Anda di halaman 1dari 18

TUGAS FARMAKOTERAPI IV

PENYAKIT HATI DENGAN INFEKSI HEPATITIS


Pharmacokinetics of Lopinavir/Ritonavir in HIV/Hepatitis C Virus–Coinfected
Subjects With Hepatic Impairment

OLEH

KELOMPOK 4

I Made Adi Yoga (172200054)

I Gusti Putu Ngurah Maha Wibawa (172200055)

I Putu Gede Panca Putra Yudana (172200062)

I Dewa Ayu Made Putri Adnyani (172200067)

Anak Agung Ngurah Pradipta Dwipayana (172200068)

I Made Doni Recka Darmawan (172200077)

Ni Putu Riska Aprillia Dewi (172200080)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Virus hepatitis C (HCV) dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Infeksi HCV
terutama tersebar melalui hubungan langsung darah-ke-darah. Kebanyakan orang
tertular HCV melalui penggunaan narkoba suntikan dengan memakai jarum suntik
secara bergantian. Sampai 90% orang yang pernah menyuntik narkoba, walau hanya
sekali, ternyata terinfeksi HCV. Beberapa orang juga terinfeksi HCV melalui
hubungan seks tanpa kondom. Risiko ini terutama tinggi untuk laki-laki terinfeksi
HIV yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan orang terinfeksi HIV dengan
infeksi menular seksual yang lain, mempunyai banyak pasangan seks, dan/atau
melakukan kegiatan seksual yang menyebabkan perdarahan, misalnya memasukkan
tangan pada dubur (fisting). HCV juga dapat tertular melalui peralatan atau tinta tato
yang dipakai secara bergantian. Beberapa orang juga terinfeksi dalam sarana
kesehatan, melalui tertusuk dengan jarum suntik atau alat lain yang tidak steril.
Petugas layanan kesehatan dapat tertular HCV melalui tertusuk secara tidak sengaja
dengan jarum suntik. HCV juga dapat menular melalui transfusi darah, walau darah
donor di Indonesia diskrining untuk HCV.

HCV lebih mudah menular dibanding HIV melalui darah yang tercemar. Di
Indonesia, ada kurang lebih 40 kali lebih banyak orang terinfeksi HCV dibanding
terinfeksi HIV. Kita bisa terinfeksi HCV tanpa menyadarinya. Kurang lebih 15-30%
orang memberantas HCV dari tubuhnya tanpa pengobatan. Sisanya mengembangkan
infeksi kronis, dan virus ini bermukim dalam tubuh kecuali bila berhasil diobati.
HCV mungkin tidak menyebabkan masalah selama kurang lebih 15-20 tahun, bahkan
lebih lama, tetapi HCV dapat mengakibatkan kerusakan hati berat yang disebut
sirosis. Orang dengan sirosis berisiko lebih tinggi terhadap kanker hati, gagal hati dan
kematian. Sebuah penelitian besar pada 2011 menemukan bahwa infeksi HCV kronis
meningkatkan risiko kematian dari penyebab apa pun dua kali lipat.

Kejadian infeksi virus HIV semakin meningkat. Pada tahun 2001 jumlah
penderita infeksi HIV di seluruh dunia adalah 29,4 juta jiwa dan pada tahun 2011
menjadi 34 juta jiwa.1 Peningkatan kejadian infeksi virus HIV ini disertai dengan
peningkatan kejadian penyakit hati yang terkait dengan HIV. Penyakit hati di
penderita HIV dapat disebabkan oleh koinfeksi virus hepatotropik atau karena efek
samping pengobatannya. Virus hepatitis C merupakan virus hepatotropik yang sering
menyebabkan koinfeksi penderita tersebut. Koinfeksi virus hepatitis C di infeksi HIV
terutama disebabkan oleh persamaan faktor kebahayaan yang melatarbelakangi
terjadinya. Faktor berbahaya utama penularan HIV dan konfeksi dengan HCV di
Indonesia adalah penyalahgunaan obat intravena. Infeksi virus HCV telah diketahui
dapat menyebabkan fibrosis hati terjadi.

Koinfeksi HCV pasien HIV dapat mempersulit proses pengobatan HCV.


Sekitar 30% pasien koinfeksi HCV-HIV menghentikan pengobatan ARV terkait
risiko hepatotoksisitas. Risiko tersebut terjadi terkait aktivasi imun kronis akibat
infeksi HIV melalui pengikatan protein gp120 HIV dengan sel stelat hepatosit
(HSCs). Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi dan
pro-fibrogenik.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana patofisiologi Hepatitis ?
2) Bagaimana pengaruh kelainan terhadap fisiologi tubuh ?
3) Bagaimana perubahan parameter farmakokinetika ?
4) Bagaimana perubahan parameter farmakodinamik ?
5) Bagaimana individualisasi terapi pasien hepatitis dengan HIV ?
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN HEPATITIS
Hepatitis merupakan peradangan pada sel-sel hati, yang dapat disebabkan oleh
infeksi (virus, bakteri, parasite), obat-obatan (termasuk obat tradisional), konsumsi
alcohol, lemak yang berlebihan dan penyakit autoimun (Anonim, 2014).
Hepatitis merupakan peradangan hati yang bisa disebabkan oleh virus,
alkohol, penggunaan zat, paparan racun dan adanya penyakit tertentu. Viral
hepatitis mengacu pada radang hati yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa
jenis virus yang menyerang hati. Dalam beberapa kasus, tubuh dapat
membersihkan dirinya dari infeksi, namun apabila tubuh tidak dapat
menyingkirkan infeksi dengan sendirinya, maka infeksi akan berkembang menjadi
kronis (Strauss et all, 2005).
Viral hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 yaitu akut dan kronis, dimana
hepatitis akut didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan adanya
peningkatan konsentrasi serum aminotransferase > 2,5 kali batas atas normal yang
berlangsung tidak lebih dari 6 bulan yang disertai dengan adanya jaundice.
Sedangkan untuk hepatitis kronis dapat didefinisikan sebagai kondisi peradangan
hati yang melibatkan nekrosis hepatoselular yang berlangsung selama 6 bulan atau
lebih setelah timbulnya penyakit akut.

2. PATOFISIOLOGI
 HEPATITIS A
Infeksi HAV biasanya akut, self-limiting, dan memberi kekebalan
seumur hidup. Siklus hidup HAV di host manusia secara klasik dimulai
dengan tertelannya virus. Absorpsi di lambung atau usus kecil memungkinkan
virus masuk ke sirkulasi darah dan kemudian di-uptake oleh hati. Replikasi
virus terjadi dalam sel-sel hepatosit dan sel epitel gastrointestinal. Partikel
virus baru kemudian dilepaskan ke dalam darah dan disekresikan ke empedu
oleh hati. Virus ini kemudian diserap kembali untuk melanjutkan siklusnya
atau diekskresikan dalam tinja. Siklus enterohepatik akan berlanjut sampai
terganggu oleh netralisasi antibodi. Mekanisme replikasi dan sekresi yang
tepat tidak diketahui secara pasti, namun ekspansi virus awal tampaknya tidak
terkait dengan cedera hati sebagaimana ekskresi tinja viral mendahului tanda-
tanda klinis dan gejala infeksi (Dipiro et al., 2011).

 HEPATITIS B
Setelah terinfeksi, replikasi virus dimulai dengan attachment virion ke
reseptor permukaan sel hepatosit. Partikelnya diangkut ke nukleus dimana
DNA diubah menjadi DNA sirkular tertutup yang berfungsi sebagai template
untuk RNA pragenomik. Virus RNA kemudian ditranskripsi dan dibawa
kembali ke sitoplasma dimana ia dapat berfungsi sebagai waduk untuk
template virus masa depan atau kuncup ke dalam membran intraselular
dengan amplop virus protein dan menginfeksi sel lainnya. Genom virus
memiliki empat bacaan frame coding untuk berbagai protein dan enzim yang
dibutuhkan untuk virus replikasi dan penyebaran virus. Beberapa protein ini
digunakan untuk diagnostik. HBsAg ditemukan paling banyak dibandingkan
tiga antigen permukaan dan dapat dideteksi pada permulaan gejala klinis.
Persisten selama 6 bulan setelah deteksi awal sesuai dengan infeksi kronis dan
menimbulkan peningkatan risiko untuk sirosis, dekompensasi hati, dan HCC
(Dipiro et a, 2011).
Gambar 2.2 Interprestasi Tes Serologis pada virus Hepatitis B

 HEPATITIS C
Dalam sebagian besar kasus, infeksi HCV akut menyebabkan infeksi
kronis. Respon imun terhadap infeksi HCV akut sebagian besar tidak cukup
untuk membasmi virus. Selama fase awal infeksi, sel NK (natural killer)
diaktifkan ketika tingkat RNA HCV meningkat dengan cepat. Upaya
gabungan dari CD4 spesifik HCV dan limfosit T CD8 dan koekspresi
interferon menurunkan replikasi virus. Eradikasi HCV oleh limfosit T
sitotoksik dapat terjadi, baik sebagai akibat dari induksi apoptosis oleh
hepatosit yang terinfeksi atau oleh pelepasan interferon untuk menghambat
replikasi virus. Tingkat apoptosis hepatosit dapat berkorelasi dengan
perjalanan penyakit. Kerusakan hati dan HCC berhubungan dengan tingginya
tingkat apoptosis hepatosit. Tingkat apoptosis yang rendah dikaitkan dengan
persistensi virus. Selain itu, sel CD4 T-helper tidak mungkin untuk memediasi
cedera hati, tetapi lebih mungkin mencetuskan lingkungan yang kondusif
untuk respon imun lainnya yang merusak hati. Meskipun HCV menginfeksi
kurang dari 10% hepatosit, hingga 20% sel diaktifkan untuk apoptosis.
HCV merupakan tantangan yang menakutkan bagi pengendalian
kekebalan karena cepatnya diversifikasi virus. Mutasi genom HCV terdeteksi
dalam 1 tahun infeksi. Kasus-kasus yang terselesaikan dari HCV ditentukan
oleh respon T-cell yang kuat dengan tanggapan CD4 yang sangat aktif dan
respons CD4 yang persisten. Dihipotesiskan bahwa aktivitas CD8 memediasi
kekebalan protektif tetapi membutuhkan bantuan sel CD4 untuk
mempertahankan respon selama mutasi virus (Dipiro et a, 2011).

 HEPATITIS D
HDV berasal dari virus Delta dari famili Deltaviridae. HDV adalah
virus single stranded circular RNA yang cacat/tidak sempurna, dimana
membutuhkan kehadiran HBV untuk replikasi virus HDV yang menyebabkan
koinfeksi (baik infeksi hepatitis B dan D terjadi secara bersamaan) atau
superinfeksi (memperoleh HDV setelah memiliki penyakit HBV yang sudah
berlangsung lama). Ini terjadi karena antigen HDV (HDVAg) dilapisi oleh
HBsAg (Burns et all, 2016).

 HEPATITIS E
HEV adalah virus non-enveloped single stranded messenger RNA dari
genus Hepevirus. HEV mirip denga HAV karena ditemukan di feses yang
terkontaminasi sehingga menginfeksi individu melalui rute fecal-oral. Kadar
HEV yang tinggi dalam empedu sering menyebabkan pelepasan virus dalam
feses. Infeksi hepatitis E biasanya sembuh sendiri dan jarang mengakibatkan
komplikasi hati. Hepatitis E kronis jarang terjadi dan lebih mungkin terjadi
pada individu yang mengalami gangguan sistem imun, (misalnya infeksi HIV)
atau penerima transplantasi organ (Burns et all, 2016).

3. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan Gejala Klinis Pasien Hepatitis


Gejala
• Kebanyakan pasien yang terinfeksi hepatitis virus jenis apa pun tidak
menunjukkan gejala.
• Gejala simtomatik mungkin mengalami sindrom seperti flu, demam,
kelelahan / malaise, anoreksia, mual, muntah, diare, urin gelap, tinja yang
tampak pucat, pruritus, dan nyeri perut.
Tanda-tanda
 Penyakit kuning dapat terlihat pada bagian putih mata (scleral icterus) atau
kulit.
 Pembesaran hati (hepatomegali) dan limpa (splenomegali) dapat ditemukan.
 Pada hepatitis fulminan dengan ensefalopati hepatic, pasien mungkin
mengalami asterixis dan koma.
 Dalam kasus yang jarang, gejala ekstrahepatik dapat mengembangkan
radang sendi, limfadenopati pascafiks, eritema palmar, cryoglobulinemia,
dan vaskulitis

4. DIAGNOSA (HASIL UJI LABORATORIUM)


 Hepatitis A
Diagnosis hepatitis A dibuat dengan mendeteksi antibodi imunoglobulin
untuk protein kapsid dari HAV. Deteksi dari IgM anti-HAV dalam serum
menunjukkan infeksi akut. IgM muncul sekitar 3 minggu setelah terpapar dan
menjadi tidak terdeteksi dalam 6 bulan. Sebaliknya, IgG anti-HAV muncul
dalam serum pada sekitar waktu yang sama dengan IgM anti-HAV
berkembang tetapi menunjukkan perlindungan dan kekebalan seumur hidup
terhadap hepatitis A (Dipiro et a, 2008).

 Hepatitis B
Hepatitis B didiagnosis ketika HBsAg terdeteksi dalam serum, tetapi
HBsAg tidak membedakan antara HBV akut dan kronis. Adanya antibodi IgM
terhadap HBcAg menunjukkan infeksi aktif. IgG anti-HBc menunjukkan
infeksi kronis atau kekebalan yang mungkin terhadap HBV. Dalam banyak
kasus, HBeAg yang terdeteksi menunjukkan replikasi virus aktif. Pengukuran
DNA HBV menentukan infektivitas virus dan mengkuantifikasi replikasi
virus. Setelah replikasi virus HBV berhenti, anti-HBe terdeteksi dalam serum.
Namun, sebagian kecil pasien dapat mengembangkan anti-HBe dan masih
memiliki peningkatan tingkat DNA HBV karena mutasi pada HBV. Oleh
karena itu, infeksi CHB dapat dibedakan sebagai HBeAg-positif atau HBeAg-
negatif. serologi Hepatitis B dievaluasi untuk menilai tanggapan pengobatan
HBV dan menentukan apakah akan memvaksinasi (Dipiro et a, 2008).

 Hepatitis C
Hepatitis C didiagnosis dengan tes untuk anti-HCV dalam serum dan
dikonfirmasi oleh kehadiran RNA HCV. Tingkat RNA HCV mengukur
replikasi virus dan digunakan untuk menentukan apakah pengobatan antiviral
untuk HCV efektif. Genotipe HCV harus diperoleh untuk menentukan
kemungkinan tanggapan terhadap terapi anti-HCV dan lamanya pengobatan
yang diperlukan (Dipiro et a, 2008).
 Hepatitis D
Infeksi Hepatitis D membutuhkan kehadiran HBV untuk replikasi virus HDV.
Mengukur tingkat RNA HDV menegaskan hepatitis D infeksi dan merupakan
tes diagnostik yang paling akurat. Kehadiran IgM anti-HD menunjukkan
penyakit aktif, dan IgG anti-HD juga menjadi terdeteksi jika infeksi tidak
sembuh secara spontan. Antibodi HDV tidak memberikan kekebalan (Dipiro
et a, 2008).
 Hepatitis E
Diagnosis hepatitis E akut didasarkan pada keberadaan IgM anti-HEV. IgG
anti-HEV muncul ketika infeksi HEV hilang. Tes darah untuk tingkat HEV
RNA tersedia tetapi digunakan terutama dalam uji klinis (Dipiro et a, 2008).

5. PENGARUH PENYAKIT HEPATITIS TERHADAP FISIOLOGI TUBUH

 Hati merupakan organ unik yang mempunyai kemampuan regenerasi yang


luar biasa. Kemampuan regenerasi ini terjadi sepanjang usia manusia. Fungsi-
fungsi dari organ hati ini meliputi : sebagai organ pemetabolisme
(karbohidrat, lemak dan protein), tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai
tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang
digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan
atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

 Hepatitis merupakan peradangan hati yang bisa disebabkan oleh virus,


alkohol, penggunaan zat, paparan racun dan adanya penyakit tertentu. Viral
hepatitis mengacu pada radang hati yang disebabkan oleh salah satu dari
beberapa jenis virus yang menyerang hati. Dalam beberapa kasus, tubuh dapat
membersihkan dirinya dari infeksi, namun apabila tubuh tidak dapat
menyingkirkan infeksi dengan sendirinya, maka infeksi akan berkembang
menjadi kronis (Strauss et all, 2005). Pada hati yang Hepatitis, inflamasi pada
organ hati dapat mengakibatkan radang hati yang melibatkan nekrosis
hepatosit dan infiltrasi sel inflamasi sehingga jika dibiarkan akan dapat
menyebabkan necrosis atau lebih parahnya dapat menyebabkan sirosis hati
dan hepatoselular carsinoma.

 Necrosis dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel (jejas
reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa gambaran
piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Berdasarkan lokasinya nekrosis terbagi
menjadi tiga yaitu nekrosis fokal, nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis
sel hati fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau
sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini
dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik (councilman) yang merupakan
sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi
berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga pada daerah lisis sel hati
yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel
hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada regio-regio yang identik
disemua 19 lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel
hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah portal
dengan vena sentralis (bridging necrosis).
 Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hepar terbagi-bagi
menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh
jaringan parut. Jaringan parut ini disebut sirosis (Safitri, 2018).

6. PERUBAHAN PARAMETER FARMAKOKINETIK DAN


FARMAKODINAMIK AKIBAT HEPATITIS
Organ hati memegang peranan penting sebagai organ yang berfungsi sebagai
eliminasi dan bertanggung jawab terhadap metabolisme beberapa bagian besar
golongan obat. Pada penyakit gangguan fungsi hati, kemampuan organ tersebut
untuk memetabolisme obat juga akan terganggu. Struktur atau fungsinya yang
abnormal akan mempengaruhi kemampuan dari hati untuk menangani efektifitas
obat (Barber, Nick, Alan, 2006).
Untuk obat yang metabolisme utamanya melalui hati, farmakokinetika harus
diperhitungkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati seperti hepatitis. Ketika
meresepkan obat yang eliminasi utama melalui hati pada pasien dengan gangguan
fungsi hati, adalah sangat mungkin untuk melakukan penurunan dosis pemeliharaan
dari dosis normal. Menurunkan dosis normal dan memperpanjang interval dosis,
atau memodifikasi keduanya. Metoda aktual yang digunakan untuk menurunkan
dosis pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan normal adalah dengan
membandingkan beberapa rute pemberian obat dengan beberapa bentuk sediaan
(Bauer, 2008). Pada penyakit hati, dapat terjadi akumulasi kadar obat di dalam
plasma terutama yang dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis obat
tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan
fungsi hati.
Menurut penelitian Joanna Z. Peng et al 2006 pada jurnal yang berjudul
“Pharmacokinetics of Lopinavir/Ritonavir in HIV/Hepatitis C Virus–Coinfected
Subjects With Hepatic Impairment” terdapat perbandingan parameter
farmakokinetik dan farmakodinamik Lopinavir/Ritonavir pada pasien HIV dengan
kondisi hati normal dan pasien HIV dengan gangguan hati (Hepatitis C ringan dan
sedang).
Dua puluh empat pasien yang terinfeksi HIV yang menerima lopinavir 400
mg / ritonavir 100 mg dua kali sehari sebelum dan selama penelitian yaitu 12 pasien
dengan HIV tanpa gangguan hati atau dalam kondisi hati normal dan 6 pasien
masing-masing dengan ringan atau gangguan hati sedang (hepatitis C). Pada pasien
HIV dengan Hepatitis C ringan dan sedang menunjukkan efek yang sama pada
farmakokinetik lopinavir. Ketika 2 kelompok Hepatitis digabungkan (ringan dan
sedang), Cmax dan AUC lopinavir meningkat 20% sampai 30% dibandingkan
dengan control (kondisi hati normal) . Gangguan hati meningkatkan lopinavir tak
terikat AUC sebesar 68% dan Cmax sebesar 56%. Efek gangguan hati pada dosis
rendah farmakokinetik ritonavir pada pasein hepatitis sedang meningkat pada AUC
dan Cmax masing-masing dan pada hepatitis ringan terjadi peningkatan AUC dan
Cmax masing-masing 39% dan 61%. Selain itu dibandingkan juga parameter lain
seperti T1/2, Cmin dan Cl. Beritkut perbandingan Paramater Farmakokinetik
lopinavid/ritonavir pada pasien HIV dengan kondisi hati normal, HIV dengan
Hepatitis ringan dan sedang.
Selain itu dillihat dari ikatan obat dengan protein, hasilnya menunjukkan
bahwa lopinavir sangat terikat dalam protein plasma subjek kontrol serta pada subjek
dengan gangguan hati ringan atau sedang. Tidak ada perbedaan yang signifikan
secara statistik antara predose dan persentase postdosis 6 jam tidak terikat dalam
masing-masing kelompok kecuali gangguan hati ringan grup (P = .011).

Peningkatan
nilai AUC dan Cmax Lopinavir/Ritonavir pada pasien dengan Hepatitis ringan dan
sedang berkaitan dengan gangguan fungsi hati. Hepatitis merupakan peradangan hati
akibat infeksi yang dapat mengganggu fungsi normal hati. Secara fisiologis, hati
berfungsi dalam hal metabolisme obat. Jika terjadi gangguan hati maka dapat
kemungkinan terjadi akumulasi kadar obat di dalam plasma terutama yang
dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis obat tertentu harus disesuaikan
berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati.

7. INDIVIDUALISASI TERAPI PADA PASIEN HEPATITIS


Kunci dalam tata laksana pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV adalah
menentukan inisiasi terapi. Gangguan fungsi hati menjadi salah satu penyebab
penting peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien koinfeksi hepatitis C dan
HIV, khususnya setelah munculnya ARV sebagaiterapi anti HIV.
Standar pengobatan untuk hepatitis C kronik adalah pemberian pegylated
interferon dan ribavirin. Kombinasi ini meningkatkan kesintasan selama 8 tahun dan
respons yang lebih baik secara signifikan dibandingkan terapi interferon standar.
Meskipun demikian, pencapaian respons virologis menetap pada pasien dengan
koinfeksi hepatitis C dan HIV menurun sebesar 10-20% dibandingkan pasien
monoinfeksi virus hepatitis C. Durasi pemberian terapi untuk virus hepatitis C pada
koinfeksi virus hepatitis C dan HIV adalah 48 minggu, tidak melihat jenis genotip
yang menginfeksi. Adanya regimen obat baru untuk terapi hepatitis C, yaitu VHC
NS3/4A protease inhibitor (PI) (boceprevir dan telaprevir) meningkatkan persentase
keberhasilan terapi. Akan tetapi, penggunaan obat baru ini pada koinfeksi hepatitis C
dan HIV masih dalam penelitian, dan harus mempertimbangkan interaksinya dengan
obat ARV yang digunakan.
Sebanyak lebih dari 20 obat antiretrovirus yang terbagi dalam 6 kelas dapat
menjadi pilihan kombinasi. Enam kelas tersebut adalah nucleoside/nucleotide reverse
transcriptase inhibitors (NRTIs), nonͲnucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTIs), protease inhibitors (PIs), fusion inhibitors (FIs), CCR5 antagonists, dan
integrase strand transfer inhibitors (INSTIs). Secara umum, kombinasi pengobatan
terdiri atas 2 NRTI dengan 1 NNRTI/ PI (didahului pemberian ritonavir)/ INSTI/
CCR5 antagonis.
Efek samping yang perlu diperhatikan pada terapi untuk koinfeksi HIV-VHC
adalah pemberian ribavirin meningkatkan fosforilasi didanosin, sehingga konsentrasi
obat meningkat. Adanya sirosis dekompensata menjadi tanda untuk menghentikan
terapi VHC. Pasien dengan sirosis hati dekompensata (Child Pugh Score B atau C)
tidak menjadi indikasi terapi pegylated interferon dan ribavirin, dan transplantasi hati
dapat dipikirkan. Selain tanda sirosis, pengukuran laktat berkala juga perlu dilakukan
terkait efek samping.
Inisiasi terapi didasarkan atas pemeriksaan klinis dan laboratorium. Inisiasi
terapi pada pasien koinfeksi HIV-VHC didasarkan pada hitung jumlah CD4 (pada
gambar)
Gambar 1. Inisiasi terapi VHC pada pasien koinfeksi HIV-VHC
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI.
Barrber, Nick and Alan W., Churchill’s Pocket Book of Clinical Pharmacy,
Churchill’s Pocket Book of Clinical Pharmacy, Second Edition,
Elsevier Health Scinces, 2006 ; hal 211-212
Bauer, Larry A., 2008, Applied Clinical Pharmacokinetics, Second Edition,
USA: Mc. Graw Hill Medical Companies. Inc

Dipiro JT, Talbert RI and Yee GC. 2008. Pharmacotherapy: A


Pathophysiologic Approach. 7th Ed.Syamford: Appleton & Lange,
2008.

Djauzi, Samsuridjal, dkk, 2014. Petunjuk Klinis Koinfeksi HIV dan Virus
Hepatitis C. Ikatan Dokter Indonesi-Pokja HIV AIDS PB IDI

Burns, M.A.C., T.L. Schwinghammer, B.G. Wells, P.M. Malone, J.M. Kolesar,
dan J.T. Dipiro. Pharmacotherapy: Principles and Practice, 4th
Edition. New York: Mc Graw Hill Education

Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G, Matzke, G., Wells, B. and Posey, L. (2011)
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 8th edn. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc
Joanna Z. Peng, PhD, Federico Pulido, MD, Sonja J. Kemmis Causemaker,
MEd, Jianling Li, MS, Alicia Lorenzo, MD, Concepción Cepeda,
MD, Juan A. García Cabanillas, PhD, Barbara DaSilva, MD, Scott
C. Brun, MD, and José Arribas, MD. 2006. Pharmacokinetics of
Lopinavir/Ritonavir in HIV/Hepatitis C Virus–Coinfected Subjects
With Hepatic Impairment. J Clin Pharmacol 2006;46:265-274

Safitri Fathiyah. 2018. Mekanisme Regenerasi Hati Secara Endogen Pada


Fibrosis Hati. Malang : Universitas Muhammadiyah Malam-
Fakultas Kedokteran.

Strauss et all. 2005. Overview of Viral Hepatitis. Centre for Substance Abuse
Treatment. US. Page : 1821-1822. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92038/

Anda mungkin juga menyukai