Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG

Perilaku korupsi masih saja merebak di Indonesia, meskipun telah terdapat peraturan
yang melarang perbuatan tersebut beserta dengan sanksinya. Pengaturan
pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan sedemikian rupa di tengah-tengah
kekuatan politik yang terjadi dalam setiap orde. Peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah sejak orde lama yaitu Peraturan Penguasa Darurat Militer No.06/1957
tentang Pemberantasan Korupsi, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur
sanksi yang berat bagi pelaku korupsi, namun hal ini tidak menjadikan perbuatan
korupsi menjadi surut. Setelah orde lama berganti menjadi orde baru,keadaan menjadi
tidak baik bahkan semakin meningkat seperti terjadinya kasus kasus korupsi yang
terjadi pada PNS(pegawai negeri sipil) dan tidak hanya PNS tetapi juga seperti
pertamina,bulog dan lain lainnya.maka dari itu dikeluarkan lah peraturan peraturan
untuk memberantasnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini sesungguhnya telah
mengatur secara baik tetapi belum juga mengurangi perilaku korupsi tersebut. Bahkan,
oleh Hatta dimunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia dan
justru diberikan fasilitas pada rezim orde baru. Bergantinya masa ke masa,perbuatan
korupsi masih saja terjadi sehingga dikeluarkan berbagai peraturan perundang-
undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya
disebut UU KPK),dan peraturan-peraturan lainnya.

Perbuatan korupsi di Indonesia sudah menjangkiti berbagai aspek kehidupan


negara,dimana perilaku ini telah berjalan secara terorganisir, mulai dari pemerintahan
pusat hingga pemerintahan daerah. Sebagaimana temuan dari Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menerima setidaknya 4.623 aduan tindak pidana korupsi dari
masyarakat sepanjang 2022. Paling banyak aduan yang diterima KPK berasal dari
wilayah DKI Jakarta. Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam
konferensi pers kinerja KPK tahun 2022. Dia menyebut KPK menerima laporan dari
masyarakat soal dugaan korupsi sebanyak 585 kali. Di DKI ada 585 pengaduan, Jawa
Barat ada 429 pengaduan, dan Sumatera Utara ada 379 pengaduan. Dari data tersebut
menunjukkan bahwa korupsi adalah tindak pidana yang meluas dan mengakibatkan
kerugian yang sangat banyak bagi negara sehingga menjadi wajar apabila korupsi tidak
lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan
yang luar biasa. Kejahatan korupsi telah membawa dampak besar yang tidak saja bagi
perekonomian nasional tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya, bahkan telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga
upaya pemberantasannya pun tidak dapat lagi dilakukan dengan cara biasa pula, harus
dengan cara yang luar biasa. Hal ini juga yang sangat mempengaruh perkembangan
politik hukum yang terjadi di Indonesia Pada substansi hukum, pengaturan hukum
pidana telah mengatur berbagai pasal tentang korupsi dan sanksi yang
mengancamnya. Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan seperti UU
tentang Perpajakan,UU tentang kehutanan, UU Lingkungan Hidup serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur berbagai kejahatan dimensi baru yang
tergolong korupsi, di samping UU tentang Korupsi itu sendiri. Pada aspek struktur
hukum adalah berkaitan dengan lembaga-lembaga yang menjalankan peraturan
perundang-undangan di dalam penegakan tindak pidana korupsi, seperti KPK, polisi,
hakim, jaksa, BPK, PPATK hingga LSM dan lembaga pengawas secara internal
maupun eksternal lainnya. Pada aspek budaya hukum berkaitan dengan kondisi tindak
pidana korupsi yang telah menjadi tren yang terus meningkat, bahkan menduduki
peringkat kedua Asia dan keenam dunia. Banyak pengaturan yang mengenai
pemberantasan korupsi, dan aparat penegak hukum yang telah dipersiapkan untuk
menanganinya, serta aspek budaya hukum yang sangat mempengaruhi keberhasilan
atau tidaknya pemberantasan korupsi di Indonesia, memperlihatkan bahwa tindak
pidana korupsi tidak bisa dianggap remeh seperti tindak kejahatan biasa. Perlu ada
penanganan secara sistematis pula dalam pemberantasannya.
B.RUMUSAN MASALAH

1.Bagaimana politik hukum kedudukan kpk sebagai lembaga negara?

2.Bagaimana Penguatan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam UUD 1945?

BAB II
PEMBAHASAN

1.bagaimana politik hukum kedudukan kpk sebagai lembaga negara?

Tindak pidana korupsi merupakan sebuah tindak pidana yang masuk dalam
kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan sebuah lembaga yang dapat
memberantasnya. KPK hadir sebagai lembaga pemberantasan korupsi bersifat
independen yang dibentuk karena adanya kebutuhan masyarakat yang mendesak agar
pemberantasan korupsi dapat segera tertangani. Hal ini juga karena menumpuknya
kasus yang harus ditangani oleh Kejaksaan sehingga pemberantasan korupsi tidak
dapat tertangani secara maksimal. Maka dari itu ,KPK dibentuk agar dapat membantu
Kejaksaan menangani masalah korupsi.

Pembaruan di bidang hukum diperlukan dalam rangka memperkuat akuntabilitas


penegakan hukum. Lembaga penegak hukum yang justru menjadi bagian dari
masalahpemberantasan korupsi perlu dipembaharuan dengan membentuk lembaga
negara independe yaitu KPK. Lembaga independen tersebut diberikan kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Pembentukan
KPK dapat menjadi solusi ketika peran Kejaksaan, kepolisian dan pengadilan
tersandera dalam pemberantasan korupsi.

KPK diberikan kewenangan yang cukup luas di dalam penanganan tindak pidana
korupsi, mulai dari pencegahan hingga penindakan, dimana didalamnya terdapat fungsi
penyidikan, penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi. Hal ini yang membuat
eksistensi KPK dapat diandalkan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.sepanjang
tahun 2020,KPK telah menangani 1.194 kasus tindak pidana korupsi sejak 2004 hingga
2021.tercatat jenis perkara tindak pidana korupsi yang terbanyak adalah penyuapan
yakni sebanyak 775 kasus hal ini menunjukkan bahwa KPK memperlihatkan
profesionalitasnya di dalam penanganan tindak pidana korupsi. Mulai dari pejabat
negara, kepala daerah sampai dengan anggota legislatif pun menjadi sasaran dari KPK.
Maka dari itu, muncul berbagai perdebatan mengenai kedudukan dan kewenangan
KPK dalam sistem ketatanegaraan. Sebagai lembaga yang baru berdiri, KPK memiliki
kewenangan dan kontribusi yang besar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tidak dipungkiri bahwa tanggungjawab yang besar yang diemban KPK sebagai salah
satu amanat reformasi dalam memberantas korupsi, belum menemukan model yang
tepat dalam kaitan kedudukan dan kewenangannya. Oleh karena itu, muncul lah
beberapa kali pengujian UU KPK yang terkait dengan kedudukan KPK. Putusan
tersebut, antara lain: putusan MK atas perkara nomor 012-016-019/PUU-IV/2006,
nomor 19/PUU-V/2007, nomor 36/PUU-XV/2017 dan nomor 37/ PUU-XV/2017, dan
yang terbaru adalah putusan yang menolak permohonan pengujian formil dan materiil
atas UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK .

Putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 memberikan putusan mengenai


pentingnya pembentukan lembaga KPK yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Putusan ini kemudian dipertegas dengan putusan MK nomor 19/PUU-V/2007 bahwa
KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen dimana dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya harus bebas dari intervensi kekuasaan manapun (legislatif,
eksekutif, yudikatif maupun lembaga independen lainnya), sehingga perlunya prinsip
check and balances dalam pemberhentian secara tetap pimpinan KPK dengan
menggunakan putusan pengadilan.

Pada tahun 2017, kedudukan KPK sebagai lembaga independen dipersoalkan pula
oleh legislatif, yaitu berkenaan dengan apakah lembaga KPK dapat menjadi obyek hak
angket DPR atau tidak, dalam permohonan atas pengujian UU MPR, DPR, DPD dan
DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi. Hal ini kemudian muncul lah putusan MK
nomor 36/PUU-XV/2017 dan nomor 37/ PUU-XV/2017 yang memutus bahwa KPK
merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisi KPK berada
dalam kekuasaan eksekutif yang independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan
manapun dan bertanggung jawab terhadap DPR dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya. Tahun 2019 lembaga KPK mendapatkan ujian kembali dengan
keluarnya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK.

2.Bagaimana Penguatan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam UUD


1945?

komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan
independen dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. Komisi
negara independen sering disebut sebagai independent supervisory bodies, yaitu
lembaga lembaga Negara yang menjalankan fungsi campuran antara “fungsi regulatif”,
administratif dan fungsi Penghukuman”, yang biasanya terpisah, namun dilakukan
secara bersamaan oleh suatu komisi negara independen. Komisi negara demikian
dikatakan sebagai “self regulatory agencies” Dalam menjalankan fungsi, tugas,
kewajiban dan kewenangan yang dimiliki oleh KPK dalam melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi masih sangat terbatas, karena kedudukan KPK sebagai lembaga
negara bantu (state auxiliary organs) yang tidak diatur di dalam UUD 1945.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dalam fungsi, tugas, kewajiban dan kewenangan yang dimiliki
oleh KPK mendapatkan pengawasan dari Presiden, DPR dan BPK .

Hal ini membuktikan bahwa peran KPK masih dibatasi oleh ketiga lembaga negara
tersebut. Di satu sisi hal tersebut akan menimbulkan suatu masalah apabila yang
menjadi sasaran dari pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK adalah salah satu
dari lembaga-lembaga negara tersebut. Karena itulah, demi mendukung optimalisasi
kinerja dan produktifitas dari kinerja KPK maka tidak saja dibutuhkan pembenahan
secara internal dalam tubuh KPK namun juga perluasan ruang gerak KPK dalam
peraturan perundang-undangan. Perluasan ruang gerak KPK yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan hendaknya tidak hanya pada aturan setingkat undang-
undang saja namun secara normatif lebih tepat jika diletakkan pada agenda
amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Hal ini untuk menjaga agar KPK mampu menjadi sebuah lembaga di bidang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkompeten dan independen serta
memiliki otoritas untuk mengakses semua lembaga. Perluasan ruang gerak KPK ke
dalam Undang-Undang Dasar sangat dimungkinkan. Mengacu pada asas hukum “Lex
Posteriori derogat Lex Inferiori”,25 yaitu peraturan yang lebih tinggi mengalahkan
peraturan yang lebih rendah. Sehingga pada jangka panjang, diharapkan KPK nantinya
menjadi sebuah lembaga negara yang mampu melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi pada segala aspeknya. Tidak hanya hilirnya saja yang tersentuh, tetapi
juga hulunya tersentuh

KPK dari awal terbentuknya selalu dikatakan sebagai lembaga yang bersifat sementara
(ad hoc). Sebutan itu semakin berembus kencang terutama setelah KPK mampu
membuktikan diri sebagai lembaga pemberantas tindak korupsi yang berbeda dengan
kejaksaan dan kepolisian. Secara hukum tidak ditemukan satu pun kalimat termasuk
frasa dalam Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa KPK sebagai lembaga ad hoc.
Alasan untuk mengatakan KPK sebagai lembaga ad hoc muncul atas pemahaman
terhadap Konsiderans Menimbang huruf c Undang undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang secara eksplisit
menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi
KPK harus menjadi lembaga pemberantas tindak pidana korupsi permanen, karena
tindak pidana korupsi tidak akan pernah berhenti. Dengan meneguhkan posisi KPK
sebagai lembaga yang permanen, maka pemerintah bisa fokus pada pemberantasan
tindak pidana korupsi, bukan mendiskursuskan kelembagaan KPK

Dengan menjadikan KPK sebagai lembaga permanen, perlu diikuti dengan pengaturan
KPK dalam UUD 1945. Pengaturan KPK dalam UUD 1945 penting dilakukan di tengah
maraknya serangan balik dari para koruptor, yang ingin melemahkan kewenangan KPK
sampai dengan adanya keinginan dari para koruptor untuk membubarkan lembaga
KPK. Dengan melihat kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang menunjukkan kinerja KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi. Sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, terlihat dari kinerja KPK yang menunjukkan banyaknya pelaku tindak pidana
korupsi yang dulunya kebal hukum dan tidak tersentuh oleh hukum, saat ini tidak dapat
berlindung dari upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK. Berdasarkan hal tersebut,
seyogianya pengaturan KPK dimasukkan dalam amandemen kelima konstitusi untuk
mencegah pembonsaian terhadap lembaga KPK tersebut. Dengan dimasukkannya
pengaturan lembaga KPK dalam UUD 1945 akan menjadikan institusi itu tidak hanya
sebagai pemberantas atau penindak terhadap pelaku tindak pidana korupsi, tapi
sebagai backbone good governance dan sekaligus menghindarkan goyangan politik
yang selalu ingin melemahkan kewenangan KPK.
DAFTAR PUSTAKA

Bernard L Tanya, Hukum, Politik, Dan KKN (Surabaya: Srikandi, 2006).

Rahardjo, Satjipto. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta:


Genta Publishing, 2009.

Handaru Tri Hanggoro, “Empat Kasus Korupsi Besar Pada Awal Orde Baru,” 2018
https://historia.id/politik/articles/empat-kasus-korupsi-besar-pada-awal-orde-baru-
P4ebm/page/1

“Sejarah Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Dimulai Dari Masa Orde Baru,” 2017,
https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/09/11/2023/sejarah-pemberantasan-
korupsi-di-indonesia-dimulai-dari-masa-orde-baru/

Muhammad Hanafi Aryan,Laporan komisi pemberantasan korupsi tahun 2022


https://news.detik.com/berita/d-6483923/sepanjang-2022-kpk-terima-4-623-laporan-
dugaan-korupsi-dki-terbanyak

Cindy Rizka Tirzani Koesoemo, “Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


Dalam Penanganan Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi,” Lex Crimen
VI, no. 1 (2017): 63.

Oly Viana Agustine, Erlina Maria Christin Sinaga, Rizkisyabana Yulistyaputri, “Politik
Hukum PenguatanKewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem
Ketatanegaraan,” Jurnal Konstitusi 16, no. 2 (2019): 314.

Cindy mutia annur,Kpk sudah tangani 1.194 kasus korupsi,mayoritas penyuapan


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/10/kpk-sudah-tangani-1194-kasus-
korupsi-mayoritas-penyuapan

Effendy, Marwan. Korupsi & Strategi Nasional (Pencegahan Serta Pemberantasannya).


Jakarta: REFERENSI (GP Press Group), 2013.

Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan,
(Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 265-266.

Denny Indrayana, Indonesia Optimis, (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2011), hlm.
160.

Hamzah, Andi, 1986, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT.
Gramedia.

Hamzah,Andi, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan


Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai