30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
DAN REVISI TERHADAP UU NO.30 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN UU KPK SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
INDEPENDEN
FEBRIAN KURNIAWAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU
email:febriankurniawan55@gmail.com
ABSTRACT
Keywords: Legal implications, KPK, Corruption cases, Law No. 30 of 2002, Ad Hoc,indepedency,
the State Gazette as Law Number 19 of 2019 concerning the amendment of the KPK Law
ABSTRAK
KPK sebagai lembaga Independen,sejak dibentuk tahun 2002 berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Sejauh ini,
POLRI dan Kejaksaan Negara dianggap kurang berhasil dan efisien dalam menangani kasus korupsi.
Inilah salah satu alasan mengapa KPK didirikan. Selain itu, penggunaan istilah "ad hoc" seringkali
dipertanyakan oleh beberapa individu dengan tujuan melemahkan posisi KPK sebagai lembaga negara
independen dimana dengan adanya revisi ke Lembaran Negara sebagai Undang-Undang Nomor 19
tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang KPK .Kemudian,setelah direvisinya Undang-Undang
KPK ini memiliki implikasi signifikan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi, terutama
dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.Hal ini dianggap melemahkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) serta dampak yang dihasilkan dari revisi tersebut terhadap
penyelesaian kasus tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Implikasi Hukum, KPK, Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 Tahun 2002,independensi,
Ad Hoc,Lembaran Negara sebagai Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan
Undang-Undang KPK
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara berkembang, ditandai dengan banyaknya program pemerintah yang
bertujuan untuk mendorong pembangunan dan ekonomi.Namun tidak jarang kita menemui
kasus-kasus korupsi dalam program-program ini.Tindak pidana korupsi ini paling sering dilakukan
oleh pejabat atau oknum yang memiliki posisi kekuasaan dan dengan sengaja memanfaatkan program
pemerintah untuk keuntungan pribadi. Dikarenakan upaya yang kurang optimal dari pihak kepolisian
dan otoritas penegak hukum dalam memerangi korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (disingkat UU KPK). Tujuan utama KPK adalah meningkatkan proses
penegakan hukum dalam memerangi korupsi di Indonesia. Sejak didirikan sebagai lembaga negara
independen, KPK berada di garis depan dalam menangani kasus-kasus korupsi dan meskipun telah
mencapai prestasi yang cukup baik, KPK juga menghadapi kritik dan tantangan.
Tindak pidana korupsi di indonesia sendiri awalnya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (disingkat UU TIPIKOR). Namun, dalam
praktiknya, didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara independen
dianggap perlu untuk memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.Seiring dengan
keberhasilan KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia, muncul masalah mengenai
persepsi bahwa KPK adalah lembaga ad hoc, yang sering diartikan sebagai lembaga sementara dengan
wewenang pengawasan untuk melakukan penyelidikan, penuntutan, dan bahkan pelaksanaan putusan
pengadilan.
PEMBAHASAN
1.SEJARAH TERBENTUKNYA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI TERHADAP UU
NO.30 TAHUN 2002
Tindak Pidana Korupsi merupakan extraordinary crime yang berdampak pada kehidupan
perekonomian suatu negara,upaya pencegahan hingga pemberantasan tindak pidana korupsi telah
dilakukan dengan berbagai cara mulai dari penegakan hukum yang konvensional seperti kepolisian
yang masih mengalami hambatan karena kasus-kasus korupsi di Indonesia ini masih menjadi
headline news dalam berita sehari-hari, sehingga pemerintah dituntut untuk menggunakan
cara-cara yang lebih ampuh dalam memberantas korupsi.Salah satunya baru-baru ini kasus korupsi
pembangunan menara BTS yang dilakukan oleh Menteri Kominfo bapak Jhonny G Plate.
Indonesia sangat berkomitmen dalam memerangi korupsi dan telah mengikuti berbagai konvensi
untuk menemukan cara yang paling efektif dan efisien dalam mencegah dan memberantas korupsi di
dalam negeri.Salah satu konvensi yang diikuti oleh Indonesia adalah Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) pada tahun 2003, yang disetujui melalui Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption,
2003).Penjelasan umum UNCAC menekankan pentingnya konvensi ini sebagai komitmen nasional
untuk meningkatkan reputasi Indonesia di panggung global.
Indonesia setelah mengikuti konvensi UNCAC ini diharapkan dapat memotivasi para penegak hukum
dan meminimalisir angka korupsi di Indonesia.Dengan diratifikasinya konvensi PBB yaitu
UNCAC, 2003 dalam pasal 36 dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara memiliki
kewajiban untuk membentuk suatu badan khusus yang dibentuk untuk menanggani
perkara-perkara korupsi melalui penegakan hukum yang sesuai dengan hukum positif di
Indonesia.Oleh sebab itu,Indonesia membentuk KPK yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-undang
KPK merupakan Lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Salah satu latar belakang terbentuknya lembaga negara independen adalah lembaga negara yang ada
sebelumnya tidak mampu bekerja secara optimal.Sebagai akibatnya, maka fungsi-fungsi kekuasaan
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif diletakkan menjadi fungsi organ tersendiri atau bahkan
independen.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjamin independensi KPK bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun.Bahkan sifat independen KPK dijadikan sebagai konsideran UU
tersebut.
Sifat independensi KPK perlu dipertanyakan karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.
36/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga
negara yang berada dalam ranah eksekutif.Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 ini problematik,
setidaknya karena beberapa hal.Pertama, kontradiktif.MK memasukkan KPK sebagai eksekutif,
karena menyamakannya dengan kepolisian dan kejaksaan dalam fungsi penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Namun, MK justru mengecualikan fungsi tersebut dari pengawasan DPR. Kedua,
menyamakan KPK dengan kepolisian dan kejaksaan jelas keliru,karena Kapolri dan Jaksa Agung
memang dipilih oleh eksekutif, berbeda dengan KPK yang independen. Ketiga, jika KPK bisa
diangket kecuali fungsi yudisialnya, bagaimana lembaga negara independen lain yang fungsinya
sepenuhya eksekutif seperti OJK dan LPS? Apakah berarti bisa diangket untuk seluruh aspek fungsi
dan kewenangannya?
Keempat, MK tidak konsisten dengan putusan-putusan MK terdahulu yang menempatkan KPK
sebagai lembaga negara independen. MK tidak menjelaskan alasan perubahan sikap yang
melatarbelakangi putusan baru sehingga berbeda dengan putusan terdahulu.Perkembangan lembaga
negara independen juga menandakan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari
tangan birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan, tempat dimana kekuasaan
sebelumnya telah terkonsentrasi.
Berdasarkan ciri-ciri menurut berbagai teori, Mochtar telah mengajukan delapan karakteristik
lembaga negara independen sebagai berikut:
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara yang khusus ditugaskan
untuk menangani kasus korupsi di Indonesia, yang independen dari cabang eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, tidak berarti bahwa KPK mengambil alih semua kasus korupsi di negara ini. KPK tetap
berkoordinasi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Pengaturan
ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru dan energi yang segar kepada aparat penegak hukum
di Indonesia, mendorong mereka untuk bekerja sama dan memaksimalkan proses hukum terhadap
para pelaku korupsi di negara ini.
Pengertian lembaga KPK sebagai lembaga Ad Hoc perlu mendapatkan pemahaman agar tidak
disalah maknakan sebagai Ad Hoc yang bersifat sementara.istilah tersebut memiliki arti
"dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja" atau sesuatu yang "diimprovisasi".
Sehingga, tujuan dibentuknya KPK adalah lembaga independen (State Auxialiary Bodies) untuk
memberantas korupsi di Indonesia.
Istilah kata sementara pada pengertian ad hoc sering di salah artikan bahwa komisi ad hoc artinya
sebuah komisi yang diserahi tugas tertentu dengan masa tugas sementara waktu bukan bersifat
permanen, dengan berakhirnya tugas maka komisi tersebut akan dibubarkan.Padahal dalam hal
pembentukan KPK ini, jika dikaitkan dengan sifat pembentukan lembaga maka, KPK merupakan
lembaga ad hoc yang berarti dibentuk untuk tujuan dan tugas tertentu yaitu dalam memberantas
tindak pidana korupsi di Indonesia dengan tidak disebutkan jangka waktu yang ditentukan
untuk menyelesaikan tugasnya. Sehingga, KPK sebagai Lembaga negara yang permanen yang
bersifat independen dan harus bebas dari pengaruh kekusaan manapun dalam menjalankan tugasnya.
2.Proses penyidikan
Penyelidikan merupakan proses atau tahapan yang ditempuh untuk menyelidiki dan menemukan
bukti permulaan.menurut undang-undang. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
penyelidik diatur dalam Pasal 43 ayat (1) yang menerangkan bahwa “Penyelidik adalah
Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi”.Setelah direvisi,penyelidik dalam revisi undang-undang KPK diatur
dalam pasal yang sama tetapi dalam muatan yang berbeda. Dalam revisi undang-undang KPK,
penyelidik adalah “Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian,
kejaksaan,instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi”,dengan
adanya aturan ini menghilangkan independensi KPK.
3.Proses Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.Sebelum direvisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 47 ayat 1
diterangkan bahwa “Atas dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
melakukan penyitaan tanpa izin ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas
penyidikannya”.Namun setelah direvisi kewenangan KPK untuk melakukan penyitaan dan
penggeledahan kembali harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Ketentuan itu diatur dalam
Revisi Undang-Undang KPK Pasal 47 ayat (1) dan (2).
4.Proses Penuntutan
PENUTUP
A.KESIMPULAN
3) KPK merupakan lembaga yang bersifat Ad Hoc yang berarti memiliki tugas khusus
dalam menjalankan wewenangnya untuk memberantas tindak pidana korupsi di indonesia
dengan jangka waktu yang tidak ditentukan.
4) Dalam isi materi muatan revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi ada beberapa materi muatan yang melemahkan KPK yakni,tentang
independensi KPK yang dihilangkan dan diletakan sebagai lembaga negara dirumpun
eksekutif berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 menyatakan
bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang berada dalam
ranah eksekutif. yang dapat mempengaruhi sifat independensi KPK dalam proses
penanganan kasus korupsi.
B.SARAN
Perubahan UU KPK melalui UU Nomor 19 tahun 2019 mengakibatkan semakin tergerusnya
independensi KPK. Prinsip-prinsip independensi berdasarkan konsep state independent agency
semakin hilang.Tanpa independensi, eksistensi KPK semakin tidak relevan.Sehingga KPK dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat berjalan dengan baik.
Tetapi yang ingin saya tekankan adalah seharusnya revisi terhadap undang-undang KPK itu
berisi materi yang menguatkan KPK dalam pelaksanaan tugas bukannya melemahkan KPK dalam
memberantas korupsi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:
Konstitusi Press
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
ARTIKEL ESSAY
Rainaldy Valentino Kaligis,Implikasi Hukum atas Revisi UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK
Terhadap Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 2010
JURNAL
Datla, Kirti and Richard L. Revesz, 2012, “Deconstructing Independent Agencies
and Executive Agencies.” Cornell Law. Review. Vol. 98, : 769.
INTERNET
https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-terbentuknya-kpk
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi