Anda di halaman 1dari 41

TUGAS MATA KULIAH ANTROPOLOGI KESEHATAN

HEPATITIS DAN DIARE

Dosen Pengampu : Drs. Nasihin, M.Kes

Disusun Oleh :

Nurhaeni (P27901119088)
Reguler / Semester : 1B D-III Keperawatan / Semester 2

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN


PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
TANGERANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan Resume dan Studi Kasus “Hepatitis dan
Diare”, dengan tepat pada waktunya. Banyak rintangan dan hambatan yang saya hadapi
dalam penyusunan makalah ini. Namun berkat bantuan dan dukungan dari teman-teman serta
bimbingan dari dosen pembimbing, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. Dengan
adanya makalah ini di harapkan dapat membantu dalam proses pembelajaran dan dapat
menambah pengetahuan para pembaca. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan doa.
Tidak lupa pula saya mengharap kritik dan saran untuk memperbaiki makalah saya, di
karenakan banyak kekurangan dalam mengerjakan makalah ini.

Tangerang, 11 April 2020

Penulis
A. HEPATITIS
1. Definisi Hepatitis
Hepatitis adalah inflamasi/radang dan cedera pada hepar karena reaksi hepar
terhadap berbagai kondisi terutama virus, obat-obatan dan alkohol. (Ester monika,
2002 : 93).
Hepatitis adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hepatitis
virus adalah istilah yang digunakan untuk infeksi hepar oleh virus disertai nekrosis dn
inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis,  biokomia
serta seluler yang khas. (Brunner & Suddarth, 2002 : 1169).
Hepatitis adalah suatu proses peradangan pada jaringan hati. Hepatititis dalam
bahasa awam sering disebut dengan istilah lever atau sakit kuning. Padahal definisi
lever itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa belanda yang berarti organ hati,bukan
penyakit hati.  Namun banyak asumsi yang berkembang di masyarakat mengartikan
lever adalah penyakit radang hati. sedangkan istilah sakit kuning sebenarnya dapat
menimbulkan kercunan, karena tidak semua penyakit kuning disebabkan oleh radang
hati, teatapi juga karena adanya  peradangan pada kantung empedu. (M. Sholikul
Huda).
  Hepatitits adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat di
sebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat –  obatan serta bahan
–  bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999). Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh
virus disertai nekrosis dan klinis,  biokimia serta seluler yang khas. (Smeltzer, 2001).
Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa hepatitis adalah
suatu  penyakit peradangan pada jaringan hati yang disebabkan oleh infeksi virus
yang menyebabkan sel sel hati mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.

2. Jenis-jenis Hepatitis
a. Hepatitis A
 Dikenal dengan hepatitis infeksiosa, rute penularan adalah melalui
kontaminasi oral-fekal, HVA terdapat dalam makanan dan air yang terkontaminasi.
Potensi penularan infeksi hepatitis ini melalui sekret saluran cerna. Umumnya
terjadi didaerah kumuh berupa endemik. Masa inkubasi : 2-6 minggu, kemudian
menunjukkan gejala klinis. Populasi paling sering terinfeksi adalah anak-anak dan
dewasa muda.

b. Hepatitis B
Penularan virus ini melalui rute trnfusi darah/produk darah, jarum suntik,
atau hubungan seks. Golongan yang beresiko tinggi adalah mereka yang sering
tranfusi darah,  pengguna obat injeksi; pekerja parawatan kesehatan dan keamanan
masyrakat yang terpajan terhadap darah; klien dan staf institusi untuk kecatatan
perkembangan, pria homoseksual, pria dan wanita dengan pasangan heteroseksual,
anak kecil yang terinfeksi ibunya, resipien  produk darah tertentu dan pasien
hemodialisa. Masa inkubasi mulai 6 minggu sampai dengan 6 bulan sampai timbul
gejala klinis.

c. Hepatitis C
Dahulu disebut hepatitis non-A dan non-B, merupakan penyebab tersering
infeksi hepatitis yang ditularkan melalui suplai darah komersial. HCV ditularkan
dengan cara yang sama seperti HBV, tetapi terutama melalui tranfusi darah.
Populasi yang paling sering terinfeksi adalah pengguna obat injeksi, individu yang
menerima produk darah, potensial risiko terhadap pekerja perawatan kesehatan dan
keamanan masyarakat yang terpajan pada darah. Masa inkubasinya adalah selama
18-180 hari.

d. Hepatitis D
Virus ini adalah suatu virus RNA yang terutama ditularkan melalui ingeti
air yan tercemar. populasi yang paling sering terinfeksi adalah orang yang hidup
pada atau  perjalanan pada bagian Asia, Afrika atau Meksiko dimana sanitasi
buruk, dan paling sering  pada dewasa muda hingga pertengahan

3. Etiologi
a. Etologi Hepatitis A
Menurut PAPDI (1996), ikterus epidemik (hepatitis) dilaporkan pertama
kali oleh Hipocrates, kemudian banyak laporan tentang epidemi penyakit ini
terutama pada saat perang dunia ke-2. Semakin meningkatnya pengetahuan
dibidang kedokteran, klasifikasi dari virus hepatitis semakin bertambah. Sebagian
besar kasus dari hepatitis viral  akut disebabkan oleh salah satu virus hepatitis
yaitu Viru Hepatitis A, B, C, D, E dan G.
Menurut Chin J (2006), penyebab hepatitis A adalah karena virus yang
disebut juga sebagai Infectious Hepatitis, Epidemic Hepatitis, Epidemic Jaundice,
Catarrhal jaundice, Hepetitis Tipe A atau HA . Pada wilayah non endemis, gejala
hepatitis A pada orang dewasa biasanya ditandai dengan demam, malaise,
anoreksia, nausea dan gangguan abdominal, diikuti dengan munculnya ikterus
dalam beberapa hari. Di sebagain besar negara bekembang, infeksi virus hepatitsi
A terjadi pada masa kanak-kanak umumnya asimtomatis atau dengan gejala sakit
ringan. Infeksi yang terjadi pada usia selanjutnya hanya dapat diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi hati. Penyakit ini mempunyai gejala
klinis dengan spektrum yang bervariasi mulai dari ringan yang sembuh dalam 1-2
minggu sampai dengan penyakit dengan gejala yang berat yang berlangsung
sampai beberapa bulan.

Perjalanan penyakit yang berkepanjangan dan kambuh kembali dapat


terjadi dan penyakit berlangsung lebih dari 1 tahun ditemukan pada 15% kasus,
tidak ada infeksi kronis pada hepatitis A. Konvalesens sering berlangsung lebih
lama. Pada umumnya, penyakit semakin berat dengan bertambahnya umur,
namun penyembuhan secara sempurna tanpa gejala sisa dapat terjadi.

Kematian kasus dilaporkan terjadi berkisar antara 0.1% – 0.3%, meskipun


kematian meningkat menjadi 1.8% pada orang dewasa dengan usia lebih dari 50
tahun, seseorang dengan penyakit hati kronis apabila terserang hepatitis A akan
meningkat risikonya untuk menjadi hepatitis A fulminan yang fatal. Pada
umumnya, hepatitis A dianggap sebagai penyakit dengan case fatality rate yang
relatif rendah.

Masih menurut Chin J (2006), diagnosis ditegakkan dengan


ditemukannya antibodi IgM terhadap virus hepatitis A (IgM anti-HAV) pada
serum sebagai pertanda yang bersangkutan menderita penyakit akut atau
penderita ini baru saja sembuh. IgM anti-HAV terdeteksi dalam waktu 5-10 hari
setelah terpajan. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan meningkatnya titer
antibodi spesifik 4 kali atau lebih dalam pasangan serum, antibodi dapat dideteksi
dengan RIA atau ELISA. (Kit untuk pemeriksaan IgM dan antibodi total dari
virus tersedia luas secara komersial). Apabila pemeriksaan laboratorium tidak
memungkinkan untuk dilakukan, maka bukti-bukti epidemiologis sudah dapat
mendukung diagnosis.

b. Etiologi Hepatitis B
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-
42 nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan
rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al, 2009). Bagian luar dari virus ini adalah
protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid
atau core (Hardjoeno, 2007).
Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial
dengan 3200 nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan
memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih
secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti
large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen
S, yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada
asam amino 100-160 (Hardjoeno, 2007). HBsAg dapat mengandung satu dari
sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg
ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan (Asdie et al, 2012).
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P
yang mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan
terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel
host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus
ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker
hati (Hardjoeno, 2007).

Struktur virus Hepatitis B (Sumber: Hunt, 2011)


c. Etiologi Hepatitis C
Infeksi hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang
merupakan RNA beruntai tunggal dari genus Hepacivirus dalam family
Flaviviridae (gambar 1). HCV memiliki diameter 30-60nm dan panjang genom
10kb yang terdiri dari 3011 asam amino dengan 9033 nukleotida.

Morfologi virus hepatitis C E1, E2, envelope glycoproteins.

Sruktur genom HCV terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang
memberi kode pada polipeptida yang termasuk komponen struktural terdiri dari
nukleokapsid (inti/core), envelope (E1 dan E2), serta bagian non struktural (NS)
yang dibagi menjadi NS2, NS3, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b. Pada kedua ujung
terdapat daerah non coding (NC) yang pendek yaitu daerah 51 dan 31 terminal
yang sangat stabil dan berperan dalam replikasi serta translasi RNA.
Nukleokapsid digunakan untuk deteksi antibodi dalam serum pasien.
Karakteristik HCV yang paling penting adalah adanya variasi sekuens nukleotida,
Genetik HCV yang heterogen secara garis besar dibagi menjadi genotip dan
quasispesies. Telah diidentifikasi 6 genotip HCV dengan beberapa subtype yang
diberi kode dengan huruf. Genotip yang paling sering ditemukan adalah genotip
1a, 1b, 2a, dan 2b. genotip 1,2, dan 3 dengan subtipenya masing-masing
merupakan genotip yang tersebar diseluruh dunia, genotip 4 dan 5 di Afrika, dan
genotip 6 terutama di Asia. Genotip 3a lebih banyak terjadi pada pemakaian obat
terlarang intravena. Quasispesies menunjukkan heterogenisitas populasi HCV
pada seseorang yang terinfeksi HCV, yang terjadi akibat sifat HCV yang mudah
mengadakan mutasi. Hal ini merupakan mekanisme HCV untuk meloloskan diri
dari sistem imun atau limfosit T sitolitik seseorang, sehingga infeksi HCV
bersifat persisten dan berkembang menjadi hepatitis kronik.

Genom virus hepatitis C

d. Etiologi Hepatitis D
Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang
merupakan virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion
VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single
stranded dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis
protein di kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L) dan
small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang dihasilkan
oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh komponen
HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi adalah small HBsAg kira-kira
sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat berbeda dengan proporsi yang
terdapat pada VHB. Selain menjadi komponen utama dinding VHD, HBsAg
juga diperlukan VHD untuk transmisi dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan
melindungi virion VHD tetapi secara langsung tidak mempengaruhi replikasi
VHD.

e. Etiologi Hepatitis E
HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia
hanya terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama.
Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode protein
struktural dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi HEV. Virus
dapat menyebar pada sel embrio diploid paru akan tetapi replikasi hanya terjadi
pada hepatosit.

4. Gejala
a. Gejala klinis Hepatitis A
Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan
dewasa muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau
bentuk yang ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus.
Pada anak manifestasinya sering kali asimtomatk dan anikterik. Gejala dan
perjalanan klinis hepatitis virus akut secara umum dapat dibedakan dalam 4
stadium :
1. Masa Tunas. Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 Minggu.
2. Fase pra-ikterik/prodromal. Keluhan umumnya tidak spesifik, dapat
berlangsung 2-7 hari, gambaran sangat bervariasi secara individual seperti
ikterik, urin berwarna gelap, lelah/lemas, hilang nafsu makan, nyeri & rasa
tidak enak di perut, tinja berwarna pucat, mual dan muntah, demam kadang-
kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada sendi, pegal-pegal pada otot,
diare dan rasa tidak enak di tenggorokan. Dengan keluhan yang beraneka
ragam ini sering menimbulkan kekeliruan pada waktu mendiagnosis, sering
diduga sebagai penderita influenza, gastritis maupun arthritis.
3. Fase Ikterik. Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya
setelah demam turun penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning
pekat seperti air teh ataupun tanpa disadari, orang lain yang melihat sclera
mata dan kulitnya berwarna kekuning-kuningan. Pada fase ini kuningnya
akan meningkat, menetap, kemudian menurun secara perlahan-lahan, hal ini
bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada stadium ini gejala klinis sudah
mulai berkurang dan pasien merasa lebih baik. Pada usia lebih tua dapat
terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan bisa berlangsung
lama.
4. Fase penyembuhan. Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangkan
sisa gejala tersebut diatas, ikterus mulai menghilang, penderita merasa segar
kembali walau mungkin masih terasa cepat capai.
Umumnya, masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia
memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut Koff (1992) pada beberapa
kasus dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita
memperlihatkan perjalanan yang polifasik, setelah penderita sembuh terjadi
lagi peningkatan SGPT. Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan
hepatitis kolestasis timbul pada sebagian kecil kasus dimana terjadi
peningkatan kembali bilirubin serum yang baru menghilang 2-4 bulan
kemudian (prolonged cholestasis) hepatitis fulminant, merupakan
komplikasi yang sangat jarang kurang dari 1%, kematiannya yang tinggi
tergantung dari usia penderita.

b. Gejala klinis Hepatitis B


Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala
yang berat seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat
ringan dan apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala
itu berupa demam ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning,
kencing berwarna gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat
menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian.
Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya
asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada 90% kasus. Sekitar 30% infeksi
hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan menimbulkan ikterus dan
pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada orang dewasa 95%
kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan menghilangnya
HBsAg dan timbul anti HBs. Infeksi kronik ditandai oleh persistensi HBsAg
dan anti HBc dan serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan dengan
menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis kronik B ada 3 fase yaitu
fase imunotoleran, fase replikatif, dan fase integrasi. Pada fase imunotoleran
akan didapatkan HBsAg serta HBeAg di dalam serum serta titer HBV DNA
nya tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase ini gejala bisa timbul dan terjadi
peningkatan aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan terdapatnya
anti-HBe (serokonversi). Pada fase non replikatif akan ditemukan HBV DNA
yang rendah dan anti-HBe positif. Fase non replikatif ini sering pula disebut
dengan keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula terjadi pada keadaan ini
resolusi hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Pada beberapa
pasien dapat pula ditemukan serokonversi HBeAg yang diakibatkan oleh
karena mutasi dari virus. Pada kelompok pasien ini mungkin pula akan
ditemukan peningkatan kadar HBV DNA yang disertai pula peninggian ALT.

Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia yang lebih lanjut


biasanya gejala peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak berat. Pada
fase nonreplikatif masih dapat ditemukan replikasi virus hepatitis B akan tetapi
sangat sedikit sekali karena ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian
pasien dengan antigen negative dapat menjadi aktif kembali akan tetapi dengan
e antigen tetap negatif. Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu
hepatitis B kronik dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan
HBeAg negative. Pasien yang mengalami infeksi perinatal dapat pula menjadi
hepatitis kronik dengan HBeAg yang positif disertai dengan peningkatan ALT
akan tetapi sesudah waktu yang cukup lama (10-20/tahun).

Serokonvesi HBeAg biasanya akan diikuti membaiknya keadaan


biokimiawi dan histology. Serokonveri e antigen menjadi e antibody dapat
terjadi pada 50-70% pasien yang mengalami peninggian ALT dalam waktu 5-
10 tahun setelah terdiagnosis. Biasanya hal ini akan terjadi pada orang dengan
usia yang lebih lanjut, dan perempuan dan ALT nya tinggi.

Pada umumnya apabila terjadi serokonversi, maka gejala hepatitisnya


juga menjadi tidak aktif walaupun pada sebagian kecil masih ada gangguan
biokimiawi dan aktivitas histology serta peningkatan kadar HBV DNA. Infeksi
HBsAg inaktif ditandai oleh HBsAg-positif, anti HBe dan tidak terdeteksinya
HBV DNA serta ALT normal. Meskipun demikian kadang-kadang masih
didapatkan sedikit tanda peradangan pada pemeriksaan patologi anatomic.
Apabila serokonversi terjadi sesudah waktunya cukup lama daat pula ditemukan
gejala kelainan pada sediaan patologik anatomik.

c. Gejala klinis Hepatitis C


Sama seperti virus hepatitis yang lain, HCV dapat menyebabkan suatu
penyakit hepatitis akut yang kemungkinannya, sulit dibedakan dengan hepatitis
virus akut lain. Akan tetapi gejala-gejalanya hanya dilaporkan terjadi pada 15%
kasus sehingga, diagnosisnya harus tergantung pada positifnya hasil
pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi
lebih awal sebelum munculnya antibody anti-HCV (serokonversi).
Masa inkubasi hepatitis C umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara
2-26 minggu) pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala malaise dan
jaundice dialami oleh sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar enzim hati
(SGPT > 5-15 kali rentang normal) terjadi pada hampir semua pasien. Selama
masa inkubasi ini, HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga
munculnya jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak
napsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Dari semua
individu dengan hepatitis C akut, 75-80% akan berkembangmenjadi infeksi
kronis.
Infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut.
Manifestasi klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan kisaran 2-
26 minggu) setelah terpapar dengan HCV, namun sebagian besar penderita
umumnya tidak menunjukkan gejala atau kalaupun ada hanya menunjukkan
gejala yang ringan. Pada kasus-kasus infeksi akut HCV yang ditemukan, gejala-
gejala yang dialami biasanya jaundice, malaise, dan nausea. Infeksi
berkembang menjadi kronik pada sebagian besar penderita dan infeksi kronik
biasanya tidak menunjukkan gejala. Hal ini menyebabkan sangat sulitnya
menilai perjalanan alamiah infeksi HCV.

d. Gejala klinis Hepatitis D


Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi VHB.
Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi, superinfeksi
dan laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara
simultan dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada
pasien infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan baik hepatitis
akut B maupun hepatitis akut D. Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan
sembuh spontan. Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%.
Masa inkubasi hepatitis akut D sekitar 3-7 minggu. Keluhan pada masa
preikterik biasanya merasa lemah, tak suka makan, mual, keluhan-keluhan
seperti flu. Fase ikterus ditandai dengan feses pucat, urine berwarna gelap dan
bilirubin serum meningkat. Keluhan kelemahan umum dan mual dapat bertahan
lama bahkan pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD pada hepatitis kronik
B biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan masa inkubasi
pendek, dan kira-kira 80% pasien akan berlanjut menjadi hepatitis kronik D.
Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat, progresif, dan sering
berlanjut menjadi sirosis hati.

e. Gejala klinis Hepatitis E


Pada infeksi yang sembuh spontan:
1. Spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata
sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut.
2. Sindrom klinis mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala
prodromal yang tidak spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti:
malaise, anoreksia, mual dan muntah. Gejala flu, faringitis, batuk,
sakit kepala dan myalgia.
3. Gejala awal cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV
4. Demam jarang ditemukan, kecuali pada infeksi HAV.
5. Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala
anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap.
6. Icterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus
(biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika icterus
meningkat.
7. Pemeriksaan fisik menunjukan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati.
8. Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien.

5. Pemeriksaan Diagnosis
a. Diagnosis Hepatitis A
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dan dibantu dengan
sarana penunjang pemeriksaan laboratorium. Anamnesa : gejala prodromal,
riwayat kontak. Pemeriksaan jasmani : warna kuning terlihat lebih mudah pada
sclera, kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pada kasus yang berat (fulminant).
Didapatkan mulut yang berbau spesifik (foeter hepaticum). Pada perabaan hati
membengkak, 2 sampai 3 jari di bawah arcus costae, konsistensi lunak, tepi tajam
dan sedikit nyeri tekan. Perkusi pada abdomen kuadran kanan atas, menimbulkan
rasa nyeri dan limpa kadang-kadang membesar, teraba lunak. Pemeriksaan
laboratorium : tes fungsi hati (terdapat peninggian bilirubin, SGPT dan kadang-
kadang dapat disertai peninggian GGT, fosfatase alkali), dan tes serologi anti
HAV, yaitu IgM anti HAV yang positif.
Untuk menunjang diagnosis perlu dibantu dengan pemeriksaan
laboratorium yaitu dengan timbulnya gejala, maka anti-HAV akan menjadi
positif. IgM anti-HAV adalah subkelas antibody terhadap HAV. Respons inisial
terhadap infeksi HAV hampir seluruhnya adalah IgM. Antibodi ini akan hilang
dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti-HAV adalah spesifik untuk diagnosis dan
konfirmasi infeksi hepatitis A akut. Infeksi yang sudah lalu atau adanya imunitas
ditandai dengan adanya anti-HAV total yang terdiri atas IgG anti-HAV dan IgM
anti-HAV. Antibodi IgG akan naik dengan cepat setelah virus dieradikasi lalu
akan turun perlahan-lahan setelah beberapa bulan. Petanda anti-HAV berguna
bagi penelitian epidemiologis dan status imunitas.

b. Diagnosis Hepatitis B
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat
transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya.
Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari
pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar (Mustofa &
Kurniawaty, 2013). Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan
biokimia, serologis, dan molekuler (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan USG
abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar dapat
menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati (Mustofa & Kurniawaty,
2013).
Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari :
1. Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10 kali
nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit,
peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar
albumin serta kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik
VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10 kali
nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin meningkat
(Hardjoeno, 2007).
2. Pemeriksaan serologis
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis penanda
infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di serum >6
bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung
permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam darah
yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier (Hardjoeno, 2007).
Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien
dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena terdapat
variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu tenggang
waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang memisahkan
hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama periode tersebut, anti-
HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi VHB (Asdie et al, 2012).

3. Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium
untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma.
Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier,
menentukan prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral. Metode
pemeriksaannya antara lain:
a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu
paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur
kerja dan limbahnya.
b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik
hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop
karena sistem deteksinya menggunakan substrat chemiluminescence.
c. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA) bertujuan untuk
menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari beberapa target
molekul asam nukleat.

d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah


dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA VHB.
Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi secara
bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup (Hardjoeno, 2007).
c. Diagnosis Hepatitis C
Tidak seperti pada hepatitis B, pemeriksaan konvesional untuk
mendeteksi keberadaan antigen-antigen HCV tidaklah tersedia, sehingga
pemeriksaan untuk mendiagnosis infeksi HCV bergantung pada uji serologi
untuk memeriksa antibody dan pemeriksaan molekuler untuk partikel virus. Uji
serologi yang berdasarkan pada deteksi antibody telah membantu mengurangi
resiko infeksi terkait transfuse. Sekali seseorang pernah mengalami
serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif. Namun
demikian, kadar antibody anti-HCV nya akan menurun secara gradual sejalan
dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami resolusi
spontan. -Pemeriksaan anti-HCV.
Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme
immunoassay yang sangat sensitive dan spesifik. Enzyme immunoassay
generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan
protein-protein struktural yang dapat mendeteksi keberadaan antibody dalam
waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih tetap dapat terdeteksi
selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respons terapi yang
dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila
sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblat assay, RIBA)
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang
positif. Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya
direkomendasikan untuk setting populasi low-risk seperti pada bank darah.
Namun dengan tersedianya metode enzyme immunoassay yang sudah
diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka konfirmasi
dengan RIBA telah menjadi kurang diperlukan.

d. Diagonosis Hepatitis D
 Infeksi melalui darah.
 Pasien HBsAg positif dengan:
 Anti HDV dan atau anti HDV RNA sirkulasi (pemeriksaan
belum mendapat persetujuan)
 IgM anti HDV dapat muncul sementara

 Koinfeksi HBV/HDV
 HBsAg positif
 IgM anti HBc positif
 Anti HDV dan atau HDV RNA

 Superinfeksi
 HBsAg positif
 IgG anti HBc positif
 Anti HDV dan atau HDV RNA

 Titer anti HDV akan menurun sampai tak terdeteksi dengan adanya
perbaikan infeksi.

e. Diagnosis Hepatitis E
Diagnosis hepatitis E pada pemeriksaan serologis dengan metode ELISA
seperti anti-HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR serum dan kotoran untuk
mendeteksi HEV-RNA serta immunofluorescent terhadap antigen HEV di
serum dan sel hati.

6. Penanggulangan Hepatitis sesuai Program Pemerintah


Penanggulangan penyakit Hepatitis tercantum dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penaggulangan
Hepatitis Virus. Yang di jelaskan dalam pasal 4, yang berbunyi:
Penanggulangan Hepatitis Virus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilakukan melalui kegiatan:
a. promosi kesehatan;
b. perlindungan khusus;
c. pemberian imunisasi;
d. surveilans Hepatitis Virus;
e. pengendalian faktor risiko;
f. deteksi dini dan penemuan kasus; dan/atau
g. penanganan kasus;

7. Komplikasi
a. Komplikasi Hepatitis A
1. Gagal Hati
Komplikasi ini akan terjadi ketika fungsi hati menurun drastis. Gagal hati
dapat menyebabkan pengidapnya mengalami muntah-muntah parah, rentan
pendarahan, mudah mengantuk, penurunan konsentrasi dan daya ingat, hingga
gangguan konsentrasi. Apabila gangguan ini tidak segera diobati, gagal hati
dapat menyebabkan kematian.
2. Kambuhnya Infeksi
Infeksi hepatitis A terkadang dapat datang kembali. Kambuhnya hepatitis A
dapat terjadi lebih dari satu kali setelah infeksi pertama.
3. Kolestasis
Biasanya, kolestasis terjadi pada pengidap hepatitis A yang berusia lebih tua.
Kondisi ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus.
Komplikasi ini terjadi ketika cairan empedu menumpuk di dalam hati. Gejala-
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam, sakit kuning yang tidak
kunjung sembuh, dan diare.

b. Komplikasi Hepatitis B
1. Sirosis
Kondisi ini terjadi karena adanya pembentukan jaringan parut pada hati.
Jaringan parut adalah jaringan yang terbentuk setelah sel-sel hati yang
mulanya normal, kemudian mengalami luka atau radang yang berkelanjutan.
Gejala sirosis biasanya tidak terdeteksi dan sering tidak disadari pengidapnya,
sampai terjadi kerusakan yang parah pada hati. Sirosis yang parah dapat
memicu gejala-gejala, seperti turunnya berat badan, mual, gampang lelah,
gatal-gatal pada kulit, serta pembengkakan pada perut dan pergelangan kaki.
Perkembangan komplikasi ini dapat dihambat dengan langkah pengobatan
tertentu, misalnya dengan obat antivirus. Namun, ada sebagian pengidap yang
terpaksa menjalani transplantasi hati karena kondisi sudah sangat parah.
2. Kanker Hati
Hepatitis B kronis dapat berkembang menjadi kanker hati apabila tidak
ditangani dengan baik. Gejala pada komplikasi ini adalah mual, muntah, sakit
perut, penurunan berat badan, serta sakit kuning (kulit dan bagian putih mata
yang menguning). Operasi mungkin akan dilakukan untuk membuang bagian
hati yang terserang kanker.

3. Hepatitis B Fulminan

Hepatitis B fulminan dapat terjadi saat sistem kekebalan tubuh menjadi keliru
dan mulai menyerang hati hingga menyebabkan kerusakan yang parah.
Beberapa gejala yang dapat mengindikasikan kondisi tersebut adalah pengidap
menjadi linglung dan bingung, perut membengkak, serta sakit kuning.
Penyakit ini bisa menyebabkan hati berhenti berfungsi dan sering kali
berakibat fatal jika tidak segera ditangani.

c. Komplikasi Hepatitis C
1. Muncul jaringan parut di hati (sirosis)
Infeksi hepatitis C yang terjadi selama 20-30 tahun membuat timbulnya
jaringan parut yang menggantikan jaringan sehat dari hati. Jaringan parut itu
akan menyulitkan kerja hati.
2. Kanker hati
Selain sirosis, infeksi kronis pada hati juga berisiko menyebabkan perubahan
pada sel-sel hati menjadi ganas (kanker hati). Perubahan ini dapat terjadi
dalam 20 tahun dan bisa berakibat fatal.

Kedua komplikasi di atas membuat hati berhenti berfungsi, yang dinamakan


dengan gagal hati. Gagal hati ditandai dengan penyakit kuning, asites, muntah
darah, hingga penumpukan racun di otak. Racun yang tidak dapat diolah oleh
organ hati dan menumpuk di otak ini dapat menggangu penderita untuk berpikir,
hingga akhirnya mengakibatkan penderita mengalami koma.

d. Komplikasi Hepatitis D
Seseorang yang telah terinfeksi hepatitis D tetapi tidak segera melakukan
pengobatan bisa mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi hepatitis D akut
bisa menyebabkan terjadinya gagal hati tetapi kasus ini jarang terjadi.
Hepatitis D kronis memiliki komplikasi yang lebih kompleks. Komplikasi
hepatitis D kronis di antarnaya adlaah sirosis hati, gagal hati, dan kanker hati.
Pasien yang terinfeksi hepatitis D dan B memiliki komplikasi yang lebih serius
daripada pasien yang hanya terinfeksi hepatitis B.

e. Komplikasi Hepatitis E
Kebanyakan orang yang terinfeksi HEV sewaktu dewasa bisa pulih
sepenuhnya hanya dengan sedikit komplikasi. Angka kematian untuk virus ini
termasuk rendah. Namun demikian, pada kasus langka infeksi ini bisa
menyebabkan gagal hati yang mengancam nyawa. Ibu hamil yang positif HEV
paling berisiko untuk memiliki komplikasi fatal ini. Risiko bagi orang dengan
sistem kekebalan tubuh lemah untuk terkena infeksi hepatitis E kronis lebih tinggi
dibandingkan kelompok lainnya.
STUDI KASUS PENYAKIT HEPATITIS B AKUT

I. IDENTIFIKASI
Nama : Yudi
Usia : 14 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Karang Asem
Tanggal Kunjungan : 2 April 2012

II. ANAMNESIS
A. KELUHAN UTAMA
Mata kuning sejak 4 hari yang lalu
B. KELUHAN TAMBAHAN
Buang air kecil berwarna seperti teh pekat, mual, muntah dan demam
C. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
± 1 minggu yang lalu penderita mengeluh demam yang tidak terlalu
tinggi. Demam tidak disertai dengan menggigil, mual (+) dan muntah
sebanyak 2 kali berisi cairan dan sisa makanan. Nafsu makan biasa. Penderita
membeli obat “Bodrex” dan merasa keluhan demam agak berkurang. Os tidak
muntah lagi, namun masih merasa mual.
Sejak 4 hari yang lalu, os mengetahui kedua matanya terlihat kuning
yang semakin lama semakin jelas. Keluhan disertai dengan buang air kecil
berwarna seperti teh pekat. Mual (+), Demam (+), Muntah (-). Buang air besar
berwarna putih seperti dempul tidak ada. Keluhan tidak disertai dengan gatal-
gatal di seluruh tubuh. Keluhan tidak disertai dengan nyeri di perut kanan atas.
Os kemudian dibawa ibunya untuk berobat ke Puskesmas Tanjung Enim.
Riwayat kontak dengan penderita sakit kuning sebelumnya ada,
saudara sepupu os. Os memiliki aktivitas disekolah yang padat, jarang istirahat
dan mempunyai kebiasaan makan tidak teratur dan jajan sembarangan.

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Os tidak pernah menderita penyakit kuning sebelumnya, tidak pernah
disuntik kecuali imunisasi, riwayat mendapat transfusi tidak ada.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis (GCS 15)
Tekanan Darah : 110/70
Nadi : 82 x / menit
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 37,7.C
Berat badan : 48 kg

Status Lokalis
Mata : Konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik +/+
Abdomen
Palpasi : Hepar teraba membesar, ukuran 2 jari di bawah arcus costae,
konsistensi kenyal, tepi tajam, permukaan rata, lien tak teraba,
Nyeri tekan regio hipokondrium kanan, nyeri lepas (-).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Urine Rutin
- Glukosa : – mg/dl (N: –)
- Protein : – mg/dl (N: –)
- Bilirubin : +1 (N: –)
- Urobilinogen : +1 (N: –)
- Eritrosit : 1-2 sel/µl (N: 0-3)
- Leukosit : 2-4 sel/µl (N: 0-10)
- Epitel 1 : + (N: 1+)
- Ca Oxalat : – (N: –)
- Asam urin : – (N: –)
- Silinder : – (N: –)
- Lain-lain : Amorf
-
V. RESUME
Os diantar oleh ibunya berobat ke Puskesmas Tanjung Enim dengan keluhan
kedua matanya terlihat kuning yang semakin lama semakin jelas. Keluhan disertai
dengan buang air kecil berwarna seperti teh pekat. Demam (+) tidak terlalu tinggi,
Mual (+). Sebelumnya ± 1 minggu yang lalu penderita mengeluh demam yang tidak
terlalu tinggi. Demam (+) tidak disertai dengan menggigil, mual (+) dan muntah
sebanyak 2 kali berisi cairan dan sisa makanan. Nafsu makan biasa. Penderita
membeli obat “Bodrex” dan merasa keluhan demam berkurang. Os tidak muntah lagi,
namun masih merasa mual.
Riwayat kontak dengan penderita sakit kuning sebelumnya ada, saudara
sepupu os. Os memiliki aktivitas disekolah yang padat, jarang istirahat dan
mempunyai kebiasaan makan tidak teratur dan jajan sembarangan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan temperatur tubuh 37,7.C, pemeriksaan
fisik mata didapatkan sklera ikterik +/+ . Pada palpasi abdomen didapatkan hepar teraba
membesar, ukuran 2 jari di bawah arcus costae, konsistensi kenyal,tepi tajam,
permukaan rata, lien tak teraba,nyeri tekan regio hipokondrium kanan,nyeri lepas (-).
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Bilirubin: +1 (N: –), Urobilinogen: +1 (N: –)

VI. DIAGNOSIS KERJA


Hepatitis viral akut et causa Suspek Hepatitis A

VII. TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
- Tirah baring
- Diet kalori dan protein yang adekuat
(Protein : 48 g, kalori : 1440-1680 calori)
Medikamentosa :
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Curcuma 3 x 1 tab
- Domperidon 3x1 tab
ANALISIS TELAAH

Pada pasien didapati keluhan demam yang terus menerus tanpa menggigil, mual,
kemudian disusul dengan BAK berwarna seperti teh, bagian putih bola mata semakin
lama semakin kuning. Ikterus atau jaundice adalah perubahan warna kulit, sklera
mata, atau jaringan lainnya seperti membran mukosa yang menjadi kuning oleh
karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi
darah. Dari timbulnya jaundice pada pasien maka harus dipikirkan penyebabnya yang
dapat terjadi akibat proses di pre-hepatik, intra-hepatik, dan post-hepatik.
Penyebab ikterus pre-hepatik adalah hemolisis, perdarahan internal, sindrom
Gilbert, sindrom Crigler-Najjar, sindrom Dubin-Johnson, dan sindrom Rotor. Semua
penyakit tersebut memiliki kesamaan dimana terdapat hiperbilirubinemia indirek.
Penyebab ikterus intra-hepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena
alkohol, dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab ikterus post-hepatik adalah batu
duktus koledokus, kanker pankreas, striktur pada duktus koledokus, karsinoma duktus
koledokus, dan kolangitis sklerosing.
Jika dilihat dari gejala-gejala pasien dimana awalnya terdapat demam, mual,
dan dalam waktu beberapa hari kemudian BAK berwarna seperti teh disusul dengan
timbul kuning pada mata, ditambah dengan penemuan dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya sklera ikterik pada kedua mata, maka diagnosis sementara adalah
suspek hepatitis A akut.
Pada pemeriksaan urinalisa pasien didapatkan Bilirubin: +1(N:–),
Urobilinogen: +1 (N: –) . Bilirubin adalah hasil pemecahan heme yaitu bagian dari
hemoglobin. Liver bertanggungjawab atas clearance dari bilirubin melalui proses
konjugasi agar lebih larut air untuk disekresi ke empedu kemudian diekskresi ke
lumen usus. Ikterus yang timbul pada pasien diakibatkan oleh proses peradangan
intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi. Fase ini terjadi di mana
penyakit kuning berkembang di tingkat bilirubin total melebihi 20 - 40 mg/l. Fase
ikterik biasanya dimulai dalam waktu 10 hari gejala awal didahului urin yang
berwarna coklat, sklera kuning, kemudian seluruh badan menjadi kuning. Ikterus pada
hepatitis A bersifat akut. Puncak fase ikterik muncul dalam 1-2 minggu.
Faktor risiko untuk terkenanya hepatitis A meliputi berdomisili di tempat yang
penduduknya ramai dan dalam satu rumah dihuni oleh banyak orang, kebersihan yang
kurang, pada anak yang dititip di day care, bepergian ke negara berkembang,
pemakaian jarum suntik bersama misalnya pada orang yang memakai narkoba, juga
bisa melalui kontak seksual dengan penderita. Pada pasien ditemukan faktor risiko
berupa suka makan di warung-warung pinggir jalan, pasien tinggal di pemukiman
padat Riwayat kontak dengan penderita sakit kuning sebelumnya ada, saudara sepupu
os. Aktivitas sosial wilayah tersebut sangatlah tidak terkontrol karena banyak warga
yang tinggal di wilayah tersebut. Hal tersebutlah yang menyebabkan mudahnya
penyakit hepatitis ini menular ke warga lainnya.
Hepatitis A merupakan penyakit infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati akibat masuknya virus hepatitis A melalui transmisi fekal-oral dari makanan atau
minuman yang telah terkontaminasi. Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama
dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit ini kadang-kadang memiliki
episode hepatitis dengan klinis anikterik, tidak nyata, atau subklinis. Hepatitis virus
akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus hepatitis, yaitu virus hepatitis A
(HAV), virus hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D (HDV), dan hepatitis
E (HEV).
Analisis telaah yang berkaitan dengan aspek sosial budaya yaitu dari data yang
diperoleh bahwa pasien tinggal di pemukiman yang padat penduduk dan pasien
memiliki kebiasaan kurang baik yaitu sering telat makan da juga sering jajan
sembarangan.
A. DIARE
1. Definisi Diare
Diare adalah suatu gejala umum yang ditandai dengan peningkatan frekuensi
defekasi, peningkatan keenceran feses, dan rasa urgensi. Diare dapat akut atau kronis
dan rentang beratnya mulai dari sembuh sendiri sampai berat, yaitu kondisi yang
mengancam jiwa.
Diare adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme termasuk
bakteri, virus dan parasit lainnya seperti jamur, cacing dan protozoa. Salah satu
bakteri penyebab diare adalah bakteri Escherichia Coli Enteropatogenik (EPEC).
Budiarti (1997) melaporkan bahwa sekitar 55% anak-anak di Indonesia terkena diare
akibat infeksi EPEC. Gejala klinis diare yang disebabkan infeksi EPEC adalah diare
yang berair sangat banyak yang disertai muntah dan badan sedikit demam.
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi berak
lebih dari biasanya ( 3 atau lebih per hari ) yang disertai perubahan bentuk dan
konsistensi tinja dari penderita. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan
dalam golongan 6 besar yaitu karena Infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, immuno
defisiensi, dan penyebab lain, tetapi yang sering ditemukan di lapangan ataupun klinis
adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Adapun penyebab-penyebab
tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya keadaan gizi, kebiasaan
atau perilaku, sanitasi lingkungan, dan sebagainya.

2. Patofisiologi Penyakit Diare


Penyakit ini dapat terjadi karena kontak dengan tinja yang terinfeksi secara
langsung, seperti:
1.      Makan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari
oleh serangga atau terkontaminasi oleh tangan kotor.
2.      Bermain dengan mainan terkontaminasi apalagi pada bayi sering
memasukkan tangan/mainan/apapun kedalam mulut. Karena virus ini dapat
bertahan dipermukaan udara sampai beberapa hari.
3. Penggunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan
air yang benar.
4.      Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar.
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus,
Adenovirus enteris, VirusNorwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter,
Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia
Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini
menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau
Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada
gastroenteritis akut.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah adanya peningkatan bising
usus dan sekresi isi usus sebagai upaya tubuh untuk mengeluarkan agen iritasi atau
agen infeksi. Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus,
sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare dan absorpsi air
serta elektrolit terganggu. Sebagai homeostasis tubuh, sebagai akibat dari masuknya
agen pengiritasi pada kolon, maka ada upaya untuk segera mengeluarkan agen
tersebut. Sehingga kolon memproduksi mukus dan HCO3 yang berlebihan yang
berefek pada gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan
hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit
(dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa, gangguan gizi, dan gangguan
sirkulasi darah.
Proses terjadinya Gastroenteritis dapat disebabkan oleh berbagaikemungkinan faktor
diantaranya:
1.   Faktor infeksi, proses ini dapat diawali adanya mikroorganime (kuman)yang
masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan
merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerahpermukaan usus.
Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yangakhirnya mengakibatkan
gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan danelektrolit. Atau juga dikatakan
adanya toksin bakteri akan menyebabkansystem transport aktif dalam usus halus,
sel di dalam mukosa intestinalmengalami iritasi dan meningkatnya cairan dan
elekrtolit.Mikroorganisme yang masuk akan merusak sel mukosa
intestinalsehingga menurunkan area permukaan intestinal, perubahan
kapasitasintestinal dan terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit.
2.   Faktor malabsorbsi merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsiyang
mengakibatkan tekanan osmotic meningkat sehingga terjadipergeseran air dan
eletrolit ke ronga usus yang dapat meningkatkan isirongga usus sehingga
terjadilah Gastroenteritis.
3.    Faktor makanan ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampudiserap
dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltic usus yangmengakibatkan
penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yangkemudian menyebabkan
Gastroenteritis.
4.    Faktor psikologi dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristalticusus yang
akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yangdapat mnyebabkan
Gastroenteritis (Hidayat Azis, 2006).

3. Etiologi Penyakit Diare


a. Infeksi Bakteri
Beberapa jenis bakteri dapat termakan melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi dan menyebabkan diare, contohnya Campylobacter, Salmonella,
Shigella dan Escherichia coli.
b. Infeksi Virus
Beberapa virus yang menyebabkan diare yaitu rotavirus, Norwalk virus,
cytomegalovirus, virus herpes simplex dan virus hepatitis. 
c. Intoleransi Makanan
Contohnya pada orang yang tidak dapat mencerna komponen makanan seperti
laktosa ( gula dalam susu)
d. Parasit
Parasit yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman dan
menetap dalam sistem pencernaan. Contohnya Giardia lamblia, Entamoeba
histolytica dan Cryptosporidium.
e. Reaksi Obat
Contoh antibiotik, obat-obat tekanan darah dan antasida yang mengandung
magnesium.
f. Penyakit Intestinal
Penyakit inflamasi usus atau penyakit abdominal. Gangguan fungsi usus,
seperti sindroma iritasi usus dimana usus tidak dapat bekerja secara normal.

4. Gejala Penyakit Diare


Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi 4 kali atau
lebih dalam sehari, yang kadang disertai muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak
nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran.
Rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan oleh
infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah,
demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit
perut dan kejang perut, serta gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam,
nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang
menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi.

5. Jenis-jenis Diare
a. Diare akut
Diare yang disebabkan oleh virus yang disebut Rotavirus yang ditandai
dengan buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang
frekuensinya biasanya (3 kali atau lebih dalam sehari) dan berlangsung kurang
dari 14 hari. Diare rotavirus ini merupakan virus usus patogen yang menduduki
urutan pertama sebagai penyebab diare akut pada anak.

b. Diare bermasalah
Diare yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, intoleransi laktosa,
engan alat rumah tangga. diare ini umumnya diawali oleh diare cair kemudian
pada hari kedualergi protein susu sapi. Penularan secara fecal- oral, kontak dari
orang ke orang atau kontak orang da atau ketiga bar muncul darah, dengan
maupun tanpa lendir, sakit perut yang diikuti munculnya tenesmus panas disertai
hilangnya nafsu makan dan badan terasa lemah.

c. Diare persisten
Diare akut yang menetap, dimana titik sentral patogenesis diare persisten
adalah kerusakan mukosa usus. penyebab diare persisten sama dengan diare akut.

6. Pemeriksaan Diagnosis

Terdapat beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis kondisi


ini, antara lain:
1. Tes Darah

Tes hitung darah lengkap dapat membantu menunjukkan apa yang


menyebabkan gangguan pencernaan Anda.

2. Analisa Feses

Dokter mungkin merekomendasikan tes feses untuk melihat apakah


bakteri atau parasit menjadi penyebab gangguan pencernaan.

3. Flexible Sigmoidoscopy dan Kolonoskopi

Metode ini menggunakan selang tipis dengan kamera yang dimasukkan


ke dalam rektum. Cara ini dapat membantu dokter melihat bagian dalam usus
besar. Perangkat ini juga dilengkapi dengan alat yang memungkinkan dokter
mengambil sampel kecil jaringan (biopsi) dari usus besar. Flexible
sigmoidoscopy memberikan pandangan dari usus besar bagian bawah,
sedangkan kolonoskopi memungkinkan dokter untuk melihat seluruh bagian
usus besar.

7. Penanggulangan sesuai Program Pemerintah


Upaya pemerintah dalam menanggulangi penyakit diare terutama diare pada
anak sudah dilakukan melalui peningkatan kondisi lingkungan baik melalui program
proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai saat ini belum
memberikan hasil yang diharapkan. Penanggulangan penyakit diare bukan hanya
tanggung jawab pemerintah saja tetapi masyarakat pun diharapkan dapat ikut serta
dalam membantu menanggulangi dan mencegah terjadinya diare akut pada anak.
Diare menurut WHO tahun 2013 secara klinis didefinisikan bertambahnya
defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya, lebih dari tiga kali sehari, diare
biasanya merupakan gejala infeksi pada saluran intestinal. Secara klinik dibedakan
menjadi tiga macam sindroma diare yaitu diare akut, disentri dan diare persisten.
Sedangkan menurut Depkes RI tahun 2011, diare adalah suatu penyakit dengan tanda-
tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih
dalam sehari.
a) Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Diare
- Melaksanakan tatalaksana diare sesuai standar, baik disarana kesehatan
maupun dirumah tangga/masyarakat
- Melaksanakan SKD Diare
- Melaksanakan surveilans dan penanggulangan KLB
- Penyediaan logistik yang cukup
- Mengembangkan pedoman penyakit diare
- Peningkatan SDM
- Pencegahan diare dengan pengendalian faktor risiko
- Mengembangkan jejaring lintas program dan lintas sektor
- Meningkatkan monitoring dan evaluasi

b) Strategi
- Meningkatkan tatalaksana diare di tingkat rumah tangga
- Melaksanakan tatalaksana diare yang standar di sarana kesehatan melalui
LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare)
- Penguatan sistem kewaspadaan diri (SKD) diare dan penanggulangan kejadian
luar biasa (KLB)
- Meningkatkan upaya kegiatan pencegahan yang efektif
- Peningkatan SDM
- Melaksanakan monitoring dan evaluasi.

8. Komplikasi Penyakit Diare


Diare dapat menyebabkan berbagai komplikasi, yaitu sebagai berikut:
a. Gangguan elektrolit
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah
ion natrium, klorida, kalsium dan bikarbonat sehingga mengalami gangguan
elektrolit yang sering berupa hipokalemia, hiponatremia.
b. Gangguan keseimbangan asam basa
Pada saat diare, sejumlah besar bikarbonat yang hilang melalui tinja bisa
menyebabkan asidosis metabolik. Hal ini dapat terjadi dengan cepat pada
keadaan hipovolemi, ginjal gagal melakukan kompensasi kehilangan basa
akibat aliran darah ke ginjal berkurang serta produksi asam laktat yang
berlebihan ketika penderita jatuh pada keadaan syok hipovolemik. Gambaran
utama asidosis metabolik meliputi konsentrasi bikarbonat serum berkurang
(<10 mmol/l), pH arteri menurun (<7,10), nafas cepat dan dalam, adanya
muntah.
c. Dehidrasi
Pada diare, pengeluaran cairan melebihi pemasukannya sehingga akan terjadi
defisit cairan tubuh yang dapat menyebabkan dehidrasi. Berdasarkan derajat
dehidrasi maka diare dapat dibagi menjadi diare tanpa dehidrasi, diare
dehidrasi ringan sedang dan diare dehidrasi berat. Secara umum dehidrasi
bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang
air kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan
ortostatik.
d. Syok hipovolemik
Pada diare akut dengan dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga
dapat terjadi dampak negatif pada bayi dan anak–anak antara lain syok
hipovolemik. Syok hipovolemik ditandai dengan adanya denyut jantung
menjadi cepat, denyut nadi cepat, tidak kuat angkat, tekanan darah menurun,
pasien lemah, kesadaran menurun, dan diuresis berkurang.
e. Gagal ginjal akut
Fungsi ginjal menurun karena terjadi hipoperfusi ginjal yang disebabkan oleh
hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi atau aliran darah ke ginjal.
f. Malnutrisi
Infeksi yang berkepanjangan, terutama pada diare persisten, dapat
menyebabkan penurunan asupan nutrisi, penurunan fungsi absorpsi usus, dan
peningkatan katabolisme sehingga menyebabkan proses tumbuh kembang
anak terhambat yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup anak di
masa depan.
g. Kematian
Tidak sedikit penyakit diare pada anak dapat berujung pada kematian. Hal ini
disebabkan karena keterlambatan dalam penanganan karena sebagian besar
kasus yang dibawa ke pelayanan kesehatan sudah jatuh pada keadaan syok
hipovolemi akibat dehidrasi berat.
STUDI KASUS PENYAKIT DIARE

A. IDENTIFIKASI
Nama : An. MAA
Umur / Tanggal Lahir : 5 tahun 4 bulan / 11 September 2010
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 28 kg
Tinggi Badan : 108 cm
Agama : Islam
Alamat :Jl. Kasna Riansyah No. 07, Ilir Timur 1, Palembang
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 26 Januari 2016

B. ANAMNESA
(alloanamnesis dengan ayah penderita, 27 Januari 2016, pukul 11.30 WIB)
Keluhan Utama : BAB cair
Keluhan Tambahan : Muntah dan demam
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 2 hari SMRS penderita demam (+) tidak terlalu tinggi, suhu tidak diketahui,
terus-menerus, nyeri kepala (-), nyeri dibelakang bola mata (-), batuk (+) tidak berdahak,
pilek (+), nyeri menelan (+), mimisan (-), gusi berdarah (-), mual muntah (-), sesak nafas
(-), kejang (-), BAB & BAK normal  belum dibawa berobat
1 hari SMRS penderita buang air besar (BAB) cair, frekuensi >5x/hari banyaknya 1/2
gelas belimbing, cair >> ampas, lendir (-), darah (-), muntah (+) frekuensi 8 kali,
banyaknya ¼ gelas belimbing, isi apa yang dimakan dan diminum, muntah menyemprot
(-), demam (+) tidak terlalu tinggi, batuk (+), pilek (+), nyeri menelan (+), sesak nafas (-),
kejang (-), mimisan (-), BAK normal seperti biasa, penderita masih mau minum,
penderita tampak makin lemas kemudian penderita dibawa ke IRD RSMH
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama pernah diderita sebelumnya ±1
tahun yang lalu
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal.
 Riwayat alergi susu, makanan, dan obat disangkal
 Riwayat asma disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : Cukup bulan, ANC 1x/bulan di bidan dan dokter
Partus : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 11 September 2010
Berat badan lahir : 3100 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Keadaan saat lahir : Langsung menangis

Riwayat Makan
ASI : 0 – 3 bulan
Susu Formula : 3 bulan – 3 tahun
Bubur nasi : 6 – 8 bulan
Nasi tim : 8 – 12 bulan
Nasi : 12 bulan – sekarang. Banyaknya 1-2 centong nasi
Daging : 12 bulan – sekarang. Frekuensi setiap hari
Tempe : 12 bulan – sekarang. Frekuensi 3x/minggu
Tahu : 12 bulan – sekarang. Frekuensi 3x/minggu
Sayuran : 10 bulan – sekarang. Frekuensi setiap hari
Buah : 10 bulan – sekarang. Frekuensi setiap hari
Kesan : Cukup
Kualitas : Baik

Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 10 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 18 bulan
Personal sosial: 2 tahun
Kesan : Perkembangan motorik kasar dan motorik halus dalam batas normal

Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
  1 Bln   3 bln   9 bln
BCG √        
DPT 1 √ DPT 2 √ DPT 3 √
HEPATITIS B 1 √  HEPATITIS B2 √  HEPATITIS B3  √ 
Hib 1 √  Hib 2 √  Hib 3 √ 
POLIO 1 √ POLIO 2 √ POLIO 3 √
CAMPAK √        

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur. Imunisasi ulangan belum


dilakukan

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 26 Januari 2016
Keadaan Umum
Kesadaran : Kompos mentis
Nadi : 120 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu : 38,0 °c
Berat Badan : 21 kg
Tinggi Badan : 108 cm
Status Gizi: BB/U : 110 %
TB/U : 98 %
BB/TB : 116 %
Kesan : Gizi lebih
Keadaan Spesifik
 Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris, dismorfik (-)
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata : Cekung (+/+), Pupil bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya
+/+, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-).
Telinga : Sekret (-).
Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (+), sianosis (-).
Tenggorokan : Faring hiperemis (+), tonsil T2/T2 hiperemis
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.

 Thorak
Paru-paru
 Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi -/-
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Auskultasi : HR: 120 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-)
 Palpasi : Thrill tidak teraba
 Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal

 Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, 8 x/menit
 Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, cubitan kulit perut lambat
kembali > 2 detik, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
 Lipat paha dan genitalia : Pembesaran KGB (-), eritema perianal (-),
prolaps ani (-)
 Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema (-)
Pemeriksaan Neurologis
 Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflek fisiologis + normal + normal + normal + normal
Reflek patologis - - - -
 Fungsi sensorik : Dalam batas normal
 Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal
 GRM : Kaku kuduk tidak ada

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hematologi (26-01-2016 Pukul 00:48)
Hb : 12,6 g/dl (11,3-14,1 g/dl )
Ht : 37 vol% (37-41 vol%)
Eritrosit : 4,73 x10 mm3/jam (4,40-4,48 x10 mm3/jam)
Leukosit : 12.300/mm3 (4.500-13.500 /mm3)
Trombosit : 362.000/mm3 (150.000-450.000 /mm3)
Hitung jenis : 0/0/78/19/3 (0-1/1-6/50-70/2-40/2-8 mm3)
BSS : 171 mg/dl (60-100 mg/dl)
Elektrolit
Kalsium (Ca) : 9,6 mg/dl (9.2 – 11.0 )
Natrium (Na) : 138 mEq/L (135-155 mEq/L)
Kalium (K) : 3,.5 mEq/L ( 3.5-5.5 mEq/L)
Klorida (Cl) : 107 mmol/L (96-106 mmol/L)

E. DIAGNOSIS BANDING
 Diare akut ec susp. rotavirus dengan dehidrasi ringan-sedang + Gagal Upaya
Rehidrasi Oral (URO) + muntah profuse
 Diare akut ec susp. E. coli dengan dehidrasi ringan-sedang + Gagal Upaya
Rehidrasi Oral (URO) + muntah profuse
D. DIAGNOSIS KERJA
 Diare akut ec susp. Rotavirus dengan dehidrasi ringan-sedang + muntah profuse +
tonsilofaringitis akut

D. PENATALAKSANAAN
 IVFD RL 75 cc/kgBb/4 jam  1600 ml  gtt 100x/m
 Selanjutnya IVFD KAEN 3A gtt 15x/m
 Paracetamol tab 250 mg po  bila T > 38,5 C
 Oralit 200 ml  tiap kali muntah atau BAB cair
 Zink 1 x 20 mg po

E. RENCANA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, urinalisa, feses rutin, kultur feses

F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
ANALISIS TELAAH

Kepercayaan dan kebudayaaan setempat memainkan peranan pokok. Tampaknya tiap

masyarakat mempunyai pandangan yang relatif hampir sama , yaitu bahwa suatu bentuk “

puasa “ diperlukan untuk menanggulangi diare. Banyak ibu yang beranggapan bahwa dengan

tidak memberi makan secara total akan dapat mengurangi diare yang terjadi. Dasar pemikiran

ini sebenarnya tidaklah teralu anah, kalau diingat bahwa pemberian makanan pada anak akan

merangsang refleks gastro, meningkatkan peristaltik dan mempercepat perjalanan tinja di

ususu sehingga keluar. Jelaslah bahwa bagi ibu-ibu “ puasa “ akan mengurangi jumlah dan

volume tinja yang keluar pada diare ini.

Sangat disayangkan bahwa pandangan ini menyebabkan banyak ibu , dan juga para

petugas kesehatan , kemudian lebih mengutamakan penghentian diare daripada mengadakan

pengamatan yang teliti terhadap keadaan gizi anak. Karena itu, pemberian makanan makanan

berkalori tinggi penting sekali bagi anak-anak dengan diare berat, meskipun rehidrasi tetap

merupakan prioritas pertama. Ini perlu diingat, karena ketiadaan makanan berkalori akan

menurunkan daya tahan anak. Jika anak sudah kekurangan gizi , maka dengan “puasa “ itu

kondisinya justru akan lebih berat lagi.

Pandangan lain menyatakan bahwa diare merupakan hal yang umum bagi bayi pada

saat bayi akan bertambah pandai. Diare sering terjadi pada dua tahun pertama , dan ini

bersamaan dengan saat – saat keluarnya gigi, sehingga banyak orang tua yang berpendapat

bahwa kalau diare terhenti dengan cepat justru dapat berpengaruh buruk terhadap

kemunculan gigi. Sedangkan jelas bahwa tidak ada hubungan antara pertumbuhan gigi, atau

bertambah pandainya anak, dengan diare.

Banyak sekali alasan mengapa anak-anak dengan dehidrasi, terutama yang berasal dari

daerah pedesaan , tidak pernah mencapai rumah sakit . Faktor – faktor kebudayaan semacam
itu dan hal-hal lain seperti takut pada rumah sakit, keinginan agar anak meninggal di rumah,

merupakan sebagian dari alasan mengapa anak-anak kemudian tidakn dibawa ke rumah

sakit pada saat mereka harus mendapat perawatan yang teliti.

Faktor – faktor kepercayaan , sosial dan budaya suatu masyarakat menentukan sekali

keberhasilan program kesehatan di suatu daerah . Sehubungan dengan contoh-contoh di

atas , maka usaha untuk menemukan dan kemudian menghilangkan kepercayaan dan sikap

yang salah seperti itu, merupakan bagian yang penting dari pendidikan kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi Heri. 2017. HEPATITIS. Denpasar: Universitas Udayana.


(https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&cd=10&ved=2ahUKEwi9zrrlmuDoAhVb7nMBHfzmDXkQFj
AJegQICBAB&url=https%3A%2F%2Fsimdos.unud.ac.id%2Fuploads
%2Ffile_penelitian_1_dir
%2Faafa43ca8f7914ac9fde6a5d19ff3094.pdf&usg=AOvVaw1j1RbF9n6DmPgrr8
HfVHW_)

http://eprints.uad.ac.id/5401/1/8.%20STUDI%20KASUS%20KEJADIAN
%20DIARE%20PADA%20ANAK%20BALITA%20DI%20WILAYAH
%20KERJA%20PUSKESMAS%20BAYANAN%20TAHUN%202015.pdf

https://www.academia.edu/36320553/LAPORAN_KASUS_HEPATITIS?swp=rr-
rw-wc-30912607

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/download/3946/2195

Anda mungkin juga menyukai