Anda di halaman 1dari 15

Nama : Tisa Gaby Yudhesa

NPM : 183112340250306

No. Absen : 43

Materi ke- : 13 “Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”

SUB BAB

1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

1.1 Latar Belakang KPK

1.2 Wewenang KPK

2. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

2.1 Mengukuhkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

2.2 Menunggu masa depan KPK

2.3 Eksistensi KPK harus dijaga

3. Sumber Artikel
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

1.1 Latar Belakang KPK

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat

umum dan normatif hukum tidak mungkin ada tanpa adanya lembaga yang

merumuskan, melaksanakan dan menegakkannya, yaitu lembaga legislatif, eksekutif

dan yudikatif. KPK adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003

untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini

didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demi tercapainya

pelayanan publik yang optimal bagi masyarakat, maka pemerintah memandang

perlu untuk membentuk lembaga baru.

Salah satu lembaga negara penunjang yang dibentuk pada era reformasi di

Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk

sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu

agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Dengan

demikian, kedudukan lembaga negara Penunjang dalam sistem ketatanegaraan yang

dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan.

Secara historis KPK lahir dari sebuah asumsi bahwa penegakan hukum yang

dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan tidak berjalan secara efektif. Komisi

Pemberantasan Korupsi,atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia

yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas

korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

KPK dibentuk oleh eksekutif dan legislatif dengan didasari atas

ketidakpercayaan terhadap instansi penegak hukum yang telah ada dalam

pemberantasan. Keberadaan komisi ini mengacu pada The Independent Comission

Against Corruption (ICAC) yang didirikan pemerintah Hongkong pada tahun 1974.

KPK merupakan suatu komisi khusus yang pendiriannya merupakan amanah dari

ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan amanah tersebut oleh pemerintah kemudian

diterbitkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil

guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

KPK dapat dikategorikan sebagai badan khusus yang diberi kewenangan

yudisial seperti, Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan perkara, khususnya perkara korupsi. KPK tidak

sepenuhnya bersifat ad hoc, karena menurut United Nations Convention Against

Corruption (Pasal 6) yang sudah diratifikasi Indonesia, ada yang bersifat permanen

dan ada bersifat sementara. Kewenangan KPK yang bersifat permanen adalah

kewenangan untuk mencegah korupsi sedangkan kewenangan KPK yang bersifat

sementara ialah tindakan yang represif, seperti penyidikan dan terutama penuntutan.

Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dimaksudkan untuk memerangi

korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan


pidana di Indonesia. KPK secara resmi dibentuk dengan adanya UU. Nomor 30

tahun 2002 dan setelah terpilihnya pimpinan dan Ketua KPK pada tanggal 16

Desember 2003.

1.2 Wewenang KPK

Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah

korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai

momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau

tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak

kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik,sosial

budaya, maupun keamanan. Dalam bahasa Indonesia arti dari kata korupsi itu ialah

kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan

penyimpangan dari kesucian.

Wewenang KPK bila dibandingkan dengan kewenangan Kepolisian dan

Kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi memang lebih luas. Dengan

kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tersebut

dimungkinkan ada potensi tumpang tindih pelaksanaan kewenangan dalam

memberantas tindak pidana korupsi. Ini terlihat dalam penyidik yang dimiliki KPK

merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian dan Kejaksaan dan masih

berstatus Kepolisian dan Kejaksaan. KPK belum mempunyai penyidik yang

diangkat sendiri oleh KPK. Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

memberantas tindak pidana korupsi. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan

Korupsi, terdapat dalam Bab II UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi.


Pemberantasan Korupsi pada Pasal 6-14, mencakup wilayah yang sangat luas.

Menurut ketentuan Pasal 6 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi tersebut, KPK mempunyai tugas-tugas, sebagai berikut :

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TPK)

b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TPK)

c. Melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan terhadap Tindak Pidana

Korupsi (TPK).

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan Tindak Pidana Korupsi (TPK)

e. Melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Negara.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi

kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi :

1. Melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada

kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat pengak hukum

dan penyelengara negara.

2. Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).


Dalam menangani kasus KPK diberi kewenangan memperpendek jalur

birokrasi dan proses dalam penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan

yaitu tugas Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam

memerangi korupsi. Disamping itu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002, KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan, penelitian,

atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang

berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan

pelayanan publik.

2. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

2.1 Mengukuhkan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Sekalipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersifat ad hoc (sementara),

sesungguhnya masyarakat sangat berharap eksistensi KPK tetap dipertahankan.

Namun mengapa selama ini terlalu banyak gempuran untuk melucuti eksistensi KPK,

dari kriminalisasi terhadap pimpinan, keinginan mengurangi fungsi KPK lewat revisi

undang-undang tindak pidana korupsi, angket KPK, hingga rencana membentuk

Densus Tipikor?

Sesungguhnya fenomena ini merupakan wujud kepedulian bangsa dan

negara terhadap KPK supaya lembaga antirasuah itu melaksanakan tugasnya

secara maksimal. Gebrakan dengan penindakan, seperti operasi tangkap tangan,

ternyata tidak membuat jera koruptor. Semestinya hal itu diiringi dengan

koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitor bersama berbagai instansi


terkait, khususnya aparat penegak hukum lain, supaya tidak ada kesan

"menyapu lantai tapi sapunya kotor".

Untuk mempertahankan eksistensinya, KPK justru harus bersih luar-

dalam. Mustahil pula KPK dapat berjalan sendirian tanpa melibatkan aparat

penegak hukum lain, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Namun, yang menjadi

sasaran OTT KPK justru koleganya sendiri, yakni aparat peradilan, kepolisian,

dan kejaksaan. Hal ini seharusnya dapat dikoordinasikan terlebih dulu lewat

pimpinan Mahkamah Agung atau Ketua Komisi Yudisial, Jaksa Agung, dan

Kepala Polri. Ini perlu dilakukan supaya institusi tersebut menegakkan tata

kelola yang baik, termasuk sumber daya manusia serta visi dan misi yang sama,

seperti yang sudah dibangun KPK dengan MA melalui Satuan Tugas Sapu

Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).

Jika misalnya, ada jaksa yang terindikasi korupsi dan KPK akan menggelar

OTT, KPK bisa secara langsung menghubungi Jaksa Agung. Dengan demikian,

pimpinan lembaga itulah yang pertama sekali menindak anak buahnya tanpa harus

diketahui publik melalui siaran pers. Ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan

masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Tentunya, tiga lembaga

penegak hukum itu harus merespons secara positif temuan KPK tersebut.

Mengapa hal ini sangat urgen dilakukan KPK? Sebab, ini untuk menjaga

profesionalitas, akuntabilitas, dan kepercayaan public. Bayangkan saja, bagaiman

jika seorang hakim ditangkap dan ddipertontonkan kepada dunia melalui siaran

televise. Apa kata masyarakat dan dunia terhadap peradilan Indonesia, yang
seharusnya KPK turut serta menjaga harkat dan wibawanya di mata dunia. Ketua

Mahkamah Agung, Hatta Ali berpendapat dari hasil studi banding yang dilakukan

di Negara Belanda, tidak seorang hakim Belanda pernah ditangkap dan

diberhentikan. Kalau hakim itu bermasalah, dia akan diminta mengundurkan diri

sebagai hakim dengan kerahasiaan tetap dijaga. Jika ia tidak bersedia mundur,

barulah dikenakan proses hukum.

Selama ini telah ada kerja sama antara KPK dan pimpinan Mahkamah

terkait dengan Saber Pungli. Mahkamah pun sudah menerbitkan Maklumat Ketua

Mahkamah Agung Nomor 01/2017 tentang tanggung jawab pimpinan pengadilan

terhadap anak buahnya yang tidak melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

Pimpinan pengadilan kini dapat dicopot dari jabatannya. Ini adalah salah satu

wujud keseriusan pimpinan Mahkamah untuk memperbaiki sistem. Langkah

tersebut dilakukan agar tidak terjadi lagi peristiwa OTT seperti yang sudah

dipertontonkan KPK kepada publik ketika seorang Ketua Pengadilan Tinggi

Manado diringkus KPK lewat OTT.

Pesan Ketua Mahkamah Agung yang ingin mencontoh sistem di Belanda

tersebut telah dilakukannya melalui penelusuran Badan Pengawasan Mahkamah

Agung ke daerah terhadap setiap berita dan laporan masyarakat. Sekecil apa pun

peristiwa di media massa (online) terkait dengan integritas hakim, pengawas

langsung menelusuri kebenaran berita tersebut. Jika benar, hakim itu lansung

diberi sanksi, dicopot dari jabatannya, diperintah untuk mengundurkan diri, atau

diproses secara hukum tanpa harus diketahui publik. Namun, apabila berita itu

tidak benar, nama baiknya akan dipulihkan. Setelah KPK berkoordinasi secara
professional dengan pimpinan lembaga penegak hukum, barulah kemudian

berkoordinasi dengan lembaga tinggi negara, seperti lembaga eksekutif (presiden),

legislative, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sangat ajaib jika pejabat lembaga

tinggi negara harus diciduk dan dipertontonkan di muka umum melalui siaran

televise dan media cetak. Padahal belum tentu dia bersalah di pengadilan.

KPK perlu berkoordinasi dengan semua instansi pemerintah untuk

bersama-sama melakukan supervisi dan pemantauan sebagai langkah pencegahan

terjadinya tindak pidana korupsi. Ketika sistem sudah dibangun oleh KPK secara

komprehensif di seluruh instansi terkait, berarti KPK sudah melaksanakan tugas

pokoknya secara maksimal. Kalau masih tetap terjadi penyimpangan dan

pelanggaran hukum, ultimum remedium (penerapan sanksi pidana sebagai jalan

terakhir) harus dilakukan.

2.2 Menunggu masa depan KPK

Eksistensi KPK juga sudah beberapa kali percobaan untuk 'diperbaiki'

melalui rencana revisi terhadap UU No 30 Tahun 2002. Rencana tersebut oleh

sebagian masyarakat dianggap sebagai upaya sistimetis memperlemah KPK. Di lain

pihak ada sebagian masyarakat lain yang menilai revisi sebenarnya juga dalam

rangka untuk memperkuat KPK pada masa yang akan datang.

Paling anyar, belakangan ini, beberapa anggota DPR, yakni Masinton

Pasaribu, Risa Mariska dari Fraksi PDI Perjuangan, Taufiqulhadi (NasDem),

Achmad Baidowi (PPP), Saiful Bahri Ruray (Partai Golkar), dan Ibnu Multazam

(PKB), mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua


atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Usul tersebut kemudian disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. Seperti

biasanya usulan tersebut juga menimbulkan pro dan kontra.

Ada beberapa permasalahan dapat ditengahkan; pertama, apakah revisi UU

KPK memang diperlukan? Kedua, apakah benar jika revisi UU KPK akan

memperlemah KPK atau sebaliknya, memperkuat KPK pada masa yang akan

datang? Yang harus dilakukan para penolak maupun yang mendukung revisi UU

KPK untuk secara objektif mengkaji secara mendalam atas RUU yang telah diajukan

DPR. Secara konstitusional DPR punya kewenangan untuk mengajukan RUU hal

tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dalam

kondisi normal, berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan bahwa setiap RUU harus terlebih dahulu masuk Prolegnas yang

disusun secara bersama antara presiden dan DPR.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 16 yang menentukan bahwa

perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Prolegnas. Kemudian, Pasal 20 ayat

(1) menentukan bahwa penyusunan Prolegnas dilaksanakan DPR dan pemerintah.

Dengan demikian, kita tidak bisa menyalahkan DPR ketika melaksanakan

kewenangannya untuk mengajukan RUU guna merevisi UU KPK. Setidaknya, ada

empat hal baru dalam RUU KPK yang menjadi 'sorotan' publik. Pertama,

kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Kedua,

pembentukan Dewan Pengawas KPK. Ketiga, kewenangan KPK mengeluarkan surat

penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Keempat, kewenangan KPK dalam

mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum.


'Kecurigaan' adanya agenda yang tersembunyi dengan diajukannya RUU

KPK oleh DPR menjadi RUU inisiatif karena RUU KPK tersebut bukan merupakan

dari 55 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2019, di samping itu ada beberapa poin

materi muatan RUU yang konon dapat memperlemah KPK pada masa yang akan

datang, yakni rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK. Begitukah?

Tampaknya yang banyak 'disorot' ialah tugas Dewan Pengawas untuk

mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Tugas ini dianggap berpotensi

mengancam independensi KPK, termasuk memberikan izin penyadapan dan

penyitaan. Terkait dengan keharusan adanya izin melakukan penyadapan sebenarnya

tidak memiliki urgensitas karena ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf a RUU KPK

penyadapan bisa dilakukan jika terdapat 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup.

Oleh karenanya, ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf b tidak diperlukan, sepanjang

memang telah terdapat 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup.

Terkait dengan tugas Badan Pengawas KPK di bidang penegakan kode etik

penulis sependapat karena ada pemikiran bahwa keberadaan Dewan Pengawas KPK

itu analog dengan keberadaan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi

Kepolisian sebagai lembaga pengawas eksternal dari sebuah lembaga. Dewan

Pengawas KPK diharapkan tugasnya hanya berkaitan dengan penegakan kode etik

dalam rangka menjaga muruah KPK.

Dalam draf RUU KPK juga ada ketentuan yang dibuat dalam rangka

menjamin perlindungan HAM sehingga menurut penulis perlu memperoleh apresiasi

hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 40 yang menentukan bahwa KPK
berwenang mengeluarkan SP3 dalam perkara tipikor. Ketentuan tersebut sangat

mungkin dilandasi beberapa kasus yang 'belum selesai' setelah sekian tahun tanpa

kejelasan. Sementara itu, predikat sebagai tersangka sudah terlanjur ditetapkan KPK.

Bahkan, ada seorang tersangka yang sampai meninggal dunia belum diproses dan

diputus sejak ditetapkan sebagai tersangka.

Sebagaimana diketahui, bahwa pembentukan sebuah UU baru akan terjadi

jika ada kesepakatan antara Presiden dan DPR melalui mekanisme yang telah diatur

dalam UU No 12 Tahun 2011. Dengan demikian, sangat elegan dan merupakan win-

win solution untuk menghadapi gegap gempitanya pro-kontra terhadap RUU KPK

semunya kembali kepada aturan dasar dan mekanisme pembentukan perundang-

undangan.

Akhirnya, kita semua yang peduli dengan upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi ikut serta mengawasi dan mengikuti proses pembahasan RUU KPK sehingga

kekhawatiran untuk memperlemah KPK melalui revisi UU KPK tidak akan terjadi.

Para pemrakarsa revisi UU KPK juga punyai komitmen sama bahwa RUU KPK

bukan dalam rangka memperlemah KPK, melainkan untuk memperkuat KPK.

Akhirnya, marilah kita semua menunggu masa depan KPK melalui revisi UU KPK.
2.3 Eksistensi KPK harus dijaga

Institusi KPK kini dalam ujian besar, sebab ada upaya untuk

mendegradasikan peran dan kewenangannya. Karena itu semua elemen masyarakat

harus menjaga dan mendukung KPK agar bekerja maksimal memberantas korupsi.

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus tetap dijaga dan

didukung. Karena lembaga itu, telah terbukti jadi komisi garda depan dalam

pemberantasan korupsi di Tanah Air. Diharapkan, dalam memberantas korupsi,

KPK tidak tebang pilih. Kasus-kasus kakap, yang belum dituntaskan, harus

diselesaikan. Menurut Henriette, salah satu pergumulan yang terus menerus

mengemuka dalam persidangan Oikoumenie Gereja-gereja di Indonesia adalah

masalah kemiskinan. Tidak dapat dipungkiri, meski Indonesia merupakan negeri

yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, tapi hingga saat ini belum mampu

keluar dari masalah kemiskinan ini.

“Cita-cita pembentukan NKRI untuk membawa masyarakat adil dan sejahtera

hingga kini belum sepenuhnya terpenuhi,” ujarnya. Henriette juga berpendapat,

penyebab utama dari masalah kemiskinan ini adalah terjadinya salah urus oleh

penyelenggara negara. Hal itu telah terjadi selama bertahun-tahun di waktu yang

lampau.

Hingga kemudian, melahirkan budaya koruptif. Dan itu terkonfirmasi oleh

catatan Transparency International Indonesia (TII). “Indeks persepsi korupsi di

Indonesia dari tahun ke tahun selalu pada angka yang memprihatinkan,” katanya.
Pada 2016, kata dia, indek persepsi korupsi, ada di angka 37 dengan posisi pada

ranking ke-90 dari 176 negara yang disurvei TII.

Catatan ini TII, setidaknya sesuai fakta, dimana banyak jumlah kasus korupsi

di republik ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, mencatat 482 kasus

korupsi dengan 1.101 tersangka selama 2016. Tidak dipungkiri pula, budaya korupsi

telah begitu rupa menggerogoti kehidupan berbangsa.

“Ini bukan saja makin menjauhkan kita dari cita-cita luhur para pendiri

bangsa kita, tetapi juga telah makin memperpuruk sebagian dari masyarakat

Indonesia,” ujarnya. Karena itu, kata Henriette, Gereja-gereja di Indonesia menilai,

akar dari semua ini adalah kerakusan manusia yang tidak pernah mengenal cukup.

Henriette mengungkapkan, sidang raya PGI pada Nopember 2014 di Nias mencatat,

saat ini bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan sedikitnya empat masalah,

yakni kemiskinan, ketidakadilan, meningkatnya radikalisme dan kerusakan

ekologis.

Akar semua masalah ini katanya, adalah kerakusan. Kerakusan telah

menjadikan sebagian masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri.

Sehingga tidak pernah mampu berkata cukup, dan tak segan untuk mengambil yang

bukan haknya pun dengan mengabaikan prosedur.

3.1 Sumber Artikel

https://kolom.tempo.co/read/1045614/mengukuhkan-eksistensi-kpk

https://www.neliti.com/id/publications/170253/eksistensi-kpk-dalam-memberantas-
tindak-pidana-korupsi
https://mediaindonesia.com/read/detail/258631-menunggu-masa-depan-kpk

http://www.koran-jakarta.com/pgi--eksistensi-kpk-harus-dijaga/

Anda mungkin juga menyukai