic Hepatitis C: a
Randomised Trial. Lancet. Page : 958-965. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11583749/
Medscape. 2018.
Modi, A. A and T. J. Liang. 2008. Hepatitis C: a Clinical Review. HHS Public Access.
Volume 14 (1). Page : 10-14. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2803488/
Strauss et all. 2005. Overview of Viral Hepatitis. Centre for Substance Abuse
Treatment. US. Page : 1821-1822. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92038/
Tabatabaei et all. 2012. Low Dose Ribavirin for Treatment of Hepatitis C Virus Infected
Thalassemia Major Patients : New Indications For Combination Therapy.
Hepat Mon. Volume 12 (6). Page : 372-381.
White et all. 2008. Hepatitis C infection and risk of diabetes: a systematic review and
meta-analysis. Journal Hepatology. Volume 49 (5). Page 831-844.
Zayadi, Abdel Rahman El and Mahmoud Anis. 2012. Hepatitis C Virus Induced Insulin
Resistance Impairs Response to Anti Viral Therapy. World Journal of
Gastroenterology. Volume : 18 (3). Page : 212-224. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3261538/